13 perkotaan juga berkontribusi terhadap lingkungan fisik kota. Areal pada suatu
kota, dinyatakannya, sebagai sesuatu yang sangat utama karena nilainya dan karena itu tiap rencana yang dibuat haruslah efisien secara ekonomi maupun
visual. Kota, menurut Potter 1965 juga merupakan cerminan kebudayaan dan peradaban setempat karena kota merupakan juga pusat kebudayaan dimana
materi-materi suatu peradaban berkembang. Kota sebetulnya suatu bentukan transformasi, berdasarkan proses alam
dan budaya, yaitu dari bentukan wild nature dan yang diubah untuk melayani kebutuhan dan keinginan manusia Spirn 1993. Kota bukan hanya suatu artifak
teknologi atau seni, tetapi merupakan satu tempat dimana kekuatan alami terasa dan jutaan manusia yang hidup didalamnya berfikir, bekerja, bermimpi dan mem-
punyai perasaan. Karena itu, perancangan kota harus didasari oleh proses alam yang normal dan kehidupan manusia yang tercermin dari keterkaitan fungsi,
perasaan, dan makna kota itu.
2.1.2. Sejarah Perkembangan Kota
Kota mempunyai sejarah pembangunan dan pengembangan yang pan- jang dan kompleks. Semua kota, umumnya, dibangun dengan suatu bentuk
perencanaan berdasarkan kebutuhannya masing-masing yaitu sesuai dengan dinamika yang dialaminya, terutama, yang menyangkut berbagai aspek ke-
ragaman fisik wilayah, fungsi, tata letak dan rancang bangunnya Tim IPB 1993. Berdasarkan sejarah perkembangan peradaban, tata permukiman dan kota
yang sangat sederhana di mulai dari kehidupan komunal dalam gua atau diatas pohon yang dilanjutkan dengan pola pemukiman komunal yang menetap dengan
model ladang berpindah atau permukiman yang bersifat nomadik Rapoport 1969. Sekitar 4 000 tahun yang lalu, manusia diperkirakan telah menerapkan
sistem bercocok tanam dengan irigasi alami, yang dinyatakan sebagai permulaan dari pembentukan permukiman yang tetap. Dalam kurun waktu ini, persyaratan
terjadinya suatu revolusi sistem perkotaan akhirnya dipenuhi yang ditandai dengan terjadinya surplus persediaan pangan, ditemukannya kenderaan seder-
hana serta cara mengolah logam untuk pembuatan peralatan yang dibutuhkan dalam kehidupan ekonomi masyarakat Anwar 1994; Rapoport 1969. Menurut
Jayadinata 1986, kota-kota pertama mulai berkembang di areal-areal yang subur di Afrika dan Asia Barat Daya yaitu Aphroditopolis dan Hierakonpolis di
lembah Nil, Mohenjodaro di lembah Indus, Susa dan Uhr di lembah Euphrat.
14 Kota pada dasarnya berfungsi untuk memberikan pelayanan berbagai jasa,
yaitu sebagai lokasi untuk menempatkan fasilitas pergudangan, aktivitas per- dagangan, industri dan lainnya. Konsekuensi dari hal ini yaitu pentingnya lokasi
untuk pertumbuhan suatu kota. Menurut Potter 1965, pada awalnya pangan, air, transportasi, serta proteksi merupakan penentu dari lokasi suatu kota.
Sepanjang sejarahnya dijumpai juga kota-kota yang bertumbuh disekitar pusat pasar downtown, yang terpusat karena faktor dan sarana religi, morfologi dan
amenity Anwar 1994 dan Jayadinata 1986. Kecenderungan munculnya bebe- rapa negara, yang dimulai pada tahun 1400, telah mendorong terjadinya pem-
bukaan kota yang menjadi pusat pemerintahan. Pembangunan ibukota negara dilakukan dengan dirancang dan dilengkapi dengan berbagai prasarana kota
yang diperlukan dalam rangka memperluas tugas dan kewajiban pemerintah serta menjaga wibawa aparatnya.
Adanya spesialisasi dalam fungsi dan kepentingan kota berdasarkan sumberdaya potensial yang dimilikinya, terutama aspek ekonomi, telah meng-
ubah pemikiran dalam perancangan dan pembangunan kota. Kota-kota ini selanjutnya dirancang dan dibangun dalam upaya mencapai tujuan tertentu
seperti untuk kepentingan industri Bekasi, wisata Ubud, perdagangan New York, pengembangan iptek Tsukuba, pendidikan Yogyakarta dan lainnya.
Spesialisasi pembangunan kota-kota modern saat ini, dilakukan terutama untuk mencapai efisiensi perkotaan yang tinggi, identitas kota, serta city image Lynch
1995, Tim IPB 1993. Gerakan memasukkan unsur-unsur alami yang relatif lebih banyak dan
fungsional serta yang berorientasi kepentingan seluruh warga kota dalam suatu kawasan kota awalnya dimulai dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas
keindahan dan kenyamanan kota, namun saat ini juga untuk meningkatkan kapasitas lingkungan. Menggunakan teknik irigasi untuk menghijaukan bagian
dari kawasan kota The Hanging Garden of Babylon di kawasan padang pasir yang terik merupakan awal perkembangannya, yang dilanjutkan dengan muncul-
nya konsep utopia tentang pembentukan kota yang ideal menurut Thomas More pada tahun 1516. Konsep kota ideal ini timbul karena terjadinya pertambahan
fasilitas fisik bagi para warga kota baru yang bermigrasi karena terjadinya perubahan pola ekonomi yang awalnya berbasiskan sektor pertanian ke ekonomi
industri yang telah berdampak negatif bagi kualitas lingkungan perkotaan Potter 1965.
15 Kota-kota pertama yang dibangun untuk mengatasi degradasi lingkungan
ini yaitu di Inggris. Negara ini, menurut Jayadinata 1986 dan Crowe 1981, merupakan negara yang penduduknya menyukai kehidupan yang dekat dengan
suasana pedesaan sehingga perbaikan lingkungan berjalan dengan baik. Ada tiga tahap perkembangan rencana perbaikan lingkungan kota-kota Inggris yaitu
tahap pertama adalah melalui terbentuknya garden village, tahap kedua dengan garden city seperti Lechworth yaitu Kota Taman yang direncana oleh Ebenezer
Howard, dan tahap ketiga dengan kota berciri pedesaan Jayadinata 1986. Selanjutnya kota-kota berkonsep sama juga dibangun di Amerika Serikat Green-
dale, Radburn, di Australia Canberra, Singapore dan di Indonesia Bogor. City beautiful movement merupakan suatu gerakan di Amerika Serikat
pada tahun 1893, yang merupakan cikal bakal dari perbaikan komunitas dan rencana kota. Perbaikan kota-kota tersebut juga didukung oleh para desainer
tamanlanskap seperti F.L.Olmsted dan para pengikutnya, dengan mengintro- duksikan taman-taman umum di tiap kota public city parks. Pada awal abad 19,
sumbangan Amerika Serikat terhadap peningkatan kualitas lingkungan kota yaitu dengan memperkenalkan city park system, yang mengakomodasikan fungsi-
fungsi kota dalam satu rangkaian pertamanan kotanya. Sistem ini telah dipakai di banyak kota, antara lain Singapore dan juga kota-kota di Eropa. Pada dekade
terakhir, pemasukan unsur-unsur alami kedalam kota, sebagai bagian dari unsur pembentuk kota telah merupakan suatu gerakan yang didukung pemerintah kota
terutama yang terkait dengan fungsi alami yang dimilikinya. Tetapi konsep ini tidak begitu berkembang terutama karena dinamika
keadaan ekonomi suatu wilayah. Pada akhir abad 20, perkembangan kota cen- derung merusak lingkungan terutama sumberdaya lahan akibat keterbatasan
suplainya. Walaupun pada tahun 1970an timbul gagasan untuk menggunakan konsep konservasi dalam perencanaan penggunaan lahan dalam suatu kota
untuk mempertinggi kualitas dan kapasitas lingkungannya, tetapi menurut Hahn dan Simonis 1991, kota tetap memberikan gambaran yang kurang memberi
tempat untuk sesuatu yang sifatnya organik, tradisi kultural bahkan sering terjadi perusakan terhadap identitas suatu tempat. Perkembangan simbiotik terhadap
human-environment relationship kurang terlihat dalam ruang-ruang kota saat ini yang antara lain dapat diketahui dari semakin berkurangnya ruang-ruang publik
dan ruang yang berkesan ramah Hahn dan Simonis 1991, Mc Harg 1992, Simonds 1983.
16
2.1.3. Ruang dan Penataannya Dalam Wilayah Perkotaan