IV. POLA KONSUMSI RUMAHTANGGA
4.1. Pengeluaran dan Konsumsi Rumahtangga
Kemiskinan tidak terlepas dari masalah tingkat pendapatan yang masih rendah dan hal ini umumnya terjadi di wilayah pedesaan Distribusi pendapatan merupakan
dimensi yang perlu mendapat perhatian terutama untuk melihat tingkat pendapatan masyarakat. Untuk memperoleh gambaran tingkat pendapatan selama ini sudah
banyak penelitian menfokuskan diri didalam mengkaji aspek-aspek pendapatan rumahtangga. Secara teoritis aspek pendapatan sangat erat kaitannya dengan tingkat
pengeluaran atau konsumsi rumahtangga. Pengeluaran atau konsumsi erat kaitannya dengan tingkat pendapatan, harga, serta status sosial suatu rumahtangga.
Rumahtangga merupakan konsumen atau pemakai barang dan jasa sekaligus juga pemilik faktor-faktor produksi tenaga kerja, lahan, modal dan kewirausahaan.
Rumahtangga mengelola faktor-faktor tersebut untuk memperoleh balas jasa. Salah satu bentuk balas jas adalah upah yang menjadikannya pendapatan rumahtangga.
Dalam hal membelanjakan pendapatan belum tentu semuanya dikonsumsi atau menjadi komponen pengeluaran. Pengeluaran konsumsi secara riil berupa aktifitas
yang ditujukan untuk mempertahankan taraf hidup, seperti pembelian barang atau jasa BPS 2008. Dalam uraian selanjutnya disajikan gambaran umum nasional konsumsi
komoditi terpilih dan disajikan juga pola konsumsi menurut kelompok pengeluaran makanan dan non makanan, tipologi wilayah perkotaan dan pedesaan, serta tingkat
pendidikan kepala rumahtangga berdasarkan data Susenas 2007 2008
4.2. Gambaran Umum Konsumsi Komoditi
Berdasarkan penelitian Setiawan 2006, konsumsi kelompok makanan yaitu padi-padian terutama beras terus mengalami penurunan dari tahun 1999 sd 2004
terhadap total konsumsi yaitu dari 51,4 tahun 1999 menjadi 44,0 tahun 2004. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia mulai mengalihkan
konsumsi padi-padian terutama beras ke konsumsi komoditi lainnya. Konsumsi ikan, daging, telur, dan susu relatif lebih stabil terutama dalam kurun waktu dari tahun 2002
sd 2004. Sementara itu, konsumsi sayur-sayuran selama kurun waktu 1999-2004 hanya bergerak sedikit dan juga relatif stabil. Hal tersebut di atas dapat dilihat pada
Tabel 1 di bawah.
Tabel 1. Persentase Rata-rata Konsumsi Beberapa Komoditi Protein Penduduk Indonesia tahun 1999-2004
Komoditi 1999 2002 2003 2004
Beras Ikan
Daging Telur Susu
Sayuran 51,4
12,5 2,7
3,0 4,6
44,8 13,2
4,2 4,3
4,6 43,9
14,9 4,7
4,0 5,0
44,0 14,0
4,6 4,4
4,7
Sumber : BPS 2005, Susenas 1999-2004
Konsumsi komoditi kelompok protein hewani yang terdiri atas ikan, daging, telur, dan susu selama periode 1999-2004 mengalami peningkatan dari 18,2 menjadi
23. Sebaliknya konsumsi komoditi kelompok protein nabati yang diantaranya terdiri atas beras dan sayuran mengalami sedikit penurunan dari 65,9 tahun 1999 menjadi
58,8 tahun 2004. Peningkatan konsumsi ikan, daging, dan telur susu menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya peningkatan gizi makanan
terus tumbuh semakin baik. Konsumsi kelompok non makanan yaitu pendidikan berupa partisipasi
masyarakat untuk bersekolah sejak tahun 2000 sd 2005 terus mengalami peningkatan sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang secara terus menerus meningkatkan
anggaran pendidikan dan infrastruktur sekolah. Tabel 2 memperlihatkan angka partisipasi murni sekolah pada berbagai jenjang pendidikan dari tahun 2000-2005.
Angka partisipasi murni SMP mengalami peningkatan cukup tinggi dari 61,7 th 2000 menjadi 65,2 tahun 2005, begitu juga untuk angka partisipasi murni SMA
yang juga mengalami peningkatan dari 39,5 th 2000 menjadi 41,7 th 2005 World Bank
, 2007. Berdasarkan pada Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa angka partisipasi juga
menggambarkan kemampuan masyarakat, dimana peningkatan biaya pendidikan sejalan dengan peningkatan jenjang pendidikan. Hal ini ditunjukkan dengan angka
partisipasi untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi yaitu Sekolah Menengah Atas jauh lebih rendah dari Sekolah Dasar. Kondisi memperlihatkan bahwa kemampuan
masyarakat dalam mengakses sektor pendidikan khususnya jenjang pendidikan lebih
tinggi masih cukup terbatas. Seberapa besar kontribusi suatu rumahtangga dalam mengakses sektor pendidikan sangatlah tergantung pada tingkat pendapatan.
Tabel 2. Angka Partisipasi Murni berdasarkan Jenjang Pendidikan, th 2000-2005
Jenjang Pendidikan 2000
2002 2004
2005
Sekolah Dasar Sekolah Menengah Pertama
Sekolah Menengah Atas 92,4
61,7 39,5
92,7 60,9
36,8 93,0
65,2 42,9
93,2 65,2
41,7
Sumber : Tinjauan World Bank untuk Pendidikan hasil Susenas
Sektor kesehatan Indonesia sudah mengalami peningkatan sepanjang beberapa tahun terakhir ini. Meskipun demikian kinerja sistem kesehatan belum cukup
memadai untuk mencapai sasaran sektor kesehatan. Hal ini terlihat dari tingkat pemanfaatan layanan kesehatan di Indonesia yang masih rendah dan tingkat
pelayanan publik yang masih inefisien. Infrastruktur, obat-obatan, dan fasilitas kesehatan yang buruk terutama di wilayah terpencil dan pedesaan memberikan
dampak penurunan partisipasi masyarakat untuk berobat World Bank, 2007. Partisipasi masyarakat yang masih rendah terlihat dari besaran kontribusi
pengeluaran untuk biaya kesehatan yang rendah dibandingkan pengeluaran lainnya seperti untuk biaya pendidikan dan transportasi. Data BPS tahun 2007 menunjukkan
persentase pengeluaran rata-rata untuk sektor kesehatan sekitar 2, masih rendah dibandingkan sektor pendidikan sekitar 3-4 dan transportasi sekitar 4-7.
4.3. Pola Konsumsi menurut Tipologi Wilayah