Analisis dampak kenaikan harga beras terhadap pola konsumsi beras rumah tangga di Cipinang, Jakarta Timur
BERBAGAI JENIS KOMPOS PADA BEBERAPA JENIS TANAH
Oleh
ANITA SARI
A24102087
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
(2)
ANITA SARI
.
Pengikatan Bahan Organik Setelah Penambahan Berbagai Jenis Kompos pada Beberapa Jenis Tanah. Di bawah bimbingan SUDARSONO danDARMAWAN
.
Kadar bahan organik di dalam tanah secara umum tidak lebih dari 3 atau 5 persen, tetapi pengaruhnya sangat penting bagi tanah. Oleh karena itu kadar bahan organik tanah perlu dipertahankan dan ditingkatkan. Bahan organik di dalam tanah terdapat dalam tiga bentuk yaitu bebas, berikatan dengan fraksi liat, serta berikatan dengan Al dan Fe. Kemampuan tanah dalam mengikat bahan organik berbeda-beda pada setiap jenis tanah, dalam hal ini terkait dengan tipe dan kadar liat, serta kadar Al dan Fe. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan tanah dalam mengikat bahan organik, dimana kemampuan tersebut sangat bervariasi pada berbaga i jenis tanah dan untuk mengetahui hubungan antara sumber bahan organik yang berbeda dengan kemampuan tanah mengikat bahan organik tersebut.
Contoh tanah yang digunakan yaitu Andosol dari Ciapus, Latosol dari Darmaga, Latosol dari Sindang Barang, tanah Podsolik dari Jasinga, dan tanah Mediteran dari Jonggol. Contoh tanah diambil dari dua kedalaman teratas pada setiap jenis tanah. Kompos residu tanaman yang digunakan berupa hasil panen yaitu kedelai, kacang tanah dan kacang hijau. Penentuan kadar bahan organik menggunakan metode Walkley & Black.
Hasil penelitian menunjukkan setelah penambahan kompos terjadi peningkatan bahan organik yang terikat pada setiap jenis tanah. Besarnya peningkatan bahan organik yang terikat selama masa inkubasi 2 bulan bervariasi antar dan pada setiap jenis tanah. Secara umum, kadar bahan organik yang terikat pada masa inkubasi 2 bulan lebih tinggi dibandingkan masa inkubasi 1 bulan. Berdasarkan hasil penelitian, kompos kedelai memberikan peningkatan bahan organik yang terikat maksimum untuk mencapai kapasitas tanah.
(3)
ANITA SARI. Bonding of Organic Matter after Addition of Various Types of Compost into Various Types of Soil. Under supervision SUDARSONO and
DARMAWAN
In general, soil organic matter content is about 3 to 5 percent, but it’s influence is very important to soil. Therefore, soil organic matter should be maintained and increased. There are three forms of organic matter in soil, i.e. free, bond to clay, and also bond to Al dan Fe. Soil ability to bond organic matter determined by clay type and content, and also Al and Fe content. The objectives of this research were to study of various soil types bonding of organic matter and to know the relationship between different organic matter sources with the soil ability to bond the organic matter.
Soil samples that were used consisted of Andosol from Ciapus, Latosol from Darmaga, Latosol from Sindang Barang, Podsolik soil from Jasinga, and Mediteran soil from Jonggol. The samples of soil was taken from two depth of upper parts of each type of soil. Composts were made of crop residues of soybean, peanut, and green peas. The soil organic matter content was determined by Walkley & Black method.
The result of this research showed that the bonding of organic ma tter increased after the addition of compost in all types of soil. The number of the increased of bonded organic matter during 2 month incubation varied between and with in soil. Generally, bonded organic matter at 2 month incubation was higher than that of 1 month incubation. Based on the result of this research, soybean compost gave maximum bonded organic matter to reach soil capacity.
(4)
BERBAGAI JENIS KOMPOS PADA BEBERAPA JENIS TANAH
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor.
Oleh
ANITA SARI
A24102087
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
(5)
Nama : ANITA SARI NRP : A24102087
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr Ir Sudarsono, MSc. Dr Ir Darmawan, MSc.
NIP. 130 607 618 NIP. 131 879 335
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr Ir Supiandi Sabiham, M. Agr NIP. 130 422 698
(6)
Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 29 Desember 1985 dari pasangan Bapak
Sunaryo dan Ibu Zubaedah. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan SDN 011 Pagi Jakarta pada tahun 1995
hingga kelas 5, kemudian penulis pindah ke SDN 05 Pagi Jakarta dan lulus pada tahun 1996. Selanjutnya penulis melanjutkan sekolah di SLTPN 11 Jakarta hingga tahun 1999 dan selanjutnya penulis pindah ke SLTA 46 Jakarta hingga lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama, penulis diterima menjadi mahasiswa Institut
Pertanian Bogor, melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
(7)
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME atas berkat, rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini dengan baik. Skripsi dengan judul Pengikatan Bahan Organik Setelah
Penambahan Berbagai Jenis Kompos pada Beberapa Jenis Tanah, ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pertanian di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada Prof. Dr Ir
Sudarsono, MSc. dan Dr Ir Darmawan, MSc. selaku pembimbing skripsi atas bantuan, bimbingan, nasehat dan masukan- masukan yang menambah pengetahuan penulis serta Ir Anang Sutisna Yogaswara selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan kepada penulis. Pada kesempatan ini juga penulis ingin
menyampaikan rasa terima kasih kepada :
1. Kedua orang tua tersayang, kakak, dan adik atas kesabaran, kasih sayang dan dukungannya.
2. Ibu Oktori K. Zaini, SE, Ibu Yani Maryani, Pak Kasmun dan Pak Maspadin yang banyak membantu dalam analisis di laboratorium.
3. My best friends Arnie Anggraini, Suswandari, Elvina, Maria, Rosa lia, Sria tun, Megawati, Idayu, dan Emma terima kasih atas kebersamaannya dan supportnya.
(8)
5. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-per satu, yang telah ikut serta membantu demi kelancaran penelitian dan penulisan skripsi ini.
Bogor, Januari 2007
(9)
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... v
PENDAHULUAN Latar Belakang ………... 1
Tujuan ………... 2
TINJAUAN PUSTAKA Bahan Organik Tanah ………... 3
Dekomposisi Bahan Organik Tanah ... 4
Pengaruh Bahan Organik Tanah ... 7
Bentuk-bentuk Bahan Organik ………... 7
Kompos dan Faktor- faktor yang Mempengaruhi Pengomposan ... 10
Sifat Umum Beberapa Jenis Tanah... Andosol …………...………. 12
Latosol ………... 12
Tanah Podsolik ………. 13
Tanah Mediteran ……….. 14
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ………... 15
Bahan ………... 15
Metode ………... 16
HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Bahan Organik pada Berbagai Jenis Tanah Sebelum Penambahan Kompos Berdasarkan Masa Inkubasi ... 18
Kadar Bahan Organik yang Terikat pada Berbagai Jenis Tanah Setelah Penambahan Kompos Berdasarkan Masa Inkubasi ... 19
(10)
Kadar Bahan Organik yang Terikat pada Berbagai Jenis Tanah Setelah Penambahan Kompos Berdasarkan Jenis Kompos ... 30 Ratio Liat/C-organik dan Al-dd/C -organik ... 32
DAFTAR TABEL
KESIMPULAN ... 34
DAFTAR PUSTAKA ……….... 35
(11)
DI CIPINANG, JAKARTA TIMUR
Oleh :
NINA TAMA SARI
A14103129
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
(12)
ANALISIS DAMPAK KENAIKAN HARGA BERAS
TERHADAP POLA KONSUMSI BERAS RUMAH TANGGA
DI CIPINANG, JAKARTA TIMUR
Oleh :
NINA TAMA SARI
A14103129
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
(13)
RINGKASAN
NINA TAMA SARI. Analisis Dampak Kenaikan Harga Beras Terhadap Pola
Konsumsi Beras Rumah Tangga di Cipinang, Jakarta Timur. Di Bawah Bimbingan BAYU KRISNAMURTHI.
Beras merupakan komoditi pangan utama sebagian besar masyarakat Indonesia. Bagi masyarakat dengan pangan utama beras, biasanya belum merasa puas apabila belum mengkonsumsi beras (nasi) sehingga hal tersebut secara nyata akan meningkatkan permintaan terhadap beras. Tingginya tingkat konsumsi beras per kapita dan laju pertumbuhan penduduk yang naik setiap tahunnya akan menyebabkan ketergantungan beras yang cukup besar. Kebutuhan konsumsi beras di Indonesia dapat dipenuhi dengan cara memproduksi sendiri ataupun mengimpor beras dari pasar internasional.
Peningkatan produksi beras nasional yang lebih kecil dibandingkan dengan peningkatan laju pertumbuhan penduduk setiap tahunnya disebabkan oleh laju peningkatan produktivitas usaha tani padi yang semakin kecil. Sehingga ketersediaan beras nasional tidak dapat mencukupi kebutuhan konsumsinya. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya defisit untuk konsumsi beras pada tahun 2006 dan 2007 yaitu musim kemarau yang panjang sehingga menyebabkan musim tanam padi yang biasanya dimulai Oktober menjadi mundur, pada akhirnya panen raya yang diprediksi dapat menutupi kebutuhan beras tertunda. Permintaan beras yang cukup tinggi tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah sehingga terjadi kelangkaan beras di pasar. Dan pada akhirnya harga beras menjadi tinggi karena permintaan akan beras tidak dapat dipenuhi oleh persediaan beras nasional.
Mayoritas penduduk Indonesia memilih beras sebagai bahan pangan pokoknya. Sehingga ketersediaan beras perlu dijaga dengan baik karena masyarakat sangat sensitif terhadap isu mengenai beras dan hal ini terkait erat dengan harga (Lastry, 2006). Untuk rumah tangga dengan pendapatan yang tetap, kenaikan harga beras tentu saja akan berdampak negatif terhadap pola konsumsinya sehingga mempengaruhi tingkat kesejahteraan rumah tangga pada umumnya (Arifin, 1994).
Penelitian ini mengkaji perubahan pola konsumsi beras pada rumah tangga setelah kenaikan harga beras dan faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti pendapatan, pendidikan, selera, kelas sosial dan karakteristik konsumen lainnya. Konsumen rumah tangga dikelompokkan berdasarkan kelas sosial yang ada di masyarakat sebagai dasar segmentasi. Pengelompokkan ini dilakukan untuk memudahkan peneliti karena besarnya keragaman karakteristik dan sumberdaya yang terdapat dalam rumah tangga. Rumah tangga yang dikelompokkan berdasarkan kelas sosial diduga akan membentuk pola konsumsi tertentu sesuai dengan kelas sosialnya.
Perubahan pola konsumsi beras pada rumah tangga dapat dianalisis melalui variabel- variabel diantaranya frekuensi konsumsi, jumlah konsumsi, jenis beras, frekuensi dan jumlah pembelian, tempat pembelian serta jenis pangan lainnya apabila konsumen tidak lagi menjadikan beras sebagai makanan pokoknya. Pembentukan pola konsumsi beras pada rumah tangga dipengaruhi
(14)
oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan pengaruh yang berasal dari rumah tangga yaitu pendapatan rumah tangga, jumlah konsumsi beras, jumlah pembelian beras dan kelas sosial. Faktor eksternal adalah pengaruh yang berasal dari luar lingkungan rumah tangga, yaitu harga beras. Apabila harga beras mengalami peningkatan, perubahan pola konsumsi beras rumah tangga dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yang membentuk pola konsumsi beras.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi perubahan pola konsumsi beras sebagai akibat kenaikan harga beras di tingkat rumah tangga Jakarta Timur dan mengidentifikasi faktor- faktor yang mempengaruhi perubahan pola konsumsi beras tersebut. Penelitian ini berguna untuk mengetahui perubahan pola konsumsi beras rumah tangga dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Bagi pengambil kebijakan, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi tambahan dalam menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan di masa yang akan datang dalam upaya mengatasi masalah beras. Bagi penulis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai proses belajar dan sebagai sarana untuk mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh. Bagi pembaca, dapat menjadi bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.
Lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purposive) yaitu di beberapa perumahan Jakarta Timur. Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan adalah melalui metode analisis deskriptif, metode chi-square dan model regresi logistik. Responden merupakan ibu rumah tangga yang mengkonsumsi beras sebagai makanan pokoknya sebesar 100 orang dengan lokasi pengambilan sampel pada beberapa perumahan di Jakarta Timur yang dianggap dapat mewakili masing- masing kelas sosial.
Berdasarkan hasil uji Chi-Square dapat disimpulkan terdapat perubahan pola konsumsi beras pada rumah tangga di Jakarta Timur. Perubahan pola konsumsi setelah kenaikan harga beras terlihat nyata hanya pada perubahan jenis beras yang dikonsumsi dan frekuensi pembelian beras. Penurunan kualitas beras yang dikonsumsi setelah kenaikan harga beras banyak dilakukan oleh rumah tangga kelas bawah dan menengah. Rumah tangga kelas atas tidak mengalami perubahan jenis beras karena tingginya daya beli yang mereka miliki. Perubahan jenis beras tersebut dipengaruhi oleh pendapatan rumah tangga dan jumlah konsumsi beras. Hasil uji dengan model regresi logit diperoleh bahwa semakin tinggi pendapatan yang diperoleh rumah tangga maka peluang rumah tangga untuk mengubah jenis beras yang dikonsumsi cenderung kecil.
Perubahan frekuensi pembelian beras per bulan setelah harga beras naik terlihat nyata melalui uj i chi-square. Rumah tangga kelas bawah cenderung lebih sering melakukan pembelian beras karena keterbatasan sumberdaya yang mereka miliki. Rumah tangga kelas menengah cenderung mengurangi frekuensi pembelian beras, mereka akan membeli beras dalam jumlah ya ng lebih besar setiap melakukan pembelian karena khawatir harga beras akan terus meningkat. Pengujian dengan metode regresi logistik menunjukkan semakin tinggi harga beras maka rumah tangga akan mengubah frekuensi pembelian. Besarnya jumlah pembelian beras berpengaruh negatif terhadap perubahan frekuensi pembelian. Semakin banyak jumlah beras yang dibeli maka perubahan frekuensi pembelian cenderung kecil. Kelas sosial berpengaruh nyata terhadap perubahan frekuensi pembelian beras. Rumah tangga kelas bawah dan menengah berpeluang lebih
(15)
besar untuk mengubah frekuensi pembeliannya dibandingkan dengan rumah tangga kelas atas.
Perubahan pada frekuensi dan jumlah konsumsi beras, jumlah pembelian serta tempat melakukan pembelian beras setelah kenaikan harga beras tidak tampak nyata berdasarkan hasil uji Chi-Square. Beras merupakan makanan pokok penduduk Indonesia dan belum ada bahan pangan lain yang dapat menggantikannya, sehingga setinggi apapun harga beras, rumah tangga akan tetap berusaha untuk memenuhi kebutuhannya terhadap beras.
(16)
Judul : Analisis Dampak Kenaikan Harga Beras Terhadap Pola Konsumsi Beras Rumah Tangga di Cipinang, Jakarta Timur
Nama : Nina Tama Sari NRP : A14103129
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi, MS NIP. 131 846 869
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
(17)
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS DAMPAK KENAIKAN HARGA BERAS TERHADAP POLA KONSUMSI BERAS RUMAH TANGGA DI CIPINANG, JAKARTA TIMUR” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU.
Bogor, Desember 2007
NINA TAMA SARI
(18)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 14 November 1984. Penulis merupakan anak ke-dua dari dua bersaudara pasangan Bapak Hasan Basri Harahap dan Ibu Darmawaty Purba.
Jenjang pendidikan penulis dilalui dengan penuh semangat dan perjuangan yang keras namun tanpa hambatan yang berarti. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Swasta Krishna Jakarta tahun 1997, lalu melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 62 Jakarta dan lulus pada tahun 2000. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Umum Negeri 54 Jakarta.
Pada tahun 2003 penulis melanjutkan studinya di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) pada Program Studi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian. Selama menjadi mahasisiwa, penulis aktif dalam kegiatan dan kepanitian di kampus dan organisasi khusus mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian (MISETA).
(19)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Dampak Kenaikan Harga Beras Terhadap Pola
Konsumsi Beras Rumah Tangga di Cipinang, Jakarta Timur”. Adapun
skripsi ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Beras merupakan makanan pokok hampir seluruh masyarakat Indonesia. Pada saat terjadi defisit antara kebutuhan dan produksi beras maka yang terjadi adalah kenaikan harga beras. Kenaikan harga bahan pangan ini pada akhir tahun 2006 cukup membuat masyarakat resah dan khawatir. Oleh karena itu, pemahaman sepenuhnya akan dampak kenaikan harga beras terhadap pola konsumsi beras rumah tangga penting untuk dianalisis.
Penulis menyadari skripsi ini belum sempurna dan masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan yang perlu mendapat perbaikan. Dengan segala kerendahan hati, penulis memohon maaf apabila dalam penulisan skripsi ini terdapat kesalahan dan kekhilafan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkannya.
Bogor, Desember 2007
(20)
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dengan segala dukungan dan bantuan yang penulis peroleh, dalam kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi, MS, selaku dosen pembimbing akademik dan skripsi yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam proses penulisan skrip si ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. 2. Dr. Ir. Harianto, MS, selaku dosen penguji utama atas masukan dan saran
untuk penyempurnaan skripsi ini.
3. Dra. Yusalina, MS, selaku dosen penguji komisi pendidikan atas ketelitian dan perhatian yang diberikan untuk perbaikan dalam tata cara penulisan. 4. Para dosen di lingkungan Fakultas Pertanian yang telah memberikan ilmu
sebagai bekal penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Kakakku, Riski Haruna Maya Santy dan seluruh keluarga besarku atas doa, dukungan dan semangatnya.
6. Arief Rahman, Panji Pratama, Anggun Wahyuningsih dan Eko Restu, terima kasih untuk semua waktu yang telah kita lalui bersama selama di IPB. Tanpa kalian langit Bogor tak’kan pernah seindah ini.
7. AGB boys (Adhan, Anin, Faisal, Idham, Jurist, Medy, Om, Pipin, Pram, Rama, Tatang) dan AGB gals (Aini, Ana, Ance, Ayu, Budew, Dai, Endah, Lusi, Gilda, Merry, Nova, Rosma, Santi, Yayah, Yeyen), terima kasih atas saran, informasi, masukan dan ilmu yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
(21)
8. Sahabat-sahabatku di Jakarta, Dian Ramadhania, Desy Tri Cakrie, Fernando Pardamean, Fidya Tryanti, Ihsan Hadad, Indra Onggo dan Vina Hasnawaty, terima kasih atas semangat dan motivasinya. Semoga kelak kita menjadi orang-orang yang sukses.
9. Staf IPB, khususnya Mas Hamid dan Mas Pian, terima kasih atas kerelaan dan kesediaannya untuk membantu penulis dalam kelancaran proses penyelesaian skripsi ini.
10. Teman-teman IPB dan pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu oleh penulis, terima kasih.
Akhir kata penulis mendedikasikan seluruh goresan skripsi ini sebagai baktiku untuk kedua orang tuaku, Papa Hasan Basry Harahap dan Mama Darmawaty Purba. Ini bukan akhir, tapi ini adalah sebuah tanda bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika kita berjalan dengan restu darimu.
(22)
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR... i UCAPAN TERIMA KASIH... ii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR LAMPIRAN...viii
I. PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang... 1 1.2Perumusan Masalah... 8 1.3Tujuan Penelitian... 13 1.4Kegunaan Penelitian... 13 1.5Ruang Lingkup Penelitian... 13
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Beras ... 15 2.2 Konsumen... 17 2.3 Perilaku Konsumen ... 18 2.4 Teori Permintaan... 20 2.5 Pola Konsumsi... 23 2.6 Konsumsi Rumah Tangga ... 24 2.7 Kelas Sosial ... 27 2.8 Hasil Penelitian Terdahulu ... 31 2.9 Kerangka Pemikiran Operasional... 34
III. METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian... 39 3.2 Jenis dan Sumber Data ... 39 3.3 Metode Pengumpulan Data ... 40 3.4 Metode Pengambilan Sampel... 40 3.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 43 3.5.1 Metode Analisis Deskriptif ... 43 3.5.2 Uji Chi-Square ... 44 3.5.3 Model Regresi Logit ... 45 3.6 Definisi Operasiona l ... 48
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum ... 50 4.1.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 50 4.1.2 Gambaran Umum Responden... 51 4.1.2.1 Responden Kelas Bawah... 51 4.1.2.2 Responden Kelas Menengah ... 52 4.1.2.3 Responden Kelas Atas ... 53 4.2 Analisis Perubahan Pola Konsumsi Beras... 55 4.2.1 Frekuensi Konsumsi... 57 4.2.2 Jumlah Konsumsi... 60
(23)
4.2.3 Jenis Beras... 61 4.2.4 Frekuensi Pembelian Beras ... 65 4.2.5 Jumlah Pembelian Beras ... 69 4.2.6 Tempat Pembelian Beras ... 71
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan... 74 5.2 Saran ... 75
DAFTAR PUSTAKA... 76 LAMPIRAN... 78
(24)
DAFTAR TABEL
Nomor...Halaman 1. Rata-rata Konsumsi Komoditas Pangan Indonesia Tahun 2005 ... 2 2. Konsumsi Beras Rumah Tangga di Indonesia Tahun 1999-2006 ... 3 3. Komposisi Pengeluaran Rumah Tangga per kapita sebulan
menurut Jenis Pengeluaran (%) Tahun 1999-2006... 4 4. Permintaan dan Penyediaan Beras Nasional Tahun 1999-2007 ... 5 5. Perkembangan Rata-rata Bulanan Harga Beras September 2006
sampai Mei 2007... 7 6. Jumlah Penduduk DKI Jakarta Tahun 2005 ... 51 7. Karakteristik Umum Responden Berdasarkan Kelas Sosial... 54 8. Rata-rata Harga Beras yang dibeli Responden Berdasarkan
Kelas Sosial (Rp/kg) ... .. 55 9. Persentase Perubahan Pola Konsumsi Rumah Tangga Setelah
Kenaikan Harga Beras ... .. 56 10. Perubahan Frekuensi Konsumsi Beras (per hari) ... 58 11. Perubahan Jumlah Responden yang Mengkonsumsi Pangan Lain... 60 12. Perubahan Jumlah Konsumsi Beras (per hari)... 61 13. Perubahan Jenis Beras yang Dikonsumsi ... 62 14. Hasil Analisis Regresi Logit Perubahan Jenis Beras yang
Dikonsumsi... 64 15. Perubahan Frekuensi Pembelian Beras per Bulan... 66 16. Hasil Analisis Regresi Logit Perubahan Frekuensi Pembelian
per bulan ... 67 17. Perubahan Jumlah Pembelian setiap kali Membeli Beras ... 70 18. Perubahan Tempat Pembelian Beras ... 71 19. Perubahan Jenis Beras di Setiap Kelas Sosial ... 72 20. Perubahan Frekuensi Pembelian Beras di Setiap Kelas Sosial... 73
(25)
DAFTAR GAMBAR
Nomor ...Halaman 1. Model Perilaku Pengambilan Keputusan Konsumen... 19 2. Kerangka Pemikiran Operasional... 38
(26)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor...Halaman 1. Kuisioner Penelitian... 78 2. Data Mentah untuk Perubahan Jenis Beras... 81 3. Data Mentah untuk Perubahan Frekuensi Pembelian... 82 4. Hasil Uji Chi-Square... 83 5. Hasil Uji Model Regresi Logistik... 86
(27)
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia untuk mempertahankan hidup. Manusia sebagai makhluk hidup, tanpa pangan tidak mungkin dapat melangsungkan hidup dan bermasyarakat. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sejak dulu hingga nanti pun manusia memerlukan bahan pangan untuk bertahan hidup. Pangan telah menjadi kebutuhan primer manusia yang harus dipenuhi sebelum memenuhi kebutuhan hidup lainnya seperti sandang, papan dan pendidikan.
Beras merupakan salah satu komoditas pangan yang sangat strategis bagi Indonesia dan sering menjadi komoditas politik1. Hal ini disebabkan keberadaannya sebagai bahan pangan pokok bagi hampir seluruh bangsa Indonesia. Mengkonsumsi beras terkait erat dengan budaya makan dan citra status sosial di masyarakat. Masyarakat yang mengkonsumsi beras dinilai memiliki status sosial lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat yang mengkonsumsi sumber karbohidrat lain seperti jagung, ubi- ubian atau sagu.
Sifat beras yang mudah diolah dan sesuai dengan budaya konsumsi masyarakat menyebabkan ketergantungan terhadap beras sangat tinggi (Lastry, 2006). Akibatnya, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk maka kebutuhan beras di Indonesia akan terus meningkat. Rata-rata konsumsi beras per kapita per tahunnya mencapai 116,95 kg, sangat tinggi dibandingkan konsumsi
1 Anton Apriyantono. Beras, Komoditas Penuh Tantangan. Harian Seputar Indonesia 18 Desember 2006
(28)
per kapita per tahun tanaman pangan lainnya. Tabel 1 menyajikan rata-rata konsumsi komoditas pangan di Indonesia.
Tabel 1. Rata-rata Konsumsi Komoditas Pa ngan Indonesia Tahun 2005 (kilogram/kapita/tahun)
No. Komoditas Pangan Jumlah Konsumsi
1 Beras 116,95
2 Jagung 3,32
3 Ketela Pohon 15,04
4 Ayam 4,07
5 Daging 1,81
6 Telur 6,12
7 Susu 1,41
8 Ikan 18,58
9 Sayuran 50,78
10 Buah 31,74
11 Kedelai 7,78
12 Gula 9,90
Sumber : Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), 2006
Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi beras di Indonesia tinggi. Jumlahnya merupakan proporsi terbesar dari konsumsi jenis pangan lain. Konsumsi beras per kapita per tahun yang tinggi menyebabkan total konsumsi beras secara nasional semakin meningkat dari tahun ke tahun. Secara umum, konsumsi beras per kapita per tahun di Indonesia cenderung menurun dengan adanya diversifikasi pangan sebagai dampak dari perubahan pendapatan dan status sosial. Penurunan tersebut tidak diikuti dengan penurunan pada total konsumsi beras secara nasional. Hal ini disebabkan jumlah penduduk yang meningkat setiap tahunnya. Data konsumsi beras per kapita per tahun di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.
(29)
Tabel 2. Konsumsi Beras Rumah Tangga di Indonesia Tahun 1999-2006
Tahun Jumlah Penduduk
(000 jiwa)
Konsumsi/kapita (kg)
Total Konsumsi (ton)
1999 202.776 165,02 33.462.096
2000 205.844 146,37 30.129.328
2001 208.643 136,30 28.438.055
2002 211.439 140,55 29.717.737
2003 214.251 140,95 30.198.735
2004 217.077 136,81 29.698.277
2005 219.205 139,15 30.502.334
2006 222.051 139,15 30.898.438
Sumber: BPS, 2006
Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa mulai tahun 1999 konsumsi beras per kapita cenderung mengalami penurunan. Pada Tahun 1999, konsumsi beras per kapita per tahunnya sebesar 165,02 kg dan turun hingga 139,15 kg pada tahun 2007. Penurunan yang cukup besar ini seharusnya mendorong penurunan total konsumsi beras secara nasional. Kenyataannya, total konsumsi beras nasional masih tetap tinggi. Hal ini disebabkan pertambahan jumlah penduduk setiap tahunnya. Rata-rata pertambahan jumlah penduduk sebesar 1,01 persen setiap tahun menyebabkan kebutuhan konsumsi beras juga meningkat, sehingga total konsumsi beras nasional tetap tinggi. Dapat disimpulkan bahwa peningkatan total konsumsi beras nasional didorong oleh pertambahan jumlah penduduk.
Beras sebagai bahan pangan pokok, merupakan komoditi yang inelastis terhadap perubahan harga2. Naik atau turunnya harga beras akan berpengaruh relatif sangat kecil terhadap perubahan permintaan beras. Hal ini disebabkan orang tidak akan secara signifikan menambah atau mengurangi konsumsinya terhadap beras, walaupun harga berfluktuasi. Konsumsi beras juga relatif tidak
2 Martin Manurung. Mengupas Tuntas Masalah Beras. Artikel 21 Februari 2007 (http://www.IndoPROGRESS.co.id, download: 21 Maret 2007)
(30)
sensitif terhadap perubahan pendapatan3. Peningkatan pendapatan seseorang tidak akan meningkatkan kuantitas beras tetapi lebih pada meningkatkan kualitas beras yang dikonsumsi. Dengan demikian, proporsi pengeluaran untuk beras cenderung berbanding terbalik dengan tingkat kesejahteraan seseorang. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan seseorang, proporsi pengeluaran untuk beras cenderung semakin kecil, dan sebaliknya. Tabel 3 menyajikan perubahan pola konsumsi rumah tangga selama periode 1999-2006 menurut jenis pengeluarannya.
Tabel 3. Komposisi Pe ngeluaran Rumah tangga per Kapita sebulan menurut Jenis Pengeluaran (%) Tahun 1999-2006
Jenis Komoditas 1999 2002 2003 2004 2005 2006 Makanan
- Padi-padian 16,78 12,47 10,36 9,44 8,54 11,37
- Ikan, daging, telur dan susu 10,78 11,31 11,31 10,96 10,22 9,53
- Sayuran dan Buah 8,3 7,57 7,77 6,94 6,21 6,52
- Makanan lainnya 27,08 27,12 27,45 27,25 26,4 25,59
Total Makanan 62,94 58,47 56,89 54,59 51,37 53,01 Bukan Makanan
- Perumahan 15,92 17,80 19,15 20,65 22,53 22,56
- Pakaian 5,23 5,18 5,49 5,11 3,82 4,42
- Barang yang tahan lama 2,87 4,10 3,56 4,15 4,52 2,98
- Bukan makanan lainnya 13,04 14,45 14,19 15,5 17,76 17,03
Total bukan makanan 37,06 41,53 43,11 45,41 48,63 46,99
Sumber : www.bps.go.id (download tanggal 17 Januari 2008)
Tabel 3 menunjukkan bahwa selama periode 1999-2005 proporsi pengeluaran untuk makanan mengalami penurunan, yaitu dari 62,94 persen menjadi 51,37 persen pada tahun 2005. Dan pada tahun 2006, proporsi pengeluaran untuk makanan menga lami peningkatan menjadi 53,01 persen. Adanya perubahan pola konsumsi pada tahun 2006 dengan peningkatan proporsi pengeluaran untuk makanan khususnya padi-padian (beras) memberikan indikasi penurunan kesejahteraan masyarakat dengan adanya pengorbanan masya rakat
3 Daniel Perwira dkk. Konsumsi Beras Sebagai Ukuran Sederhana Kesejahteraan Masyarakat Mei 2003. (http://www.smeru.co.id, download: 14 Mei 2007)
(31)
untuk mengurangi konsumsi bukan makanan agar kuantitas dan kualitas beras yang dikonsumsi tidak turun terlalu tajam. Perubahan pola konsumsi tersebut juga terjadi karena adanya penurunan standar hidup secara drastis akibat meningkatnya harga-harga kebutuhan rumah tangga, sehingga rumah tangga akan memberikan prioritas utama pada pengeluaran untuk makanan.
Ketersediaan beras dapat memberi pengaruh besar terhadap ketahanan pangan nasional suatu bangsa. Ketersediaan beras yang cukup, baik kualitas maup un kuantitas akan memberikan pengaruh positif pada pembangunan suatu negara. Hal ini mendorong pemerintah untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri dengan berbagai cara, seperti mendorong produksi dalam negeri atau melalui perdagangan dunia (impor). Di Indonesia, sebagian besar konsumsi beras dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Tabel 4 menyajikan jumlah permintaan beras untuk konsumsi dan produksi beras nasional tahun 1999-2007.
Tabel 4. Permintaan dan Penyediaan Beras Nasional Tahun 1999-2007
Tahun
Produksi Beras Dalam Negeri untuk Konsumsi
(ton)
Konsumsi Langsung (ton)
Selisih
(Produksi-Konsumsi) (ton)
1999 28.808.419 33.462.096 (4.653.677) 2000 29.393.160 30.129.328 (736.167) 2001 28.578.703 28.438.055 140.648 2002 29.161.432 29.717.737 (556.306) 2003 29.528.379 30.198.735 (670.356) 2004 30.633.260 29.698.277 934.983 2005 30.668.730 30.502.334 166.396 2006 30.840.811 30.898.438 (57.627) 2007* 31.221.681 31.295.517 (73.836)
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2006
* Angka Ramalan (ARAM) II BPS, 2007
Produksi beras untuk konsumsi dari tahun 1999 sampai tahun 2007 mengalami peningkatan, tetapi hal ini tetap tidak dapat memenuhi permintaan
(32)
beras nasional yang terus meningkat setiap tahunnya. Pada Tabel 4 menunjukkan hanya pada tahun 2001, 2004 dan 2005 Indonesia memiliki surplus beras. Berdasarkan angka ramalan II Badan Pusat Statistik 2007, jumlah produksi beras untuk konsumsi adalah 31,22 juta ton, sedangkan perkiraan untuk konsumsi langsung sebesar 31,29 juta ton. Dengan demikian, terjadi kekurangan beras sebesar 70 ribu ton.
Musim kemarau yang panjang pada tahun 2006 menyebabkan musim tanam padi terlambat dua sampai tiga bulan. Selain itu, penurunan produktivitas usaha tani akibat dari pengaturan distribusi sarana produksi yang tidak berjalan dengan baik, mengakibatkan persediaan beras pada bulan Januari dan Februari 2007 mengami penurunan dibandingkan dengan produksi padi pada tahun 2006. Penurunan produksi beras yang terjadi menyebabkan kelangkaan beras di pasar tidak dapat dihindari. Akibatnya, kenaikan harga beras terjadi pada akhir tahun 2006.
Pada akhir November 2006, harga beras mengalami kenaikan yang tinggi dan cukup meresahkan masyarakat, terutama karena harga beras melambung tinggi dan belum pernah terjadi dalam kurun waktu lima tahun terakhir4. Berdasarkan data BPS, harga beras mulai mengalami kenaikan sejak akhir November 2006. Harga beras untuk jenis IR-64 mengalami kenaikan dari Rp. 5.193 per kg menjadi Rp. 5.450 per kg pada minggu pertama Desember5. Kenaikan ini merupakan kenaikan rata-rata nasional, sehingga harga beras yang terjadi di kota-kota tertentu dapat lebih tinggi dari harga rata-rata. Tabel 5 menyajikan perkembangan harga pangan pokok di Indonesia. Berdasarkan Tabel 5, harga beras jenis IR-I di DKI
4 Nofie Iman. Beras Sebagai Sumber Kemiskinan. http://wordpress.com/tag/ekonomi-mikro/ (14 Mei 2007)
(33)
Jakarta mulai mengalami peningkatan pada November 2006 dan mencapai harga tertinggi pada bulan Maret sebesar Rp. 6.377 per kg. Dan kemudian berangsur turun hingga Rp.5.326 per kg pada Maret 2007.
Tabel 5. Perkembangan Rata-rata Bulanan Harga Beras September 2006 sampai Mei 2007
Provinsi/
Komoditi Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei
DKI Jakarta (IR-I) 4.854 4.706 4.780 5.338 5.720 6.227 6.377 5.725 5.326 DKI Jakarta (IR-II) 4.346 4.293 4.375 4.946 5.350 5.845 5.879 5.308 4.911 DKI Jakarta (IR-III) - - - 5.546 5.472 4.873 4.429 Bandung (IR-64/II) 4.142 4.116 4.200 4.867 5.092 5.706 5.543 4.680 4.425 Semarang (IR-64/I) 4.392 4.316 4.371 5.031 5.200 5.455 5.474 5.183 5.079 Cisadane II 4.408 4.418 4.452 4.889 5.200 5.455 5.474 5.183 5.079 Yogyakarta (IR-I) 4.435 4.495 4.500 4.963 5.100 5.729 5.757 4.908 4.950 Yogyakarta (IR-II) 4.135 4.216 4.200 4.717 4.900 5.533 5.532 4.708 4.750 Surabaya (IR-64) 4.619 4.600 4.627 4.996 4.700 6.046 6.009 5.925 5.786 Surabaya (Mentik) 4.888 4.726 4.827 5.202 5.400 6.317 6.509 6.329 6.186 Surabaya
(Bengawan) 4.992 4.774 4.873 4.719 5.000 5.308 4.755 4.563 4.500 Surabaya(Eksdolog) 3.900 3.900 3.927 4.208 4.000 3.850 3.700 1.079 - Denpasar (C4) 4.477 4.489 4.400 4.575 4.767 5.150 5.193 5.021 5.000 Denpasar (IR) 4.296 4.300 4.300 4.400 4.333 5.321 5.732 5.508 5.500 Sumber : Departemen Perdagangan, 2006
Kebutuhan akan beras yang tinggi jika tidak diimbangi dengan peningkatan produksi beras yang tinggi maka akan menimbulkan kekurangan dalam ketersediaan beras di pasar. Jika upaya untuk meningkatkan produksi beras nasional tidak ada maka akan menimbulkan masalah antara kebutuhan dan ketersediaan beras dengan kesenjangan yang semakin melebar. Apabila kebutuhan untuk mengkonsumsi beras semakin tinggi dan tidak diikuti oleh ketersediaan beras maka harga beras di pasar akan mengalami kenaikan. Harga beras yang melonjak tinggi mengakibatkan perubahan dalam pola konsumsi beras. Sebagian masyarakat menghendaki adanya pasokan dan harga beras yang stabil, tersedia sepanjang waktu serta terdistribusi secara merata dan dengan harga yang
(34)
terjangkau. Oleh karena itu, ketersediaan beras baik kualitas maupun kuantitas harus dijaga dengan baik.
Dampak dari kenaikan harga beras terlihat nyata pada masyarakat miskin. Data BPS menunjukkan 23 persen pengeluaran rumah tangga miskin (gakin) dialokasikan untuk beras. Proporsi pengeluaran beras dalam konsumsi rata-rata nasional hanya sekitar 16 persen. Sementara untuk masyarakat kelas atas tidak lebih dari 5 persen6. Dengan demikian, semakin tinggi pendapatan semakin tidak terasa dampak kenaikan harga beras. Hal ini menyebabkan pengetahuan mengenai perubahan pola konsumsi beras pada rumah tangga diperlukan untuk melihat seberapa besar pengaruh kenaikan harga beras terhadap pola konsumsi rumah tangga berdasarkan kelas dan status sosial.
1.2 Perumusan Masalah
Pentingnya peranan beras dalam kehidupan rakyat dan perekonomian Indonesia tidak dapat dipungkiri lagi. Beras merupakan suatu komoditi yang bersifat strategis dan bahan pangan pokok bagi hampir seluruh masyarakat Indonesia. Harga beras dipengaruhi oleh ketersediaannya di pasar. Harganya akan naik jika ketersediaannya berkurang. Upaya pemenuhan kebutuhan beras untuk masyarakat di Indonesia tidak hanya mendapat tantangan dari bertambahnya jumlah penduduk tetapi juga dari semakin meningkatnya pendapatan dan berubahnya pola konsumsi. Oleh karena itu, pemerintah tidak hanya menekankan kebijaksanaannya untuk memperbesar produksi, tetapi juga disertai dengan mengkampanyekan diversifikasi pangan. Untuk masyarakat dengan penghasilan
(35)
rendah, kebutuhan akan kalori dan protein relatif dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi beras sebagai pangan pokok. Hal ini disebabkan kandungan protein dan kalori yang terdapat pada beras lebih besar dibandingkan dengan bahan pangan lainnya seperti jagung atau ketela pohon. Beras dapat menghasilkan kalori 68,6 persen dan protein 68,7 persen yang diperlukan oleh tubuh, sedangkan jagung hanya menghasilkan 13,7 persen kalori dan 20 persen protein (Arifin, 1994).
Beras dikonsumsi oleh konsumen baik konsumen individu, konsumen rumah tangga maupun konsumen usaha jasa. Permintaan terhadap beras meliputi konsumsi di dalam rumah, di luar rumah, konsumsi makanan hasil industri pengolahan dan kebutuhan beras untuk cadangan rumah tangga. Beberapa golongan konsumen di atas, rumah tangga adalah konsumen beras yang paling besar. Rumah tangga ditempatkan sebagai konsumen terbesar karena rumah tangga terdiri dari beberapa individu, sehingga jumlah yang dikonsumsi adalah kumulatif dari kebutuhan per kapita masing- masing individu tersebut. Kebutuhan beras rumah tangga terdiri dari kebutuhan untuk konsumsi langsung dan untuk sediaan minimum (Lastry, 2006).
Rumah tangga sebagai konsumen berasal dari latar belakang etnis dan budaya, ekonomi serta status sosial yang berbeda. Faktor budaya dan ekonomi merupakan variabel-variabel yang dapat mempengaruhi pembentukan sikap dan perilaku konsumen. Perbedaan tersebut menyebabkan timbulnya sikap dan perilaku yang berbeda dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Keanekaragaman ini banyak ditemukan pada konsumen rumah tangga di kota Jakarta.
(36)
Kota Jakarta adalah ibukota Negara Republik Indonesia yang disebut juga kota metropolitan, dengan penduduk yang sangat padat serta terdapat berbagai aktivitas baik dibidang pemerintahan, perekonomian, dan pendidikan. Sebagaimana halnya kota metropolitan pengaruh adanya budaya luar dalam iklim globalisasi, teknologi serta informasi yang tiada batas, sangat cepat berkembang seiring laju perkembangan dan dampak yang dapat ditimbulkannya. Jakarta Timur sebagai salah satu kotamadya DKI Jakarta memiliki populasi dengan tingkat kepadatan penduduk terbesar (Lampiran 1) dan memiliki struktur masyarakat yang beraneka ragam. Keragaman tersebut meliputi suku bangsa, latar belakang pendidikan dan pekerjaan, budaya serta tingkat perekonomian yang tercermin dalam kehidupan masyarakat sehari- hari. Keanekaragaman sosial budaya tersebut membentuk perilaku dan kebiasaan yang beragam di masyarakat, sehingga struktur konsumsi masyarakat juga beranekaragam khususnya untuk konsumsi beras. Oleh karena itu, hal ini menarik untuk diamati dan dikaji lebih mendalam.
Kenaikan harga beras yang terjadi saat ini disebabkan pemerintah tidak memiliki persediaan beras dalam jumlah yang cukup untuk mengatasi kelangkaan beras yang sedang terjadi, khususnya pada kondisi dimana iklim kurang mendukung (musim kemarau yang lebih panjang pada tahun 2006 mengakibatkan berkurangnya persediaan beras di bulan Januari dan Februari 2007). Peningkatan produksi padi yang kecil diakibatkan semakin sempitnya areal persawahan, kelangkaan pupuk dan masalah teknis lainnya, menjadi penyebab utama berkurangnya persediaan beras yang ada di Bulog.
Mayoritas penduduk Indonesia memilih beras sebagai bahan pangan pokoknya. Sehingga ketersediaan beras perlu dijaga dengan baik karena
(37)
masyarakat sangat sensitif terhadap isu mengenai beras dan hal ini terkait erat dengan harga (Lastry, 2006). Untuk rumah tangga dengan pendapatan yang tetap, kenaikan harga beras tentu saja akan berdampak negatif terhadap pola konsumsinya sehingga mempengaruhi tingkat kesejahteraan rumah tangga pada umumnya (Arifin, 1994).
Penelitian ini mengkaji seberapa besar perubahan pola konsumsi beras pada rumah tangga setelah kenaikan harga beras dan faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti pendapatan, pendidikan, selera, kelas sosial dan karakteristik konsumen lainnya. Konsumen rumah tangga dikelompokkan berdasarkan kelas sosial yang ada di masyarakat sebagai dasar segmentasi. Pengelompokkan ini dilakukan untuk memudahkan peneliti karena besarnya keragaman karakteristik dan sumberdaya yang terdapat dalam rumah tangga. Rumah tangga yang dikelompokkan berdasarkan kelas sosial diduga akan membentuk pola konsumsi tertentu sesuai dengan kelas sosialnya.
Pendapatan merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi seseorang atau rumah tangga dalam melakukan konsumsi. Indikator pendapatan dapat dicerminkan dari kesejahteraan suatu rumah tangga. Jika rumah tangga sejahtera maka pendapatan diperkirakan tinggi sehingga mereka lebih mengutamakan mengkonsumsi pangan yang banyak mengandung protein dan mengurangi konsumsi karbohidrat seperti beras. Namun untuk rumah tangga dengan pendapatan rendah, konsumsi lebih diutamakan pada pangan yang mengandung karbohidrat.
Selera konsumen akan berpengaruh pada jenis beras yang dikonsumsi, terutama bagi rumah tangga kelas menengah dan kelas atas. Kelompok rumah
(38)
tangga kelas menengah diperkirakan akan mengkonsumsi beras jenis kualitas sedang, yang harganya pun relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kualitas rendah. Jika akhir-akhir ini harga beras semakin tinggi maka rumah tangga kelas atas diperkirakan tidak akan mengurangi konsumsi beras maupun menurunkan kualitas beras yang dikonsumsi.
Pola konsumsi penduduk berubah dari waktu ke waktu dan antara daerah satu dengan daerah lainnya tergantung kepada selera, pendapatan dan lingkungan. Pada akhirnya, pola konsumsi menentukan seberapa besar jenis barang tertentu harus disediakan dan bagaimana distribusinya, terutama dalam hal makanan agar harganya tidak terguncang.
Pada saat terjadi defisit antara kebutuhan dan produksi beras maka yang terjadi adalah kenaikan harga beras yang akan memberatkan masyarakat, khususnya masyarakat menengah ke bawah. Oleh karena itu, pemahaman sepenuhnya akan dampak kenaikan harga beras terhadap pola konsumsi penting untuk dianalisis.
Berdasarkan uraian di atas maka pembahasan penelitian ini akan dibatasi atas beberapa pokok permasalahan, yaitu :
1. Bagaimana perubahan pola konsumsi beras sebagai akibat kenaikan harga beras di tingkat rumah tangga Jakarta Timur.
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi perubahan pola konsumsi beras tersebut.
(39)
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dilakukan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengidentifikasi perubahan pola konsumsi beras sebagai akibat kenaikan harga beras di tingkat rumah tangga Jakarta Timur.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan pola konsumsi beras akibat kenaikan harga beras pada rumah tangga di Jakarta Timur.
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian mengenai Analisis Dampak Kenaikan Harga Beras Terhadap Pola Konsumsi Beras Rumah Tangga berguna untuk mengetahui perubahan pola konsumsi beras pada rumah tangga setelah harga beras mengalami kenaikan dan faktor- faktor yang mempengaruhinya. Bagi pengambil kebijakan khususnya pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi tambahan dalam menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan di masa yang akan datang dalam upaya mengatasi masalah beras. Bagi penulis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai proses belajar yang akan memberi banyak tambahan ilmu dan pengetahuan dan juga sebagai sarana untuk mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama mengikuti kuliah. Bagi pembaca, dapat menjadi bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada pola konsumsi beras rumah tangga secara umum dan tidak spesifik terhadap jenis atau merek beras tertentu yang ada di
(40)
pasar. Penelitian ini hanya memperhitungkan jumlah konsumsi beras di dalam rumah saja, sedangkan untuk konsumsi beras di luar rumah tidak diperhitungkan. Perubahan pola konsumsi beras pada rumah tangga hanya meliputi frekuensi dan jumlah konsumsi beras, jenis beras, frekuensi dan jumlah pembelian beras serta tempat pembelian beras.
(41)
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Beras
Beras menempati urutan pertama dalam jenis bahan makanan yang dikonsumsi oleh penduduk Indonesia, walaupun konsumsinya semakin menurun. Penurunan konsumsi ini dapat diakibatkan oleh peningkatan kesejahteraan rakyat. Semakin tinggi pendapatan maka porsi pengeluaran akan bergeser dari pengeluaran untuk makanan ke pengeluaran untuk bukan makanan. Selain itu pendapatan yang meningkat tidak menyebabkan peningkatan konsumsi karbohidrat, tetapi beralih ke pemenuhan protein, seperti daging, ayam, susu, telur, dan sebagainya. Dengan demikian, dapat disimpulkan proporsi pengeluaran untuk beras dalam total pengeluaran untuk makanan di tingkat perkotaan maupun nasional secara seragam dipengaruhi oleh harga beras dan pendapatan konsumen.
Berdasarkan Suryana (2003), secara umum penduduk Asean, khususnya Philipina, Malaysia, Thailand, dan Indonesia menyenangi rasa nasi dari beras dengan kandungan amilosa medium (20-25%), sedangkan Jepang dan Korea menyenangi beras dengan kadar amilosa rendah (13-25%). Kandungan amilosa ini mempengaruhi rasa nasi secara keseluruhan sebesar 65 persen. Amilosa adalah rangkaian dari unit- unit gula (glukosa) yang menyusun molekul- molekul besar dari pati beras. Semakin kecil kadar amilosa beras, semakin lekat (pulen) nasinya.Oleh karena itu, beras ketan praktis tidak ada amilosanya (0-9%). Selain itu, kandungan amilosa mempengaruhi sifat pemekaran volume beras, dan cepatnya nasi mengeras setelah dimasak. Semakin tinggi kadar amilosanya maka beras semakin pera, semakin mekar dan semakin cepat menjadi keras setelah
(42)
dingin. Beras dengan amilosa rendah biasanya menghasilkan nasi dengan sifat tidak kering, teksturnya pulen, tidak menjadi keras setelah dingin, rasanya enak dan nasinya mengkilap.
Aroma pada beras ternyata dipengaruhi oleh suhu dan udara. Apabila beras disimpan pada suhu diatas 15ºC, setelah 3-4 bulan akan mengalami perubahan aroma dan rasa. Suhu gudang di Indonesia biasanya lebih tinggi dari 15ºC, sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan aroma yang mempengaruhi rasa beras. Semakin lama beras disimpan, semakin menurun rasa dan aroma nasinya (Suryana, 2003).
Identifikasi beras dapat dilakukan dengan melihat pada keragaan dan sifat fisik beras, antara lain dilihat dari warna. Warna beras yang berbeda-beda diatur secara genetik. Beberapa warna beras yang tersedia di pasar antara lain :
1. Beras “biasa” berwarna putih agak transparan yang umumnya dikonsumsi oleh masyarakat dan mendominasi pasar beras.
2. Beras merah 3. Beras hitam 4. Beras ketan 5. Beras ketan hitam
Beras yang paling banyak tersedia di pasar adalah beras “biasa” yang dapat diidentifikasi melalui jenis, kemasan dan harga. Jika dilihat dari segi harga, beras terdiri dari beberapa jenis yang biasanya dijadikan sebagai patokan terhadap kualitasnya. Beras dengan harga yang mahal biasanya memiliki kualitas yang baik dan menghasilkan rasa nasi yang lebih enak. Di pasar dikenal beras dengan kualitas super, medium dan biasa, dimana yang paling mahal adalah beras dengan
(43)
kualitas super. Beras juga dapat dibedakan dari merek yang dipasarkan, karena merek sebagai simbol dapat mencerminkan identitas jenis produk dalam hal ini beras. Identifikasi melalui merek hanya bisa dilakukan apabila beras sudah dikemas dan diberi label. Beberapa merek beras yang banyak beredar dan diminati oleh masyarakat diantaranya; IR-64, Setra Ramos, Cianjur, Rojolele dan Pandan Wangi.
Beras dapat pula dibedakan berdasarkan tekstur nasi yang dihasilkan antara lain pulen, sedang dan pera. Beras pulen biasanya dikonsumsi oleh masyarakat yang didominasi oleh suku Sunda sedangkan beras pera lebih disukai dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat yang berasal dari daerah Sumatera. Perbedaan preferensi tersebut disebabkan oleh latar belakang budaya dan etnis yang sudah terbentuk di dalam masyarakat (Lastry, 2006).
2.2 Konsumen
Pengertian konsumen berdasarkan masyarakat awam sebagai orang yang membeli dan mengkonsumsi barang dan jasa yang diproduksi dan dipasarkan oleh produsen untuk pemenuhan kebutuhan. Pemerintah Indonesia mendefinisikan konsumen secara spesifik di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 tahun 1999 sebagai setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia bagi masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga atau orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
(44)
1. Konsumen akhir (final customer) adalah setiap rumah tangga atau individu yang membeli produk atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau dikonsumsi langsung.
2. Konsumen organisasi (organizational customer) adalah organisasi, perusahaan, pedagang, pemerintah dan lembaga non profit yang membeli barang atau jasa untuk diproses lebih lanjut hingga menjadi produk akhir. Tipe konsumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsumen akhir (final customer).
2.3 Perilaku Konsumen
Setiap konsumen memiliki perilaku yang berbeda dan selalu berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan proses pembelajaran yang mereka terima. Ada banyak hal yang dapat kita pelajari dan analisis dari perilaku konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
Engel, Blackwell dan Miniard (1994) mendefinisikan perilaku konsumen sebagai tindakan yang langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi dan menghabiskan produk dan atau jasa termasuk proses keputusan yang mendahului dan menyusuli tindakan ini. Sumarwan (2002) menyimpulkan definisi dari perilaku konsumen adalah semua kegiatan, tindakan serta proses psikologis yang mendorong tindakan tersebut pada saat sebelum membeli, ketika membeli, menggunakan, menghabiskan produk dan jasa setelah melakukan hal- hal di atas atau kegiatan mengevaluasi. Teori perilaku konsumen mencoba menerangkan perilaku konsumen dalam membelanjakan pendapatannya untuk memperoleh
(45)
alat-alat pemuas kebutuhan yang dapat berupa barang-barang ataupun jasa-jasa konsumsi.
Perilaku konsumen dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pengaruh lingkungan, perbedaan individu serta proses psikologis. Pengaruh lingkungan yang dimaksud antara lain budaya, kelas sosial, pengaruh pribadi, keluarga dan situasi. Selanjunya perbedaan individu terdiri dari sumberdaya konsumen, motivasi dan keterlibatan, pengetahuan, sikap, kepribadian dan gaya hidup serta demografi. Proses psikologis yang mempengaruhi dalam perilaku konsumen antara lain pengolahan informasi, pembelajaran, perubahan dan sikap atau perilaku. Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang terdiri dari beberapa tahap yaitu ; pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi alternatif, keputusan pembelian dan kepuasan terhadap hasil. Hubungan kausal antara perilaku konsumen dan faktor- faktor yang mempengaruhinya disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Model Perilaku Pengambilan Keputusan Konsumen dan Faktor- faktor yangiMempengaruhinya
Sumber : Engel et. al, 1994
Proses keputusan : • Pengenalan kebutuhan • Pencarian informasi • Evaluasi Alternatif • Pembelian
•Hasil
Proses Psikologis : • Pemrosesan
informasi • Pembelajaran • Perubahan sikap Pengaruh
Lingkungan : • Budaya • Kelas sosial • Keluarga • Pengaruh situasi
Perbedaan Individu : • Sumberdaya Konsumen • Motivasi dan Keterlibatan • Pengetauan
• Sikap
(46)
2.4 Teori Permintaan
Permintaan seseorang atau masyarakat terhadap suatu barang dipengaruhi oleh banyak faktor. Diantara banyaknya faktor- faktor tersebut yang dianggap paling penting adalah sebagai berikut (Lipsey,1995) :
1. Harga barang itu sendiri
2. Harga barang lain yang berkaitan erat dengan barang tersebut 3. Pendapatan rumah tangga
4. Distribusi pendapatan dalam masyarakat 5. Citarasa masyarakat
6. Jumlah penduduk
7. Ramalan keadaan di masa mendatang
Faktor-faktor tersebut akan sulit jika diteliti secara bersamaan. Oleh sebab itu, didalam analisa ekonomi dianggap permintaan suatu barang terutama dipengaruhi oleh harga barang itu sendiri dan dianggap faktor-faktor lain tidak berubah “cateris paribus”. Selanjutnya, kita bisa memisalkan harga adalah konstan kemudian menganalisa bagaimana permintaan suatu barang dipengaruhi oleh faktor lainnya. Berdasarkan inilah dapat diketahui bagaimana permintaan suatu barang akan berubah apabila pendapatan, harga barang lain, citarasa dan faktor lainnya mengalami perubahan.
1. Harga barang itu sendiri
Hukum permintaan menjelaskan hubungan antara permintaan suatu barang dengan harganya. Hukum permintaan pada hakekatnya merupakan suatu hipotesa yang menyatakan “semakin rendah harga dari suatu barang, semakin banyak
(47)
permintaan terhadap barang tersebut, sebaliknya semakin tinggi harga suatu barang, semakin sedikit permintaan atas barang tersebut”.
2. Harga-harga barang lain
Kaitan antara suatu barang dengan barang lain dapat dibedakan menjadi dua yaitu barang tersebut merupakan barang pengganti (subtitusi) atau barang tersebut merupakan barang pelengkap (komplementer). Barang pengganti ialah barang lain yang dapat menggantikan fungsi suatu barang, jika harga barang tersebut turun maka barang yang digantikannya akan mengalami penurunan di dalam permintaan. Barang pelengkap ialah barang yang jika digunakan bersama-sama dengan barang lainnya maka akan menambah kepuasan penggunanya, kenaikan atau penurunan permintaan barang pelengkap selalu seiring dengan permintaan dari barang yang dilengkapinya.
3. Pendapatan rumah tangga
Pendapatan rumah tangga merupakan faktor yang sangat penting di dalam menentukan corak permintaan terhadap berbagai jenis barang. Perubahan dalam pendapatan selalu menimbulkan perubahan ke atas permintaan suatu barang. Dengan pendapatan yang tinggi rumah tangga akan memiliki pilihan barang untuk dikonsumsi lebih banyak sehingga lebih leluasa memilih barang yang akan dikonsumsinya.
4. Distribusi pendapatan
Distribusi pendapatan dalam masyarakat dapat mempengaruhi corak permintaan dari berbagai jenis barang. Sejumlah pendapatan masyarakat yang tertentu besarnya akan menimbulkan corak permintaan masyarakat yang berbeda apabila pendapatan tersebut diubah corak distribusinya. Hal ini berkaitan dengan
(48)
tingkatan kelas sosial masyarakat, golongan masyarakat kelas atas tentunya akan memiliki pola permintaan barang yang berbeda dengan golongan masyarakat kelas menengah dan bawah.
5. Citarasa masyarakat
Citarasa mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap keinginan masyarakat untuk membeli barang-barang. Pendidikan merupakan salah satu indikator yang mempengaruhi citarasa seseorang, orang yang berpendidikan tinggi akan memiliki citarasa yang berbeda dengan orang yang berpendidikan rendah. Pendidikan bukan merupakan satu-satunya indikator yang mempengaruhi citarasa seseorang. Pekerjaan, umur, daerah tempat tinggal, anggota keluarga, etnis merupakan faktor- faktor lain yang dapat mempengaruhi citarasa seseorang.
6. Jumlah penduduk
Pertambahan penduduk tidak dengan sendirinya mnyebabkan pertambahan permintaan. Akan tetapi, biasanya pertambahan penduduk diikuti oleh perkembangan dalam kesempatan kerja. Dengan demikian, lebih banyak orang yang menerima pendapatan dan akan menambah daya beli masyarakat. Penambahan daya beli ini akan menambah permintaan.
7. Ramalan keadaan di masa mendatang
Perubahan-perubahan yang diramalkan mengenai keadaan masa yang akan datang dapat mempengaruhi permintaan. Ramalan para konsumen bahwa harga-harga akan menjadi bertambah tinggi di masa depan akan mendorong mereka membeli lebih banyak pada masa sekarang ini, untuk menghemat pengeluaran pada masa yang akan datang.
(49)
2.5 Pola Konsumsi
Sebagai dasar dari model konsumsi adalah fungsi permintaan yang diturunkan dari fungsi utilitas dengan pendapatan sebagai faktor pembatas. Selain itu permintaan setiap komoditi ditentukan oleh komoditi lain, sehingga terjadi kombinasi yang memberikan utilitas maksimal. Dengan demikian tingkah laku konsumen dapat diterangkan dengan pendekatan fungsi kepuasan (Bilas dalam Nurmansyah, 2006).
Pendapat Lipsey et. al (1995) tentang konsumen yang dihadapkan pada pendapatan yang terbatas, konsumen tidak dapat membeli semua barang dan jasa yang diinginkan, akan tetapi berusaha untuk memaksimumkan kepuasaannya dari pemakaian barang dan jasa, kemudian konsumen akan mengubah pola pengeluaran dan menyesuaikannya sehingga akan memperoleh kepuasan maksimal atau konsumen berada pada keseimbangan. Tindakan menggunakan komoditi, baik barang maupun jasa untuk memuaskan kebutuhan menurut Lipsey
et. al (1995) disebut konsumsi.
Pola konsumsi merupakan refleksi dari kebiasaan makan suatu masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh budaya, termasuk pengetahuan dan sikap terhadap pangan (Departemen Pertanian, 1993). Menurut Pratiwi (2002), pola konsumsi masyarakat ditentukan oleh beberapa faktor, seperti kondisi geografi, agama, tingkat sosial ekonomi, pengetahuan akan pangan dan gizi, serta ketersediaan pangan. Menurut Kamus Istilah Ketahanan Pangan, pola konsumsi didefinisikan sebagai susunan makanan yang mencakup jenis dan jumlah bahan makanan rata-rata per orang per hari yang umum dimakan/dikonsumsi penduduk dalam waktu tertentu. Secara khusus, pola konsumsi menunjukkkan bagaimana makanan
(50)
dikonsumsi, termasuk jumlah, jenis, keragaman dan frekuensi konsumsinya (Cameron and Stavern dalam Predesha, 2004).
Berdasarkan beberapa pengertian teoritis, pola konsumsi pangan secara umum menggambarkan bagaimana sikap dan tingkah laku konsumen terhadap produk pangan itu sendiri. Pola konsumsi tercermin dari kualitas dan kuantitas produk yang dikonsumsi serta frekuensi yang terbentuk dari kebiasaan khususnya kebiasaan makan. Pola konsumsi pangan dapat diamati melalui frekuensi konsumsi, jumlah konsumsi, jenis pangan, frekuensi pembelian, jumlah setiap kali pembelian, dan tempat pembelian.
2.6 Konsumsi Rumah Tangga
Pengertian rumah tangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik, dan biasanya mereka melakukan kegiatan konsumsi makan secara bersama-sama dalam satu dapur (BPS, 2006). Pola pengeluaran rumah tangga dapat digunakan sebagai indikator tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu daerah. Rumah tangga membayar pengeluaran terutama dari pendapatannya, dan besar pengeluaran konsumsi tersebut ditentukan oleh tingkat pendapatannya. Dalam melakukan konsumsi, rumah tangga akan memenuhi kebutuhan konsumsi yang paling mendesak terlebih dahulu yaitu kebutuhan pangan lalu sandang (pakaian) dan papan (tempat tinggal). Setelah ketiga kebutuhan tersebut terpenuhi, rumah tangga akan terus berusaha memuaskan kebutuhan lainnya, seperti sarana transportasi, sarana komunikasi sampai pemenuhan kebutuhan akan gaya hidup. Selain mengeluarkan pengeluaran
(51)
untuk bentuk-bentuk konsumsi diatas, biasanya rumah tangga melakukan saving
(menabung) untuk cadangan dana kebutuhan yang tidak terduga.
Pola pengeluaran rumah tangga secara garis besar dibagi menjadi dua bagian, yaitu penge luaran untuk makanan dan pengeluaran untuk bukan makanan. Tarik-menarik antara kedua bagian pengeluaran tersebut mencerminkan keadaan pendapatan masyarakat. Meningkatnya pendapatan masyarakat akan menurunkan proporsi pengeluaran makanan. Dengan kata lain, peningkatan pendapatan per kapita diharapkan dapat menurunkan proporsi pengeluaran makanan sehingga pengeluaran dapat beralih ke sektor bukan makanan, seperti sandang, papan, sarana transportasi, sarana komunikasi dan lainnya. Dengan meningkatnya proporsi pengeluaran untuk bukan makanan maka diharapkan kesejahteraan masyarakat meningkat.
Telah disadari bahwa pertumbuhan tingkat pendapatan masyarakat yang merupakan akibat dari pertumbuhan ekonomi akan mempengaruhi tingkat pengeluaran. Di negara berkembang kenaikan pendapatan akan berpengaruh besar pada peningkatan konsumsi rumah tangga, terutama konsumsi pangan untuk memenuhi tingkat kecukupan gizi. Tingginya proporsi konsumsi makanan berkaitan erat dengan rendahnya persentase pembagian pendapatan yang diterima oleh sebagian besar masyarakat. Oleh karena itu, pola pengeluaran konsumsi rumah tangga suatu daerah merupakan salah satu indikator untuk menilai tingkat kesejahteraan masyarakat.
Pada dasarnya setiap manusia untuk mempertahankan hidupnya akan mendahulukan kebutuhan-kebutuhan pokok seperti pangan, sandang dan papan. Setelah kebutuhan pokok terpenuhi, barulah kebutuhan lainnya akan dipenuhi
(52)
seperti kesehatan, pendidikan, rekreasi, pesta dan sebagainya. Apabila seseorang atau suatu rumah tangga berpenghasilan sangat rendah, maka hampir seluruh penghasilannya akan digunakan untuk menutup keperluan pangan saja. Keadaan ini akan berlainan sekali pada mereka yang mempunyai penghasilan tinggi, karena untuk memenuhi kebutuhan pangannya mereka hanya memerlukan sebagian kecil saja dari seluruh penghasilannya. Selain sudah tercukupi kebutuhan gizinya juga tercukupi kenikmatannya. Kelebihan dari penghasilannya digunakan untuk memenuhi keinginan yang lain termasuk pengeluaran yang bersifat mewah dan umumnya dalam porsi yang relatif besar. Hal ini sesuai dengan Hukum Engel yang menyebutkan bahwa rumah tangga berpendapatan rendah akan mengeluarkan sebagian besar pendapatannya untuk membeli kebutuhan pokok. Sebaliknya, rumah tangga dengan pendapatan tinggi hanya akan membelanjakan sebagian saja dari total pengeluaran untuk kebutuhan pokoknya.
Makanan merupakan kebutuhan manusia untuk hidup sehingga sebesar apapun pendapatan seseorang ia akan tetap berusaha untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Seseorang atau rumah tangga akan terus menambah konsumsi makanannya sejalan dengan bertambahnya pendapatan, namun sampai batas tertentu penambahan pendapatan tidak lagi menyebabkan bertambahnya jumlah makanan yang dikonsumsi, karena pada dasarnya kebutuhan manusia akan mempunyai titik jenuh. Apabila neraca kuantitas kebutuhan pangan seseorang sudah terpenuhi maka lazimnya ia akan mementingkan kualitas atau beralih pada pemenuhan kebutuhan bukan makanan. Dengan demikian, ada kecenderungan semakin tinggi pendapatan seseorang semakin berkurang persentase pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan.
(53)
2.7 Kelas Sosial
Kelas sosial adalah bentuk lain dari pengelompokan masyarakat ke dalam kelas atau kelompok yang berbeda. Kelas sosial akan mempengaruhi jenis produk, jenis jasa, dan merek yang dikonsumsi konsumen. Menurut Sumarwan (2002) kelas sosial adalah pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas yang berbeda atau strata yang berbeda. Sedangkan Engel et. al (1994) mendefinisikan kelas sosial sebagai pengelompokan orang yang sama dalam perilaku mereka berdasarkan posisi ekonomi mereka di dalam pasar. Sistem kelas sosial menggolongkan keluarga atau rumah tangga, bukan konsumen sebagai individu karena semua anggota keluarga menggambarkan persamaan dalam nilai- nilai yang dianut, penggunaan pendapatan bersama dan daya beli yang sama. Kelas sosial akan mempengaruhi apa yang dibeli dan dikonsumsi oleh seorang konsumen atau sebuah keluarga. Bila suatu kelompok besar keluarga kira-kira sama dalam peringkat dan jelas berbeda dengan keluarga lain, maka mereka membentuk suatu kelas sosial.
Stratifikasi kelas sosial yang terjadi di dalam masyarakat berguna untuk mengembangkan dan melestarikan identitas sosial kolektif di dalam dunia yang dicirikan oleh ketidaksamaan ekonomi yang mudah menyebar. Identitas sosial dicapai dengan menetapkan batas-batas interaksi di antara manusia dari status yang tidak sama. Engel et. al (1994) mengemukakan pendapat Gilbert dan Kahl bahwa ada sembilan variabel yang menentukan status atau kelas sosial seseorang, kesembilan variabel tersebut digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu sebagai berikut :
(54)
1. Variabel ekonomi. Pekerjaan, pendapatan dan kekayaan mempunyai kepentingan kritis karena apa yang orang kerjakan untuk nafkah tidak hanya untuk menentukan berapa banyak yang harus dibelanjakan oleh keluarga, tetapi juga sangat penting dalam menentukan kehormatan yang diberikan kepada anggota keluarga. Kekayaan biasanya adalah hasil dari akumulasi pendapatan masa lalu. Dalam bentuk tertentu seperti pemilikan perusahaan atau saham dan obligasi, kekayaan adalah sumber pendapatan masa datang yang memungkinkan keluarga mempertahankan kelas sosialnya dari generasi ke generasi.
2. Variabel interaksi. Prestise pribadi, asosiasi, dan sosialisasi adalah inti dari kelas sosial. Prestise pribadi adalah sentimen di dalam pikiran orang yang mungkin tidak selalu mengetahui bahwa hal itu ada di sana. Seseorang yang mempunyai prestise lebih tinggi apabila orang lain menghormati mereka. Asosiasi adalah variabel yang berkenaan dengan hubungan sehari- hari. Seseorang mempunyai hubungan sosial yang erat dengan orang yang suka mengerjakan hal- hal yang sama seperti yang mereka kerjakan, dengan cara yang sama dan dengan siapa mereka merasa senang. Sosialisasi adalah proses dimana individu belajar keterampilan, sikap dan kebiasaan untuk berpartisipasi di dalam kehidupan komunitas bersangkutan. Penelitian-penelitian sosiologis menyimpulkan bahwa perilaku dan nilai- nilai kelas sosial dipelajari secara dini di dalam siklus kehidupan.
3. Variabel politik. Kekuasaan, kesadaran kelas dan mobilitas adalah penting untuk mengerti aspek politik dari sistem stratifikasi. Kekuasaan adalah potensi individu atau kelompok untuk menjalankan kehendak mereka atas
(55)
orang lain. Kesadaran kelas mengacu pada tingkat dimana orang di dalam suatu kelas sosial sadar akan diri mereka sebagai kelompok tersendiri dengan kepentingan politik dan ekonomi bersama. Mobilitas dan suksesi adalah konsep kembar yang berhubungan dengan stabilitas atau instabilitas sistem stratifikasi. Suksesi mengacu kepada proses anak-anak yang mewarisi posisi kelas orang tua mereka. Mobilitas mengacu pada proses pergerakan naik atau turun yang berhubungan dengan orang tua mereka. Apabila mobilitas naik terjadi, ada kemungkinan konsumen akan belajar seperangkat perilaku konsumsi yang baru meliputi produk dan merek yang konsisten dengan status baru mereka.
Tahap selanjutnya yang perlu diketahui adalah apa saja yang dapat menentukan kelas dan status sosial seseorang atau keluarga dalam sebuah sistem sosial. Berdasarkan penelitian diperoleh bahwa keluarga dimana seseorang dibesarkan adalah faktor penting dalam menentukan status sosial. Berikut ini akan dijabarkan faktor- faktor yang menentukan kelas dan status sosial seseorang di masyarakat menurut Sumarwan (2002), yaitu :
1. Pekerjaan. Analisis konsumen mempertimbangkan pekerjaan sebagai indikator tunggal terbaik mengenai kelas sosial. Pekerjaan yang dilakukan oleh konsumen sangat mempengaruhi gaya hidup mereka dan merupakan satu-satunya basis terpenting untuk menyampaikan prestise, kehormatan dan respek.
2. Prestasi pribadi. Status seseorang dapat dipengaruhi oleh keberhasilannya yang berhubungan dengan status orang lain di dalam pekerjaan yang sama oleh prestasi pribadi individu. Prestasi pribadi juga melibatkan kegiatan selain
(56)
pengejaran yang berhubungan dengan pekerjaan. Walaupun pendapatan bukanlah indikator yang baik untuk keseluruhan kelas sosial, pendapatan dapat berfungsi sebagai ukuran prestasi pribadi di dalam suatu pekerjaan. 3. Pemilikan. Pemilikan adalah simbol keanggotaan kelas, tidak hanya jumlah
pemilikan tetapi sifat pilihan yang dibuat. Keputusan pemilikan terpenting yang mencerminkan kelas sosial suatu keluarga adalah pilihan dimana untuk tinggal. Hal ini mencakup jenis rumah dan lingkungan tetangga. Produk dan merek kerap berusaha agar ditempatkan sebagai simbol status, yaitu sebagai produk yang digunakan oleh kelas menengah atau kelas atas.
4. Interaksi. Analisis interaksi sosial menyatakan seseorang akan merasa senang apabila me reka berada bersama dengan orang lain yang memiliki nilai dan perilaku yang sama. Keanggotaan kelompok dan interaksi dianggap sebagai determinan utama dari kelas sosial seseorang.
5. Kesadaran kelas. Kelas sosial seseorang ditunjukkan sampai jangkauan tertentu dengan seberapa sadar orang tersebut akan kelas sosial di dalam suatu masyarakat. Individu yang sadar akan perbedaan kelas lebih mungkin berasal dari kelas yang lebih tinggi, walaupun individu dari kelas sosial yang lebih rendah mungkin lebih sadar akan realitas kelas sosial secara keseluruhan. 6. Orientasi nilai. Nilai adalah kepercayaan bersama mengenai bagaimana orang
harus berperilaku sehingga akan menunjukkan kelas sosial dimana seseorang termasuk didalamnya. Ketika sekelompok orang berbagi seperangkat keyakinan bersama yang abstrak yang mengorganisasi dan menghubungkan banyak sifat spesifik, adalah mungkin untuk menggolongkan individu di dalam kelompok dengan tingkat dimana ia memiliki nilai tersebut.
(57)
Menurut Sumarwan (2002), masyarakat Indonesia secara tidak disadari sering mengelompokan masyarakat ke dalam beberapa kelas, misalnya kelas bawah, kelas menengah, dan kelas atas. Tiga kelas tersebut yang paling banyak disajikan di dalam berbagai media. Namun, sampai saat ini belum ada studi yang mendalam apa kriteria bagi ketiga kelas tersebut. Kelas sosial sebenarnya menggambarkan suatu konsep yang kontinus, yaitu suatu penggolongan kelas dari yang paling rendah sampai yang paling atas. Engel et. al (1994) mengelompokkan konsumen menjadi enam kelas sosial, yaitu : atas-atas, atas-bawah, menengah-atas, menengah-bawah, bawah-atas dan bawah-bawah. Untuk memudahkan penelitian, pembagian kelas tersebut disederhanakan menjadi beberapa strata, yaitu kelas bawah, kelas menengah dan kelas atas.
2.8 Hasil Pene litian Terdahulu
Perilaku konsumen terhadap produk dan jasa selalu berkembang sehingga telah banyak dilakukan penelitian sebelumnya antara lain oleh Suryana (2003), Pradesha (2004) dan Lastry (2006).
Suryana (2003) melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen dalam proses keputusan pembelian beras domestik dan impor di Kecamatan Bojong Tengah berdasarkan kelas sosial. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi konsumen dalam pembelian beras domestik dan impor. Konsumen dibagi ke dalam tiga kelas sosial yaitu kelas atas, menengah dan bawah. Pengolahan data dengan analisis faktor menghasilkan bahwa terdapat tiga komponen utama yang dipertimbangkan konsumen pada setiap kelas dalam memutuskan untuk membeli
(1)
Lampiran 2. Data Mentah untuk Perubahan Jenis Beras
No.
Resp
Y
Yrt
Jmlh
Kons
1
1
800000
72
2
1
750000
72
3
0
800000
30
4
0
900000
48
5
1
900000
20
6
0
850000
24
7
0
650000
15
8
0
700000
40
9
1
850000
15
10
1
1000000
20
11
1
900000
24
12
1
750000
24
13
1
1200000
20
14
0
1000000
32
15
0
1200000
60
16
0
1100000
32
17
1
750000
20
18
0
800000
36
19
0
650000
48
20
0
1200000
20
21
1
3500000
50
22
0
3000000
25
23
0
2500000
30
24
0
3500000
25
25
1
2500000
40
26
0
4000000
50
27
0
3500000
50
28
0
3000000
32
29
1
2500000
40
30
1
3000000
20
31
0
2500000
20
32
1
3000000
25
33
0
2500000
15
34
1
2500000
24
35
0
3000000
25
36
1
2500000
24
37
1
2500000
25
38
1
2500000
40
39
1
4000000
25
40
1
4500000
50
41
0
6000000
20
42
0
6000000
50
43
0
6000000
20
44
0
7500000
50
45
0
7000000
20
46
0
10000000
50
47
0
6000000
40
48
0
9000000
50
49
0
7500000
25
50
0
7500000
20
51
1
850000
20
52
1
700000
24
53
1
850000
20
54
0
800000
20
55
0
1200000
20
56
0
900000
20
57
1
750000
24
58
0
1000000
36
59
0
900000
72
60
0
800000
24
61
1
1200000
24
62
0
900000
48
63
0
1100000
20
64
0
1000000
36
65
0
600000
24
66
1
900000
36
67
0
750000
24
68
0
600000
72
69
0
800000
24
70
1
1000000
48
71
1
5000000
36
72
0
2500000
40
73
0
2500000
48
74
0
3500000
30
75
0
3000000
25
76
1
3000000
24
77
1
3000000
25
78
1
2500000
25
79
0
4000000
36
80
1
2500000
20
81
0
2500000
40
82
0
3500000
25
83
0
4000000
25
84
0
3000000
25
85
1
3500000
15
86
0
4500000
20
87
1
3000000
40
88
0
3000000
40
89
0
4500000
40
90
1
3000000
40
91
0
6000000
25
92
0
5500000
40
93
0
7500000
20
94
0
6000000
40
95
0
8000000
20
96
0
8000000
40
97
0
6000000
40
98
0
10000000
50
99
0
8000000
50
100
0
7500000
40
(2)
Lampiran 3. Data Mentah untuk Perubahan Frekuensi Pembelian
No.Resp Y Pberas
Jmlh
Pemb D1 D2 1 0
4500
2,4
1 0 2 04500
2,4
1 0 3 14500
10
1 0 4 15000
1,6
1 0 5 04500
10
1 0 6 04000
0,8
1 0 7 16000
5
1 0 8 05000
40
1 0 9 16000
5
1 0 10 06000
20
1 0 11 04500
0,8
1 0 12 04000
0,8
1 0 13 04500
20
1 0 14 15000
8
1 0 15 04000
2
1 0 16 05000
16
1 0 17 05000
5
1 0 18 04500
1,2
1 0 19 05000
1,6
1 0 20 05000
20
1 0 21 06500
50
0 1 22 06200
25
0 1 23 16500
10
0 1 24 06200
25
0 1 25 06400
40
0 1 26 06500
50
0 1 27 07500
50
0 1 28 06200
16
0 1 29 05500
20
0 1 30 16000
5
0 1 31 07000
20
0 1 32 06000
25
0 1 33 06200
5
0 1 34 16000
8
0 1 35 06000
25
0 1 36 16500
8
0 1 37 06000
25
0 1 38 16500
10
0 1 39 17000
25
0 1 40 05000
50
0 1 41 08000
20
0 0 42 09000
50
0 0 43 08000
20
0 0 44 07000
50
0 0 45 07500
20
0 0 46 08000
25
0 0 47 07500
20
0 0 48 07000
25
0 0 49 08000
25
0 050 0
9000
20
0 0 51 05000
5
1 0 52 15000
0,8
1 0 53 15500
5
1 0 54 15000
5
1 0 55 05000
5
1 0 56 05500
20
1 0 57 14000
0,8
1 0 58 04500
1,2
1 0 59 04500
2,4
1 0 60 15000
0,8
1 0 61 05000
0,8
1 0 62 15500
1,6
1 0 63 15000
5
1 0 64 04500
1,2
1 0 65 15000
0,8
1 0 66 04500
1,2
1 0 67 04500
0,8
1 0 68 04500
2,4
1 0 69 04500
0,8
1 0 70 15000
1,6
1 0 71 06500
1,2
0 1 72 16200
40
0 1 73 05500
1,6
0 1 74 06000
10
0 1 75 16500
25
0 1 76 05500
0,8
0 1 77 15500
25
0 1 78 16000
25
0 1 79 07000
1,2
0 1 80 06000
20
0 1 81 16500
40
0 1 82 06500
25
0 1 83 07500
25
0 1 84 16500
25
0 1 85 17000
5
0 1 86 07500
20
0 1 87 16000
40
0 1 88 16500
40
0 1 89 08000
40
0 1 90 07000
40
0 1 91 08000
25
0 0 92 07500
20
0 0 93 09000
20 0 0 94 17500
40 0 0 95 09000
20 0 0 96 08500
20 0 0 97 08000
20 0 0 98 07500
50 0 0 99 07000
50 0 0 100 09000
40 0 0(3)
1 kali 2 kali 3 kali Total Sebelum 10 51 39 100 10,00 52,50 37,50
0,000 0,043 0,060
Setelah 10 54 36 100 10,00 52,50 37,50
0,000 0,043 0,060
Total 20 105 75 200 Chi-Sq = 0,206; DF = 2; P-Value = 0,902
Chi-Square Test: mie instan; roti; sereal; kentang (Jenis Pangan Lain)
mieinstan roti sereal kentang Total Sebelum 75 64 14 22 175 82,35 57,65 12,35 22,65
0,657 0,700 0,220 0,018
Setelah 85 48 10 22 165 77,65 54,35 11,65 21,35
0,696 0,743 0,233 0,020
Total 160 112 24 44 340 Chi-Sq = 3,286; DF = 3; P-Value = 0,350
Chi-Square Test: < 1 kg; 1-2 kg; > 2kg (Jumlah Konsumsi)
< 1 kg 1-2 kg > 2kg TotalSebelum 47 44 9 100 49,00 43,00 8,00
0,082 0,023 0,125
Setelah 51 42 7 100 49,00 43,00 8,00
0,082 0,023 0,125
Total 98 86 16 200 Chi-Sq = 0,460; DF = 2; P-Value = 0,795
(4)
Chi-Square Test: IR64; Cisadane; Setra Ramos; Cianjur; Rojolele; Pandan
Wangi (Jenis Beras)
Setra Pandan
IR64 Ramos Cianjur Rojolele Wangi Total Sebelum 26 15 5 31 23 100 31,50 18,00 7,00 23,50 20,00
0,960 0,500 0,571 2,394 0,450
Setelah 37 21 9 16 17 100 31,50 18,00 7,00 23,50 20,00
0,960 0,500 0,571 2,394 0,450
Total 63 36 14 47 40 200 Chi-Sq = 9,751; DF = 4; P-Value = 0,045
Chi-Square Test: 1 kali; 2 kali; 3 kali; 4 kali; 30 kali (Frekuensi Pembelian)
1 kali 2 kali 3 kali 4 kali 30 kali TotalSebelum 46 25 4 5 20 100 45,50 17,50 6,50 7,00 23,50
0,005 3,214 0,962 0,571 0,521
Setelah 45 10 9 9 27 100 45,50 17,50 6,50 7,00 23,50
0,005 3,214 0,962 0,571 0,521
Total 91 35 13 14 47 200 Chi-Sq = 10,548; DF = 4; P-Value = 0,032
Chi-Square Test: < 1 kg; 1-5 kg; 5-20 kg; > 20 kg (Juml ah Pembelian per
Frekuensi Pembelian)
<1 kg 1-5 kg 5-20 kg >20 kg Total Sebelum 5 20 43 32 100 8,00 23,50 35,50 33,00
1,125 0,521 1,585 0,030
Setelah 11 27 28 34 100 8,00 23,50 35,50 33,00
1,125 0,521 1,585 0,030
Total 16 47 71 66 200 Chi-Sq = 6,522; DF = 3; P-Value = 0,089
(5)
Chi-Square Test: Pasar; Warung; Supermarket (Tempat Pembelian Beras)
Pasar Warung Supermarket TotalSebelum 43 37 20 100 40,50 41,00 18,50
0,154 0,390 0,122
Setelah 38 45 17 100 40,50 41,00 18,50
0,154 0,390 0,122
Total 81 82 37 200 Chi-Sq = 1,332; DF = 2; P-Value = 0,514
(6)
Lampiran 5. Hasil Uji Model Regresi Logistik
Binary Logistic Regression: Y versus Yrt; Jmlh Kons (Jenis Beras)
Link Function: LogitResponse Information Variable Value Count
Y 1 35 (Event) 0 65
Total 100 Logistic Regression Table
Odds 95% CI Predictor Coef SE Coef Z P Ratio Lower Upper Constant 0,742036 0,627336 1,18 0,237
Yrt -0,0000003 0,0000001 -2,75 0,006 1,00 1,00 1,00 Jmlh Kons -0,0148480 0,0162922 -0,91 0,362 0,99 0,95 1,02
Log-Likelihood = -59,226
Test that all slopes are zero: G = 11,037, DF = 2, P-Value = 0,004
Goodness-of-Fit Tests
Method Chi-Square DF P Pearson 64,5245 66 0,528 Deviance 81,5362 66 0,094 Hosmer-Lemeshow 11,0241 8 0,200
Binary Logistic Regression: Y versus P; JmlhPemb; D1; D2 (Frekuensi
Pembelian)
Link Function: Logit Response Information Variable Value Count
Y 1 30 (Event) 0 70
Total 100 Logistic Regression Table
Odds 95% CI Predictor Coef SE Coef Z P Ratio Lower Upper Constant -6,59576 3,52004 -1,87 0,061
Pberas 0,0005187 0,0004182 1,24 0,215 1,00 1,00 1,00 JmlhPemb -0,0205208 0,0203152 -1,01 0,312 0,98 0,94 1,02 D1 3,57767 1,75302 2,04 0,041 35,79 1,15 1111,64 D2 3,23507 1,31532 2,46 0,014 25,41 1,93 334,66
Log-Likelihood = -55,220
Test that all slopes are zero: G = 11,732, DF = 4, P-Value = 0,019 Goodness-of-Fit Tests
Method Chi-Square DF P Pearson 90,0924 56 0,013 Deviance 80,4834 56 0,018 Hosmer-Lemeshow 13,6139 8 0,092