VI. STUDI POTENSI PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR
ABSTRAK
Potensi sumberdaya alam Provinsi Jawa Barat yang cukup melimpah, baik di kawasan darat maupun laut. Potensi sumberdaya alam tersebut dapat dikelompokkan ke dalam potensi
sumberdaya alam yang dapat pulih, tidak dapat pulih, dan jasa lingkungan. Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi pengembangan wilayah pesisir di Kabupaten Indramayu dan
Kabupaten Ciamis. Untuk mencapai tujuan tersebut telah digunakan analisis ASWOT yang merupakan gabungan metode analisis AHP dengan SWOT. Melalui SWOT akan diperoleh faktor-
faktor eksternal dan internal yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam pembangunan wilayah pesisir dan laut di masa mendatang. Melalui AHP akan diperoleh
keputusan-keputusan mengenai prioritas pembangunan sektor ekonomi, serta faktor-faktor SWOT yang menjadi penunjang pembangunan sektor ekonomi yang diprioritaskan tersebut. Dari hasil
analisis ASWOT diperoleh keputusan bahwa pembangunan wilayah pesisir tidak tepat lagi dilakukan secara ego sektoral, oleh karena membawa dampak terhadap ketimpangan pendapatan
yang semakin lebar. Berdasarkan analisis pakar, prioritas utama pembangunan wilayah pesisir di Kabupaten Indramayu adalah sektor perikanan dan minyak dan gas bumi, sedangkan di Kabupaten
Ciamis adalah sektor perikanan dan pariwisata. Dari hasil analisis ini, secara eksplisit terlihat bahwa pembangunan sektor perikanan tetap menjadi salah satu leading sector untuk wilayah
pesisir. Dalam rangka mengembangkan sektor tersebut di Kabupaten Indramayu perlu diperhatikan faktor-faktor kekuatan dan peluang seperti potensi tempat pemasaran hasil-hasil perikanan
domestik dan ekspor, serta optimalisasi pemanfataan potensi sumber daya pesisir yang masih sangat besar. Sementara faktor kelemahan dan ancaman yang perlu diantisipasi adalah
pendangkalan muara sungai, dan berubahnya orientasi generasi muda yang lebih memilih pekerjaan lain daripada menjadi nelayan. Di Kabupaten Ciamis faktor kekuatan dan peluang yang
paling besar dalam pengembangan sektor perikanan adalah potensi sumberdaya ikan di wilayah ZEEI yang masih belum dimanfaatkan optimal. Namun demikian, beberapa kelemahan yang perlu
diperhatikan dan diantisipasi ancamannya adalah lemahnya kualitas SDM, tidak adanya prasarana dan sarana perikanan yang memadai, serta masih banyaknya pencurian ikan di wilayah ZEEI.
Kata Kunci : ASWOT, ego sektoral, ketimpangan, leading sector, ZEEI,
6.1. Pendahuluan
Pembangunan ekonomi yang semakin maju untuk mencapai tujuan kesejahteraan hidup masyarakat yang berjalan selama ini ternyata selalu diiringi
dengan kemunduran kualitas sumber daya alam. Selain itu kompleksitas pembangunan juga menghasilkan efek eksternalitas berupa limbah, sampah dan
buangan lainnya. Pengalaman empiris telah menunjukan bahwa pembangunan yang begitu antusias mengejar pertumbuhan ekonomi seringkali mengabaikan
keberlanjutan lingkungan hidup dan penyediaan sumberdaya alam. Contohnya pada sumberdaya pesisir. Sejak tahun 1970-an hancurnya hutan mangrove di
Indonesia diawali dengan pembangunan tambak udang, permukiman dan kegiatan ekonomi lainnya di pantura Jawa dalam rangka mengejar penerimaan
devisa, yang akhirnya menimbulkan abrasi pantai Prasetya, 2006. Selain itu, pembangunan industri dan kilang minyak di lepas pantura mengakibatkan
rusaknya ekosistem pesisir juga bertambah parah. Wilayah pesisir saat ini
mempunyai tingkat kerusakan biofisik yang sangat mengkhawatirkan karena
42 terumbu karang rusak berat, 29 rusak, 23 baik dan 6 sangat baik, 40 hutan mangrove telah rusak dan 40 bibir pantai telah mengalami abrasi
pratikto, 2005. Guna menangani abrasi pesisir di seluruh Indonesia tersebut dari
1996 sampai 2005 pemerintah telah mengeluarkan US 79.667 juta, dan yang berhasil dengan baik hanya di Bali Prasetya, 2006.
Sesungguhnya faktor penyebab menurunnya keberlanjutan hidup pada sumberdaya ini bukan semata-mata karena kebijakan pemerintah saja.
Masyarakat turut bertanggung jawab juga terhadap kerusakan tersebut. Akibat permintaan pasar terhadap komoditas pesisir meningkat seperti ikan, teripang
dll dan keinginan untuk menambah pendapatannya membuat masyarakat khususnya nelayan melakukan eksploitasi sumberdaya pesisir secara
berlebihan. Segala cara dilakukan untuk memperoleh tangkapan lebih banyak lagi termasuk penggunaan pukat harimau untuk menaikkan produksinya.
Penggunaan bom ikan, tablet potas dan sianida telah menyebabkan kerusakan terumbu karang dan merusak biota laut yang akhirnya merusak ekosistem pesisir
dalam jumlah besar Darsono, 2007. Pemerintah telah menetapkan UU No. 22 Tahun 1999 mengenai sistem pemerintahan desentralisasi atau Otonomi Daerah,
dan salah satu pasal yang patut dicermati adalah yang berkaitan dengan masalah pesisir dan kelautan yaitu pasal 10 yang menyebutkan bahwa daerah
provinsi berwenang mengelola wilayah laut sejauh 12 mil dari garis pantai, sementara daerah kabupatenkota berwenang mengelola wilayah laut sejauh 4
mil laut. Jenis kewenangan tersebut mencakup peraturan kegiatan-kegiatan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut. Kewenangan
tersebut terwujud dalam bentuk pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata ruang serta penegakan hukum. Dengan demikian jelas bahwa
implementasi kebijakan sumberdaya pesisir pada suatu daerah akan membawa sejumlah implikasi terhadap aktivitas ekonomi masyarakat, contohnya Provinsi
Jawa Barat. Sebagai salah satu daerah maritim, Jawa Barat memiliki sumberdaya pesisir yang berlimpah dan belum dimanfaatkan secara optimal bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bahkan eksploitasi sumberdaya tersebut selama ini telah memperdalam kesenjangan antara golongan pelaku usaha.
Dalam kaitan dengan ketersediannya, potensi sumberdaya wilayah pesisir ini secara garis besar dapat dibagi kedalam tiga kelompok, yaitu sumberdaya dapat
pulih renewable resources, sumberdaya tak dapat pulih non-renewable
resources , dan jasa lingkungan enviromental services . Ketiga potensi ini walaupun telah dimanfaatkan, tetapi masih belum optimal dan terkesan tidak
terencana dan terprogram dengan baik. Potensi sumberdaya alam yang dapat pulih di kawasan pesisir meliputi
perikanan tangkap, budidaya rumput laut, budidaya kerang, keramba jaring apung KJA, hutan mangrove, dan pertanian tanaman pangan. Sedangkan
potensi sumberdaya alam yang tidak dapat pulih adalah minyak dan gas bumi. Potensi jasa lingkungan antara lain meliputi fungsi pariwisata, perlindungan
terhadap intrusi air laut, hatchery alami ikan, pembiakan alami penyu. Mengelola pemanfaatan sumberdaya pesisir, sulit dilaksanakan oleh
pemerintah sendiri. Hal tersebut diakibatkan kurangnya sumber daya manusia, dana, fasilitas dan rendahnya legitimasi pemerintah yang berkaitan langsung
dengan masyarakat, serta lambatnya proses transformasi kebijakan aplikatif di tingkat daerah. Karena berbagai alasan ini maka diperlukan kebijakan
pengelolaan pesisir yang terintegrasi dengan baik dari segi sumberdaya alamnya dan kepentingan pembangunan ekonomi masyarakat secara menyeluruh.
Secara konseptual ada tiga implikasi pokok dari perencanaan pembangunan daerah. Pertama, perencanaan pembangunan ekonomi daerah
yang realistik, memerlukan pemahaman tentang hubungan antara daerah dengan lingkungan nasional horisontal dan vertikal dimana daerah tersebut
merupakan bagian darinya, keterkaitan secara mendasar antara keduanya, dan konsekuensi akhir dari interaksi tersebut. Kedua, sesuatu yang tampaknya baik
secara nasional belum tentu baik untuk daerah, dan sebaliknya yang baik bagi daerah belum tentu baik secara nasional. Ketiga, perangkat kelembagaan yang
tersedia untuk pembangunan daerah, misalnya adminsitrasi, proses pengambilan keputusan, otoritas, biasanya berbeda pada tingkat daerah dengan yang tersedia
pada tingkat pusat. Selain itu, derajat pengendalian kebijakan sangat berbeda pada dua tingkat tersebut. Oleh karena itu perencanaan daerah yang efektif
harus bisa membedakan, yang seyogyanya dilakukan dan yang dapat dilakukan, dengan menggunakan sumber daya pembangunan sebaik mungkin yang benar-
benar dapat dicapai, dan mengambil manfaat dari informasi yang lengkap yang tersedia pada tingkat daerah karena kedekatan para perencanaannya dengan
obyek perencanaan Arsyad, 1999. Adanya beberapa kendala dalam suatu daerah menyebabkan perencana
di daerah tersebut harus berani mengurangi kegiatan dalam penyusunan
program pembangunannya. Pada saat melihat fakta kondisi yang ada, maka kepentingan tiap program dapat bersifat 1 harus segera dilaksanakan segera,
2 dapat dilakukan di saat yang lain, dan 3 dapat dilakukan pada tahap selanjutnya. Sementara bila dilihat dari karakteristiknya, program satu dengan
program lainnya dapat bersifat 1 komplementer, output yang ada menjadi input bagi yang lain atau 2 tidak terkait langsung satu sama lain. Atas dasar kondisi
tersebut, maka daftar program yang tersusun perlu disusun urutan prioritasnya, yang berarti mengenali lebih dalam urgensi dan karakteristik tiap program yang
ada dikaitkan dengan keberadaan program yang lain. Keperluan untuk menentukan prioritas program dalam perencanaan
pembangunan daerah semakin terasa penting jika dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah saat ini. Salah satu ciri utama otonomi daerah, sebagaimana
yang tersirat dalam UU No. 25 Tahun 1999, adalah daerah otonom memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan,
mengelola dan menggunakannya sendiri untuk pembiayaan pembangunan daerah. Permasalahan banyak muncul ketika pemerintah daerah otonom mulai
merencanakan anggaran pembangunan sektoral. Disini sering kali terlihat penempatan anggaran pembangunan sering tidak sesuai dengan potensi wilayah
yang ada. Sektor yang sebenarnya menjadi tulang punggung perekonomian daerah malah diinjeksi dana pembangunan lebih sedikit dibandingkan sektor
yang kurang berperan terhadap perekonomian setempat. Terkait dengan kondisi semacam ini maka penting sekali untuk dilakukan suatu studi penyusunan
program pembangunan sektoral yang lebih efektif untuk dijadikan sebagai prioritas pembangunan daerah di Jawa Barat, khususnya yang berada di wilayah
pesisir yakni Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Ciamis.
6.2. Model Studi Potensi Pengembangan Wilayah Pesisir