Pencemaran A Model for environment control of sustainable new town development. (case study new town development of Bumi Serpong Damai

31 pencemaran yang berat sehingga air mengandung bahan pencemar yang cukup tinggi. Selain itu arus yang lemah juga mengakibatkan terjadinya penurunan kadar oksigen terlarut. Menurut Odum 1971 pencemaran adalah perubahan sifat-sifat fisik, kimia maupun biologi yang tidak dikehendaki yang dapat terjadi baik pada udara, tanah maupun air. Menurut Sutamihardja 1982 berdasarkan sumbernya bahan pencemar atau zat pencemar terbagi menjadi dua, yaitu yang berasal dari alam dan yang berasal dari kegiatan manusia. Ada berbagai parameter yang merupakan penanda bahwa suatu perairan telah tercemar. Namun demikian indikator pencemaran air yang umum dilihat dapat diketahui melalui: perubahan suhu, pH, warna, bau dan rasa air, timbulnya endapan, koloidal, bahan terlarut, jumlah padatan, nilai BOD, COD, mikroorganisme, kandungan minyak, logam berat dan meningkatnya radioaktivitas air lingkungan Manahan, 2002. Bahan buangan limbah dikelompokkan sebagai berikut: limbah padat, limbah organik, limbah anorganik, limbah olahan bahan makanan, limbah cairan berminyak, limbah zat kimia, dan limbah berupa panas. Pada dasarnya perairan tidak memiliki batas-batas yang jelas, sehingga pencemaran air dapat berakibat sangat luas Sutamihardja 1982. Selanjutnya dikatakan bahwa terjadinya pencemaran perubahan-perubahan tersebut sebagian besar berasal dari aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, baik di darat maupun di pesisir. Keadaan demikian juga dipengaruhi pula oleh adanya pergerakan massa air, angin dan arus yang terjadi di perairan atau di perairan laut terjadi di sepanjang pantai. Aktivitas manusia merupakan sumber terbesar dari pencemaran, karena itu pengendaliannya harus dilakukan dengan mengendalikan aktivitas manusia itu sendiri, di samping pengendalian sumber-sumber pencemar yang berasal dari aktivitas alam seperti banjir, tanah longsor dan lain-lain. Beberapa sumber pencemar dapat pula berasal dari aktivitas alam terjadi secara alami seperti letusan gunung berapi dan angin ribut. Khusus untuk terjadinya pencemaran alami, sangat sulit untuk menghindarinya. Pada umumnya pencemaran di negara berkembang seperti halnya Indonesia paling banyak beasal dari kegiatan industri. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian El- Fadel et al. 2001 yang memperlihatkan bahwa industri-industri di negara berkembang seperti Lebanon menghasilkan limbah padat sebanyak 346.730 tontahun, limbah cair 32 sebanyak 20.169.600 m 3 tahun, dan limbah B3 sebanyak 3000 - 15000 tontahun. Meskipun pertumbuhan sektor industri di Lebanon memberi kontribusi secara signifikan terhadap perkembangan sosial- ekonomi negara tersebut 17 dari produk domestik kasar, tetapi tanpa adanya rencana pengelolaan lingkungan yang komprehensif, maka keberlanjutan perkembangan industri tidak dapat mencapai millenium yang akan datang. Antisipasi ekspansi industri diperkirakan akan meningkatkan dampak negatif lingkungan yang berkaitan dengan aktivitas industri akibat peningkatan volume limbah serta penanganan dan pembuangan limbah yang tidak tepat. Dampak-dampak negatif ini kemudian diperparah dengan kurangnya kerangka institusi, minimnya hukum lingkungan, dan kurangnya pemberdayaan peraturan tentang pengelolaan limbah industri. Pertumbuhan populasi yang pesat, serta perkembangan teknologi dan industri yang cepat mengakibatkan sejumlah besar masalah dan degradasi lingkungan, oleh karenanya diperlukan perhatian yang sangat serius terhadap kerusakan lingkungan tersebut. Menurut Najm et al. 2002 adanya perhatian yang terus meningkat terhadap lingkungan serta pemulihan materi dan energi secara berangsur-angsur telah relatif dapat mengubah orientasi pengelolaan dan perencanaan limbah padat. Selanjutnya Najm et al. 2002 memperkenalkan model pengelolaan limbah padat hemat biaya yang berkelanjutan dengan memperhitungkan laju penambahan limbah padat, komposisi, pengoleksian, perlakuan, pembuangan serta dampak lingkungan potensil dari berbagai teknik pengelolaan limbah padat. Khusus untuk limbah cair juga harus diperhatikan secara seksama, untuk itu Al Yaqout 2003 memberikan solusi bagi pembuangan limbah cair industri di Kuwait yang memiliki iklim kering dengan membuat kolam evaporasi. Namun demikian menurut Muthukumaran 1 and Ambujam 2003 pengumpulan dan penanganan limbah cair perkotaan merupakan masalah kritis pada negara yang sedang berkembang seperti India. Mengingat limbah cair perkotaan merupakan masalah kritis pada negara yang sedang berkembang, maka Nhapi 2004 menyarankan bahwa untuk mengontrol muatan pencemaran dan untuk menghilangkan kontaminan yang telah terakumulasi selama bertahun-tahun khususnya pengurangan aliran nutrien ke dalam danau di Danau Chivero, India, diperlukan pendekatan strategi tiga tahapan untuk pengelolaan air limbah. Tahapan pendekatan ini meliputi: 1 pencegahanpenurunan pencemaran pada 33 sumber, 2 treatment air penggunaan ulang, dan 3 pembuangan dengan stimulasi kapasitas purifikasi alami dari badan air penerima limbah. Ketiga tahapan ini harus dilakukan secara berurutan. Lebih lanjut Nhapi 2004 menjelaskan bahwa pendekatannya difokuskan kepada pengolahan air limbah dan penggunaan ulang air danau secara desentralisasi dan sentralisasi. Aggregasi dari pilihan-pilihan tahapan ini menghasilkan solusi jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Selain itu, hasil pengolahan tertier aliran buangan yang dibuang ke dalam Danau Chivero dapat juga mengurangi masa retensi hidraulik sampai kurang dari lima tahun, sehingga meningkatkan pencucian nutrien. Oleh karena itu Nhapi 2004 menyimpulkan bahwa masalah kualitas dan kuantitas air Danau Chivero dapat dikurangi secara signifikan melalui peningkatan pengelolaan air limbah yang dipadukan dengan pengendalian sumber pencemaran baik yang bersifat point sources maupun non-point sources.

2.10. Pembangunan Berkelanjutan

Konsep pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini dengan tanpa mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Pembangunan berkelanjutan mencakup upaya memaksimumkan net benefit dari pembangunan ekonomi yang berhubungan dengan pemeliharaan jasa dan kualitas sumberdaya alam setiap waktu. Oleh sebab itu pembangunan ekonomi tidak hanya mencakup peningkatan pendapatan per kapita riil, tetapi juga mencakup elemen-elemen lain dalam kesejahteraan sosial Pearce dan Turner, 1990. Hal ini sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang dikemukakan oleh Serageldin 1994 yakni pembangunan yang memungkinkan generasi sekarang dapat meningkatkan kesejahteraannya tanpa mengurangi kesempatan generasi yang akan datang untuk meningkatkan kesejahteraannya. Oleh karena itu maka konsep pembangunan berkelanjutan adalah mengintegrasikan tiga aspek kehidupan ekonomi, sosial dan ekologi dalam satu hubungan yang sinergis, sehingga makna keberlanjutan dalam konsep tersebut juga didefinisikan sebagai keberlanjutan ekonomi, sosial dan lingkungan. Pada beberapa dekade terakhir, konsep pembangunan keberlanjutan sustainable development semakin sering digunakan oleh banyak negara di dunia untuk mengimplementasikan kebijakan pembangunan baik pada level nasional maupun 34 internasional. Keberlanjutan sustainability saat ini telah menjadi elemen inti core element bagi banyak kebijakan pemerintah negara-negara di dunia dan lembaga- lembaga strategis lainnya. Menurut Khanna et al. 1999 pembangunan keberlanjutan berimplikasi pada keseimbangan dinamik antara fungsi maintenance sustainability dan transformasi development dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup. Menurut Cornelissen et al. 2001 sustainability memiliki implikasi pada dinamika pembangunan yang sedang berlangsung dan dikendalikan oleh ekspektasi tentang berbagai kemungkinan di masa yang akan datang. Untuk memulai dan memantau pelaksanaan pembangunan berkelanjutan diperlukan kerangka kerja terstandardisasi standardized framework yang terbagi dalam empat tahap, yaitu: 1. Mendeskripsikan permasalahan sesuai dengan konteksnya; 2. Mendeterminasi permasalahan dengan context-dependent pada dimensi ekonomi, ekologi, dan sosial; 3. Menterjemahkan permasalahan ke dalam indikator keberlanjutan yang terukur; 4. Menilai kontribusi indikator-indikator tersebut pada pembangunan berkelanjutan secara menyeluruh. Menurut Khanna et al. 1999 perencanaan pembangunan berkelanjutan perlu mempertimbangkan secara mendalam adanya trade-off antara level produksi-konsumsi dengan kapasitas asimilasi ekosistem. Sesuai dengan konsep daya dukung carrying capacity, peningkatan kualitas hidup hanya bisa dilakukan apabila pola dan level produksi-konsumsi memiliki kompatibilitas dengan kapasitas lingkungan biofisik dan sosial. Melalui proses perencanaan berbasis daya-dukung carrying capacity-based planning process kondisi ini bisa dicapai dengan mengintegrasikan ekspektasi sosial dan kapabilitas ekologi ke dalam proses pembangunan. Dalam perencanaan pembangunan berkelanjutan, Khanna et al. 1999 menambahkan bahwa ekonomi dipandang sebagai sebuah subsistem dari sebuah ekosistem regional. Tidak mungkin terjadi pertumbuhan ekonomi yang tidak terbatas. Dalam perspektif makroekonomi, hal ini berarti bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi harus selalu berada di dalam batas daya dukung wilayah dan berada pada trade-off antara jumlah penduduk dan penggunaan sumberdaya per kapita di dalam wilayah yang bersangkutan. Untuk lebih jelasnya, dimensi pembangunan berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 6.