2.3. Penelitian Terdahulu
Model AIDS digunakan oleh Deaton Muellbauer 1980 yang melakukan estimasi 8 kelompok komoditi yaitu; makanan, pakaian, perumahan, bahan bakar,
minuman dan tembakau, transportasi dan komunikasi dan pengeluaran lainnya di British dengan data tahun 1954-1974. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komoditi
yang tergolong kebutuhan dasar adalah kelompok komoditi makanan dan perumahan. Teklu dan Johnson 1987 dalam tulisannya yang berjudul “Demand Systems
from Cross Section Data : An Experiment for Indonesia” meneliti tentang fungsi permintaan terhadap beberapa komoditi seperti padi-padian, palawija, ikan, dsb.
Menggunakan AIDS model mencoba memasukkan karakteristik sosial demografi yaitu jumlah anggota rumahtangga. Hasil estimasi dengan SUR memperlihatkan
bahwa karakteristik jumlah anggota rumahtangga memiliki efek yang berlawanan dibandingkan pendapatan dan permintaan terhadap komoditi makanan. Tingkat
elastisitas jumlah anggota rumahtangga adalah negatif terhadap pengeluaran kelompok makanan, artinya jika terjadi peningkatan jumlah anggota rumahtangga
maka terjadi realokasi pengeluaran kelompok makanan tersebut. Beberapa penelitian yang sejenis juga dilakukan oleh Ritonga 1992 yang menggunakan LA-AIDS model
dalam melihat fungsi permintaan dengan variabel demografi di USA, dan Ali Koc yang meneliti tentang permintaan rumahtangga di Turki menggunakan AIDS model.
Bono 1985 dalam tulisannya tentang “Consumption Behaviour across Regions” mencoba menganalisis secara simultan keterkaitan antara total konsumsi
dengan karakteristik sosial ekonomi yang merupakan cerminan prilaku konsumsi rumahtangga. Menggunakan prosedur GLS memperlihatkan keragaman dari
signifikansi parameter estimated. Persamaan simultan yang dibangun dibagi 3 kelompok yaitu: food expenditure, working expenditure, dan luxury one. Beberapa
penelitian yang sejenis adalah oleh Kim 2009 yang menyatakan bahwa semakin baik tingkat pendidikan istri atau wanita dalam rumah tangga akan memberikan dampak
yang positif terhadap peningkatan pendapatan dan konsumsi. Cristina 1999 dalam International Economic Review menjelaskan bahwa tingkat pendidikan akan
mempengaruhi pola konsumsi rumahtangga diantaranya melalui keinginan untuk bekerja dan lapangan pekerjaan. Allan N Rae dalam jurnal ekonominya menjelaskan
bahwa hanya beberapa studi yang sudah mencoba melakukan kajian tentang dampak atau pengaruh karakteristik rumahtangga terhadap pola konsumsi khususnya
konsumsi makanan, seperti studi yang dikerjakan oleh Meesook 1982 mendapatkan
informasi bahwa semakin besar jumlah anggota rumahtangga akan menurunkan konsumsi sebaliknya peningkatan pendidikan akan meningkatkan konsumsi.
Berdasarkan data BPS tahun 2007 pola konsumsi makanan di daerah perkotaan dan pedesaan terjadi perbedaan yang cukup berarti jika dikaitkan dengan
tingkat pendidikan. Pendidikan kepala rumahtangga dapat mempengaruhi pola konsumsi makanan rumahtangga. Pada rumahtangga dengan pendidikan kepala
rumahtangga yang rendah, persentase pengeluaran rata-rata per kapita sebulan makanan tertinggi adalah kelompok makanan bukan jadi, sedangkan untuk kepala
rumahtangga dengan pendidikan tinggi persentase pengeluaran makanan adalah kelompok makanan jadi. Pola konsumsi makanan khususnya padi-padian di daerah
perkotaan untuk kepala rumahtangga berpendidikan rendah SD atau tidak tamat SD sebesar 11,56, sedangkan untuk konsumsi makanan jadi hanya sebesar 10,52.
Sebaliknya untuk kepala rumahtangga berpendidikan di atasnya konsumsi padi-padian dan makanan jadi jauh lebih tinggi. Kondisi serupa terjadi di daerah pedesaan tetapi
terdapat perbedaan yang berarti atas persentasenya, dimana sebanyak 18 konsumsi padi-padian untuk kepala rumahtangga berpendidikan rendah, jauh lebih tinggi dari
daerah perkotaan. Perbedaan konsumsi padi-padian dan makanan jadi ini dapat menggambarkan kondisi perbedaan konsumsi makanan dan non makanan, karena
makanan jadi terutama lebih banyak dikonsumsi oleh golongan rumahtangga yang memiliki pendapatan jauh lebih baik sehingga kelompok ini memiliki kemampuan
untuk mengalokasikan pendapatannya tidak hanya kebutuhan dasar tetapi juga kebutuhan barang dan jasa non makanan.
Ariningsih 2004 meneliti tentang perbedaan dan besarnya konsumsi pangan hewani seperti telur, daging antara daerah perkotaan dan pedesaan di Jawa. Hasil
penelitian menmberikan kesimpulan yang cukup signifikan, yaitu terdapat perbedaan pola pengeluaran rumahtangga untuk komoditi telur, daging, ikan. Dimana konsumsi
komoditi tersebut untuk daerah perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan daerah pedesaan.
BPS bekerjasama dengan World Bank tahun 2004 telah berhasil membangun model untuk menghasilkan “Poverty Map”. Salah satu aspek penting dari penelitian
tersebut adalah mengenai model konsumsi yang dinyatakan oleh Elbers dan Lanjouw 2003 adalah bahwasanya pendekatan normalisasi dari pengeluaran perkapita dari
suatu rumah tangga dipengaruhi oleh sejumlah variabel-variabel, baik variabel individu, rumahtangga, maupun agregat. Selain itu studi tentang metodologi empiris
lainnya juga telah dilakukan BPS bekerjasama dengan UNICEF tahun 2006 salah satunya mengindikasikan bahwa terdapat keragaman dari karakteristik-karakteristik
sosial ekonomi, seperti pendidikan, lapangan pekerjaan, dll. Hal ini sangat menarik menjadi perhatian dalam kaitannya dengan hubungannya dengan prilaku konsumsi
sehingga perlu analisis bagaimana hubungan keragaman karakteristik tersebut mempengaruhi pola konsumsi rumahtangga.
2.4. Kerangka Pemikiran