Elastisitas Pengeluaran HASIL PENELITIAN

5.4. Elastisitas Pengeluaran

Pada tabel elastisitas Lampiran 2 terlihat bahwa nilai elastisitas umumnya lebih besar dari 0, artinya semua kelompok makanan dan non makanan tersebut merupakan barang normal, dimana jika terjadi peningkatan pendapatan, maka besaran peningkatan tersebut akan dialokasikan untuk kelompok tersebut. Pada Tabel 9 secara umum nilai elastisitas pengeluaran adalah normal. Rumahtangga dengan tingkat pendidikan kepala rumahtangga menengah ke bawah dan menengah keatas di daerah perkotaan dan pedesaan peningkatan pendapatan masih lebih banyak dialokasikan untuk konsumsi makanan pokok terutama padi- padian. Hal ini disebabkan karena dari gambaran pola konsumsi terlihat bahwa konsumsi makanan terutama padi-padian, ikandagingtelursusu memiliki kontribusi yang terbesar terhadap proporsi pengeluaran. Tabel 9. Elastisitas Pengeluaran beberapa Komoditi Tingkat Pendidikan Padi 2 an Ikandaging telursusu Pendidikan SMA 1,030 1,351 0,215 Perkotaan ≥ SMA 0,992 1,311 0,818 SMA 1,110 1,194 0,571 Pedesaan ≥ SMA 0,804 1,059 0,588 Semakin tinggi tingkat pendidikan maka konsumsi padi-padian atau makanan pokok cenderung semakin lebih rendah, yang ditunjukkan oleh nilai elastisitas yang cenderung semakin inelastis baik di perkotaan maupun di pedesaan. Jika dilihat perbandingan elastisitas untuk kepala rumahtangga dengan tingkat pendidikan yang sama, terlihat bahwa kepala rumahtangga yang berpendidikan rendah SMA di pedesaan mengalokasikan sedikit lebih besar tambahan pendapatannya untuk komoditi padi-padian makanan pokok dibandingkan di perkotaan. Kondisi mendukung fakta bahwa di pedesaan konsumsi padi-padian seperti beras masih lebih utama dan relatif lebih besar khususnya untuk rumahtangga menengah ke bawah. Khusus untuk komoditi ikandagingtelursusu masih merupakan komoditi mewah karena bersifat sangat elastis baik di perkotaan maupun di pedesaan, yang dilihat nilai elastisitas yang lebih besar dari 1. Konsumsi komoditi ini relatif lebih tinggi di perkotaan, dimana peningkatan pendapatan di perkotaan menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan komoditi ikandagingtelursusu. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesadaran masyarakat perkotaan relatif lebih baik dibandingkan di pedesaan. Untuk kepala rumahtangga dengan tingkat pendidikan menengah keatas ≥SMA terlihat bahwa elastisitas komoditi ikandagingtelursusu di perkotaan cenderung lebih tinggi dibandingkan di pedesaan atau dikatakan komoditas luxury , hal ini dapat terjadi karena tambahan pendapatan di perkotaan lebih besar dibandingkan di pedesaan. Dibandingkan komoditi lain, komoditi ikandagingtelursusu masih lebih elastis dari padi-padian yang menunjukkan bahwa komoditi ini masih lebih mahal dibandingkan komoditi padi-padian. Komoditi pendidikan secara umum bersifat cukup inelastis baik di perkotaan maupun di pedesaan, artinya masyarakat relatif tidak terlalu besar merespon sektor pendidikan jika terjadi peningkatan pendapatan. Elastisitas pendidikan di pedesaan khususnya untuk rumahtangga dengan pendidikan kepala rumahtangga menengah ke bawah cenderung lebih elastis dibandingkan di perkotaan, yang mengindikasikan bahwa konsumsi pendidikan masih merupakan barang mewah untuk rumahtangga menengah bawah di pedesaan. Hal ini menunjukkan bahwa respon terhadap peningkatan pendapatan di pedesaan relatif besar tertuju pada bidang pendidikan. Sedangkan untuk komoditi pendidikan di perkotaan lebih inelastis dibandingkan di pedesaan. Kondisi ini mendukung fakta bahwa masyarakat berpendidikan rendah atau berpendapatan rendah masih belum memprioritaskan kebutuhan pendidikan, karena tambahan pendapatan dialokasikan sangat kecil sekali untuk komoditi ini. Formula regresi digunakan sebagai pendekatan analisis tambahan untuk melihat seberapa besar pengaruh total pengeluaran komoditi terpilih terhadap total pengeluaran rumahtangga. Hasil regresi menunjukkan bahwa estimasi parameter untuk pengeluaran komoditi terpilih bernilai positif 1,04 dan signifikan, yang menunjukkan bahwa pengaruh pengeluaran komoditi terpilih terhadap total pengeluaran sangat signifikan dan elastis. Korelasi nilai pengeluaran keduanya juga tinggi yaitu 0,83. Kesimpulan yang dapat diambil adalah peningkatan pengeluaran rumahtangga sebagai pendekatan pendapatan signifikan dipengaruhi oleh pengeluaran komoditi terpilih. 5.5. Analisis Perubahan Karakteristik Sosial Ekonomi terhadap Permintaan Komoditi Makanan dan Non Makanan Nilai elastisitas untuk karakteristik sosial ekonomi bervariasi dan bertanda positif dan negatif. Bertanda positif artinya peningkatan kuantitas karakteristik sosial ekonomi akan meningkatkan permintaan kelompok komoditi, sebaliknya bertanda negatif artinya peningkatan kuantitas karakteristik sosial ekonomi akan menurunkan permintaan kelompok komoditi. Nilai elastisitas yang kurang dari 1 artinya inelastis artinya persentase perubahan permintaan komoditi masih lebih rendah dari perubahan peningkatan karakteristik sosial ekonomi. Elastisitas positif terjadi diantaranya untuk karakteristik jumlah anggota rumahtangga, proporsi balita, dan proporsi anak masih sekolah baik di perkotaan dan pedesaan terhadap kelompok komoditi kesehatan. Hal ini wajar karena semakin banyak jumlah anggota rumahtangga, balita, anak-anak maka proporsi biaya kesehatan juga naik. Hal yang tidak jauh berbeda terjadi untuk komoditi pendidikan, kecuali untuk proporsi balita elastisitasnya negatif. Tabel 10 menunjukkan bahwa semakin besar jumlah anggota rumahtangga dan semakin tinggi tingkat pendidikan di perkotaan permintaan terhadap komoditi ikandagingtelursusu lebih tinggi dibandingkan di pedesaan, yang ditunjukkan dengan nilai elastisitas untuk karakteristik jumlah anggota rumahtangga yang bertanda negatif di pedesaan. Indikasi ini menunjukkan juga bahwa untuk konsumsi ikandagingtelursusu untuk rumahtangga dengan pendidikan kepala rumahtangga menengah ke atas di pedesaan cenderung rendah dibandingkan di perkotaan. Penambahan jumlah balita di perkotaan menyebabkan terjadi peningkatan konsumsi ikandagingtelursusu, sebaliknya penambahan jumlah balita menyebabkan terjadinya penurunan konsumsi di pedesaan. Penurunan konsumsi ikandagingtelursusu untuk rumahtangga menengah ke atas, dapat disebabkan oleh karena komoditi dimaksud diproduksi sendiri, dimana berdasarkan data Susenas 2007 sekitar 40 rumahtangga ini berusaha sendiri di sektor pertanian atau peternakan. Penyebab lain adalah karena komoditi ini cenderung belum tersedia dengan baik di pedesaan, seperti komoditas daging, yang disebabkan oleh preferensi konsumsi yang masih rendah Daud, 2006. Untuk rumahtangga menengah ke bawah di perkotaan, akibat terjadinya penambahan jumlah anak yang sekolah menyebabkan terjadinya penurunan permintaan komoditi ikandagingtelursusu yang lebih besar dibandingkan rumahtangga menengah ke atas. Hal ini menunjukkan bahwa beban hidup di perkotaan sangat mempengaruhi pola konsumsi khususnya rumahtangga miskin, dimana penambahan jumlah anggota rumahtangga khususnya anak sekolah akan mengurangi budget share pengeluaran rumahtangga untuk konsumsi bahan makanan berprotein. Untuk rumahtangga menengah ke bawah di pedesaan, akibat terjadinya penambahan jumlah anak yang sekolah menyebabkan terjadinya peningkatan komoditi ikandagingtelursusu yang tidak terlalu besar dibandingkan rumahtangga menengah ke atas yang mengalami penurunan permintaan. Hal ini menunjukkan bahwa beban hidup di pedesaan relatif masih ringan dibandingkan di perkotaan dalam mempengaruhi pola konsumsi khususnya rumahtangga miskin, dimana penambahan jumlah anggota rumahtangga khususnya anak sekolah relatif tidak mengurangi pengeluaran rumahtangga untuk konsumsi bahan makanan berprotein. Untuk karakteristik usia kepala rumahtangga, semakin bertambah usia maka konsumsi ikandagingtelursusu semakin berkurang baik di perkotaan maupun di pedesaan. Perubahan permintaan komoditi ikandagingtelursusu akibat penambahan usia kepala rumahtangga paling besar terjadi untuk kelompok rumahtangga menengah ke bawah. Khusus di perkotaan peningkatan usia kepala rumahtangga menyebabkan penurunan permintaan yang lebih besar dibandingkan di pedesaan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin bertambah usia, maka terjadi penurunan kemampuan dari kepala rumahtangga kelompok menengah ke bawah dalam memenuhi konsumsi komoditi yang berprotein ini. Tingkat pendapatan kepala rumahtangga yang relatif berusia tua akan semakin menurun sejalan tingkat pendidikan yang rendah khususnya di perkotaan. Kondisi ini menyebabkan komoditi berprotein yang bersifat superior dan luxury akan semakin sulit dijangkau. Tabel 10. Elastisitas Karakteristik Sosial Ekonomi terhadap Komoditi Ikandagingtelursusu Tingkat Pendidikan Jart Usia Prblt Prsek SMA -0,165 -0,649 0,165 -0,339 Perkotaan ≥ SMA 0,025 -0,218 0,194 -0,096 SMA 0,013 -0,320 -0,035 0,021 Pedesaan ≥ SMA -0,330 -0,143 -0,424 -0,156 Ket: Jart = Jumlah Anggota Rumahtangga Usia = Usia Kepala Rumahtangga Prblt = Proporsi Balita Prsek = Persentase Anak Sekolah Tabel 11 untuk komoditi sektor pendidikan menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan kepala rumahtangga di pedesaan dan semakin besar jumlah anggota rumahtangga kebutuhan pendidikan cenderung menurun baik di perkotaan maupun di pedesaan, yang terlihat dari elastisitas yang semakin inelastis. Hal yang tidak jauh berbeda terjadi untuk karakteristik usia kepala rumahtangga, dan juga proporsi balita khususnya di perkotaan. Untuk rumahtangga berpendapatan rendah pendidikan kepala rumahtangga menengah ke bawah terlihat bahwa permintaan komoditi pendidikan khususnya di daerah perkotaan cenderung menurun dibandingkan di daerah pedesaan, seiring penambahan jumlah anggota rumahtangga dan anak sekolah. Penurunan permintaan sektor pendidikan berupa penurunan budget share untuk komoditi ini. Informasi ini memberikan kesimpulan, bahwa beban hidup yang berat ditambah dengan jumlah anggota rumahtangga yang besar menyebabkan rumahtangga menengah ke bawah semakin sulit memenuhi kebutuhan pendidikan. Kemampuan masyarakat perkotaan dalam memberikan pendidikan dini untuk anak-anak yang masih balita relatif lebih baik dibandingkan di pedesaan. Dengan nilai elastisitas positif lebih besar, maka kelompok menengah ke atas khususnya di perkotaan mampu memberikan akses pendidikan yang lebih baik dibandingkan kelompok menengah ke bawah. Kesadaran masyarakat berpendapatan rendah khususnya di perkotaan cenderung rendah dibandingkan di pedesaan, dilihat dari nilai elastisitas yang negatif di perkotaan dan positif di pedesaan. Hal ini disebabkan karena sektor pendidikan disini adalah sektor yang bersifat formal dan bukan informal. Bantuan sekolah dengan biaya gratis di pedesaan dapat dimungkinkan memberikan kontribusi peningkatan partisipasi sekolah relatif lebih baik khususnya masyarakat berpendapatan rendah di pedesaan. Hal ini bertolak belakang untuk masyarakat berpendapatan rendah di perkotaan yang mungkin belum mendapatkan pelayanan optimal, yang didukung juga oleh fakta bahwa elastisitas persentase anak sekolah yang negatif. Tabel 11. Elastisitas Karakteristik Sosial Ekonomi Komoditi Pendidikan Tingkat Pendidikan Jart Usia Prblt Prsek SMA -0,277 0,931 -0,053 -0,124 Perkotaan ≥ SMA -0,015 0,685 0,113 0,198 SMA 0,056 -0,060 0,020 0,224 Pedesaan ≥ SMA 0,017 0,713 0,035 0,140 Ket: Jart = Jumlah Anggota Rumahtangga Usia = Usia Kepala Rumahtangga Prblt = Proporsi Balita Prsek = Persentase Anak Sekolah

5.6. Simulasi Dampak Perubahan Harga terhadap Permintaan Komoditi