biologis sedang, dan besi dalam sebagian besar sayuran, terutama yang mengandung oksalat tinggi seperti bayam mempunyai ketersediaan biologis
rendah.
Menurut Indonesian Pediatric Society kekurangan zat besi sangat mempengaruhi fungsi kognitif, tingkah laku, dan pertumbuhan seorang bayi.
Gejala yang paling sering ditemukan adalah pucat yang berlangsung lama kronis dan gejala komplikasi antara lain lemas, mudah lelah, mudah infeksi, gangguan
prestasi belajar, menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi, dan gangguan perilaku Anonim 2015.
Data riset kesehatan dasar Riskesdas yang dilakukan pada tahun 2007 dan 2010 secara konsisten menunjukkan bahwa rata-rata asupan kalori dan protein
anak balita masih di bawah AKG. Akibat dari keadaan tersebut, anak balita perempuan dan anak balita laki-laki Indonesia mempunyai rata-rata tinggi badan
masing-masing 6.7 cm dan 7.3 cm lebih pendek daripada standar rujukan WHO 2005 Bappenas 2012. Anisa 2012, dalam penelitiannya menunjukkan bahwa
terdapat
hubungan yang
bermakna antara
asupan protein
dengan kejadian stunting.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Dewi dan Kadek 2014, ada pengaruh yang bermakna pada konsumsi protein, konsumsi seng dan riwayat
penyakit infeksi terhadap kejadian pendek. Faktor dominan yang mempengaruhi kejadian pendek di wilayah kerja Puskesmas Nusa Penida III adalah konsumsi
seng p=0.006 OR=9.94 artinya konsumsi seng mempunyai peluang 9.94 lebih baik dibandingkan yang tidak mengonsumsi seng terhadap kejadian pendek di
wilayah kerja Puskesmas Nusa Penida III dan riwayat penyakit infeksi anak p=0.025 OR=5.41 artinya riwayat penyakit infeksi anak mempunyai peluang 5.41
untuk mempengaruhi kejadian pendek di wilayah kerja Puskesmas Nusa Penida III .
4.2.4 Berat Badan Balita menurut Umur
Status gizi merupakan suatu ukuran keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrisi yang diindikasikan oleh variabel tertentu yang diukur melalui
indikator BBU, TBU dan IMTU berdasarkan standar baku WHO-Antropometri 2005 Kemenkes 2011. Dalam penelitian ini indeks yang digunakan adalah
indeks BBU dengan nilai rujukan WHO –NCHS sesuai Kepmenkes RI No.
1995MENKESSKXII2010 tentang standar antropometri penilaian status gizi anak. Indeks ini digunakan karena keterbatasan waktu penelitian. Berat badan
dapat berkembang lebih cepat atau lebih lambat dari keadaan normal Supariasa 2002. Berdasarkan karakteristik berat badan ini, maka indeks berat badan
menurut umur digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka indeks BBU lebih
menggambarkan status gizi seseorang saat ini current nutritional status Supariasa 2002. Sementara apabila menggunakan BBPB
–TB memerlukan waktu yang lama karena pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan,
relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang
relatif lama Supariasa 2002. Distribusi status gizi BBU balita usia 24-59 bulan di posyandu Jakarta Utara disajikan pada Gambar 4.9.
Gambar 4.9 Profil status gizi BBU balita usia 24-59 bulan di posyandu Jakarta Utara.
Tabel 4.4 Hasil uji beda status gizi balita usia 24-59 bulan di posyandu Jakarta Utara.
Parameter Status Gizi
Posyandu Kelapa Gading
Posyandu Sukapura
Signifikansi BBU z score
0.2 ± 0 -0.4 ± 0.1
0.002 LILAU z score
0.4 ± 0.1 -0.2 ± 0
0.005 TBU z score
-0.1 ± 0 -0.9 ± 0
0.000 Berat badan balita menurut umur di wilayah posyandu Kelapa Gading yang
memiliki gizi normal yaitu nilai Z skor lebih dari sama dengan -2 sampai dengan 2 berjumlah 34 balita 97.1 dan gizi kurang yaitu nilai Z skor kurang dari -2
berjumlah satu balita 2.9. Berat badan balita menurut umur di wilayah posyandu Sukapura yang memiliki gizi normal yaitu nilai Z skor lebih dari sama
dengan -2 sampai dengan 2 berjumlah 27 balita 77.1 dan gizi kurang yaitu nilai Z skor kurang dari -2 berjumlah delapan balita 22.9. Jumlah balita yang
memiliki gizi kurang di wilayah posyandu Sukapura lebih banyak dibandingkan dengan balita yang berada di wilayah posyandu Kelapa Gading. Hasil uji beda
status gizi balita usia 24-59 bulan di posyandu Jakarta Utara dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Makanan yang memiliki asupan gizi seimbang sangat penting dalam proses tumbuh kembang dan kecerdasan anak. Bersamaan dengan pola makan yang baik
dan teratur yang harus diperkenalkan sedini mungkin pada anak, dapat membantu memenuhi kebutuhan akan pola makan sehat pada anak, seperti variasi makanan
dan pengenalan jam-jam makan yang tepat. Pola makan yang baik harusnya dibarengi dengan pola gizi seimbang, yaitu pemenuhan zat-zat gizi yang telah
disesuaikan dengan kebutuhan tubuh dan diperoleh melalui makanan sehari-hari.
Gambar 4.10 Profil LILA balita usia 24-59 bulan di posyandu Jakarta Utara. Dengan makan makanan yang bergizi dan seimbang secara teratur, diharapkan
pertumbuhan anak akan berjalan optimal. Nutrisi sangat penting dan berguna untuk menjaga kesehatan dan mencegah penyakit Waladow et al 2013. Hal ini
didukung dengan penelitian Dina 2011, bahwa upaya untuk mengatasi masalah gizi yang sangat penting adalah dengan pengaturan pola makan. Pola makan yang
diterapkan dengan baik dan tepat sangat penting untuk membantu mengatasi masalah gizi yang sangat penting bagi pertumbuhan balita. Ditambah dengan
asupan gizi yang benar maka status gizi yang baik dapat tercapai.
4.2.5 Lingkar Lengan Atas LILA Balita
LILA menggambarkan tumbuh kembang jaringan lemak di bawah kulit dan otot yang tidak banyak terpengaruh oleh keadaan cairan tubuh dibandingkan
dengan berat badan BB. LILA lebih sesuai untuk dipakai menilai keadaan gizi atau tumbuh kembang pada anak kelompok umur prasekolah 1-5 tahun.
Distribusi LILA balita usia 24-59 bulan di posyandu Jakarta Utara disajikan pada Gambar 4.10.
LILA balita di wilayah posyandu Kelapa Gading yang memiliki gizi baik yaitu nilai LILA lebih dari 12.5 cm berjumlah 35 balita 100. LILA balita di
wilayah posyandu Sukapura yang memiliki gizi kurang yaitu nilai LILA kurang dari sama dengan 12.5 cm berjumlah dua balita 5.7, dan gizi baik yaitu nilai
LILA lebih dari 12.5 cm berjumlah 33 balita 94.3. Hasil uji beda status gizi balita usia 24-59 bulan di posyandu Jakarta Utara dapat dilihat pada Tabel 4.4.
4.3 Hubungan Karakteristik Responden dengan Status Gizi 4.3.1 Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu dengan Status Gizi
Balita BBU
Terdapat hubungan yang nyata antara pengetahuan gizi ibu dengan status gizi balita melalui pengukuran BBU pada kedua wilayah posyandu pada selang
kepercayaan 95 berdasarkan hasil uji korelasi Chi-square. Data dapat dilihat pada Tabel 4.5. Apooh dan Krekling 2005, mengemukakan bahwa pengetahuan
gizi ibu sangat berhubungan dengan status gizi anak balita.
Penelitian Rahmaulina 2008, menunjukkan adanya hubungan nyata dan positif antara pengetahuan ibu mengenai gizi dengan tumbuh kembang anak serta
pemberian stimulasi psikososial pada anak. Semakin tinggi pendapatan per kapita dan pendidikan orang tua maka pengetahuan ibu mengenai gizi dan tumbuh
kembang anak serta pemberian stimulasi psikososial semakin baik. Pengetahuan ibu mengenai gizi dan tumbuh kembang anak serta pemberian stimulasi
psikososial juga menunjukkan hubungan positif dan signifikan dengan perkembangan kognitif anak. Semakin tinggi pengetahuan ibu mengenai gizi dan
tumbuh kembang anak serta pemberian stimulasi psikososial pada anak maka perkembangan kognitif anak semakin baik.
4.3.2 Hubungan Antara Biaya Pengeluaran Pangan dengan Status Gizi Balita BBU
Riset Kesehatan Dasar 2007 mengemukakan persentase rumah tangga dengan konsumsi energi rendah dan protein rendah menurut tingkat pengeluaran
rumah tangga per kapita menunjukkan pola spesifik, yaitu semakin tinggi tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita, semakin menurun persentase rumah tangga
yang konsumsi energi dan proteinnya rendah. Hasil uji korelasi Chi-square menunjukkan terdapat hubungan yang nyata antara biaya pengeluaran pangan
dengan status gizi balita melalui pengukuran BBU di kedua wilayah posyandu pada selang kepercayaan 95. Data dapat dilihat pada Tabel 4.5.
Hasil penelitian Tuankotta 2012, menunjukkan terdapat hubungan berbeda secara bermakna antara pengeluaran keluarga untuk makanan dengan kecukupan
total asupan energi pada anak usia 24-59 bulan. Pada keluarga yang pengeluaran untuk makanannya lebih tinggi sebesar 1.930 kali mengalami total asupan energi
yang cukup, dibandingkan anak pada keluarga yang pengeluaran untuk makanannya lebih rendah.
4.3.3 Hubungan Antara Tingkat Kecukupan Zat Gizi dengan Status Gizi Balita BBU
Menurut Prasetyawati 2012, kesehatan tubuh anak sangat erat kaitannya dengan makanan yang dikonsumsi. Zat-zat yang terkandung dalam makanan yang
masuk dalam tubuh sangat mempengaruhi kesehatan. Faktor yang cukup dominan yang menyebabkan keadaan gizi kurang meningkat ialah perilaku memilih dan
memberikan makanan yang tidak tepat kepada anggota keluarga termasuk anak-
anak. Dari hasil penelitian diketahui bahwa asupan zat gizi relatif masih kurang. Hasil uji korelasi Chi-square menunjukkan terdapat hubungan yang tidak nyata
antara tingkat kecukupan zat gizi dengan status gizi kecuali pada zat gizi besi dan vitamin D. Terdapat hubungan nyata antara tingkat kecukupan zat gizi besi dan
vitamin D dengan status gizi balita melalui pengukuran BBU di kedua wilayah posyandu pada selang kepercayaan 95. Data dapat dilihat pada Tabel 4.5.
Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian Tella 2012, pada daerah Mapanget yang mengatakan bahwa hubungan pola makan dengan status gizi
sangat kuat. Asupan gizi seimbang dari makanan memegang peranan penting dalam proses pertumbuhan anak dibarengi dengan pola makan yang baik dan
teratur yang perlu diperkenalkan sejak dini, antara lain dengan perkenalan jam- jam makan dan variasi makanan dapat membantu mengkoordinasikan kebutuhan
akan pola makan sehat pada anak.
Hasil penelitian Hendrayati et al 2013 menunjukkan dari jumlah sampel sebanyak 30 balita pada usia 24
– 59 bulan, tidak ada hubungan antara asupan energi dengan kejadian wasting p=0.061, tidak ada hubungan antara asupan
protein dengan kejadian wasting p=0.212, tidak ada hubungan antara asupan lemak dengan kejadian wasting p=0.261, ada hubungan antara asupan
karbohidrat dengan kejadian wasting p=0.04. Secara umum asupan makanan tidak mempengaruhi kejadian wasting pada anak balita di Kecamatan
Marioriwawo Kabupaten Soppeng, Makasar.
Menurut penelitian Bahmat et al 2012, ada hubungan yang signifikan antara asupan seng dan kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan di
Kepulauan Nusa Tenggara. Ada hubungan yang signifikan antara asupan zat besi dan kejadian stunting pada bayi 24-59 bulan di Kepulauan Nusa Tenggara. Tidak
ada hubungan yang signifikan antara asupan vitamin A dan kejadian stunting pada bayi 24-59 bulan di Kepulauan Nusa Tenggara. Seng dan Zat Besi merupakan
Tabel 4.5 Hubungan variabel independen dengan status gizi balita BBU usia 24-59 bulan di posyandu kelapa gading dan sukapura Jakarta Utara.
Parameter Signifikansi
Odd Ratio Pengetahuan Gizi Ibu
Biaya Pengeluaran Pangan Zat Gizi Energi
Zat Gizi Protein Zat Gizi Lemak
Zat Gizi Karbohidrat Zat Gizi Besi
Zat Gizi Kalsium Zat Gizi Fosfor
Zat Gizi Vitamin A Zat Gizi Vitamin C
Zat Gizi Vitamin D Pendidikan Ibu
Pekerjaan Ibu 0.012
0.024 0.314
0.690 0.584
0.584 0.010
0.205 0.434
1 0.124
0.024 0.000
0.721 0.099
0.118 1.667
1.376 1.350
0.741 0.246
0.435 0.663
1 0.373
0.118 0.032
0.774