. Pembangunan Wilayah Berkelanjutan HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Model Perubahan Penggunaan Lahan

Wellbeing Stress Index WSI merupakan rasio kesejahteraan manusia terhadap stress ekosistem, untuk menggambarkan tekanan terhadap peningkatan kesejahteraan. Hal ini berakibat terhadap kehidupan wellbeing ekosistem. Angka WSI sama dengan 1.0 mengandung arti stress dari ekosistem sudah melampaui kesejahteraan manusia dalam standar termasuk dalam band poor. Semakin rendah nilai ini semakin besar akibat dari tekanan untuk peningkatan kesejahteraan manusia terhadap kehidupan ekosistem. Kabupaten Bandung dengan nilai WSI 1.8, menunjukkan bahwa posisi wilayah ini mendekati band medium . Nilai ini mengandung arti bahwa tekanan untuk peningkatan kesejahteraan manusia belum melampaui tekanan ekosistem. Kondisi ekosistem yang baik dibutuhkan untuk mendukung kehidupan manusia hidup di level yang sesuai dengan standar kehidupan. Kondisi ini dimetaforakan oleh sebuah telur. Ekosistem diibaratkan putih telur dari suatu telur yang melindungi kuning telur yang merupakan metafora dari manusia. Sebuah telur berkualitas baik bila baik putih dan kuning telur dalam kondisi baik, hal yang sama dimetaforakan kedalam masyarakat yang berkelanjutan bila manusia dan ekosistemnya dalam kondisi yang baik. Bila dibandingkan dengan Indeks Pembangunan Manusia IPM, maka untuk wilayah Kabupaten Bandung tahun 2003 adalah 67.5. Angka ini merupakan penggabungan dari keadaan angka harapan hidup dengan nilai 65.4; angka melek huruf 97.5; angka rata-rata lama sekolah 7.7 dan konsumsi per kapita 530.2 Bapeda BPS Kabupaten Bandung 2003. Tampak bahwa angka ini sejalan dengan angka WI, tetapi IPM hanya menyoroti aspek manusia, tanpa melihat aspek ekosistem. Hasil perhitungan dipetakan pada barometer sustainability seperti disajikan pada Gambar 26.. Tampak bahwa tingkat berkelanjutan untuk wilayah Bandung adalah dalam posisi medium. Posisi ini adalah posisi di tengah, yang mengarah ke almost sustainable untuk ekosistem, sedangkan untuk manusia mengarah ke almost unsustainable . Hal ini mengandung arti bahwa keadaan ekosistem wilayah Kabupaten Bandung relatif lebih baik dibandingkan dengan keadaan rata-rata wilayah lain di Indonesia. Chambers, Simmons Wackernagel 2002 mengkaji hubungan kualitas hidup dengan daya dukung lingkungan alamiah dan menggambarkannya dalam empat kondisi Gambar 27. Zona A menggambarkan kondisi kualitas hidup tidak tercapai tetapi modal alam terlindungi. Zona B menunjukkan untuk mecapai kualitas lingkungan yang minimal terjadi penurunan modal alamiah. Sementara pada zona C untuk mencapai kualitas hidup yang tinggi modal alam mengalami penurunan. Kondisi ideal adalah pada zona D yaitu untuk mencapai kualitas hidup yang baik dapat sejalan dengan melindungi alam, yang artinya menuju sustainability. Kondisi pada zona-zona A, B dan C dapat diarahkan menuju ke kondisi D dengan cara mengembangkan sustainability developing sustainability . Gambar 26 Barometer keberlanjutan untuk wilayah Kabupaten Bandung Hasil analisis Pengembangan keberlanjutan seperti digambarkan oleh Chambers Simmons Wackernagel 2002 perlu dilakukan untuk menjaga daya dukung alamiah dan mengurangi penurunan modal alamiah. Bila dikaitkan dengan diagram Chambers tersebut maka kondisi Kabupaten Bandung dapat menuju ke Zona D. Berdasarkan hal tersebut diatas maka hasil perhitungan keberlanjutan ini merupakan salah satu masukan dalam penentuan strategi pengelolaan wilayah Kabupaten Bandung. Gambar 27 Hubungan kualitas hidup dengan daya dukung lingkungan alamiah Chambers, Simmons Wackernagel 2002 5.3. Model Perubahan Penggunaan Lahan untuk Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah Berkelanjutan 5.3.1. Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah Berkelanjutan Penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan mengandung arti bahwa secara spasial sumberdaya alam yang ada, dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat, tanpa mengurangi daya dukung alamiah, sesuai dengan kebijakan yang berlaku. Pada bagian ini akan dibahas strategi yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Strategi adalah jurus atau cara atau teknik yang taktis dalam mencapai tujuan. Untuk mencapai tujuan tersebut sebelumnya telah dilakukan penelitian-penelitian yang meliputi analisis deskripsi regulasi tata ruang, pemodelan spasial untuk melihat perubahan penggunaan lahan pada time frame 20 tahun mendatang, dan analisis tingkat keberlanjutan pembangunan wilayah. Pemodelan spasial dengan CLUE-S untuk wilayah Kabupaten Bandung memberikan hasil pada penggunaan lahan yang masih menggambarkan kondisi paling ideal adalah skenario ketiga, keempat dan keenam. Hasil simulasi dengan skenario-skenario ini, sampai dengan tahun ke 20 masih mengandung semua jenis penggunaan lahan. Dari ketiga skenario ini, terpilih skenario keenam sebagi skenari terbaik. Skenario keenam ini mensyaratkan laju perubahan penggunaan lahan setengah dari laju perubahan penggunaan lahan eksiting dan adanya larangan alih fungsi pada kawasan cagar alam dan kawasan lindung. Kondisi keberlanjutan pembangunan Kabupaten Bandung berdasarkan indeks kesejahteraan manusia dan ekosistem ada posisi di tengah. Untuk kesejahteraan manusia levelnya berada pada hampir tidak berkelanjutan dan untuk ekosistem berada pada hampir berkelanjutan. Artinya, wilayah Kabupaten Bandung mempunyai kondisi keberlanjutan yang sedang. Hal ini berdasarkan pada kesejahteraan ekosistem yang hampir berkelanjutan, dan kesejahteraan manusia pada level hampir tidak berkelanjutan. Pada penyusunan strategi penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan dilakukan lokakarya analisis prospektif yang melibatkan stakeholder pakar yang terlibat di wilayah penelitian. Identifikasi faktor-faktor yang ada adalam strategi penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan di Kabupaten Bandung disajikan pada pada Tabel 23. Tabel 23 Faktor dan karakteristik faktor yang terlibat pada penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan Hasil analisis Faktor Karakteristik Jenis Tanah Geologi Elevasi Aspek Geofisik Slope Kepadatan Penduduk Tingkat Pendidikan Rasio Guru Murid Sekolah Dasar Sosial Tingkat putus sekolah dasar Kondisi Tempat Tinggal Persentase tenaga kerja di bidang pertanian Produksi pertanian Listrik tersedia kebutuhan Tingkat pendapatan masyarakat Ekonomi Status kepemilikan lahan Jalan Raya Jarak ke pusat kota Aksesibilitas Persentase jalan yang baik terhadap panjang jalan yang ada Persentase areal budidaya dari seluruh lahan pertanian Ekologi Persentase kawasan lindung yang dikelola dengan baik Iklim Jumlah curah hujan tahunan Koordinasi antar lembaga Alokasi dana pembangunan Kebijakan pemerintah peraturan Kebijakan Perencanaan tata ruang Faktor-faktor tersebut kemudian dimasukkan kedalam tabel pengaruh langsung antar faktor. Para peserta lokakarya memberikan nilai pengaruh langsung antar faktor pada tabel tersebut. Kemudian direkapitulasi pengaruh antar faktor dari masing-masing peserta lokakarya untuk dilakukan penggabungan. Hasil penggabungan pengaruh langsung antar faktor berupa grafik diagram pengaruh dan ketergantungan. Faktor-faktor yang memiliki pengaruh dan ketergantungan yang tinggi dikategorikan sebagai faktor kunci. Faktor kunci adalah faktor yang berada di variabel penentu dan variabel penghubung Gambar 28. Hasil identifikasi faktor-faktor tampak bahwa faktor kunci yang berperan penting karena pengaruh dan ketergantungan antar faktor cukup tinggi pada sistem penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan untuk Kabupaten Bandung adalah : 1 kepadatan penduduk; 2 tingkat pendidikan; 3 perencanaan; 4 tingkat pendapatan masyarakat; 4 status kepemilikan lahan; 5 kebijakan pemerintah; 6 alokasi dana pembangunan Hasil penyusunan keadaan atau state dari ketujuh faktor kunci tersebut adalah faktor kapadatan penduduk dan kebijakan pemerintah memiliki dua keadaan. Sedangkan tingkat pendidikan, perencanaan, status kepemilikan lahan dan alokasi dana pembangunan memiliki tiga keadaan. Sementara itu, tingkat pendapatan masyarakat memiliki empat keadaan. Keadaan atau state dari kepadatan penduduk ada dua kondisi. Pertama, kepadatan penduduk dimasa datang relatif tetap seperti kondisi saat ini 1A. Keadaan kedua adalah kepadatan Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji - Status kepemilikan lahan Tingkat pendapatan masyarakat Perencanaan Koordinasi antar lembaga Alokasi dana pembangunan Kebijakan pemerintah Persentase jalan raya baik Kondisi tempat tinggal Tingkat pendidikan Jenis tanah Tenaga kerja pertanian Kepadatan penduduk Geologi Elevasi Slope Aspek Tingkat aksesibilitas Rata-rata curah hujan Produksi pertanian Rasio guru murid Tingkat putus SD Listrik tersedia - 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 - 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60 1.80 2.00 Ketergantungan P e ng a ruh Gambar 28 Hasil perhitungan tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh pada sistem penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan penduduk dimasa datang menjadi lebih tinggi dari sekarang, hal ini berarti jumlah penduduk semakin besar tetapi luasan lahan tetap 1B. Tingkat pendidikan memiliki tiga keadaan. Keadaan pertama tingkat pendidikan menjadi semakin buruk, dalam arti terdapat peningkatan jumlah penduduk tidak terdidik, peningkatan jumlah tuna aksara 2A. Hal ini dimungkinkan terjadi bila biaya pendidikan semakin mahal dan tidak terjangkau oleh masyarakat. Keadaan kedua, tingkat pendidikan masyarakat relatif tetap seperti kondisi saat ini 2B. Keadaan ketiga, tingkat pendidikan masyarakat menjadi semakin baik, dalam arti terdapat peningkatan jumlah penduduk terdidik dan masa sekolah masyarakat semakin lama 2C. Hal ini dimungkinkan bila kebijakan wajib belajar sembilan tahun benar-benar terlaksana dan biaya pendidikan tinggi semakin terjangkau oleh masyarakat. Keadaan atau state perencanaan memiliki tiga keadaan kondisi perencanaan semakin kurang aplikatif dan kondusif, dalam arti peraturan sebagai acuan yang ada tidak berdasarkan pada aturan kebijakan yang lebih tinggi 3A. Keadaan kedua, kondisi perencanaan stabil, dalam arti peraturan sebagai acuan tidak tegas berdasarkan pada aturan yang lebih tinggi tetapi tidak terdapat sangsi terhadap pelanggaran dari perencanaan yang telah ditetapkan 3B. Keadaan ketiga, kondisi perencanaan semakin kondusif dan aplikatif, terdapat aturan yang jelas yang mengacu pada aturan yang lebih tinggi dan ada sangsi terhadap pelanggaran 3C. Keadaan atau state tingkat pendapatan masyarakat memiliki empat keadaan. Keadaan pertama, tingkat pendapatan masyarakat menjadi semakin kecil 4A. Keadaan kedua, tingkat pendapatan masyarakat relatif tetap 4B. Keadaan ketiga, tingkat pendapatan masyarakat semakin besar tetapi nilainya tetap 4C. Keadaan keempat, tingkat pendapatan masyarakat dalam arti nilai yang semakin besar 4D. Status kepemilikan lahan memiliki tiga keadaan. Keadaan pertama, status kepemilikan lahan perseorangan semakin tinggi, dalam arti persentase status kepemilikan lahan makin lebih banyak dimiliki oleh perseorangan pribadi atau institusi daripada milik negara 5A. Keadaan kedua, status kepemilikan lahan perseorangan relatif tetap 5B. Keadaan ketiga, status kepemilikan lahan perseorangan semakin rendah, dalam arti persentase kepemilikan lahan makin banyak dimiliki oleh negara 5C. Terdapat dua keadaan dari kebijakan pemerintah. Kedaan pertama adalah kebijakan pemerintah relatif tetap 6A. Keadaan kedua, kebijakan pemerintah semakin baik dalam arti semakin kondusif dan aplikatif serta transparan 6B. Alokasi dana pembangunan memiliki tiga keadaan. Keadaan pertama adalah alokasi dana pembangunan semakin kecil 7A. Keadaan kedua, alokasi dana pembangunan relatif tetap 7B. Keadaan ketiga, alokasi dana pembangunan semakin besar 7C. Secara ringkas ketujuh faktor kunci dan keadaannya ditampilkan pada Tabel 24. Tabel 24 Keadaan faktor kunci pada penyusunan strategi penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan Faktor Keadaan 1 A 1 B Kepadatan penduduk Tetap Makin tinggi makin padat 2 A 2 B 2 C Tingkat pendidikan Makin buruk Tetap Makin baik 3 A 3 B 3C Perencanaan Makin kurang aplikatif Stabil Makin aplikatif dan kondusif 4 A 4 B 4C 4D Tingkat pendapatan masyarakat Makin kecil Tetap Makin besar jumlahnya tetapi nilai tetap Jumlah dan nilai makin besar 5 A 5 B 5 C Status kepemilikan lahan Persentase kepemilikan perseorangan makin kecil Persentase kepemilikan perseorangan tetap Persentase kepemilikan perseorangan makin besar 6 A 6 B Kebijakan pemerintah tetap Makin kondusif dan transparan 7A 7B 7C Alokasi dana pembangunan Makin kecil tetap Makin besar nilainya Tabel 25 Skenario penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan di Kabupaten Bandung No Skenario Urutan Faktor 1 Sangat optimis sangat berkelanjutan 1A-2C-3C-4D-5A-6B-7C 2 Optimis berkelanjutan 1A-2C-3C-4D-5B-6B-7C 3 Agak optimis untuk berkelanjutan dengan usaha yang keras 1B-2C-3C-4C-5B-6B-7C 4 Kondisi tetap seperti saat ini 1B-2B-3B-4B-5B-6A-7B 5 Kondisi semakin buruk semakin tidak berkelanjutan 1B-2A-3A-4A-5C-6A-7A Tabel 26 Hasil penelitian skenario untuk penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan di Kabupaten Bandung Skenario Jumlah Persen Sangat optimis sangat berkelanjutan 17 13,1 Optimis berkelanjutan 18 13,8 Agak optimis untuk berkelanjutan dengan usaha yang keras 38 29,3 Kondisi tetap seperti saat ini 29 22,3 Kondisi semakin buruk semakin tidak berkelanjutan 28 21,5 Total 130 100.0 Skenario terbanyak terpilih adalah agak optimis untuk berkelanjutan 29,3. Skenario ini mempunyai keadaan sebagai berikut: kepadatan penduduk semakin tinggi, tingkat pendidikan makin baik; perencanaan wilayah yang makin aplikatif dan kondusif; tingkat pendapatan masyarakat makin besar dalam jumlah tetapi nilai tetap; persentase kepemilikan lahan perseorangan tetap; kebijakan pemerintah makin kondusif dan transparan; alokasi dana untuk pembangunan makin besar. 5.3.2. Implikasi skenario dan rekomendasi pada penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan di Kabupaten Bandung Hasil lokakarya analisis prospektif adalah ditemukannya tujuh faktor kunci yang paling berpangaruh pada penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan. Ketujuh faktor kunci tersebut adalah kepadatan penduduk, tingkat pendidikan, perencanaan wilayah, tingkat pendapatan masyarakat, persentasi kepemilikan lahan, kebijakan pemerintah dan alokasi dana pembangunan. Aspek penduduk dengan perubahan penggunaan lahan menjadi penelitian di Pulau Jawa Verburg, Veldkamp Bouma 1999. Akibat tekanan penduduk ini diperkirakan akan mengakibatkan penuruan areal persawahan di pantai utara. Kepadatan penduduk menjadi faktor kunci, hal ini dibuktikan pula dalam pemodelan perubahan penggunaan lahan. Hasil pemodelan memberikan peluang yang meningkat untuk terdapatnya kawasan terbangun bila kepadatan penduduk meningkat. Tingkat kependidikan menjadi faktor kunci berikutnya pada analisis prospektif. Hal ini dibuktikan pada hasil regresi logistik. Peluang terdapatnya hutan dan kawasan terbangun meningkat dengan meningkatnya tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan menjadi salah satu faktor pula dalam tingkat keberlanjutan Omar 2003, Prescott-Allen 2001. Pada Lampiran 14 ditunjukkan bahwa tingkat pendidikan di Kabupaten Bandung, yaitu rasio guru dan murid cukup baik. Perencanaan wilayah yang makin aplikatif dan kondusif menjadi faktor kunci. Faktor ini ditetapkan berdasarkan hasil lokakarya analisis prospektif. Saat ini perencanaan lebih menitik beratkan pada bagaimana membuat rencana. Hanya sedikit perhatian diberikan pada kontrol terhadap perencanaan yang telah ditetapkan. Selain itu, perencanaan yang tepat adalah suatu rencana guna lahan yang dapat mengantisipasi perubahan yang sangat cepat Akbar 2001. Tingkat pendapatan masyarakat sebagai faktor kunci berkaitan dengan keadaan bahwa tingkat pendapatan berhubungan erat dengan tingkat konsumsi dan pada gilirannya akan mempengaruhi kondisi sumberdaya alam. Tingkat pendapatan dapat berpenganruh positif dan negatif terhadap penataan ruang. Semakin tinggi tingkat pendapatan akan meningkatkan tingkat atau standar kehidupan yang membutuhkan sumberdaya dan energi serta lahan Hall 2006. Persentase kepemilikan lahan antara kepemilikan pribadi atau swasta dengan negara merupakan faktor kunci yang ditetapkan berdasarkan analisis prospektif. Kepemilikan lahan pribadi atau swasta memberikan peluang yang lebih tinggi untuk terjadinya konversi penggunaan lahan. Kepemilikan lahan harus didefiniskan dengan jelas yang meliputi batasan, jumlah dan kualitas sumberdaya bersama publik, dan semi publik. Pendefinisian penting untuk pengendalian pemanfaatan dan mencegah akses berlebihan tetapi juga untuk kepentingan kepastian hukum bagi sumberdaya Nugroho dan Dahuri 2004. Kebijakan pemerintah makin kondusif berkaitan dengan kepemilikan lahan dan perencanaan tata ruang merupakan faktor kunci. Saat ini terdapat adanya kontradiksi antara peraturan perundang-undangan tata ruang yaitu antara Undang- undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria dan Undang-undang Nomor 24 tentang Penataan Ruang dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Alokasi dana pembangunan merupakan faktor kunci hasil analisis prospektif. Jumlah dana dialokasikan untuk pembangunan mempengaruhi pembangunan, yang berakibat pada penataan ruang. Alokasi dana pembangunan merupakan salah satu faktor penyebab perubahan penggunaan lahan Lambin et al. 2003. Dari ketujuh faktor kunci tersebut, faktor yang tinggi pengaruhnya dan tetapi ketergantungannya relatif rendah adalah kepadatan penduduk dan tingkat pendidikan. Keadaan kepadatan penduduk ada dua keadaan yaitu tetap dan makin tinggi atau makin padat. Keadaan tetap relatif lebih sulit untuk dicapai, jadi keadaan kepadatan yang makin tinggi akan terjadi. Sementara tingkat pendidikan terdapat tiga keadaan yaitu makin buruk, tetap dan makin baik. Jadi, tingkat pendidikan dapat dianggap faktor kunci yang paling penting. Hal ini sejalan pula dalam pemodelan perubahan penggunaan lahan yang mempengaruhi peluang untuk terdapatnya jenis penggunaan lahan hutan, jenis penggunaan lahan lainnya dan kawasan terbangun. Selain itu, pada penilaian tingkat keberlanjutan tingkat pendidikanpun memberikan kontribusi yang tinggi pada level keberlanjutan pembangunan wilayah. Bila skenario agak optimis ini terjadi pada 20 tahun mendatang dengan keadaan kepadatan penduduk makin tinggi, tingkat pendidikan makin baik, perencanaan wilayah makin aplikatif, tingkat pendapatan masyarakat makin besar, persentase kepemilikan lahan perseorangan tetap, kebijakan makin kondusif, alokasi dana pembangunan makin besar; maka faktor yang harus didorong adalah tingkat pendidikan. Faktor tingkat pendidikan dalam grafik hasil analisis prospektif Gambar 28 berada pada tingkat ketergantungan dibawah satu, tetapi tingkat penaruhnya cukup tinggi yaitu diatas satu. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan perlu didorong. Dorongan terhadap faktor tingkat pendidikan akan mempengaruhi faktor lainnya. Secara umum tingkat pendidikan di Indonesia relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Hal ini dapat ditunjukkan oleh hasil penelitian UNESCO-UISOECD 2005 yang melakukan analisis tren tingkat pendidikan beberapa negara termasuk Indonesia. Negara yang diamati adalah Argentina, Brazil, Chile, China, Mesir, India, Indonesia, Jamaika, Jordania, Malaysia, Paraguay, Peru, Philippines, Federasi Rusia, Srilanka, Thailand, Tunisia, Uruguay dan Zimbabwe. Negara-negara ini dikelompokkan dalam negara WEI World Education Indicator. Indikator tingkat pendidikan yang digunakan dalam WEI adalah harapan bersekolah, tingkat kelulusan dari SLTA, rasio murid dan guru SLTA, biaya per murid di SLTA, persentase murid pada SLTA swasta. Angka harapan bersekolah di Indonesia adalah 11.9 tahun, dan merupakan angka terendah bila dibandingkan dengan negara WEI lainnya, dengan rata-rata adalah 13.5 tahun untuk negara dengan PDB rendah dan 17.3 tahun untuk PDB tinggi. Tingkat kelulusan SLTA adalah 41 sementara negara dengan PDB rendah adalah 57.7 dan negara dengan PDB tinggi adalah 78. Biaya untuk pendidikan tingka SLTA adalah PPP 379 merupakan sepertiga dari negara WEI lain dengan PDB rendah. Sementara itu sesuai dengan tujuan pembangunan milenium atau Millenium Development Goals MDG yang terdiri dari delapan tujuan, yaitu 1 pengentasan kemiskinan dan kelaparan, 2 pencapaian pendidikan dasar, 3 peningkatan persamaan jender dan pemberdayaan perempuan, 4 pengurangan kematian anak, 5 perbaikan kesehatan ibu, 6 perlawanan terhadap HIVAIDS, malaria dan penyakit lain, 7 penjaminan keberlanjutan lingkungan dan 8 pengembangan kerjasama global untuk pembangunan United Nation 2006. MDG ini berasal dari deklarasi milenium PBB United Nation Millenium Declaration pada tahun 200 yang diadopsi oleh 189 negara. Target yang ditetapkan sebagain besar ingin dicapai pada tahun 2015 berdasarkan situasi global tahun 1990an. Indonesia sendiri telah menyusun MDG Bappenas 2005, pada tujuan kedua, yaitu pencapaian pendidikan dasar, sejak 1994, target telah ditingkatkan untuk mencapai jenjang pendidikan dasar sembilan tahun, yang mencakup sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah SDMI, sekolah menengah pertama dan madrasah tsanawiyah SMPMTs dan bentuk lain yang sederajat. Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun ditargetkan dapat mencapai angka partisipasi kasar APK jenjang SMPMTs sebesar 90 persen paling lambat pada tahun 2008. Di Kabupaten sendiri komponen pendidikan pada Indeks Pembangunan Manusia, yang diwakili oleh angka melek huruf dengan nilai 97.5 dan rata-rata lama sekolah 7.7 tahun Bapeda BPS Kabupaten Bandung 2003. Dari angka tersebut tampak bahwa kebijakan penetapan wajib belajar untuk pendidikan dasar sembilan tahun belum tercapai. Berdasarkan keadaan tingkat pendidikan di Indonesia tersebut diatas, tingkat pendidikan perlu didorong untuk lebih baik sesuai dengan target tujuan MDG Indonesia. Tujuan ini dapat dicapai dengan langkah-langkah kebijakan meliputi: meningkatkan akses dan perluasan kesempatan belajar, meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan, meningkatkan anggaran pendidikan untuk dapat mencapai 20 persen dari APBN, mendorong pelaksanaan otonomi pengelolaan pendidikan, memperkuat manajemen pelayanan pendidikan dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan Bappenas 2006. Lima penyebab dari perubahan penggunaan diungkapkan oleh Lambin et al. 2003 yaitu kelangkaan sumberdaya; aspek ekonomi akibat pasar; adanya intervensi kebijakan; meningkatnya kerentanan karena berkurangnya kemampuan beradaptasi; perubahan organisasi sosial dan perilaku. Bila kelima alasan ini dihubungkan dengan implikasi dari skenario agak optimis maka dua penyebab perubahan penggunaan lahan yaitu intervensi kebijakan dan perubahan organisasi sosial dan perilaku, akan memperoleh dampak positif dari skenario ini. Implikasi dari skenario optimis berdampak positif terhadap pembangunan berkelanjutan. Seperti diungkapkan oleh Munasinghe 1993 pembangunan berkelanjutan mempunyai tujuan ekonomi yaitu adanya efisiensi dan pertumbuhan, tujuan ekologis dalam pengelolaan sumberdaya alam dan tujuan sosial yaitu adanya pemerataan sosial dan pengentasan kemiskinan. Dengan keadaan peningkatan alokasi dana pembangunan, diharapkan adanya pertumbuhan ekonomi, selanjutnya meningkatkan pendapatan masyarakat. Pada aspek ekologi, skenario agak optimis berdampak positf dengan adanya perencanaan dan kebijakan yang transparan yang karena terjadinya peningkatan pendidikan. 5.3.3. Model Perubahan Penggunaan Lahan untuk Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah Berkelanjutan Sesuai dengan Gambar 1 Kerangka Pikir pada Bab I, model perubahan penggunaan lahan untuk penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan ini mengandung tiga komponen utama yaitu model perubahan penggunaan lahan, komponen pembangunan wilayah berkelanjutan, komponen penataan ruang. Hasil ketiga komponen ini merupakan umpan balik untuk Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah atau akan disusun. Klasifikasi dari jenis- jenis model adalah model fisik model skala, model diagramatik model konseptual dan model matematik Eriyatno 1999. Model perubahan penggunaan lahan CLUE-S merupakan input dalam penataan ruang. Model dengan CLUE-S dapat memprediksikan perubahan penggunaan lahan sampai 20 tahun mendatang. Hasil prediksi berupa peta penggunaan lahan yang diperoleh dengan menetapkan skenario perubahan penggunaan lahan. Skenario yang terpilih adalah skenario keenam yaitu laju perubahan penggunaan lahan sebesar setengah dari laju perubahan eksisting dan ada larangan konversi di kawasan cagar alam dan kawasan lindung. Sebagaimana dijelaskan oleh Forrester 1995 yang menganalisis dinamika perkotaan atau wilayah, meskipun termasuk sistem dinamis masalah penataan ruang termasuk sistem sosial. Model perubahan penggunaan lahan untuk penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan, menetapkan laju perubahan penggunaan lahan perlu diturunkan. Penurunan laju perubahan penggunaan lahan dapat diatur oleh regulasi. Faktor kunci dan penurunan laju perubahan penggunanaan lahan saling berpengaruh. Faktor perencanaan untuk menetapkan penurunan laju perubahan penggunaan lahan, bila ditetapkan dengan regulasi, dapat mencapai tujuan penataan ruang yang berkelanjutan. Tingkat keberlanjutan sustainability, dapat diperoleh oleh ekosistem dengan spatial policy model perubahan penggunaan lahan dengan melarang konversi lahan pada wilayah tertentu. Pembangunan wilayah berkelanjutan mengandung aspek sosial ekonomi dan biogeofisik wilayah, atau menurut Munasinghe 1993 mengandung aspek sosial, ekonomi dan ekologi. Sementara menurut konsep dalam analisis keberlanjutan dengan Wellbeing Index WI terdapat dua kelompok saja yaitu manusia dan ekosistem Prescott-Allen 2001. Aspek manusia dalam konsep WI mengandung lima unsur yaitu kesehatan dan kependudukan; kemakmuran, pengetahuan dan kebudayaan, masyarakat, persamaan. Aspek ekosistem mengandung lima unsur yaitu lahan, air, udara, spesies dan diversias genetik, dan penggunaan sumberdaya. WI cukup memberikan informasi keberlanjutan pembangunan wilayah. Indikator dari keberlanjutan meliputi buruk 0-20, miskin 20-40, sedang 40-60, memadai 60-80, baik 80-100. Sementara kondisi keberlanjutan meliputi buruk tidak berkelanjutan, miskin hampir tidak berkelanjutan, sedang, hampir berkelanjutan dan berkelanjutan. Pada penataan ruang dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, informasi WI pada wilayah yang dikaji cukup memadai. Informasi nilai WI digunakan untuk menetapkan skenario dan strategi. Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang mencakup perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang, yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya. Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya yang didasarkan atas rencana tata ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang UU No. 24 Tahun 1992. Hasil dari model perubahan penggunaan lahan dengan CLUE-S adalah peta penggunaan lahan masa mendatang berdasarkan skenario. Skenario yang sesuai dipilih untuk penyusunan perencanaan tata ruang. Skenario perubahan penggunaan lahan ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak disesuaikan. Aspek perencanaan merupakan salah satu faktor kunci hasil temuan analisis prospektif. Perencanaan yang disusun selain berdasarkan pada kebutuhan penduduk di masa datang antroposentris perlu didampingi oleh keterbatasan wilayah tersebut. Jadi hasil pemodelan perubahan penggunaan lahan dapat digunakan sebagai batas atau dari wilayah yang tidak dapat dikembangkan lagi. Aspek pemanfaatan ruang berdasar pada RTRW yang telah disusun dan pembiayaan yang diperlukan. Aspek pembiayaan merupakan salah satu faktor kunci yang diperoleh yaitu alokasi dana pembangunan. Berdasarkan skenario terpilih maka alokasi dana pembangunan diperkirakan akan meningkat. Karena itu, pembiayaan untuk pemanfaatan ruang diperkirakan meningkat. Bila pemanfaatan ruang telah merujuk pada perencanaan yang baik, maka tahap berikutnya adalah pengendalian pemanfaatan ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan sejalan dengan kegiatan pembangunan. Aspek pengendalian menjadi sangat penting dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan. Pengendalian ini dilakukan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban. Aspek pengawasan dan penertiban berdasar pada regulasi yang ada. Tahapan proses penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW Kabupaten meliputi persiapan penyusunan; peninjauan kembali RTRW Kabupaten sebelumnya; pengumpulan data dan informasi; analisis; konsepsi atau perumusan konsep rencana; legalisasi rencana menjadi Peraturan Daerah. Pada tahap analisis, yang dilakukan meliputi analisis terhadap kondisi sekarang dan kecenderungan di masa depan dengan menggunakan data dan informasi yang dikumpulkan dalam proses pengumpulan data dan informasi. Dokumen RTRW berisi rencana yang berdasarkan pada sektor, program, sasaran, lokasi, instansi, sumber pembiayaan dan dimensi waktu Kimpraswil 2002. Berdasarkan hal tersebut, model perubahan penggunaan lahan dengan menggunakan CLUE-S merupakan informasi yang penting karena dapat menduga keadaan penggunaan lahan pada masa datang. Informasi penggunaan lahan masa depan bila dilengkapi dengan informasi sektor prioritas unggulan, sumberdaya manusia, sumberdaya buatan, dan kelembagaan dapat membantu RTRW yang disusun lebih lengkap dan sesuai dengan kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan. Menurut McKeown 2002, negara dengan tingkat pendidikan penduduknya yang tinggi cenderung konsumsi per kapitanya tinggi. Contohnya, Amerika Serikat dengan 25 penduduknya adalah lulusan perguruan tinggi, negara tersebut merupakan pengguna sumberdaya alam tertinggi. Jadi makin tinggi pendidikan rata-rata penduduk suatu negara tidak menjamin dapat mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Karena itu, setiap negara harus memeriksa ulang kurikulum pada setiap level pendidikan. Pendidikan secara langsung berpengaruh terhadap keberlanjutan dalam tiga bidang yaitu implementasi, pengambilan keputusan dan kualitas kehidupan. Pada bidang implementasi: tingkat keberlanjutan suatu negara meningkat atau menurun dipengaruhui oleh tingkat pendidikan. Negara dengan tingkat buta huruf tinggi dan tenaga kerja tidak punya keahlian memiliki sedikit pilihan untuk membangun. Pembangunan akan bergantung pada pengambilan sumberdaya alam, dan terpaksa membeli energi dan hasil manufaktur dari negara lain. Hal ini akan memacu eksploitasi sumberdaya alam. Pada bidang pengambilan keputusan, contohnya adalah masyarakat dengan pendidikan tinggi dapat mencari informasi sendiri dan memberikan masukan pada pengambil keputusan. Sedangkan pada kualitas kehidupan, pendidikan dapat meningkatkan status keluarga, memperbaiki kondisi kehidupan, memperbaiki tingkat pendidikan generasi selanjutnya. Karenanya memperbaiki pendidikan dapat berimplikasi pada individu dan nasional. Faktor tingkat pendidikan nyata akan berpengaruh dalam kegiatan penataan ruang yang sesuai dengan pembangunan berkelanjutan. Dengan didorongnya aspek pendidikan, maka kemampuan masyarakat untuk mengetahui informasi dampak perubahan penggunaan lahan akan lebih merata. RTRW yang disusun sebelum disahkan diumumkan kepada masyarakat untuk mendapat masukan dari masyarakat. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang. Bila skenario agak optimis terjadi maka akan berdampak positif terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat yang akan makin baik, kondisi ini dapat menekan tingkat “lapar lahan” sehingga alih fungsi lahan dapat ditekan. Meskipun kepadatan penduduk semakin tinggi, tetapi pertambahan penduduk yang diiringi dengan peningkatan kualitas penduduk dalam pendidikan dan pendapatan akan dapat mengendalikan eksploitasi lahan. Jadi faktor yang penting untuk didorong adalah tingkat pendidikan untuk diperbaiki dalam kualitas dan pengelolaannya. Faktor ini akan mempengaruhi keenam faktor kunci lainnya, sehingga akan mencapai penataan ruang yang sesuai dengan pembangunan wilayah berkelanjutan.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Regulasi tata ruang yang ada masih bersifat dualisme antara kepentingan pertanahan dan kepentingan tata ruang. Perbedaan kepentingan dapat menimbulkan konflik, karena itu regulasi yang sedang direvisi, dan lembaga yang terkait perlu pemaduserasian agar tujuan penataan ruang dalam pembangunan wilayah yang berkelanjutan dapat tercapai. 2. Model perubahan penggunaan lahan dengan Conversion of Land Use and its Effect at small regional extent atau CLUE-S dapat digunakan untuk penataan ruang. Dalam pemodelan untuk simulasi penggunaan lahan di masa datang digunakan skenario-skenario. Skenario yang ditetapkan berdasarkan pada keadaan penggunaan lahan sebelumnya, dan perkiraan perubahan penggunaan lahan masa datang yang rasional. Pada simulasi perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Bandung dengan menggunakan skenario laju perubahan penggunaan lahan sebesar setengah dari laju perubahan eksisting dan adanya larangan konversi di kawasan cagar alam dan kawasan lindung merupakan skenario terbaik. Bila laju perubahan penggunaan lahan berdasarkan pada laju eksisting, maka pada tahun ke 10 simulasi, kawasan persawahan di bagian timur dari Kota Bandung akan tergeser seluruhnya menjadi kawasan terbangun perkotaan. 3. Tingkat keberlanjutan suatu wilayah dapat dianalisis dengan berbagai metode. Metode yang paling sesuai dalam penelitian penataan ruang adalah dengan perhitungan WI. Hasil perhitungan dengan menggunakan WI di Kabupaten Bandung adalah 55 untuk indeks kesejahteraan manusia dan 69 untuk indeks kesejahteraan ekosistem. Secara bersama-sama indeks ini memposisikan wilayah Bandung pada level medium atau sedang dalam tingkat keberlanjutan. Sedangkan, tingkat keberlanjutan manusia di wilayah Kabupaten Bandung pada level hampir tidak berkelanjutan dan tingkat keberlanjutan ekosistem berada pada level hampir berkelanjutan. 4. Ada tujuh faktor kunci yang berperan dalam penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan yaitu kepadatan penduduk, tingkat pendidikan, perencanaan, tingkat pendapatan masyarakat, status kepemilikan lahan, kebijakan pemerintah dan alokasi dana pembangunan. Berdasarkan faktor kunci tersebut diperoleh skenario agak optimis untuk berkelanjutan dari penataan ruang. a. Faktor kunci yang perlu didorong agar skenario yang terjadi pada 20 mendatang optimal adalah faktor tingkat pendidikan. Faktor tingkat pendidikan dapat mempengaruhi faktor kunci lainnya dalam mencapai penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan. b. Rekomendasi untuk pencapaian skenario agak optimis tersebut adalah dengan strategi perbaikan pengelolaan pendidikan di setiap level. Sesuai dengan target MDG Indonesia yang ingin dicapai yaitu dengan meningkatkan akses dan perluasan kesempatan belajar, meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan, meningkatkan anggaran pendidikan untuk dapat mencapai 20 persen dari APBN, mendorong pelaksanaan otonomi pengelolaan pendidikan, memperkuat manajemen pelayanan pendidikan dan meningkatkan peran serta masyarakat dan pihak swasta dalam pembangunan pendidikan serta melaksanakan community development dan corporate social responsibility CSR dalam aspek pembangunan berkelanjutan. c. Model perubahan penggunaan lahan dan informasi tingkat berkelanjutan wilayah dapat merupakan pelengkap dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW sebagai produk dari perencanaan wilayah. Perencanaan wilayah tersebut merupakan bagian dari penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah berkelanjutan.