Ecological Footprint EF Metode-metode Analisis Keberlanjutan

yaitu : konsumsi = produksi + impor – ekspor. Tahap kedua adalah dengan menduga area lahan layak per kapita aa untuk produksi setiap konsumsi utama item ‘i’, dengan cara membagi rata-rata konsumsi tahunan item c tersebut [c dalam kgkapita] dengan produktivitas tahunan rata-rata p, [p dalam kgha], yaitu : aa i = c i p i . Tahap ketiga adalah menghitung total ecological footprint dari rata-rata orang footprint percapita atau “ef” dengan menjumlahkan seluruh area ekosistem yang memadai aa i dari seluruh item yang telah dibeli selama setahun konsumsi barang dan jasa, yaitu : ef = Σ aa i . Akhirnya diperoleh EF dari populasi Efp dengan mengkalikan rata-rata footprint per kapita dengan ukuran populasi N, yaitu: Efp = N ef. Hasil penghitungan ecological footprint untuk dunia dan Indonesia pada tahun 2001 adalah seperti pada tabel 6 berikut ini Wackernagel, Monfreda dan Moran 2004. Tabel 6 Ecological Footprint Dunia dan Indonesia tahun 2001 Wackernagel, Monfreda dan Moran 2004 Negara Population Total Ecological Footprint Total food fiber Footprint Total energy Footprint Built-up land Biocapacity Ecological Deficit millions global haperson global haperson global haperson global haperson global haperson global haperson Dunia 6,148.1

2.2 0.9 1.2

0.07 1.8 0.4

Indonesia 214.4

1.2 0.7 0.4

0.05 1.0 0.2

EF dunia adalah 2,2 global hektar per orang. Satu global hektar artinya satu hektar produktivitas biologis sama dengan rata-rata secara global. Secara global terdapat defisit sumberdaya alam sebesar 0,4 global hektar per orang. Hal ini merupakan selisih dari total ecological footprint sejumlah 2,2 global ha orang dengan biocapacity yang hanya 1,8 global ha orang. Nilai EF Indonesia masih jauh dibawah dunia, yaitu 1,2 global ha orang tetapi biocapacitynyapun masih dibawah nilai dunia yaitu hanya 1,0 global ha orang. Hal ini menggambarkan bahwa Indonesia meskipun menggunakan atau mengeksploitasi sumberdaya alam lebih rendah daripada negara-negara lain, tetapi suplai bioproduktif atau cadangan sumberdaya pun relatif lebih sedikit. Hal ini disebabkan oleh penggunaan sumberdaya alam relatif lebih rendah dibandingkan negara lain sehingga jumlah cadangan sumberdaya alam masih relatif lebih banyak. Tetapi hal ini dapat berubah bila penggunaan sumberdaya alam dilakukan secara tidak seksama.

2.5.2.3. Environmental Sustainability Index ESI

Environmental Sustainability Index ESI menekankan pada aspek lebih luas, berorientasi kebijakan dan jangka waktu lebih pendek. ESI menyediakan alat dari anugerah sumberdaya alam milik masyarakat dan sejarah lingkungan, aliran dan cadangan polusi, laju ekstrasi sumberdaya sebagimana mekanisme kelembagaan dan kemampuan untuk merubah polusi masa datang dan perjalanan penggunaan sumberdaya Yale Center for Environmental Law Policy 2005. ESI mengukur dampak dan respons serta kerentanan manusia terhadap perubahan lingkungan. ESI ini mempunyai lima komponen inti yaitu environmental system sistem lingkungan, reducing environmental stress mengurangi tekanan lingkungan, reducing human vulnerability mengurangi kerentanan manusia, social and institutional capacity kapasitas sosial dan kelembagaan dan global stewardship penanganan global. Suatu negara secara lingkungan berkelanjutan bila sistem lingkungan vital terjaga pada level yang sehat; tekanan antropogenik cukup rendah; masyarakat dan sistem sosial tidak rentan terhadap gangguan lingkungan; lembaga dan pola sosial serta jaringan di negara tersebut mempunyai respon yang efektif terhadap tantangan lingkungan; negara tersebut bekerja sama dengan negara lain untuk mengelola masalah lingkungan. Hasil analisis keberlanjutan berdasarkan ESI 2005 memberikan gambaran bahwa Indonesia mempunyai indeks 48,8 dengan peringkat 75. Hal ini memberikan gambaran bahwa ketertinggalan Indonesia dalam memperhatikan keberlanjutan lingkungan. ESI atau indeks keberlanjutan lingkungan memberikan gambaran suatu negara dalam lima aspek yaitu sistem lingkungan, pengurangan tekanan lingkungan, pengurangan kerentanan manusia, kapasitas sosial dan kelembagaan, serta kerjasama global. Aspek dengan nilai lebih tinggi untuk