Conversion of Land Use its Effect at Small regional extent CLUE-S

pusat hutan terdekat pada tahun 1999, tanah alluvial tanah muda bertekstur halus, fluvisol tanah bersifat fluvic, lapisan tanah, tanah dangkal tanah yang bersifat erosif dan slope yang curam, kelas kesesuaian ahan, kepadatan penduduk penduduk per km 2 , tenaga kerja sektor pertanian. Hasil dari pemodelan ini menggambarkan bahwa permintaan untuk wilayah urban meningkat dari tahun 1999 sampai 2014. Hasil simulasi menunjukkan persebaran wilayah urban akan menyebar dari selatan sampai ke utara sampai perbatasan Kuala Lumpur. Perkembangan ini seperti suatu koridor yang membentang sepanjang jalan utama sampai ke bagian barat Semenanjung Malaysia. Hal ini tergambar dari hasil perhitungan bahwa driving factor yang paling kuat adalah jarak terhadap pusat pemukiman dan jarak terhadap jalan. Sebagai kesimpulan adalah bahwa Model CLUE-S ini telah berhasil diaplikasikan di DAS Selangor. Aplikasi CLUE-S di Pulau Sibuyan Filipina. Tujuan penelitian aplikasi CLUE-S di Pulau Sibuyan adalah untuk mengaplikasikan program ini secara realistis dan untuk menganalisis kinerjanya. Data dengan menggunakan ukuran sel 250 m 2 , pada time-frame 15 tahun yaitu dari 1997 sampai 2012. Kelas penggunaan lahan adalah hutan, kelapa, rumput, padi dan lainnya yang merupakan hasil reklasifikasi pengklasifikasian ulang. Tabel 4 berikut ini menunjukkan hasil pengklasifikasian ulang penggunaan lahan di Pulau Sibuyan, Filipina Soepbroer 2001. Pengklasifikasian ulang dilakukan dari 15 kelas penggunaan lahan menjadi lima kelas penggunaan lahan. Penetapan angka stabilitas pada pemodelan ini adalah sebagai berikut : hutan dengan nilai 1; kelapa dengan nilai 0.8; rumput atau padi dengan nilai 0.2 dan lainnya dengan nilai 1. Faktor penentu driving factors pada penelitian perubahan penggunaan lahan di Sibuyan Filipina dengan menggunakan CLUE-S disajikan pada Tabel 5 berikut ini. Tabel 4 Pengklasifikasian ulang penggunaan lahan di Pulau Sibuyan, Filipina Soepboer 2001 Kelas awal Klasifikasi baru Area ha total area Pantai Sungai Mangrove Area terbangun Lainnya 29518.75 4 Kelapa, mono-crop 100 Kelapa semak 100 Kelapa semak 90 Kelapa 7237.5 16 Hutan 100 Hutan 90 Hutan 80 Hutan 5243.75 65 Rumput 100 Rumput 95 Rumput 90 Rumput 1400 12 Padi non- irigasi Padi irigasi Padi 1762.5 3 Tabel 5 Faktor driver pada penelitian perubahan penggunaan lahan di Pulau Sibuyan, Filipina Soepboer 2001 Driver Penjelasan Kepadatan penduduk Menggunakan fungsi focal dari 5 sel jiwa km 2 Batuan diorit Batuan ultramafik Batuan metamorfik Geologi Sedimen Tidak ada erosi Erosi kecil Erosi Erosi sedang Elevasi Digital elevation model DEM m Slope Diturunkan dari DEM derajat Aspect Diturunkan dari DEM derajat Jarak ke jalan m Jarak ke kota m Jarak ke arus m Jarak ke laut m Hasil pemodelan dengan CLUE-S di Pulau Sibuyan ini memberikan gambaran yang baik untuk sistem yang kompleks di wilayah yang relatif lebih kecil. Hasil pemodelan spasial menggambarkan adanya pembangunan sepanjang kaki pegunungan. Di bagian utara padang rumput dan perkebunan kelapa akan berkembang ke bagian barat. Pertanaman padi terkonsentrasi di tiga lokasi yaitu di bagian utara pulau, sepanjang pantai utara dan disepanjang pantai barat. Aplikasi CLUE-S untuk Pemodelan Aksesibilitas. Aksesibilitas merupakan salah satu penyebab dari terjadinya perubahan penggunaan lahan. Pada penelitian ini, Witte 2003 melakukannya dengan mengaplikasikan CLUE-S model. Klasifikasi dari jaringan jalan sebagai unsur dari aksesibilitas adalah satu level untuk jalan negara, propinsi, kabupaten, kecamatan dan setapak; dua level untuk seluruh musim dan musim kemarau; tiga level untuk jalan kaki atau kerbau atau sepeda motor, roda enam, dan seluruh jenis kendaraan. Pengukuran yang dilakukan merupakan kombinasi dari pengukuran berdasarkan infrastruktur dan pengukuran berdasarkan aktivitas. Digunakan pula pengukuran origin dan destination untuk mengkaji aksesibilitas yang eksplisit secara spasial. Penelitian ini memberikan hasil bahwa 3 tipe aksesibilitas berdasarkan waktu tempuh memberikan dampak terbesar terhadap perubahan penggunaan lahan, yaitu waktu tempuh ke pasar, untuk kegiatan membeli dan menjual hasil pertanian ke pasar; waktu tempuh ke jalan terdekat, untuk menggunakan mode transportasi tercepat; waktu tempuh ke kota terdekat, terdapat kenyataan bahwa lebih banyak penduduk tinggal di kota dari pada di ladang atau di kebunnya. Dari ketiga contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa model perubahan penggunaan lahan telah berhasil digunakan dalam menganalis perubahan penggunaan ruang untuk berbagai aspek spasial. Aspek yang telah dilakukan misalnya perubahan wilayah perkotaan yang terjadi di daerah aliran sungai Selangor Engelsman 2001. Wilayah pertanian di Pulau Sibuyan Filipina berhasil dianalisis perubahan perubahan areal pertanian Soepboer 2001. Aspek aksesibitas berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan telah pula berhasil dibuat modelnya di wilayah lembah Cagayan, Filipina Witte 2003. Perbedaan antara pemodelan dengan menggunakan CLUE dan CLUE-S adalah dalam aspek skala dan representasi data disajikan pada Gambar 8. Berdasarkan Gambar 8 tersebut terlihat bahwa CLUE diaplikasikan untuk skala luas nasional atau benua dengan resolusi kasar lebih besar dari 1 km x 1 km, data penggunaan lahan diperoleh dengan sensus atau survey. Jenis penggunaan lahan ditetapkan dengan persentase. Sedangkan, CLUE-S, diaplikasikan untuk wilayah lebih kecil dalam skala lokal atau regional. Data yang diperlukan dengan resolusi halus kurang dari 1 km x 1 km. Data penggunaan lahan diperoleh dari pengideraan jauh remote sensing atau citra. − Skala wilayah nasional sampai benua − Data dengan resolusi kasar 1x1 km − Data land use diperoleh dari sensus atau survey − Skala wilayah lokal dan regional − Data dengan resolusi halus 1x1 km − Data land use diperoleh dari peta atau citra penginderaan jauh CLUE CLUE-S Persentase dari land use dalam sel grid Land use yang dominan dalam sel Representasi data: 2 Informasi dari sub-pixel dari land use Representasi data :1 Land use dominan Gambar 8 Perbedaan Skala Aplikasi dan Struktur Data dari CLUE dan CLUE-S Verburg et al. 2002 CLUE CLUE-S 2.5. Pembangunan Wilayah yang Berkelanjutan 2.5.1. Pembangunan Berkelanjutan Istilah berkelanjutan merupakan penterjemahan dari kata sustainable yang berasal dari terminologi sustainable development pembangunan berkelanjutan. Istilah pembangunan berkelanjutan dipopulerkan oleh World Commission on Environment Development pada tahun 1987. Pada awalnya merupakan laporan dengan judul Our Common Future dikenal sebagai Brundtland Report, yang menyatakan masalah lingkungan global merupakan akibat dari kemiskinan di Selatan dan pola konsumsi serta produksi yang tidak sustainainable di Utara. Laporan ini berisi strategi untuk memperhatikan aspek lingkungan pada pembangunan dan dikenal dengan istilah sustainable development. Pembangunan berkelanjutan adalah suatu konsep upaya pemenuhan kebutuhan manusia untuk meningkatkan kesejahteraan melalui pemanfaatan sumberdaya tanpa mengurangi potensi generasi yang akan datang untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut. Oleh karena itu konsep pembangunan berkelanjutan adalah pertukaran trade off antara generasi kini dengan generasi mendatang dalam pemanfaatan sumberdaya guna peningkatan kesejahteraan Bell Morse 2003. Munasinghe 1993 menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan mempunyai tiga tujuan yang harus dapat dicapai yaitu tujuan sosial, ekonomi dan ekologi. Bila digambarkan dengan diagram maka pembangunan berkelanjutan merupakan suatu segitiga sama sisi dengan setiap sisi memiliki tujuan-tujuan tersebut. Gambar 9 menunjukkan adanya pembangunan yang berkelanjutan, yaitu tujuan ekonomi adalah adanya efisiensi dan pertumbuhan, tujuan ekologis dalam pengelolaan sumberdaya alam dan tujuan sosial yaitu adanya pemerataan sosial dan pengentasan kemiskinan. Berdasarkan diagram pembangunan berkelanjutan tampak bahwa untuk mencapai tujuan ekonomi dan tujuan sosial secara bersamaan perlu adanya pendistribuan ulang pendapatan dengan cara membangun lapangan pekerjaan dan dengan adanya bantuan atau subsidi. Sementara untuk mencapai tujuan ekonomi dan ekologi secara bersamaan adalah dengan dilakukan pengkajian atau valuasi lingkungan juga dengan menginternalisasikan biaya lingkungan. Bila Munashinge menentukan tiga tujuan yaitu ekonomi, ekologi dan sosial, Commission on Sustainable Development CSD menentukan empat dimensi untuk mengkaji tingkat keberlanjutan suatu pembangunan. Menurut CSD 2001 empat dimensi tersebut adalah dimensi ekonomi, lingkungan, sosial dan institusional dalam menentukan indikator keberlanjutan suatu pembangunan. Dalam pengkajiannya setiap dimensi memiliki tema, yang terdiri dari sub tema, yang dijabarkan lebih detail dalam indikator.

2.5.2. Metode-metode Analisis Keberlanjutan

Beberapa metode telah dikembangkan untuk menganalisis keberlanjutan antara lain Sustainable Development Indicators SDI; Ecological Footprint EF; Environmental Sustainability Index ESI dan Wellbeing Index WI

2.5.2.1. Sustainable Development Indicators

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa menurut CSD 2001 terdapat empat dimensi yaitu dimensi ekonomi, lingkungan, sosial dan institusional dalam menentukan indikator keberlanjutan suatu pembangunan. Dalam pengkajiannya Tujuan Ekonomi Efisiensi pertumbuhan Tujuan Sosial Pengentasan kemiskinan Persamaan Tujuan Ekologi Sumberdaya alam - Pengkajian lingkungan - Valuasi - Internalisasi - Partisipasi - Konsultasi - Pluralism - Redistribusi pendapatan - Employment - Bantuan Gambar 9 Trade off diantara tiga tujuan utama dari sustainable development Munasinghe 1993