Pak Hadi karena Mengetahui Sejarah Keluarga Tansen dan Harus Bercerita; Konflik Batin karena Madre Hendak Dijual

2. Pak Hadi karena Mengetahui Sejarah Keluarga Tansen dan Harus Bercerita; Konflik Batin karena Madre Hendak Dijual

Pak Hadi adalah lelaki etnis Cina yang penyabar. Seluruh sisa hidupnya ia abdikan kepada Tan Sin Gie, pemilik toko Tan de Bakker kala itu. Namun, Tan akhirnya meninggal dan Pak Hadi pun tetap setia untuk menjaga madre dan toko roti tua itu. Bahkan, kesetiaan Pak Hadi pernah dibuktikannya bekerja untuk Tan tanpa digaji. Keinginan Pak Hadi tidaklah begitu banyak, ia ingin menemukan pemuda yang diberi warisan oleh Tan, yaitu Tansen. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut ini.

“Kamu yang bernama Tan-sen?” ucapnya canggung, “Saya Hadi.”

commit to user

“Tansen.” Kusebut namaku sekali lagi seraya menjabat tangan keriputnya. (Lestari, 2011:6) Tak berapa lama setelah kematian Tan, Pak Hadi bertemu dengan

Tansen di ruko tua itu, bekas toko roti Tan de Bakker. Pak Hadi menginginkan Tansen supaya Tansen tetap merawat madre sampai kapanpun. Namun, keinginan Pak Hadi tersebut memunculkan konflik batin ketika Tansen kaget mendengar tentang silsilah keluarganya yang sebenarnya. Id yang mendorong Pak Hadi untuk segera memberi tahu Tansen itu memunculkan konflik batinnya sendiri. Hal tersebut didukung dengan kutipan berikut ini.

“Yang kamu sebut „aki‟ itu sebetulnya karyawan Tan dan Lakshmi. Sahabat saya juga. Kami dulu sama-sama kerja di Tan de Bakker,” ucapnya berat. “Saya kasihan sama kamu, mesti tahu ini semua sekarang. Saya juga kasihan sama diri saya karena jadi saya yang mesti

cerita. Harusnya Si Tan yang ketemu kamu langsung.” (Lestari, 2011:11)

Kutipan di atas menjelaskan bagaimana perasaan batin yang dialami oleh Pak Hadi ketika harus menjelaskan kepada Tansen tentang semua kisah antara Tan Sin Gie dan Tansen. Jika kutipan di atas diperhatikan lebih mendalam, id Pak Hadi telah mendorongnya untuk bercerita kepada Tansen karena memang dia yang lebih tahu tentang sejarah kehidupan Tan Sin Gie dan Lakshmi. Pak Hadi tidak begitu memperhatikan apa yang akan terjadi kepada Tansen setelah mendengar cerita tersebut. Hal tersebut dapat dilihat pada bagian kutipan berikut ini.

“Benar-benar ndak ngerti kamu ini rupanya.” Tangannya lalu mengibas seperti menghalau ayam. “Sana. Duduk. Saya bikinken kopi lagi.

Cangkir keduaku hampir tak tersentuh. Cerita Pak Hadi membuat kerongkonganku tercekat, tak sanggup dilalui apa-apa, termasuk kopinya yang padahal sangat enak itu. (Lestari 2011:10)

Ego di dalam diri Pak Hadi terdorong untuk segera menyampaikan cerita tersebut kepada Tansen. Hal ini merupakan cara Pak Hadi untuk memberitahukan kepada Tansen bagaimana cerita sebenarnya sehingga warisan tersebut bisa sampai kepada Tansen. Setelah Pak Hadi cerita,

commit to user

ketegangan-ketegangan yang ada di dalam diri Pak Hadi akan berkurang karena telah membuka sisi lain dari sejarah kehidupan Tansen. Superego yang merupakan pengendali terhadap id dan ego pun tidak terlalu banyak mengambil peran. Sebenarnya superego Pak Hadi sempat memberikan dorongan, tetapi ternyata sia-sia karena memang satu-satunya yang mengetahui tentang cerita tersebut adalah Pak Hadi. Akhirnya, diceritakanlah sejarah kehidupan Tansen oleh Pak Hadi, seperti dalam kutipan berikut ini.

Tan bertemu dengan nenekmu, Lakshmi, waktu mereka masih muda. Mereka sama- sama bekerja di sebuah toko roti. “Kata Tan, roti buatan Lakshmi pasti rasanya beda dengan pegawai lain. Padahal adonan yang diuleninya sama. ” Demikian bagian awal yang dikisahkan Pak Hadi. (Lestari, 2011:10)

Setelah ketegangan yang dialami Pak Hadi terhadap Tansen reda, kehidupan Pak Hadi mulai beralih bagaimana mendidik Tansen untuk mampu membuat roti dengan biang madre. Tansen yang tidak pernah membuat roti itu memang mau belajar membuat roti kepada Pak Hadi. Namun, setelah pembuatan roti itu justru muncul ketegangan baru dalam diri Pak Hadi. Tansen tiba-tiba berkeinginan untuk menjual madre. Jiwa Pak Hadi seperti tergoncang. Madre yang sempat menghidupinya hendak dijual oleh pewaris Tan. Penjelasan tersebut dipertegas dengan kutipan berikut ini.

“Kalau gitu saya akan mengajukan proposal untuk membeli madre. Akan saya hargai tinggi. Saya jamin,” Mei berkata mantap. Otot-otot di muka keriput Pa k Hadi tampak mengencang. “Madre ndak dijual,” ia berkata. Garang. Seketika Mei melirikku. Dan aku tersadar berapa tidak meng- enakkannya suasana ini. Sebagai pembaca blogku, aku berasumsi Mei sudah tahu bahwa hak milik madre ada di tanganku. (Lestari, 2011:28)

Id dalam diri Pak Hadi menginginkan supaya madre tetap dirawat oleh Tansen. Id yang merupakan dorongan dari dalam diri ini sebagai bentuk konflik batin yang dialami Pak Hadi. Untuk merealisasikan apa yang dipikirkan id, Pak Hadi memerlukan ego sebagai penyalur dari pikiran ke dunia nyata. Ego yang memiliki reality principle ini mencari cara bagaimana supaya madre tidak dijual. Cara yang diperlukan tentulah cara yang diterima

commit to user

masyarakat dan sesuai dengan moral. Di sini peran superego diperlukan bagaimana cara-cara yang dapat dilakukan untuk mempertahankan madre yang akan direalisasikan oleh ego. Ketika madre hendak dijual, Pak Hadi membuat semacam pesta perpisahan kecil yang dihadiri oleh beberapa mantan pegawai Tan. Di pesta perpisahan itu, superego Pak Hadi menjadi dominan karena Pak Hadi justru tidak bersedih, tetapi seperti sudah rela melepaskan madre untuk dimiliki oleh orang lain. Hal tersebut seperti terlihat dalam bagian kutipan berikut ini.

Pagi ini memang tidak seperti acara perpisahan yang muram. Pak Hadi tampak cerah di tengah keluarga Tan de Bakker. Begitu hidup dan bersemangat. Satu-satunya yang muram di tempat itu justru aku. (Lestari, 2011:35)

Superego Pak Hadi menjadi dorongan utama dan dominan karena Pak Hadi menyadari bahwa madre sudah tidak menjadi haknya. Untuk itulah superego Pak Hadi mendorongnya untuk tetap ceria meskipun madre akan dijual. Apa yang dilakukan oleh Pak Hadi tersebut tidak melanggar norma maupun moral yang berlaku di masyarakat.

Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan, Pak Hadi di dalam alam bawah sadarnya mengalami konflik dan beban batin ketika tidak menyampaikan apa yang dia ketahui tentang silsilah keluarga Tansen. Namun, Pak Hadi juga menyesal mengapa justru dia yang harus menyampaikannya. Menurut responden, yang namanya sebuah rahasia pada titik tertentu memang harus diungkapkan. Setelah ada pengungkapan itu, psikis Pak Hadi lega. Id Pak Hadi yang memang sudah memendam itu selama bertahun-tahun memang berharap untuk mengungkapkan sehingga melalui ego dan superego Pak Hadi mewujudkan hal itu untuk mengurangi ketegangan. Hal tersebut didukung kutipan berikut ini.

“Bagi Pak Hadi, Madre adalah identitas dan hidupnya. Ia percaya pada kesetiaan dan dedikasi. Ia mendedikasikan hidupnya pada toko yang dipercayakan Tan kepadanya. Ini yang kontras dengan Tansen yang

commit to user

semasa hidupnya justru tidak mengenali kualitas-kualitas tersebut. Ketika Madre hendak dijual, bagi Pak Hadi itu adalah berakhirnya kehidupan yang ia tahu. Kehidupan sebagai pembuat roti.” (Dewi Lestari)