Pengembangan Model Kebijakan Publik untuk Pembangunan dan Pengelolaan RTH Kota

50 b Digunakan Analisis Korelasi untuk mengolah data persepsi dan preferensi responden terhadap fungsi-fungsi pada bentuk-bentuk RTH yang diteliti; dan juga untuk data hasil pengamatan lapangan dan hasil wawancara untuk menganalisis tingkat pengalaman responden yang terkait RTH. c Digunakan Analisis Komponen Utama untuk mengetahui korelasi dan kecenderungan yang terjadi antar 4 empat peubah fungsi ekonomi, biofisik, arsitektural, dan sosial pada tiap bentuk RTH bentuk kawasan dan bentuk jalur. Bentuk kawasan diklasifikasi lagi menjadi bentuk mengelompok dan bentuk simpul; dan bentuk jalur diklasifikasi lagi menjadi jalur hijau jalan raya, jalur hijau lintas kereta, jalur hijau tepi sungai dan jalur hijau tepi kota. Untuk mengetahui gambaran tentang pola hubungan dan kedekatan jarak spasial antara profil demografis responden dengan fungsi-fungsi dan bentuk-bentuk RTH yang diteliti ini dilakukan Analisis Gerombol pada data WTC Willing- ness to Contribute yang merupakan hasil wawancara dengan meng- gunakan kuesioner terstruktur dengan responden. Hasil analisis akan menjelaskan: 1 Profil dan karakter penilaian responden yang digambarkan dengan WTC terhadap fungsi-fungsi RTH pada tiap bentuk RTH yang terdapat dalam kota penelitian, dan 2 Pola yang menggambarkan hubungan dan kedekatan jarak antara profil responden penilai masyarakat kota berdasar- kan latar belakang demografisnya dengan keberadaan RTH melalui fungsi-fungsi dan bentuk-bentuk yang dimiliki RTH kota ini.

4.8. Pengembangan Model Kebijakan Publik untuk Pembangunan dan Pengelolaan RTH Kota

Berdasarkan hasil-hasil yang didapat dari penelitian ini, secara hipotetik, dikembangkan model simulasi sederhana yang bersifat deskriptif untuk meng- gambarkan konsepsi model pembangunan dan pengelolaan RTH kota penelitian yang mengakomodasikan hasil utama penelitian, yaitu model konsepsi pengem- bangan RTH yang berorientasi pada kenyamanan dan kelestarian lingkungan 51 kota serta pada saat yang bersamaan juga mengakomodasikan kebutuhan dan keinginan warga kotanya . Konsepsi model kebijakan publik ini merupakan alternatif kerangka pembangunan dan pengelolaan RTH pada lahan di wilayah perkotaan, yang menjadi syarat perlu dan syarat cukup untuk berbagai lahan perkotaan yang me- miliki kriteria seperti pada kota penelitian. Kebijakan yang menjadi syarat perlu, yaitu bila kebijakan publik untuk RTH ini cenderung dapat mengendalikan ter- jadinya proses yang cepat dari penurunan kualitas lingkungan wilayah per- kotaan; dan kebijakan yang menjadi syarat cukup, yaitu bila kebijakan ini dapat menjamin terjadinya interaksi antara masyarakat dengan rencana pembangunan dan pengelolaan RTH. Penggabungan kedua model ini, sehingga didapatkan model integratifnya yang merupakan pengembangan konsep masyarakat sadar lingkungan eco society concept, maka model integratif yang terbentuk ini akan merupakan bahan acuan kriteria konsepsi kebijakan publik yang melandasi pola pembangunan dan pengelolaan untuk kelestarian RTH kota. . 52 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau RTH Kota 5.1.1. Ketersediaan Total Berdasarkan hasil pengukuran planimetrik pada peta RUTRK tahun 2005 Nurdin 1999, data penelitian Savitri 1991 serta verifikasi beberapa tempat di lapangan diketahui luas RTH dalam Kota Bogor adalah sebesar 4 975.35 ha atau ∀ ∀42 dari luas wilayah kota ini. Berdasarkan persyaratan luas RTH kota dalam Inmendagri No. 14 tahun 1988, dimana luas RTH untuk satu kota adalah minimal 40 dari luas wilayahnya, maka besaran nilai tersebut sudah masuk dalam kategori luasan RTH yang memadai untuk suatu kota. Namun, untuk mendapatkan kualitas lingkungan kota yang lebih tepat dan baik guna mendukung sistem keberlanjutan kota, melalui ketersediaan dan kualitas RTH, maka besaran nilai untuk ketersediaan RTH ini harus dianalisis dan dikoreksi lagi melalui perhitungan spasial dan pengamatan kondisi lapangan ground check terhadap kondisi kepekaan atau daya dukung sumberdaya alam pembentuk lanskap atau bentang alam kotanya dan juga pengukuran terhadap kualitas lingkungan terutama kualitas udara dan air pada beberapa lokasi rawan pencemaran dalam kota. Hal ini mengingat kondisi fisik, arsitektural, dan sosial nilai kesejarahan kota Bogor yang memiliki karakter yang khas, yaitu: a cukup luasnya areal dalam kota yang memiliki lanskap atau bentang alam yang berbukit bahkan pada hampir 50 areal bantaran sungai dengan tebing-tebing dengan kemiringan yang terjal 25 sudah hampir tidak tertutupi oleh vegetasi lagi sehingga berpotensi untuk terjadinya bahaya longsor dan juga mengurangi keindahan alaminya, b tingginya curah hujan 3500-4000 mmtahun dengan jumlah hari hujan ±265 hari disertai dengan jenis tanah dominan dalam kota yang agak peka terhadap erosi jenis tanah latosol yang berpotensi untuk terjadi-nya erosi terutama pada areal berkemiringan yang banyak terdapat dalam kota Gambar 14, c kualitas lingkungan udara pada beberapa areal dalam kota yang cen-derung terus tercemar seperti pada areal dengan kepadatan 53 tinggi dari transportasi angkutan kota terutama untuk angkutan kota sehari-hari dan kenderaan wisata, d cukup banyaknya areal yang memiliki landscape scenic amenity yang perlu dilindungi melalui penghijauan untuk mendukung terwujudnya konsep “Kota dalam Taman”, dan e nilai historik kota kota kolonial, kota tropisch indies yang memiliki nilai arsitektural romantisme berdasarkan dominansi dari keberadaan dan ragam jenis pohon tropikal tertentu seperti damar, palem raja, flam-boyan, kenari, mahoni, asem dan lapangan rumput serta berbagai bangunan dan struktur kolonial yang perlu dilestarikan untuk kepen-tingan nilai kesejarahan situs sejarah dalam bentuk lanskap kota atau bagian kota dan kepariwisataan Gambar 15.

a: kondisi eksisting beberapa tebing terjal dan tepi sungai di kota penelitian