Michon, Mary dan Bompard 1986 dalam Foresta et al. mengemukakan bahwa dalam mengelola kebun para petani sesungguhnya menerapkan praktik
pertanian menanam, menyiangi, memupuk dan memanen dan berusaha mengintegrasikan proses alami bahan organik, perputaran unsur hara, dan
regenerasi vegetasi. Faktor penentu utama dalam pengelolaan kebun adalah interaksi fungsional antar tanaman, antara tanaman dan tanah, dan antara siklus
biologi masing-masing tanaman. Sistem kebun pekarangan di Pulau Jawa merupakan contoh pengelolaan
lahan yang berasal dari daerah tropika. Sebagaimana kebun pekarangan lain di dunia, pekarangan di Pulau Jawa tetap bertahan sampai masa ini sebagai sistem
produksi skala kecil yang memadukan berbagai fungsi ekologi, ekonomi dan sosial. Kebun-kebun tradisional menghasilkan dan berkembang secara alami, dan
hanya memerlukan perawatan minimal. Praktik pengelolaannya sederhana, dan hampir-hampir tidak mengganggu proses-proses alami. Petani mengarahkan
proses produksi semata-mata hanya untuk kebutuhan sendiri buah atau kayu. Pengelolaan kebun tradisional tidak secara langsung memberikan perlakukan
semaian dan pohon, yaitu pemangkasan pohon untuk meningkatkan hasil buah, pemilihan anakan pohon, penjarangan kanopi agar cahaya matahari masuk atau
penyiangan tumbuhan bawah secara selektif untuk merangsang tumbuhnya spesies yang berharga Michon dan Mary 1994 dalam Foresta et al..
2.2.2. Manfaat Kebun Campuran
Sudiyono 1994 mengemukakan bahwa walaupun hutan hak seperti hutan rakyat dan kebun campuran di Indonesia hanya merupakan sebagian kecil dari
luasan total hutan, namun tetap penting karena selain fungsinya untuk perlindungan tata air pada lahan-lahan masyarakat, juga penting bagi pemiliknya
sebagai sumber penghasil kayu maupun sumber pendapatan rumah tangga, disamping hasil-hasil lain seperti buah-buahan, daun, kulit kayu, biji dan
sebagainya. Salah satu penelitian Michon dan Mary 1994 dalam Foresta et al. di
Cibitung, Jawa Barat mengungkapkan bahwa kebun pekarangan campuran masyarakat secara komersil dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sebesar
15 – 25 dari pendapatan total tahunan melalui produksi buah komersil seperti durian, petai dan juga produksi tanaman ekspor seperti cengkeh, pala, dan kopi.
Nurhayati 2005 mengemukakan bahwa manfaat kebun campuran yang dirasakan banyak sekali, terutama dapat menambah pendapatan petani. Pola
penanaman dengan sistem kebun campuran yang dilakukan dapat berperan sebagai pelindung tanaman lain, sebagai pakan ternak, dapat memperkuat tanah,
sehingga tidak terjadi longsor, hasil pemangkasan dari tanaman pelindung tajuk tinggi maupun daun-daun yang berguguran juga dapat menyuburkan tanah bila
sudah membusuk dan dapat mengurangi intensitas kegiatan penyiangan yang dilakukan karena penutupan tajuk relatif rapat. Masyarakat juga memanfaatkan
pekarangan yang ada untuk budidaya sayuran dan beberapa tanaman obat yang juga bermanfaat sebagai bahan makanan dan bumbu masak.
2.2.3. Kontribusi Kebun Campuran Terhadap Pendapatan Rumah Tangga
Hernanto 1991 mengemukakan bahwa salah satu cara dalam menentukan ukuran pendapatan petani adalah jumlah penerimaan penjualan hasil ditambah
penerimaan yang diperhitungkan dengan kenaikan nilai inventaris, dikurangi dengan pengeluaran tunai dan pengeluaran yang diperhitungkan termasuk bunga
modal. Pendapatan rumah tangga petani dapat berasal dari pendapatan usaha tani dan pendapatan non-usaha tani.
Menurut salah satu penelitian LP IPB 1990 mengenai hutan rakyat, menerangkan bahwa pada dasarnya pengelolaan hutan rakyat merupakan upaya
menyeluruh dari kegiatan-kegiatan merencanakan, membina, mengembangkan dan menilai serta mengawasi pelaksanaan kegiatan produksi, pengolahan hasil dan
pemasaran secara terencana dan berkesinambungan. Tujuan akhir dari pengelolaan hutan rakyat ini adalah peningkatan peran kayu rakyat terhadap
peningkatan pendapatan pemilik atau pengusahanya secara terus-menerus selama daur.
2.2.4. Faktor Sistem Pengelolaan Kebun Campuran yang Berpengaruh Terhadap Pendapatan Rumah Tangga
Menurut Michon, Mary dan Bompard 1986 dalam Foresta et al. mengemukakan bahwa dalam sistem agroforestry kebun parak di Maninjau,
Sumatera Barat, hanya tenaga keluarga yang dipakai. Masa paling sibuk dalam pekerjaan yaitu pada musim panen durian, dan pada masa panen kulit manis.
Tenaga kerja laki-laki bertugas menebang pohon sementara tenaga kerja perempuan mengupas kulit dan mengeringkannya di desa. Sebagian besar
kegiatan pengelolaan agroforestry parak tidak tertentu waktunya dan bila perlu dapat diatur bergiliran. Pengumpulan kayu bakar dan penyiangan biasanya
dilakukan oleh perempuan, penanaman oleh laki-laki, sedangkan pemetikan buah-buahan dikerjakan oleh seluruh anggota keluarga. Menebang dan
menggergaji kayu dilakukan oleh pekerja khusus yang dibayar dengan barang atau uang tunai.
Berdasarkan survei intensif yang dilakukan Suyanto et al. 2001 dalam Otsuka dan Place 2001 di Jambi terhadap para pemilik lahan kayu manis,
memperlihatkan bahwa tenaga kerja, terutama tenaga kerja yang berasal dari keluarga, merupakan komponen biaya utama dalam produksi kayu manis.
Penggunaan tenaga kerja pada tahun pertama penanaman kayu manis biasanya lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun-tahun berikutnya. Tenaga kerja yang
berasal dari keluarga lebih banyak digunakan pada tiga tahun awal, yang mana tenaga kerja luar keluarga hired labor biasanya digunakan untuk
pekerjaan-pekerjaan sederhana. Menurut Kasryno 1984, besar kecilnya bagian yang diterima oleh buruh
tani dipengaruhi oleh : a. Perkembangan teknologi yang diukur dengan produktifitas tanah
b. Luas tanah garapan. c. Tingkat pertambahan penduduk.
d. Persentase rumah tangga tak bertanah dan petani bertanah sempit. e. Kesempatan kerja di luar sektor pertanian dan perpindahan.
f. Tingkat pendapatan rumah tangga.
2.2.5. Input-input Produksi Sistem Pengelolaan Kebun Campuran