kondisi eksisting beberapa tebing terjal dan tepi sungai di kota penelitian

53 tinggi dari transportasi angkutan kota terutama untuk angkutan kota sehari-hari dan kenderaan wisata, d cukup banyaknya areal yang memiliki landscape scenic amenity yang perlu dilindungi melalui penghijauan untuk mendukung terwujudnya konsep “Kota dalam Taman”, dan e nilai historik kota kota kolonial, kota tropisch indies yang memiliki nilai arsitektural romantisme berdasarkan dominansi dari keberadaan dan ragam jenis pohon tropikal tertentu seperti damar, palem raja, flam-boyan, kenari, mahoni, asem dan lapangan rumput serta berbagai bangunan dan struktur kolonial yang perlu dilestarikan untuk kepen-tingan nilai kesejarahan situs sejarah dalam bentuk lanskap kota atau bagian kota dan kepariwisataan Gambar 15.

a: kondisi eksisting beberapa tebing terjal dan tepi sungai di kota penelitian

b: contoh perlakuan RTH untuk lahan berkemiringan, digambar Damayanti, 2000 Gambar 14. Salah satu bentuk RTH pada tebing dan sungai 54 Gambar 15. Jenis RTH kota penciri suasana Tropisch Indies yang perlu dilestarikan guna mendukung kualitas lingkungan dan kesejarahan kota 5.1.2. Ketersediaan RTH Kota Berdasarkan Bentuk Bentuk suatu RTH, secara ekologis maupun arsitektural dan sosial, terkait dengan fungsi dan lokasi penempatannya Forman dan Godron 1986; Mc Harg 1995, Simonds 1983, Tuan 1977. Karena itu, RTH dalam suatu kota haruslah memiliki bentuk tertentu untuk dapat menyatakan fungsinya pada suatu posisi ruang tertentu guna mendapatkan manfaat tertingginya, yang dapat dinyatakan sebagai RTH fungsional. RTH dalam kota penelitian ini memiliki keragaman bentuk yang tinggi, dimulai dari bentuk yang fungsional sesuai dengan persyaratan fungsinya dan tata ruang perkotaan sampai dengan RTH yang tidak fungsional. Pada Lampiran 3 Tabel 3.a. dapat dilihat enam bentuk utama RTH fungsional yang dijumpai dalam Kota Bogor serta prakiraan luas areal tiap bentuk utama ini. Dari enam bentuk utama RTH yang diamati, untuk selanjutnya dinilai oleh masyarakat perkotaan ini, terlihat bahwa RTH berbentuk jalur linear, koridor mendominasi bentuk-bentuk penghijauan dalam wilayah Kota Bogor, yaitu sejumlah 89.32, dan subbentuk jalur terluas adalah jalur hijau tepi kota urban green belt yaitu sejumlah 84.80. Luasan lahan dari bentuk RTH lainnya, mengelompok dan jalur, hanya mencapai jumlah 10.00. Jalur hijau tepi sungai, yang seharusnya merupakan lahan potensial untuk pengembangan dan pelestarian RTH yang bermanfaat mendukung fungsi lingkungan alami untuk wilayah perkotaan, tidak memiliki luasan RTH yang cukup memadai yaitu hanya berjumlah 1.04. a RTH bentuk kawasan RTH mengelompok berbentuk kawasan RTH kawasan merupakan RTH yang relatif memadai luasannya dan menduduki peringkat kedua 7.97 dalam jumlah luas RTH kota setelah jalur hijau tepi kota urban green belt. Bentuk RTH ini umumnya merupakan areal rekreasi publik seperti Kebun Raya dan Istana Presiden, Taman Ade Irma Suryani, Lapangan Sempur, lahan-lahan untuk kebun percobaan milik lembaga-lembaga penelitian pertanian dan kehutanan, areal kawasan lindung areal lindung 55 pada tebing-tebing sungai dan perbukitan lainnya, dan areal pemakaman. Walaupun masih cukup luasannya dalam skala wilayah kota, beberapa RTH kawasan ini juga telah mulai berkurang luasnya terutama karena kegiatan pembangunan kota seperti pelebaran jalan atau kon-versi lahan untuk manfaat ekonomi menjadi pusat jajanan, pembangunan kios. Bentuk RTH kawasan ini, pada awal perkembangan kota, merupakan suatu bentuk RTH kebanggaan dan pembentuk karakter kota penelitian ini Gambar 15. Seperti juga yang banyak dilakukan pada kota-kota besar dunia New York dengan Central Park, London dengan Hyde Park, Jakarta dengan Taman Medan Merdeka atau Taman Monas, RTH berbentuk kawasan ini mengelompok dan relatif luas arealnya merupakan suatu bentuk lahan yang ideal dan potensial untuk mendukung perbaikan kualitas lingkungan kota. Semakin luas lahan RTH kawasan ini maka akan semakin efektif dalam perbaikan kualitas lingkungan terutama bila dikembangkan pada pusat-pusat kota yang umumnya memiliki kepadatan bangunan yang tinggi atau lantai hijau yang rendahsedikit. Disamping itu, lahan dengan RTH kawasan yang relatif luas juga dapat mengakomodasikan fungsi- fungsi RTH lainnya terutama fungsi sosial rekreasi, edukasi sehingga ketersediaannya dan kelestariannya perlu untuk dipertahankan. Bila terjadi penurunan jumlah dan luas RTH kawasan untuk kota penelitian ini, maka tidak saja akan menurunkan nilai kesejarahan kota yang merupakan aset budaya dan aset wisata kota, juga akan menurunkan manfaat lingkungan lain arsitektural dan terutama biofisik yang dihasilkan oleh RTH yang luas ini. b RTH bentuk simpul RTH simpul berfungsi utama arsitektural yaitu untuk mengarahkan dan menata estetika ruang kota, serta sebagai bentukan ruang pengikat sistem per-tamanan kota Nurdin 1999; Simonds 1994; Waluyo 1990. Menurut Waluyo 1990, taman-taman bentuk RTH simpul yang terdapat disekitar permukiman “lama” dibagian kota Bogor awal yaitu yang dibangun pada periode masa atau pada akhir kolonial tahun 1940-1950, merupakan taman-taman yang mengikuti pola taman-taman di Eropa saat itu yaitu taman-taman pasif tidak digunakan untuk kegiatan aktif a.l. olah 56 raga, jadi hanya untuk dinikmati secara visual yang hanya berfungsi sebagai “pengikat” antar kawasan permukiman. RTH berbentuk simpul contoh adalah taman-taman kota, pocket parks, traffic islands walaupun tidak memiliki jumlah luasan yang tinggi tetapi keber-adaannya cukup nyata dalam mendukung ide untuk menjadikan kota ini sebagai “Kota dalam Taman”. Untuk memperkuat karakter Bogor sebagai “Kota dalam Taman” maka kualitas RTH simpul atau taman-taman kota ini dianjurkan untuk di dilestarikan dan redesign mengikuti pola awal sehingga nilai sosial kesejarahan-nya dapat menjadi tema kota dan mendukung kualitas estetika lingkungan kota. c Jalur hijau tepi jalan Di dalam kota penelitian, jalur jalan raya merupakan salah satu sarana transportasi kota yang utama, dimana panjang jalan seluruhnya di kota ini adalah ± ± 71 000 km, yang terdiri dari jalan negara ± ± 16 000 km 22.86, jalan propinsi ± ± 7 000 km 9.86, dan jalan kotamadya ± ± 47 000 km 66.20. Karena a merupakan jalur transportasi utama yang tetap keberadaannya di suatu lokasi, dan b luas jalur jalan kepemilikan Pemda yang relatif tinggi 66.20 maka penghijauan yang intensif pada tepi jalan raya akan dapat mendukung program perbaikan kualitas lingkungan sehingga perlu untuk dikelola dengan baik untuk pelestarian ketersediaannya dan manfaat lingkungannya. Jalur hijau jalan raya, dibandingkan dengan bentuk RTH lainnya memiliki peringkat luasan ketiga atau hanya 3.23 dari luas RTH total kota setelah jalur hijau tepi kota 84.80 dan RTH kawasan 7.97. Jalur hijau jalan raya ini merupakan RTH pembentuk ruang kegiatan transportasi yang ditata dengan mengakomodasikan fungsi arsitektural penyangga, keteduhan, keteraturan, keindahan, pengarah, identitas, pembentuk karakter, dan fungsi biofisik biofilter yang mereduksi bahan pencemar udara dan kebisingan, kenyamanan dan kesegaran. Untuk kasus kota Bogor, jalur hijau jalan raya ini juga merupakan salah satu ruang terbuka pembentuk karakter alami kota terutama karena keberadaan pohon-pohon besar yang membentuk jalur hijaunya dengan posisi radial dalam ruang kota lihat Gambar 9a dan Gambar 10. Pada jalur lingkar kebun raya maka keberadaan jalur pedestrian juga merupakan nilai tambah bagi jalur hijau tepi jalan ini. Sesuai dengan fungsinya sebagai 57 kota wisata dan peristirahatan maka sebagian besar pohon tepi jalan yang telah berumur puluhan tahun, yang merupakan elemen utama pembentuk RTH tepi jalan ini dan aset sumberdaya alam kota, masih tetap dipertahankan dan dilestarikan keberadaannya. Menurut Schmid 1979, semakin banyak suatu kota memiliki pohon-pohon tua yang ter-pelihara dengan baik maka semakin tinggi nilai dari kota tersebut. Keunikan RTH tepi jalan sebagai elemen alami kota kolonial Tropisch Indies yang masih tetap dipertahankan pada beberapa bagian utama kota jalur hijau jalan raya sekitar istana presiden dan sebagian besar lingkar kebun raya, jalan Ahmad Yani, cenderung akan dapat menjamin fungsi, keberadaan serta kelestarian jalur hijau tepi jalan ini; tetapi hal yang sebaliknya akan cenderung terjadi bila terjadi perubahan tema kota. Pada masa mendatang diharapkan jalur hijau tepi jalan akan tetap dipeli-hara guna mengendalikan peranan pentingnya dalam menjaga kenyamanan dan perlindungan wilayah fungsi biofisik, keindahan dan keteraturan serta karakter kota fungsi arsitektural, dan kebanggaan kota fungsi sosial yang cukup nyata mengingat relatif panjangnya jalur jalan dalam kota, terutama yang dimiliki atau yang berada dibawah pengelolaan Pemda merupakan ruang milik publik. Keberadaan pohon-pohon besar dan tua tetap dipertahankan untuk aset dan nilai kota, dan diupayakan untuk merancang model pengelolaan yang tepat untuk mempertahankan keberadaan pohon-pohon ini. d Jalur hijau lintas kereta Jalur hijau lintas kereta menduduki peringkat luas yang terendah 0.25, dibandingkan dengan bentuk RTH lainnya. Hanya terdapat satu jalur hijau lintas kereta di kota ini dan dari data pengamatan lapangan diketahui bahwa hampir seluruh bagian jalur lintas kereta ini tidak memiliki kualitas penghijauan yang memadai dan fungsional sehingga perlu redesign untuk mengoptimalkan fung-sinya sebagai jalur hijau penyangga. Untuk tidak mengganggu sistem transpor-tasi kereta api ini maka jalur hijau dialokasikan diluar areal DAWASJA Daerah pengawasan jalan atau ∀ ∀15 m dari daerah DAMAJA Daerah manfaat jalan :jalan rel beserta bidang tanah atau bidang lain di kiri atau kanannya yang diper-gunakan untuk kontruksi jalan rel 58 Adanya jalur hijau disamping lintasan kereta bukan jenis tanaman yang tinggipohon sangat penting mengingat fungsinya sebagai ruang penyangga pengaman antara kegiatan transportasi kereta dengan warga kota sehingga keberadaan RTH ini dapat menghindari terjadinya kecelakaan pada warga kota fungsi sosial RTH, dan terutama bermanfaat untuk meredam kebisingan dan sebagai penjerab debu yang merupakan hasil kegiatan lalu lintas kereta api ini fungsi biofisik. RTH ini juga menjadi penting untuk penyangga terjadinya van-dalisme yang sering terjadi di lintasan kereta kota penelitian ini. e Jalur hijau tepi sungai Diketahui bahwa lahan bervegetasi atau RTH ditepian sungai dapat berfungsi untuk mengurangi bahaya erosi, mencegah longsor tebing, menjaga kestabilan saluran dan kualitas air serta juga memiliki nilai-nilai lain yang terkait dengan kebutuhan hidup manusia yaitu kepentingan estetik dan rekreasi alam. Kota Bogor dilalui oleh 2 dua sungai utama dan 9 sembilan anak- anak sungai dengan panjang ± ± 105.73 km, dan panjang jalur hijaunya ± ± 76.7 km 73 dengan ketebalan rata-rata ± ± 3.0 m. perhitungan planimetrik dan pengamatan lapangan. Walaupun luas areal untuk peruntukan RTH berbentuk jalur hijau di tepian sungai ini sangat potensial untuk penyumbang peningkatan kualitas lingkungan wilayah kota, tetapi tidak semua tepi atau bantaran sungai di kota penelitian tertutupi oleh vegetasi, atau bila ada sering tidak terstruktur dengan baik tidak fungsional pada lahan kota yang terbatas dan juga relatif mahal. Ketersediaannya di kota penelitian relatif sangat kecil yaitu hanya 51.90 Ha atau 1.04 dari luas total RTH kota, atau ∀ ∀ 30 dari RTH jalur hijau tepi jalan. Gambar 16 memperlihatkan tiga model penutupan lahan yang umumnya dijum-pai pada beberapa bagian tepi sungai dalam kota, yaitu: a penutupan lahan dengan tanaman pertanian persawahan, lahan untuk tanaman palawija, b penutupan lahan dengan tanaman yang tumbuh secara alami, dan c penutupan lahan dengan perumahan yang diseling dengan tanaman dengan intensitas rendah-sangat rendah. 59 Gambar 16. Contoh model penutupan lahan tepi sungai di kota penelitian Sangat jarang dijumpai tepi sungai tertutupi penuh oleh lahan bervegetasi kecuali areal kebun raya. Posisi sungai-sungai dan anak-anak sungainya yang membelah kota merupakan lahan potensial untuk memperbaiki kualitas lingkung-an dalam kota. Karena itu penghijauan jalur tepi atau bantaran sungai, melalui kegiatan konservasi, revegetasi, dan penambahan areal RTH, di kota penelitian disarankan untuk dilakukan dan ditingkatkan ketersediaannya berdasarkan hal-hal sebagai berikut: potensi areal bantaran yang tinggi untuk areal penghijauan kota ber-dasarkan peraturan pemerintah maka lebar sempadan sungai adalah 50-100 m untuk dalam kota dan saat ini lebar areal hijau rata-rata kota penelitian adalah ∀ ∀3 m, pelindung areal ekoton kondisi sumberdaya alam dan lingkungan yang mendukung curah hujan yang tinggi, jenis tanah latosol yang subur tetapi agak peka ter-hadap erosi, dan bentukan sungai yang memiliki banyak kelokan yang bernilai lingkungan yang tinggi sinuositas, penyangga alami biofilter untuk mencegah terjadinya bahaya untuk manusia banjir bandang, palung berbahaya pada sungai Ciliwung dan Cisadane, dan biofiltering terhadap penurunan kualitas air yang berasal dari buangan sampah, padatan tanah akibat erosi, dan lainnya peluang untuk areal rekreasi alam. f Jalur hijau tepi kota Dari empat subbentuk jalur penghijauan ini maka jalur hijau tepi kota juga dikenal dengan istilah sabuk hijau, urban greenbelt, urban forest belt a Wilayah Katulampa b Tebing sungai Jl Martadinata c Tebing Sempur 60 menduduki peringkat tertinggi, yaitu 84.80 dari luas RTH total. Secara kuantitatif, luas jalur hijau tepi kota ∀ ∀5 lima kali lebih luas dibandingkan dengan bentuk RTH lain dan menutupi ∀ ∀ 35.60 luas lahan kota . Berdasarkan pengamatan dan verifikasi di lapangan terlihat bahwa kota penelitian ini masih memiliki lebar dan keliling jalur hijau tepi kota yang relatif baik, walaupun pada beberapa lokasi cenderung menipis dan berubah menjadi bentuk jalur tepi jalan dan pekarangan rumah. Untuk kelestarian dan kenyaman-an lingkungan sistem perkotaan di kota penelitian ini maka ketersediaan dalam jumlah areal dan kualitas dari jalur hijau tepi kota ini perlu untuk dipertahankan dan dikembangkan mengingat semakin berkurang dan cenderung “tertekannya” keberadaan dan ketersediaan lahan-lahan untuk kepentingan lingkungan per-kotaan ini. Hal ini didukung oleh banyaknya kepentingan dari green belt atau forest belt ini yaitu sebagai pengendali perkembangan kota secara fisik, sumber pangan kota, sumber O 2 , dan penurun suhu kota Bernatzky 1978; Bidwell 1974; Carpenter et al. 1975; Gilpin 1996; dan Pribadi 1999. Disamping itu, fungsinya sebagai areal rekreasi publik Brockman dan Meriem 1973; Gilpin 1996: Gunadi 1998; Simonds 1994 dan juga sebagai koridor pergerakan satwa liar seperti burung dan mamalia kecil Pakpahan 1993. Nilai sewa lahan yang relatif lebih rendah pada bagian tepi-tepi kota akan mendukung keberadaan RTH jalur tepi kota yang luas bila disertai dengan perencanaan dan pengelolaan yang baik terhadap fungsi-fungsi RTH terutama terhadap fungsi lingkungan. Dari berbagai penelitian di beberapa kota Amerika diketahui bahwa, keberadaan greenbelt ini juga berperan dalam meningkatkan nilai jual lahan serta perumahan Correll et al. 1978; Diamonds 1980; McPherson 1996; More et al. 1981 sehingga keberadaan greenbelt di Kota Bogor, minimal seperti yang telah ada saat ini, cukup potensial untuk dapat meningkatkan nilai perekonomian kota ini terutama jika dihubungkan dengan arahan Pemerintah Daerah untuk menjadikan Kota Bogor sebagai dormitory town dan juga untuk kepentingan kepariwisataan. Saat ini, karena terjadinya perluasan Kota Bogor maka bentuk jalur hijau tepi kota ini cenderung berkurang karena adanya perluasan kota terutama oleh pembangunan permukiman, dan terjadinya konversi fungsi yaitu dari fungsi alami menjadi fungsi sosial atau rekreasi seperti 61 pembukaan areal resort, padang golf yang mengurangi fungsi utamanya sebagai areal biofisik dan sosial. Tetapi keberadaan greenbelt Kabupaten Bogor yang terletak pada bagian barat dan utara kota, yang berbentuk lahan-lahan pertanian dan perkebunan, atau areal permukiman dengan KDB Koefisien Dasar Bangunan yang rendah membantu dalam mempertahankan ketebalan jalur hijau tepi kota ini, sehingga kenyamanan lingkungan dalam kota relatif dapat masih dapat dipertahankan. Walaupun tidak atau belum diketahui secara pasti ketebalan fungsional suatu jalur hijau tepi kota greenbelt, tetapi menurut Forman dan Godron 1978 bentuk RTH yang fungsional adalah bentuk yang relatif besar dalam ukuran memanjang maupun melebar, serta yang tidak terputus bersambungan. Bila kelestarian dan kenyamanan lingkungan alami kota secara fisik ingin diper-tahankan maka green belt merupakan suatu alternatif bentuk RTH berfungsi ganda yang potensial dan harus dipertahankan ketersediaannya dalam kawasan Kota Bogor ini. Ketersediaan bentuk RTH jalur hiijau tepi kota atau greenforest belt ini juga dapat menjadi satu nilai tambah bagi kualitas lingkungan kota Bogor, karena banyak kota-kota besar Indonesia, akibat pembangunan dan pengem-bangan kota yang tidak terkendali, telah kehilangan lahan-lahan hijau sebagai pembatas alami kotanya. 5.1.3. Distribusi Ketersediaan RTH dalam Wilayah Kota Distribusi RTH dalam suatu wilayah perkotaan penting artinya jika dilihat dari berbagai manfaat lingkungan yang dimilikinya. Distribusi RTH yang relatif merata secara spasial pada tiap bagian wilayah kota terutama bagian kota yang bermasalah dalam bahaya dan kualitas lingkungan seperti pencemaran udara, terjal dan berpotensi longsor, erosi tebing sungai, kebutuhan per penduduk seperti untuk pendukung kesehatan, kenyamanan, rekreasi alami, dan tiap satuan fungsional subwilayahkawasan perdagangan, permukiman, industri, dll maka ketersediaan RTH ini akan bermanfaat dalam menjaga dan mengendalikan kualitas lingkungan di seluruh atau di bagian kota dan dalam melayani kepen-tingan sosial dan rekreasi warga kota. Untuk mendukung hal-hal ini maka analisis distribusi dan kebutuhan RTH per wilayah akan menjadi hal yang penting. 62 a Distribusi RTH Berdasarkan Wilayah Administratif Distribusi RTH untuk tiap wilayah kecamatan di kota penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 3 Tabel 3.b. Rasio luas RTH terhadap kota dan kecamat- an yang dinilai cukup tinggi, selain menggambarkan tingkat kenyamanan juga untuk mengendalikan dan menambah kualitas lingkungan dan keindahan alami kota. Dari Lampiran 3 Tabel 3.b diketahui bahwa kota penelitian memiliki RTH total sebesar 41.99 yang sesuai berdasarkan peraturan perundangan, yaitu Inmendagri No.14 tahun 1988. Walaupun demikian, untuk mendapatkan manfaat yang efektif, perlu juga diketahui distribusi RTH sesuai dengan kerawanan fisik lahan, struktur ruang kota dan lokasi konsentrasi penduduk. Wilayah kecamatan yang memiliki lahan yang peka atau mudah longsor dan daerah resapan air merupakan contoh alokasi RTH yang harus ada, demikian juga kecamatan dengan konsentrasi kegiatan hunian dan rekreatif masyarakat. Secara fisik, alokasi RTH masih dipertahankan tetapi cenderung terjadi pengurangan luas RTH, dalam jumlah konversi lahan dan kualitasnya konversi bentuk dan fungsi. Tabel 3.b pada Lampiran 3 juga menggambarkan peringkat rasio RTH terhadap luas lahan kota dimana rasio tertinggi pada skala kota, dijumpai di Kecamatan Bogor Selatan 1:12.88 dan terendah di Bogor Tengah 1:1.37, dan peringkat tertinggi untuk skala kecamatan didapatkan di kecamatan Tanah Sareal dan terendah di Bogor Tengah. Terdapat kecenderungan bahwa: a semakin menuju ke luartepi kota maka nilai rasio untuk lahan hijau ini terhadap lahan kota akan semakin tinggi. b pada bagian pusat kota didominasi oleh RTH kawasan yaitu RTH yang mengelompok dan dalam ukuran yang relatif luas, dan pada bagian tepi kota didominasi oleh RTH berbentuk jalur hijau tepi kota. Perbedaan dalam nilai ekonomi lahan rent diduga merupakan penyebab perbedaan nilai peringkat ini dimana lahan yang terdapat di bagian tengah kota yang didominasi oleh kawasan perdagangan dengan sewa yang mahal memiliki RTH yang lebih sedikit dibandingkan dengan lahan yang terdapat dibagian tepi kota yang memiliki RTH yang luas. Lahan tepi kota ini masih didominasi oleh lahan pertanian dengan nilai sewa lahan yang lebih rendah. 63 Bogor Tengah merupakan subwilayah kota dengan rasio dan luas RTH yang paling rendah. Peruntukan tata ruang kecamatan ini sebagai pusat kawasan perdagangan Central Business District, CBD, yang umumnya memiliki nilai sewa lahan yang tinggi, diduga merupakan kendala utama dalam usaha pengem- bangan RTH di wilayah ini, kecuali bagi penambahan atau perubahan kualitas RTH simpul yang berbentuk taman-taman kota. Keberadaan Kebun Raya dan Istana Presiden serta lapangan olah raga Sempur, yang merupakan penentu luas areal RTH di bagian kota ini, harus tetap dipertahankan keberadaannya karena RTH ini merupakan ruang publik utama berskala kota untuk penentuan kualitas lingkungan tidak hanya dalam skala kecamatan tetapi juga skala kotamadya. Kecamatan Bogor Selatan dan Tanah Sareal merupakan areal dengan luas areal RTH yang relatif tinggi. Kedua kecamatan ini berposisi dibagian tepi kota yang masih didominasi oleh areal hijau dalam berbagai bentuk dan fungsi. Diharapkan, dua kecamatan ini dan juga tiga kecamatan lain yang mengelilingi bagian tengah kota penelitian dapat mempertahankan luas dan ketebalan RTHnya sehingga kenyamanan alami kota serta kelestarian sistem kota berke- lanjutan dan tema “Kota dalam Taman” dapat diwujudkan. b Distribusi RTH Berdasarkan Bentuk RTH Distribusi RTH berdasarkan bentuknya dapat dilihat pada Lampiran 3 Tabel 3.c. lihat Gambar 10 dan Gambar 11 pada Bab 4. Pada tabel ini diketahui bahwa RTH simpul, jalur hijau jalan raya dan jalur hijau tepi sungai terdistribusi relatif merata pada tiap kecamatan, dimana masing- masing keberadaannya di-duga merupakan konsekuensi dari: a pengembangan kota penelitian sebagai ”Kota dalam Taman”, b kepentingan dari jalur transportasi darat, dan c banyaknya alur sungai yang melintasi bagian-bagian dalam kota. Bogor Selatan merupakan kecamatan dengan luas dan ragam RTH tertinggi, terutama luas RTH tepi kota yang tertinggi sehingga dapat dinyatakan bahwa wilayah ini merupakan wilayah kota Bogor yang ternyaman ditinjau dari segi lingkungannya. Kurang intensifnya pembangunan fisik disini disebabkan karena wilayah ini merupakan daerah resapan air sehingga kecamatan ini dialo-kasikan sebagai kawasan pengembangan permukiman dengan KDB Koefisien Dasar Bangunan yang sangat rendah, seperti pada areal permukiman Ranca-maya. Hal yang 64 sebaliknya didapatkan pada Kecamatan Bogor Tengah yang merupakan kawasan perdagangan yang didominasi oleh berbagai struktur dan bangunan. Keberadaan Kebun Raya dan RTH istana Presiden serta lapangan olah raga Sempur merupakan pengendali kenyamanan lingkungan di wilayah ini yang perlu untuk dipertahankan dan bila diperlukan dapat diperluas pengaruh perbaikan lingkungannya seperti membuat ketersambungan kanopi pohon-pohon sehingga akan didapatkan keteduhan dan kenyamanan iklim mikro. Dari Tabel 3.c pada Lampiran 3 terlihat bahwa bentuk-bentuk RTH yang potensial untuk meningkatkan kualitas lingkungan pada seluruh bagian wilayah kota berdasarkan pendistribusian RTH adalah 1 bentuk kawasan, 2 jalur hijau jalan raya, 3 jalur hijau tepi sungai dan 4 jalur hijau tepi kota. Karena itu maka: a perbaikan kualitas melalui kegiatan perencanaan dan perancangan kembali bentuk dan fungsi RTH kota pada lokasi tertentu, b peningkatan luas areal untuk RTH, dan perlu untuk diperhatikan dan disarankan guna mewujudkan ide sistem kota berkelanjutan. c Distribusi RTH Berdasarkan Fungsi RTH Distribusi RTH berdasarkan fungsi dapat dilihat di Lampiran 3 Tabel 3.d Dalam olahan data spasial ini, areal yang berfungsi ekonomi tidak dihitung secara terpisah dengan fungsi sosial karena terdapat kesulitan dalam perhitung-an data statistik yang tersedia serta juga kesulitan untuk pemisahannya pada areal yang diamati di lapangan seperti pemisahan antara areal berjualan dan rekreasi Nurdin 1999. Pada kondisi lapangan juga dijumpai areal RTH yang seharusnya didominasi oleh fungsi lindung biofisik karena kondisi lingkungan-nya tebing-tebing terjal, bantaran sungai yang berfungsi lingkungan tinggi, dll tetapi dialokasikan dengan RTH fungsi sosial ekonomi . Dari data pada Lampiran 3 Tabel 3.d. terlihat bahwa fungsi sosial, dalam kasus ini merupakan RTH fungsi sosial ekonomi, mendominasi RTH yang ter-dapat di kota penelitian. Sebaliknya, yang terjadi pada fungsi alami atau biofisik yang umumnya berada pada peringkat terendah di tiap 65 wilayah kecuali untuk Bogor Tengah dan Bogor Barat. Pada dua wilayah ini kontribusi yang tinggi diberikan oleh keberadaan dan luasnya RTH kawasan Kebun raya dan halaman istana, lapangan Sempur dan jalur hijau tepi sungai di Bogor Tengah serta adanya kebun dan hutan milik lembaga – lembaga penelitian pertanian dan ke-hutanan di Bogor Barat. Dominasi fungsi sosial di Kecamatan Bogor Selatan secara arealspasial terutama didukung oleh keberadaan padang golf, daerah resor dan kawasan pertanian milik masyarakat fungsi sosial ekonomi; dan di kecamatan lainnya yaitu dengan keberadaan lahan pertanian rakyat, dan lahan-lahan terbukalahan tidur. Khusus untuk Kecamatan Bogor Tengah, penggunaan RTH sebagai areal untuk berjualan telah banyak mengubah jumlah areal dan fungsi lingkungan utama dari RTH Gambar 17. Gambar 17. Contoh perubahan fungsi RTH dalam kota penelitian Hal lain yang mendukung tingginya luas dan penggunaan fungsi sosial ekonomi 93.34 adalah terbentuknya persepsi bahwa RTH dinyatakan sebagai taman-taman kota, dirancang untuk digunakan untuk fungsi sosial rekreasi dan estetika dan bukan untuk fungsi biofisik perbaikan kondisi dan kualitas lingkung-an terutama perbaikan kualitas udara, air dan tanah dalam kota. Hal lain yang mendukung tingginya fungsi ini yaitu terbentuknya kenyataan historik dari sejarah pembentukan Kota Bogor sebagai kota untuk beristirahat dan berwisata. 66 Kedua fungsi lain, yaitu fungsi biofisikalami dan arsitektural, sangat kecil persentase luasannya, masing-masing 2.61 dan 4.05. Umumnya, kedua fungsi ini terakomodasi dalam jalur hijau di jalan raya dan jalur hijau di bantaran sungai. Walaupun demikian kedua fungsi ini relatif terdistribusi merata pada tiap wilayah kecamatan, dan bila direncanakan dan dirancang dengan tepat akan sangat berperan dalam mendukung fungsi biofisik dan arsitektural kota ini ter-utama dalam kaitannya dengan citra Kota Bogor sebagai “Kota dalam Taman”. d Distribusi RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk Tingkat kenyamanan dan kesehatan kesegaran yang dapat dirasakan oleh penduduk secara fisik pada seluruh dan bagian-bagian wilayah kota dapat dinyatakan melalui pendistribusian RTHnya. Gambar 18 memperlihatkan kontri-busi keberadaan RTH dalam wilayah kota untuk meningkatkan kenyamanan dan kesehatan masyarakat kota, dan Lampiran 3 Tabel 3.e memperlihatkan distribusi RTH per penduduk dalam skala kota dan kecamatan di wilayah kota penelitian. Sebagai pembanding dapat dilihat data ketersediaan ruang-ruang terbuka, ter-masuk taman-taman kota dan RTH, di beberapa kota pada Gambar 19. Berdasarkan rata-rata ketersediaan RTH sebesar 73.69 m 2 per jiwa, dengan selang 15.57 m 2 jiwa Bogor Tengah sampai dengan 115.05 m 2 jiwa Bogor Selatan, maka kondisi kenyamanan dan kesegaran fisik Kota Bogor dapat diklasififikasikan baik. Ketersediaan RTH per penduduk ini relatif cukup tinggi dan diklasifikasikan baik bila dibandingkan dengan kondisi ruang terbuka dan taman pada beberapa kota di Indonesia dan di luar Indonesia Gambar 19. Dalam skala kecamatan diketahui bahwa Bogor Selatan merupakan dae-rah ternyaman, yang dinyatakan dengan tingginya peringkat serta ketersediaan RTH per penduduk, dan sebaliknya di Bogor Tengah. Ketersediaan RTH ini diduga juga terkait dengan tata ruang kota, dimana Bogor Selatan dialokasikan sebagai daerah permukiman dengan KDB rendah dan terutama karena fungsi wilayah ini sebagai daerah resapan air sehingga masih memberikan peluang yang tinggi dalam mempertahankan areal RTHnya; sedangkan keterbatasan dan mahalnya harga lahan serta konsentrasi perdagangan di Bogor Tengah ber-peluang sangat rendah untuk ketersediaan RTH. Bertahannya RTH, terutama yang berbentuk 67 kawasan, di Bogor Tengah karena nilai fungsional RTH tersebut merupakan areal konservasi, areal wisata dan perlindungan tebing-tebing sungai. Selain kecamatan Bogor Selatan dan Bogor Tengah, maka pada kecamatan lain cenderung terjadi penurunan ketersediaan RTH per penduduk karena intensitas yang tinggi untuk pembangunan kawasan permukiman guna mendukung konsep Dormitory town kota ini. Gambar 18. Fungsi RTH untuk kenyamanan penduduk kota Gambar 19. Ketersediaan public parks per penduduk pada beberapa kota Sumber: Tim IPB 1993 dan Morooka 1993 e Distribusi RTH Berdasarkan Status Pemilikan Lahan untuk RTH 12 7 12 9 37.4 30.4 23.9 12.2 11.4 2.5 5 1 1 2 2 3 3 4 Chicago 1984 Roma 1973 m 2 London 1976 Bonn 1984 Surabaya 1993 Solo 1993 Medan 1993 Bandung 1993 Paris 1984 Tokyo 1988 UDARA TERCEMAR Stomata daun Trikoma daun CO 2 CO 2 +H 2 O O 2 ke udara udara segar NO X –SO X -Pb ij erab Udara bebas polutan digambar Damayanti, 2000 68 Distribusi RTH berdasar status pemilikan dapat dilihat pada Lampiran 3 Tabel 3.f. Status kepemilikan lahan untuk RTH, dalam penelitian ini, dipilah menjadi dua yaitu kepemilikan publik dan kepemilikan privat dimana pemilahan ini akan berdampak pada model pengelolaan RTH. Kepemilikan publik me-rupakan RTH yang dimiliki dan dikelola oleh berbagai dinas teknis dan lembaga-lembaga pemerintah daerah Kota Bogor untuk kepentingan publik masyarakat dan juga kepentingan peningkatan kualitas lingkungan kota, dan kepemilikan privat yaitu RTH yang pemilikan lahannya tidak dimiliki dan pengelolaannya bukan oleh Pemda. Hal yang terakhir ini kemungkinan dilakukan oleh pemerintah pusat seperti kebun- kebun penelitian pertanian dan kehutanan atau badan-badan lainnya Kebun Raya, Istana Presiden, swasta real estat, padang golf dan resor, serta pribadi halamanpekarangan rumah. Data pada Lampiran 3 Tabel 3.g terlihat bahwa dalam kota penelitian ini, kepemilikan privat 91.76 mendominasi RTH yang terdapat di kota ini yaitu ∀ ∀11 kali lebih besar dari kepemilikan publik 8.24. Sebagian dari RTH dengan kepemilikan privat juga berperan sebagai barang semi-publik dimana kepemilikan dan pengelolaannya berada pada suatu lembaga, sedangkan produk dan jasa yang dihasilkannya tetap dapat dinikmati bersama oleh warga masyarakat lain-nya. Umumnya RTH kepemilikan privat ini terpelihara dengan baik karena ketersediaan dana pengelolaan yang memadai dari tiap lembaga ini. Pada RTH kepemilikan publik, yaitu yang dikelola oleh Pemerintah Daerah, walaupun dana yang dimiliki terbatas tetapi karena luas yang dikelola tidak terlalu besar maka relatif juga dapat terkelola dengan baik. Kondisi lingkungan yang mendukung, terutama kesuburan tanah serta curah hujan yang tinggi juga mengurangi biaya pemeliharaan yang harus dikeluarkan oleh tiap pemilik. Semua hal ini merupakan faktor pendukung akan keberhasilan penghijauan kota ini. Walaupun pada saat sekarang, kepemilikan privat terlihat dapat menjaga kuantitas dan kualitas lahan hijau tetapi terdapat kecenderungan alih lahan dan alih fungsi akan relatif lebih mudah terjadi, terutama bila terjadi peluang dalam kegiatan perekonomian. Hal ini dibuktikan dengan telah dimulainya pengalihan bentuk dan fungsi lahan hijau atau lahan terbuka lainnya menjadi lahan terbangun untuk perumahan, perluasan 69 areal terbangun, tempat parkir, dan sebagainya. Disarankan kepada Pemda Kota Bogor untuk: a menilai kembali berbagai lahan yang harus dan sebaiknya diper- tahankan sebagai daerah hijau RTH, terutama melihat pada fungsi lingkungan utamanya seperti pada bagian tepi kota dan pada kawasan rawanresapan air atau kawasan lindung, bertebing curam dan b mempertahankannya dengan peraturan daerah atau menjadikannya sebagai kepemilikan semi publik. Dari Lampiran 3 Tabel 3.g ini dapat juga diketahui bahwa RTH publik, yang dikelola oleh Pemda Kota, terdistribusi relatif merata secara spasial pada tiap kecamatan; tetapi hal ini tidak terjadi pada RTH kepemilikan swasta. Umumnya RTH swasta, terutama dalam bentukan yang luas, terdistribusi secara spasial pada areal di luar pusat kota dengan konsentrasi pada bentukan peng-hijauan pembangunan dan permukiman baru dan areal resor sebagai RTH binaan. Distribusi areal RTH publik atau yang dikelola Pemda yang relatif merata pada tiap kecamatansubwilayah memperlihatkan adanya perhatian dan keadilan terhadap ruang-ruang publik yang dilakukan oleh Pemda, dan hal ini perlu untuk terus dipertahankan mengingat: a fungsi lingkungan dan visual alami yang dimiliki RTH dan potensial untuk dikembangkan dan dilestarikan, dan b kerawanan fisik erosi, longsor, banjir, pencemaran yang sering terjadi pada bagian-bagian kota terutama pada wilayah pusat kota yang berpenduduk dan pembangunan padat. 5.1.4. Jenis Tanaman Pengisi RTH Kota Keragaman jenis tanaman pengisi RTH kota cukup tinggi dilihat dari pilihan jenis, habitus dan ragam arsitektural. Di lokasi penelitian ini, umumnya RTH simpul didominasi oleh semak hias sedangkan RTH bentuk lainnya memiliki tanaman dalam keragaman jenis yang tinggi yang didominasi oleh jenis pohon. Dominansi pohon akan menghasilkan manfaat biofisik yang tinggi dan dominansi semak hias menghasilkan manfaat arsitektural atau estetik dari ruang kota. Dominasi jenis pohon, yang cukup banyak dimiliki oleh kota ini dan diupayakan untuk dipertahankan dan bila memungkinkan ditambah jumlahnya, 70 memiliki fungsi dan manfaat biofisik yang tinggi. Dinyatakan bahwa satu pohon yang tumbuh dengan baik dapat memproduksi O 2 untuk ∀14 orang, dan tajuk pohon yang rindang, berstrata dan berbunga atau berbuah serta berserangga dapat mengundang burung-burung untuk bersarang dan beristirahat di pohon tersebut. Akar tanaman terutama pohon yang menerobos tanah, akan meng- gemburkan tanah, memberikan ruang hidup bagi organisme dan binatang tanah lainnya. Selanjutnya mikroorganisme tersebut akan memberikan nitrogen yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. Simbiosis mutualisme antara tanaman dan mikroorganisme ini selanjutnya akan berdampak lingkungan yang positif pada masyarakat kota dan juga lingkungan perkotaannya. Tidak tersedianya ta- naman terutama dominasi pohon-pohon akan menghilangkan ruang lingkup ke- hidupan mikroorganisme tersebut, dan akan menurunkan kesuburan tanahnya. Keragaman jenis tanaman pada RTH jalur tergantung dari bentuk fungsi- onal jalur. Selain di sepanjang jalur hijau jalan raya, tidak terlihat struktur, fungsi, serta jenis tanaman yang khas dan terstruktur secara baikarsitektural. Diketahui bahwa jalur hijau jalan raya dapat menjadi identitas area dalam kota dan sebagai bagian dari streetscape yang mendukung fungsi arsitektural ruang-ruang kota. Jalur tepi jalan umumnya ditanam dengan jenis tanaman yang relatif beragam dan terstruktur untuk skala kota, tetapi dengan keragaman yang rendah untuk skala area permukiman. Beberapa jalan utama yang telah dibangun sejak periode kolonial masih tetap mempertahankan jenis-jenis tanaman yang sama seperti kenari Canarium communae, mahoni Swietenia mahagony, damar Agathis damara dan ki hujan Sammanea saman. Tetapi beberapa jenis pohon indikator era kota kolonial lainnya seperti Palem raja Roystenia regia, flamboyan Delonix regia, dan asam jawa Tamarindus indica sudah jarang dijumpai. Untuk mendapatkan nilai sosial yang tinggi dari aspek kesejarahan kota Tropisch Indiesch maka disarankan untuk menanam kembali jenis-jenis pohon yang sesuai dengan tema tersebut terutama pada bagian kota yang masih memiliki suasana kolonial seperti halaman dan jalur sekitar Istana Presiden dan kawasan permukiman Kedung Halang dan kawasan sekitar Jalan Merdeka dan Martadinata. Jalur hijau lintas kereta dan jalur hijau tepi sungai, umumnya, terdiri dari berbagai jenis tanaman yang tumbuh liar kecuali pada beberapa penggal jalur terutama sekitar permukiman. Jalur hijau pada tepi kota yang relatif luas, umumnya dijumpai dengan pola persawahan, perladangan, hutan lindung, areal 71 percobaan, dan areal pemakaman. Areal pertanian ditanami dengan jenis-jenis tanaman bernilai ekonomi, RTH rekreasi ditanami umumnya dengan pepohonan dan rumput sedangkan areal pemakaman umumnya tidak terpelihara dengan baik sehingga lebih didominasi gulma atau tanaman-tanaman liar lainnya. Gambar 20. Beberapa jenis pohon besar yang masih tumbuh dengan baik 5.1.5. Bahasan Umum Ketersediaan RTH Kota Kuantitas lahan kehidupan dalam wilayah perkotaan yang terbatas yang disertai dengan kualitasnya yang tidak sesuai atau yang tidak menunjang produktifitas manusia yang berjangka panjang guna peningkatan kesejahtera-annya akan merupakan suatu kendala bagi tujuan pembangunan kota yang berkelanjutan. Salah satu bentuk pembangunan wilayah perkotaan yang men-dukung perbaikan kualitas lingkungannya adalah keberadaan ruang-ruang ter-buka open spaces terutama dalam bentuk ruang terbuka hijau RTH. RTH, melalui kumpulan berbagai jenis tanaman pengisinya dan aspek spasialnya, memiliki fungsi lingkungan yang bermanfaat bagi kelangsungan wilayah per-kotaan dan masyarakat yang hidup dan bekerja dalam wilayah ini semakin besar jumlah dan keragaman tanaman dan semakin besar penutupan areal hijaunya maka 72 kontribusinya terhadap perbaikan kondisi dan kualitas lingkungan per- kotaan akan semakin efektif dan tinggi tinggi. Untuk dapat memberikan besaran penilaian masyarakat terhadap kondisi RTH dalam suatu wilayah perkotaan, yang merupakan tujuan dari penelitian ini, maka harus diketahui gambaran mengenai ketersediaan, karakter dan kualitas RTH tersebut di lokasi penelitian. Hal ini dapat dinyatakan sebagai ketersediaan dari sisi suplai sumberdaya alam dan lingkungan dalam wilayah perkotaan. Secara umum dapat dinyatakan bahwa kota penelitian memiliki RTH yang berkategori baik. Baik ini ditinjau dari segi jumlah, distribusi, jenis tanaman yang tumbuh serta karakter kota yang terbentuk dari keberadaan areal RTH ini. Kecuali untuk kecamatan Bogor Tengah, kota penelitian memiliki klasifikasi nilai yang tinggi untuk ketersediaan dan distribusi RTH, serta rasionya terhadap jumlah penduduk. Posisi kecamatan Bogor Tengah yang terdapat pada pusat kota dan merupakan kawasan perdagangan dan perkantoran yang padat dan intensif berkonsekuensi terhadap rendahnya nilai-nilai tersebut. Walau telah ber- kategori baik, luas yang riel untuk seluruh wilayah dengan berbagai permasalah- an fisik dan sosial perkotaan yang terus timbul seperti longsor, erosi, pencemar- an udara, maka luasan ini perlu untuk dikoreksi lagi. Koreksi ini, selain untuk per- baikan kualitas lingkungan akibat konversi lahan dan konversi fungsi RTH juga untuk mendukung pelestarian nilai keunikan sosial dan karakter kesejarahan yang dimiliki oleh kota ini kota kolonial daerah tropis, tropisch indies yang dapat diindikasikan dengan keberadaan dan spesifikasi ruang-ruang terbuka hijaunya termasuk jenis-jenis pohon indikatornya. RTH terluas didapatkan pada bentuk jalur hijau, dengan spesifikasi pada jalur hijau tepi kota green belt dan forest belt dan pada RTH fungsi sosial ekonomi. Bila tidak ada pengendalian dan pengelolaan yang tepat maka bentuk jalur hijau tepi kota ini cenderung akan menurun akibat konversi lahan dan RTH fungsi sosial ekonomi akan meningkat karena tuntutan ekonomi yang selanjutnya akan berdampak negatif bagi kualitas lingkungan perkotaan. Walaupun kepemilikan Pemda tidak seluas kepemilikan privat tetapi RTH milik Pemda public parks terdistribusi secara merata di setiap kecamatan dalam bentuk taman-taman kota dan tiga bentuk jalur hijau untuk jalan raya, tepi sungai, tepi kota. Pendistribusian RTH milik Pemda public parks ini cukup adil bagi tiap wilayah dalam kota Bogor. 73 Keragaman jenis tanaman pengisi RTH cukup tinggi dengan dominansi pada bentuk pepohonan. Efek ekologis, sosial, dan visual serta arsitektural yang ditimbulkan oleh berbagai bentukan pohon-pohon besar pada wilayah dan ruang kota penelitian memberikan kebermanfaatan dan nilai yang tinggi dari bentukan pohon ini, sehingga keberadaannya perlu untuk dilestarikan. 74 5.2. Persepsi dan Preferensi Masyarakat terhadap RTH Kota 5.2.1. Profil Demografis Responden