menunjukkan bahwa semakin besar jumlah beras yang dikonsumsi maka perubahan jenis beras oleh rumah tangga cenderung kecil. Nilai odds ratio sebesar
0,99 menunjukkan bahwa semakin besar jumlah konsumsi beras maka peluang perubahan jenis beras rumah tangga lebih besar 0,99 kali dibandingkan peluang
untuk tidak berubah. Semakin besar jumlah konsumsi beras rumah tangga maka
semakin rendah peluang perubahan jenis beras yang dikonsumsi.
4.2.4 Frekuensi Pembelian Beras
Perubahan frekuensi pembelian beras dapat dilihat pada Tabel 15. Responden kelas bawah lebih sering melakukan pembelian beras dibandingkan
dengan kelas sosial yang lain. Hal ini disebabkan perilaku pembelian responden yang membeli beras dalam jumlah sedikit karena rendahnya daya beli yang
mereka miliki. Setelah harga beras mengalami kenaikan, frekuensi pembelian beras oleh responden kelas bawah sebanyak satu kali dalam sebulan mengalami
penurunan sebesar 15 persen sedangkan responden yang membeli beras setiap hari mengalami kenaikan sebesar 17,5 persen. Hal ini diduga disebabkan harga beras
yang terlalu tinggi sehingga responden kelas bawah tidak dapat membeli beras dalam jumlah besar dan lebih memilih untuk membeli beras secara eceran.
Peningkatan frekuensi pembelian satu kali dalam sebulan terjadi pada responden kelas menengah dan atas masing- masing sebesar 10 persen dan lima persen. Hal
ini diduga dilakukan karena responden khawatir harga beras akan semakin tinggi di masa yang akan datang. Sehingga untuk mengurangi resiko kenaikan harga
beras, responden lebih memilih membeli beras dalam jumlah besar untuk mencukupi kebutuhannya selama satu bulan.
Tabel 15. Perubahan Frekuensi Pembelian Beras per Bulan
Kelas Sosial Kelas Bawah
Kelas Menengah Kelas Atas
Total Frekuensi
Pembelian Beras
Sebelum Setelah
Sebelum Setelah
Sebelum Setelah
Sebelum Setelah
1 kali 11
5 22
26 13
14 46
45 2 kali
7 2
11 2
7 6
25 10
3 kali 1
3 3
6 4
9 4 kali
5 7
2 5
9 30 kali
16 23
4 4
20 27
Secara keseluruhan, perubahan frekuensi pembelian beras sebanyak tiga kali, empat kali dan 30 kali dalam sebulan meningkat sebesar lima persen, empat
persen dan tujuh persen, diikuti dengan berkurangnya jumlah responden yang membeli beras 1 kali dan 2 kali dalam sebulan yaitu sebesar satu persen dan 15
persen. Setelah kenaikan harga beras perubahan frekuensi pembelian beras terlihat nyata, hal ini ditunjukkan dari nilai ?-value yang diperoleh melalui uji Chi-Square
yaitu 0,032 lebih kecil dari nilai a 0,05. Dapat disimpulkan bahwa kenaikan harga beras berdampak signifikan terhadap frekuensi pembelian beras.
Perubahan yang nyata pada frekuensi pembelian beras per bulan ini diakibatkan oleh berbagai faktor yang dapat dijelaskan melalui persamaan logistik
Tabel 16. Hasil pendugaan terhadap fungsi peluang logit dengan variabel- variabel bebas menghasilkan nilai log-likelihood sebesar -55,220
dengan nilai statistik G sebesar
11,732 yang signifikan pada a = 0,019. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan model tersebut cukup baik, artinya terdapat paling
sedikit satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap perubahan frekuensi pembelian beras per bulan rumah tangga di Jakarta Timur.
Tabel 16 menunjukkan variabel- variabel yang mempengaruhi perubahan frekuensi pembelian beras yaitu harga beras, jumlah pembelian beras per
frekuensi dan dummy kelas sosial. Hasil pendugaan peluang dengan regresi logit
diperoleh variabel yang signifikan pada a 0,05 yaitu dummy kelas sosial, sedangkan harga beras dan jumlah pembelian tidak signifikan.
Tabel 16. Hasil Analisis Regresi Logit Perubahan Frekuensi Pembelian per bulan
Predictor Coef
SE Coef Z
P Odds
Ratio Constant
-6,59576 3,52004
-1,87 0,061
Pberas 0,000519
0,0004182 1,24
0,215 1,00
Jmlh Pembelian -0,02052
0,0203152 -1,01
0,312 0,98
D1 kelas bawah 3,57767
1,75302 2,04
0,041 35,79
D2 kelas menengah 3,23507
1,31532 2,46
0,014 25,41
Variabel Value Count Log-Likelihood = -55,220
Y 1 30 event G = 11,732; DF = 4;
0 70 P-Value = 0,019
Total 100
Variabel harga beras tidak signifikan pada taraf nyata α
0,05 dengan nilai koefisien positif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi harga beras
maka perubahan frekuensi pembelian beras akan meningkat. Berdasarkan nilai odds ratio harga beras sebesar 1,00 disimpulkan bahwa dengan meningkatnya
harga beras maka peluang terjadinya perubahan frekuensi pembelian beras pada rumah tangga lebih besar 1,00 kali dibandingkan peluang rumah tangga untuk
tidak berubah. Hal ini menggambarkan kenyataan dimana ketika harga beras meningkat
maka akan terjadi perubahan pada frekuensi pembelian beras oleh rumah tangga. Kondisi ini berlaku pada rumah tangga kelas bawah dan menengah, sedangkan
rumah tangga kelas atas dengan pendapatan dan daya beli yang tinggi perubahan tidak terlalu signifikan. Responden kelas menengah khawatir jika di kemudian
hari harga beras akan semakin tinggi, sehingga rumah tangga pada kelas ini mengurangi frekuensi pembelian berasnya per bulan. Pembelian beras sekali
dalam sebulan merupakan frekuensi pembelian yang paling banyak dilakukan oleh
responden kelas menengah, hal ini dilakukan untuk menghindari risiko apabila harga beras akan semakin meningkat. Berbeda dengan responden kelas menengah,
apabila terjadi kenaikan harga beras maka responden kelas bawah akan lebih sering melakukan pembelian beras. Keterbatasan sumberdaya ekonomi
menyebabkan responden kelas bawah hanya mampu membeli beras dalam jumlah sedikit setelah kenaikan harga beras.
Variabel jumlah pembelian memiliki nilai koefisien negatif, yang berarti jika jumlah pembelian beras meningkat maka perubahan frekuensi pembelian
cenderung kecil. Berdasarkan nilai odds ratio sebesar 0,98 disimpulkan bahwa jika terjadi peningkatan jumlah pembelian beras maka peluang terjadinya
perubahan frekuensi pembelian oleh rumah tangga lebih besar 0,98 kali dari peluang untuk tidak berubah. Semakin banyak beras yang dibeli maka semakin
rendah peluang responden untuk mengubah frekuensi pembelian beras. Kondisi ini menggambarkan bahwa rumah tangga yang membeli beras dalam jumlah besar
adalah rumah tangga dengan pendapatan dan daya beli yang tinggi, sehingga ketika harga beras naik maka mereka tidak mengubah pola pembelian berasnya.
Banyak sedikitnya jumlah pembelian beras yang dilakukan responden tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan frekuensi beras. Hal tersebut ditunjukkan
oleh nilai ?-value yang lebih besar dari α
0,05. Variabel yang berpengaruh nyata pada taraf nyata
α 0,05 dengan nilai
koefisien positif yaitu dummy kelas sosial D1 dan D2. Untuk variabel D1 arah hubungan yang positif dari variabel ini terhadap variabel respon memberi arti
bahwa rumah tangga dengan kelas sosial bawah cenderung untuk mengubah frekuensi pembelian beras ketika harga beras meningkat. Hubungan variabel kelas
sosial terhadap perubahan jenis beras yang dikonsumsi dijelaskan oleh nilai odds ratio yakni sebesar 35,79. Hal ini berarti peluang terjadinya perubahan frekuensi
pembelian beras pada rumah tangga kelas bawah akan meningkat 35,79 kali dibandingkan dengan rumah tangga kelas atas. Variabel D2 dengan nilai koefisien
positif menunjukkan bahwa rumah tangga kelas menengah cenderung untuk mengubah frekuensi pembelian berasnya ketika harga beras naik. Nilai odds ratio
sebesar 25,41 memberi arti bahwa peluang rumah tangga kelas menengah untuk mengubah frekuensi pembelian berasnya lebih besar 25,41 kali dibandingkan
dengan rumah tangga kelas atas. Hal ini berarti rumah tangga kelas bawah dan menengah cenderung akan mengubah frekuensi pembelian berasnya dibandingkan
dengan rumah tangga kelas atas.
4.2.5 Jumlah Pembelian Beras