Ketidakjelasan Silsilah Keluarga Tansen; Mendapatkan Warisan dari Orang yang Tidak Dikenal

1. Ketidakjelasan Silsilah Keluarga Tansen; Mendapatkan Warisan dari Orang yang Tidak Dikenal

Menurut Meredith dan Fitzgerald dalam Nurgiyantoro (2009:122) konflik menyaran pada pengertian sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi dan dialami tokoh(-tokoh) cerita, yang, jika tokoh(-tokoh) itu mempunyai kebebasan untuk memilih, ia (mereka) tidak akan memilih peristiwa itu menimpa dirinya. Hal tersebut juga terjadi terhadap tokoh Tansen di dalam cerpen Madre.

Konflik yang dialami Tansen, yaitu Tansen tidak begitu mengenal latar belakang keluarganya secara jelas. Tansen hanya mengetahui bahwa ia

commit to user

memiliki darah keturunan India dari neneknya, Lakshmi. Namun, Tansen juga tidak pernah bertemu dengan neneknya secara langsung karena neneknya telah meninggal ketika melahirkan ibunya Tansen. Begitu pun dengan ibunya Tansen pun meninggal ketika melahirkan Tansen. Keadaan tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.

Semasa kecil, aku punya beberapa teman dari keluarga dari India asli. Mereka jauh berbeda. Keluargaku seperti tercerabut dari akarnya. Ditambah lagi ada semacam kutukan umur pendek atas perempuan dalam garis keluargaku. Nenek meninggal setelah melahirkan ibu. Ibu, anak nenek satu-satunya, meninggal tak lama setelah melahirkan aku, anak satu-satunya. (Lestari, 2011:3)

Tansen memiliki kehidupan yang bebas. Kehidupan bebas itu dinilai Tansen sebagai sebuah turunan dari ayahnya. Menurut banyak orang, ayah Tansen pun memiliki kehidupan yang bebas. Namun, Tansen juga meragukan tentang arti kebebasan. Tansen menilai kebebasan itu benar-benar sebuah turunan dari ayahnya atau memang ayahnya yang tidak mau merawat Tansen untuk tumbuh dan berkembang. Sebuah pemikiran itu muncul sebagai bentuk protes Tansen tentang arti kebebasan yang ditujukan kepada ayahnya. Kutipan yang menjelaskannya, yaitu sebagai berikut.

Ayahku, seorang yang berjiwa bebas, melepasku besar begitu saja. Seolah aku ini anak tumbuhan yang bisa cari makan sendiri tanpa diurusi. Masa remaja hingga kini kuhabiskan di Bali. Sendirian. Aku mewarisi jiwa bebas ayahku, kata orang-orang. Kendati batas antara kebebasan dan ketidakpedulian terkadang saru. (Lestari, 2011:3)

Freud (Hall & Lindzey, 1993:64) menyebutkan bahwa id “kenyataan psikis yang sebenarnya” karena id merepresentasikan dunia batin pengalaman

subjektif dan tidak mengenal kenyataan objektif. Id yang merupakan sistem kepribadian yang paling dasar dalam diri Tansen memiliki naluri-naluri bawaan untuk hidup diperhatikan oleh keluarganya. Kehidupan bebas yang dimilikinya sekarang ini seolah dianggapnya tanpa perhatian.

commit to user

Ayahku, seorang yang berjiwa bebas, melepasku besar begitu saja. Seolah aku ini anak tumbuhan yang bisa cari makan sendiri tanpa diurusi. (Lestari, 2011:3)

Namun, Tansen tetap tidak dapat berlari dari keadaan itu karena memang Tansen hidup sendiri. Di tengah dorongan id yang tidak realistis untuk mendapatkan perhatian, dibutuhkan ego untuk melampiaskan keinginan Tansen.

Ego yang lebih berprinsip pada prinsip realitas (reality principle) ini membuat Tansen tetap menjalani hidupnya yang bebas. Penyaluran kehidupan Tansen dilakukan dengan bekerja di Bali guna menopang kehidupannya. Di dalam kehidupannya di Bali, Tansen pun tidak memiliki pekerjaan yang tetap. Keadaan ini, tidak akan mengubah naluri id Tansen yang ingin mempunyai pekerjaan yang tetap. Namun, ego Tansen tetap mengedepankan prinsip realitas, yaitu ketika memang tidak ada tempat untuk mendapatkan perhatian, Tansen tetap menjalani kehidupan tersebut, yaitu dengan bekerja tidak tetap atau freelance. Prinsip realitas itu dikerjakan melalui proses sekunder (secondary process), yakni berpikir realistis menyusun rencana apakah rencana itu menghasilkan objek yang dimaksud (Alwisol, 2011:15-16).

“Macam-macam. Guide, ngajar surfing, desainer lepasan, penulis kadang- kadang, ....” “Oh. Serabutan.” Dengan datar Pak Hadi menyimpulkan. (Lestari, 2011:15)

Sebagai bentuk pemuasan id dan ego yang dimiliki Tansen, superego yang memiliki peranan sebagai pengendali terhadap id dan ego Tansen pun tidak memberikan rintangan yang berarti terhadap kehidupan Tansen. Seperti disebutkan Alwisol (2011:16) bahwa superego pada hakikatnya merupakan elemen yang mewakili nilai-nilai orang tua atau interpretasi orang tua mengenai standar sosial yang diajarkan kepada anak melalui berbagai larangan dan perintah. Superego memiliki prinsip untuk memberikan rintangan

commit to user

terhadap id dan ego dalam pemuasan apa yang diinginkan oleh id jika memang pemuasan yang akan dilakukan tidak sesuai dengan moral dan aturan yang berlaku di masyarakat. Namun, Tansen tidak melakukan hal-hal yang a- moral karena pekerjaan yang Tansen lakukan tidak merugikan orang lain mau- pun masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dalam cuplikan dialog berikut ini.

Seolah membaca muka laparku, Pak Hadi mengiriskan roti lagi. “Kerjamu apa di Bali?” ia bertanya. “Macam-macam. Guide, ngajar surfing, desainer lepasan, penulis kadang- kadang, ... .” “Oh. Serabutan,” dengan datar Pak Hadi menyimpulkan. (Lestari,

2011:15) Masa remaja Tansen dihabiskan di Bali. Namun, setelah itu, Tansen

tiba-tiba mendapatkan warisan dari orang yang tak dikenalnya di Jakarta. Nama orang tak dikenal itu muncul secara tiba-tiba di dalam kehidupan Tansen. Bahkan, hanya warisannya saja karena orang tersebut telah meninggal.

Mendapatkan warisan dari orang yang tak dikenalnya, naluri id Tansen mendorongnya untuk mengetahui tentang hal tersebut. Tansen pun memutuskan untuk pergi ke tempat pemakaman sehingga dapat mengetahui siapa pewaris tersebut. Apa yang dilakukan Tansen tersebut merupakan penyaluran dari ego yang dimilikinya untuk mengetahui bagaimana realitas tersebut sebenarnya terjadi. Ego sesungguhnya bekerja untuk memuaskan id karena itu ego yang tidak memiliki energi sendiri akan memperoleh energi dari id (Alwisol, 2011:16). Ego ini digunakan sebagai upaya pemuasan kebutuhan untuk mengurangi tegangan yang didapatkan oleh Tansen dalam kehidupan nyata. Namun, Tansen tidak mendapatkan apa yang dia inginkan di pemakaman. Tansen hanya mendapatkan sebuah nama “Tan Sin Gie.”

Di tengah kebingungan Tansen, seorang pengacara sewaan Tan Sin Gie muncul. Tansen pun tidak menolak ajakan sang pengacara karena dorongan ego yang dimilikinya untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Superego yang dimilikinya pun tidak memberikan rintangan karena Tansen

commit to user

mengikuti ajakan pengacara untuk mengetahui seluk beluk warisan yang ditujukan kepadanya. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.

“Kamu ini benar-benar nggak kenal sama Pak Tan?” “Sama sekali enggak.” “Tapi namamu seperti nama Tionghoa. Tansen Wuisan.” Ia lalu menghamparkan berkas-berkas di atas meja.

“Wuisan itu fam Manado, Pak. Tansen itu nama India.” (Lestari, 2011:3)

Tansen mengetahui tempat tinggal Tan dari pengacara tersebut. Di sebuah ruko tua itulah Tansen bertemu dengan Pak Hadi. Keinginan Tansen untuk mengetahui tentang warisan itu semakin memuncak. Di antara kebingungan mengapa dan kenapa dia, id Tansen mendorongnya untuk menggali tentang asal muasal warisan tersebut kepada Pak Hadi. Di dalam menjalankan fungsinya ini, id didorong maksud untuk mendapatkan alasan mengapa warisan tersebut ditujukan kepada Tansen. Id mencoba menghadirkan keadaan dan alasan yang nyata bagaimana warisan itu dapat ditujukan kepada Tansen. Hal tersebut seperti yang terlihat dalam kutipan dialog berikut.

“Madre itu siapa, Pak?” tanyaku lagi “Tan bilang, madre mesti dirawat orang muda yang semangatnya baru. Orang ndak sembarangan, yang memang punya hubungan langsung sama madre,” Pak Hadi terus mengoceh seperti tak mendengar pertanyaanku. (Lestari, 2011:7)

Di dalam keadaan ini, peran ego dan superego Tansen berjalan seimbang. Ego berusaha untuk merealisasikan apa yang diinginkan oleh id untuk mendapatkan cerita yang sebenarnya tentang warisan melalui Pak Hadi. Cerita tentang asal warisan itu memang akhirnya didengar oleh Tansen dari Pak Hadi. Namun, id yang dimiliki Tansen menganggapnya itu adalah sebuah kekonyolan hidup yang bisa berubah dalam sekejap. Untuk memuaskan dan mengurangi tegangan yang dibutuhkan oleh id sehingga seimbang dengan ego , Tansen memerlukan superego. Superego tersebut dimaksudkan supaya Tansen mampu mengetahui tentang kekonyolan itu dengan cara-cara yang

commit to user

diterima oleh moral dan hati nurani. Pelaksanaannya dilakukan oleh ego, yaitu untuk mengetahui tentang silsilah keluarganya yang selama ini tidak diketahui oleh Tansen melalui Pak Hadi. Di sinilah terlihat bahwa Tansen masih memedulikan aktivitas superego-nya untuk mengetahui tentang Tan Sin Gie dan warisan yang diberikan kepadanya, seperti dalam kutipan dialog berikut ini.

“Pak Hadi, saya nggak ngerti apa madre ini?” kututup pintu kulkas itu, “Saya nggak pernah kenal yang namanya Pak Tan. Makin ke sini saya makin yakin dia salah orang. Saya pamit pulang, Pak.” “Nenekmu namanya Lakshmi?” Aku menatapnya curiga, “Iya.” “Ibumu namanya Kartika?” Aku mengangguk lagi. “Ndak mungkin salah orang.” Pak Hadi menunjuk kulkas itu, “Ini hakmu.” “Saya hibahkan untuk Pak Hadi,” sahutku cepat. “Beres, kan?” (Lestari,

2011:9-10). Silsilah keluarga Tansen yang tak pernah dia ketahui selama ini

akhirnya diketahui oleh Tansen. Hidup Tansen yang selama ini sudah bebas dan tidak terikat, setelah mendapat warisan madre, hidup Tansen akan terikat dengan madre. Dalam keadaan seperti itu, Tansen ingin segera pergi dan meninggalkan madre supaya tidak ada keterikatan. Id Tansen yang merupakan bawaan memiliki sifat dasar untuk tidak terikat. Oleh karena itu, Tansen berusaha untuk memberikan warisan tersebut kepada Pak Hadi. Namun, Pak Hadi menolaknya, seperti dalam kutipan berikut.

“Saya hibahkan untuk Pak Hadi,” sahutku cepat. “Beres, kan?” “Benar-benar ndak ngerti kamu ini rupanya.” Tangannya lalu mengibas seperti menghalau ayam. “Sana. Duduk. Saya bikinken kopi lagi.” (Lestari, 2011:10)

Penolakan dari Pak Hadi membuat Tansen tetap tinggal di Jakarta. Di Jakarta itulah Tansen bertemu dengan Mei, seorang wanita pengusaha bakery yang sukses. Id Tansen yang merupakan naluri dasar tidak ingin hidup terikat itu akhirnya melampiaskannya keinginannya melalui Mei. Id tersebut

commit to user

memang dapat menurunkan tegangan pada Tansen, tetapi hanya bersifat sementara. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.

“Kalau gitu saya akan buat proposal untuk membeli madre. Akan saya hargai tinggi. Saya jamin,” Mei berkata mantap. Otot- otot di muka keriput Pak Hadi tampak mengencang. “Madre ndak dijual ,” ia berkata. Garang. (Lestari, 2011:28)

Id tersebut mendorong ego untuk melakukan suatu hal yang benar- benar nyata untuk menghilangkan ketegangan yang dialami sehingga tegangan itu benar-benar mereda. Dalam keadaan seperti ini, Tansen mengalami tekanan batin sehingga id akan berusaha meredakan tegangan tersebut. Untuk meredakan tegangan yang dialami Tansen karena memiliki biang roti dan dia tidak dapat membuat roti. Selain itu, warisan tersebut dia peroleh dari orang yang tak dikenalnya. Tansen memerlukan sebuah perantara untuk menghilangkan ketegangan yang dia alami, yaitu ego.

Ego pun bekerja untuk merealisasikan apa yang diinginkan oleh id. Ego yang berpegang pada prinsip realitas ini mencoba untuk mewujudkan dorongan id untuk memperoleh kebebasan kembali, yaitu dengan menjual madre kepada Mei. Dalam keadaan seperti ini, apa yang dilakukan oleh Tansen mampu meredakan tegangan dan pikiran-pikiran yang dia miliki terhadap madre. Tansen berpikir bahwa penjualan madre kepada Mei adalah cara yang tepat. Keadaan tersebut dipertegas dengan kutipan berikut ini.

“Saya bukan tukang roti, Pak. Ngulen adonan saja seumur hidup baru tadi. Madre jauh lebih berguna di tangan orang kayak Bapak atau Mei.

Buat apa ada di saya? Buat jadi sarapan tiap pagi?” “Tan kasih madre untukmu karena dia punya maksud yang lebih besar. Tinggal kamu yang menentuken.” (Lestari, 2011:30)

Keadaan tersebut menjelaskan bahwa Tansen hanya memperhatikan id dan ego-nya, aspek superego yang merupakan landasan moral belum diperhatikan Tansen. Tansen belum memiliki kesiapan untuk menerima madre, yang Tansen pikirkan masih sebatas kesenangan dan kebebasannya. Namun, setelah Tansen memutuskan hendak menjual madre kepada Mei,

commit to user

justru tegangan dan konflik batin barulah yang muncul. Id yang sempat meredakan tegangan sementara itu pada akhirnya akan muncul kembali dengan situasi yang berbeda. Keputusan menjual madre membuat Tansen memiliki konflik batin terhadap Pak Hadi.

“Orang-orang yang selama ini madre nafkahi. Orang-orang yang ndak akan melepas madre apapun yang terjadi. Sayangnya keputusan itu

ndak ada di tangan kami.” Suara Pak Hadi bergetar. Dan tubuh itu pun sedikit gemetar ketika bangkit berdiri. “Kamu orang pertama setelah Lakshmi yang bisa langsung membuat roti dari madre tanpa gagal. Semua pekerja di sini harus mencoba berkali-kali baru berhasil. Madre

sudah memilihmu. Sayangnya kamu ndak paham.” (Lestari, 2011:32) Di dalam keadaan tersebut, ego mulai bekerja untuk mewujudkan

pemikiran id supaya dapat mengurangi tegangan, yaitu dengan memperhatikan efek yang terjadi pada Pak Hadi ketika madre dijual. Ego yang berprinsip untuk mengejar kenikmatan dengan disesuaikan realitas akan memengaruhi pemikiran id. Id yang sebelumnya memikirkan bagaimana cara terbebas dari madre dengan prinsip mengejar kebebasan dan kenikmatan kini dipengaruhi oleh ego berdasarkan keadaan Pak Hadi ketika madre hendak dijual.

Tansen mulai memperhatikan superego-nya. Superego yang berfungsi untuk melaksanakan tindakan berdasarkan moral ini akhirnya dapat diperhatikan oleh Tansen. Bentuk moral dari superego yang tak lain sebagai rintangan terhadap apa yang akan dilaksanakan oleh ego, yaitu rasa menghormati Tansen terhadap apa yang disampaikan oleh Pak Hadi. Pesan Pak Hadi kepada Tansen tentang madre membuat Tansen mengurungkan niatnya untuk menjual madre. Penjelasan tersebut didukung dengan kutipan berikut ini.

Sejujurnya, aku tidak tahu apa yang persis terjadi padaku pagi tadi. Aku bahkan tidak yakin kami akan sanggup mengerjakan order dari Mei. Yang jelas bagiku hanyalah: aku dan atau uang seratus juta tak pantas menggusur madre keluar dari sini. Tempat tua ini adalah rumahnya. Orang-orang tua ini adalah keluarga sejatinya. (Lestari, 2011:39)

commit to user

Setelah kejadian tersebut, Tansen lebih memperhatikan superego-nya, yaitu bagaimana cara mendapatkan kenikmatan dan kebebasan tanpa melukai dan merugikan orang lain. Perwujudan dari id, ego, dan superego tersebut, yaitu tanpa menjual biang madre dan berusaha untuk menghidupkan kembali toko roti yang telah mati selama bertahun-tahun dengan dibantu Mei.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan disebutkan bahwa di alam bawah sadar/id Tansen menginginkan untuk menjual madre karena Tansen ingin menjadi dirinya sendiri. Tansen tidak ingin dibayang-bayangi oleh kakeknya tentang kesuksesan yang ia dapat. Tansen ingin memperoleh kesuksesan hidupnya itu dengan potensi yang ia miliki. Namun, di wilayah Asia, silsilah keluarga dianggap sebagai sesuatu yang penting sehingga Tansen mulai menyingkirkan ego pribadi dan mulai masuk ke ego keluarga sehingga akhirnya Tansen mempertahankan madre tersebut untuk menghidupkan kembali toko roti yang telah mati. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut.

“Tansen tiba-tiba seperti ditendang dari zona nyamannya. Dari orang yang hidup bebas dan sudah terbiasa tidak memiliki "akar", tiba-tiba

Tansen merasa terancam karena muncul ikatan yang tidak ia duga yakni Madre. Madre berpotensi menghancurkan kebebasannya dan menjadi ikatan yang tidak ia harapkan.” (Dewi Lestari)