Penataan Ruang dan Regulasi Tata Ruang

Soefaat 2003 mengungkapkan lembaga penataan ruang yang pertama di Indonesia adalah Balai Tata Ruangan dan Pembangunan BTRP yang didirikan pada tahun 1947. Lembaga penataan ruang kemudian berubah menjadi Jawatan Tata Kota dan Daerah 1960an, kemudian menjadi Jawatan Tata Ruang Kota dan Daerah kemudian mejadi Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah. Kemudian tahun 1994 menjadi Direktorat Bina Tata Perkotaan dan Perdesaan BTPP. Pada tahun 2003 menjadi Direktur Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum. Secara umum, terdapat tiga undang-undang yang menjadi payung dalam mengatur tata-ruang di Indonesia yaitu Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria UUPA, Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Banyak pihak yang berpendapat bahwa undang-undang pokok-pokok agraria ini sudah saatnya direvisi. Salah satu yang telah melakukan kajian adalah Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional BKTRN yang telah melakukan diskusi pertanahan nasional dalam rangka pembahasan RUU Pertanahan Nasional. Undang-undang pokok-pokok agraria ini memberikan kewenangan yang besar kepada negara pemerintah yang dapat disalahgunakan; adanya hak ulayat tidak mendapat kepastian hukum, hak atas tanah amat dibatasi pada hak hak perseorangan. Perusahaan dan kelompok masyarakat tidak berhak memiliki tanah. Demikian pula dengan adanya paradigma baru pada pemerintahan Indonesia, yaitu pengalihan kewenangan kepada daerah dengan UU No 32 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka dibutuhkan perubahan peraturan, kebijakan dan administrasi pertanahan, termasuk penyelarasan UUPA. Hal yang sama terjadi pada UU No 241992 tentang Penataan Ruang yang kurang relevan dengan kondisi pemerintahan Indonesia saat ini dengan adanya UU No 322004 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan kewenangan terhadap daerah Renyansih Budisantoso 2003. Menurut Haeruman 2004 pendekatan konvensional penataan ruang yang dianut selama ini cenderung memandang masyarakat sebagai objek pembangunanperencanaan dibanding sebagai subjek pembangunanperencanaan, padahal kegiatan penataan ruang tersebut sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Rencana tata ruang merupakan dokumen pelaksanaan pembangunan yang harus dipatuhi oleh semua pihak termasuk masyarakat setempat. Dengan terbitnya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 yang telah dicabut dan digantikan dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah maka materi kebijakan penataan ruang wilayah kabupatenkota meliputi: 1 Kerangka sistem perencanaan; 2 Prinsip, tujuan, kebijakan strategis; 3 Panduan penataan ruang kabupatenkota; 4 Institusi, program dan prosedur untuk menyiapkan dan melaksanakan rencana tata ruang dan kebijakan penataan ruang; 5 Peraturan, ketentuan dan standar pengelolaan SDA; 6 Strategi sektoral penataan ruang seperti kawasan lindung, hutan, pertambangan; 7 Indikator untuk mengukur tingkat ketercapaian tujuan penataan ruang. 2.4. Penggunaan Lahan dan Pemodelan Perubahannya 2.4.1. Penggunaan Lahan Istilah penggunaan lahan atau land use sering diikuti dengan istilah land cover atau tutupan lahan. Terdapat perbedaan yang prinsip dalam kedua peristilahan tersebut. Land cover atau tutupan lahan merupakan keadaan biofisik dari permukaan bumi dan lapisan di bawahnya. Land cover menjelaskan keadaan fisik permukaan bumi sebagai lahan pertanian, gunung atau hutan. Land cover adalah atribut dari permukaan dan bawah permukaan lahan yang mengandung biota, tanah, topografi, air tanah dan permukaan, serta struktur manusia. Sedangkan land use adalah tujuan manusia dalam mengeksploitasi land cover Lambin et al. 2003. Land use atau penggunaan lahan menggambarkan sifat biofisik dari lahan yang menggambarkan fungsi atau tujuan dari lahan tersebut digunakan oleh manusia dan dapat dijelaskan sebagai aktivitas manusia yang secara langsung berkaitan dengan lahan, penggunaan dari sumberdaya tersebut atau memberikan dampak terhadapnya Briassoulis 2000. Penggunaan lahan disebut pula sebagai penggunaan tanah, yang menurut Sandy 1999 merupakan terminologi yang sama dengan penggunaan ruang. Demikian pula dengan tata guna tanah sama dengan tata ruang. Briassoulis 2000 menyebutkan bahwa selama 300 tahun terakhir perubahan penggunaan lahan secara global, telah secara signifikan mencemaskan, dan penyebab utamanya adalah manusia. Sejak tahun 1700 an jumlah populasi manusia selalu meningkat mencapai lima milyar pada tahun 2000 an. Terdapat penurunan luas hutan satu milyar hektar selama 300 tahun dan areal untuk pertanian bertambah satu milyar hektar lebih. Keadaan perubahan penggunaan lahan secara global hampir mirip dengan keadaan di Indonesia. Data perubahan penggunaan lahan di Indonesia ditunjukkan pada Tabel 1 berikut. Tabel 1 Penggunaan Lahan di Indonesia Tahun 1993-1997 000 Ha Tahun No Penggunaan Lahan 1993 1994 1995 1996 1997 Rata-rata perubahan per tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 1 Permukiman 5.142 5.005 5.155 5.291 5.331 47 2 Lahan kering padang rumput 13.789 13.137 13.257 13.515 13.664 -31 3 Tambak kolam 483 606 604 622 635 38 4 Lahan kosong 7.160 6.920 6.967 7.335 7.577 104 5 Perkebunan 20.778 22.552 23.390 23.934 24.149 843 6 Sawah 8.499 8.439 8.484 8.519 8.490 -2 7 Hutan lindung 29 29 29 34 29 0,003 8 Hutan suaka hutan wisata 19 19 19 19 19 -0.021 9 Hutan produksi 62 62 62 58 62 -0,032 10 Hutan produksi yang dapat dikonversi 19 19 19 8 36 4 TOTAL 55.985 56.893 57.448 51.113 59.998 1.003 Keterangan: artinya total luas lahan yang digunakan di Indonesia sampai tahun tersebut, data ini tidak termasuk Maluku dan Irian Jaya. Sumber: Statistik Indonesia 1994, 1995, 1996, 1997, 1998; Badan Pusat Statistik. [http:www.bktrn.bappenas.go.idprodukbuletinbuletin4bulletin4.shtml] Dari data tersebut dapat dilihat bahwa total lahan di Indonesia pada tahun 1996 adalah 60 juta hektar. Data ini tidak termasuk Maluku dan Propinsi Papua. Secara umum lahan yang bertambah luasnya adalah permukiman, tambak, lahan kosong, dan perkebunan. Lahan yang berkurang arealnya adalah sawah dan hutan.