Aplikasi Metode ISM dalam Studi Potensi Bencana Alam Wilayah Pesisir Ciamis

Analisis ISM untuk Kabupaten Ciamis dalam aplikasi MKP2B2MB dimulai dengan input hubungan antarelemen seperti yang dapat dilihat pada Gambar 49. Hasil penelitian mengenai tingkat level sub elemen potensi bencana alam di Kabupaten Ciamis dapat dilihat pada Gambar 50. Gambar 49. Contoh input hubungan antarelemen metode ISM dalam program MKP2B2MB untuk Kabupaten Ciamis Gambar 50. Tingkat level sub elemen potensi bencana di Kabupaten Ciamis Hasil analisis ISM menentukan bahwa gempa bumi, tsunami dan gelombang badai pasang merupakan bencana alam yang berpotensi paling besar terjadi di Kabupaten Ciamis. Sub elemen tsunami, gempa bumi dan gelombang badai pasang berada pada sektor IV level 4 lihat Gambar 50, artinya bahwa elemen-elemen tersebut memiliki tingkat ketergantungan paling rendah terhadap kejadian bencana alam lainnya. Matriks driver power- dependence elemen-elemen potensi bencana alam di Ciamis dapat dilihat pada Gambar 51. Gambar 51. Matriks Driver power – dependence untuk elemen potensi bencana alam di Kabupaten Ciamis Tsunami merupakan dampak turunan dari gempa bumi. Potensi tsunami di wilayah pesisir Kabupaten Ciamis disebabkan oleh kondisi geotektonik dan topografi. Kondisi tektonik daerah ini mempunyai tingkat seismisitas yang relatif tinggi dibandingkan dengan kawasan utara sehingga di beberapa daerah di kawasan selatan sering terjadi gempa bumi dan tsunami, yang dapat berkembang menjadi bencana alam. Di samping itu kondisi oseanografi sebagai daerah open sea terhadap Samudera Hindia relatif rawan terhadap proses abrasi, keruntuhan dan gerakan tanah. Driver Power Dependence Gambar 52. Struktur hirarkhi sub elemen potensi bencana alam di Kabupaten Ciamis Berdasarkan analisis ISM yang telah dilakukan, maka dapat ditentukan bahwa dari sepuluh jenis bencana yang mungkin terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Ciamis, yang berpotensi paling merusak adalah gempa bumi, tsunami dan gelombang badai pasang sebagai elemen kunci. Selanjutnya diikuti oleh abrasi dan gerakan tanah jenis longsoran , serta jenis bencana lainnya dapat dilihat dalam Gambar 52.

7.4. Kesimpulan Studi Potensi Bencana Alam di Wilayah Pesisir Jawa Barat

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa data sumber potensi bencana merupakan basis data yang dirancang berkaitan dengan penentuan driver power dari penyebab potensi bencana yang diolah pada model sumber potensi bencana. Data sumber potensi bencana terdiri dari data pakar, sumber potensi bencana, dan pendapat pakar mengenai hubungan kontekstual antar sumber potensi bencana sesuai dengan teknik yang digunakan pada model ini yaitu IS M interpretive structural modelling. INSTRUSI AIR LAUT GERAKAN TANAH JENIS LONGSORANKERUNTUHAN TSUNAMI ABRASI Elemen Kunci EROSI AKRESI ANGIN KENCANG PUTING BELIUNG GEMPA BUMI GELOMBANG BADAI PASANG Level 1 Level 2 Level 3 Level 4 INSTRUSI AIR LAUT Analisis data dan pendapat pakar menghasilkan temuan sebagai berikut, di Kabupaten Indramayu bencana alam gelombang badai pasang menempati peringkat tertinggi pada level 5 sebagai elemen kunci. Selanjutnya dikuti oleh abrasi dan banjir pada level 4, kemudian intrusi air laut, gerakan tanah jenis amblesan, dan puting beliung pada level 3. Erosi dan akresi berada pada level 2, dan terakhir yaitu Gempa bumi dan tsunami pada level 1. Fenomena geologi menyatakan bahwa gempa bumi dapat terjadi di Indramayu, tetapi diluar kedalaman lebih dari 60 km, dengan demikian dampak kolateralnya yaitu tsunami tidak akan terjadi. Selanjutnya di Kabupaten Ciamis bencana alam gempa bumi, tsunami dan gelombang badai pasang menempati peringkat tertinggi level 4 dan menjadi elemen kunci, yang kemudian diikuti oleh abrasi pada level 3. Kemudian angin kencangputing beliung, dan gerakan tanah jenis longsorankeruntuhan menempati level 2, serta banjir, erosi, intrusi air laut, dan akresi pada level 1. Dengan telah diketahuinya potensi bencana yang mengancam wilayah pesisir Indramayu dan pesisir Ciamis, maka kebijakan pengembangan yang akan diterapkan untuk kedua wilayah pesisir tersebut sudah harus mempertimbangkan laju kemerosotan kualitas lingkungan yang telah terjadi sejak tahun 1970an di pantai utara pantura Jawa. Dengan demikian kebijakan pengembangan tidak lagi hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga aspek ekologi dan sosial sehingga kebijakan pengembangan menjadi berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana.