Pola Makan Dan Profil Status Gizi Anak Balita Di Posyandu Jakarta Utara
POLA MAKAN DAN PROFIL STATUS GIZI
ANAK BALITA DI POSYANDU JAKARTA UTARA
BERNADETHA BEATRIX SIBARANI
F252130015
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2016
(2)
(3)
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pola Makan dan Profil Status Gizi Anak Balita di Posyandu Jakarta Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2016
Bernadetha Beatrix Sibarani
(4)
RINGKASAN
BERNADETHA BEATRIX SIBARANI. Pola Makan dan Profil Status Gizi Anak Balita di Posyandu Jakarta Utara. Dibimbing oleh MADE ASTAWAN dan NURHENI SRI PALUPI.
Masa balita merupakan masa yang paling penting dan perlu untuk mendapatkan perhatian dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak. Untuk mencapai status gizi yang baik diperlukan pangan yang mengandung zat gizi cukup dan aman untuk dikonsumsi. Pola makan balita dapat dinilai salah satunya menggunakan data food recall 1x24 jam yang selanjutnya diolah menggunakan program Nutrisurvey untuk mendapatkan nilai energi, protein, lemak, karbohidrat, besi, kalsium, fosfor, vitamin A, vitamin C dan vitamin D. Nilai asupan zat gizi ini dibandingkan dengan nilai AKG 2013 dan dapat digunakan untuk menentukan status gizi balita untuk masing-masing kelompok umur. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola makan terhadap profil status gizi anak balita di Posyandu, Jakarta Utara. Adapun tujuan khususnya adalah: (1) Menilai tingkat kecukupan zat gizi terhadap status gizi anak balita (BB/U). (2) Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi anak balita. (3)Menganalisis hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi anak balita dan pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap status gizi anak balita.
Status gizi balita ditentukan dengan menggunakan acuan berat badan menurut umur (BB/U) dan lingkar lengan atas menurut umur (LILA/U). Jumlah responden sebanyak 70 balita dari dua posyandu di Jakarta Utara. Posyandu yang dipilih mewakili dua keadaan sosial demografi yang berbeda. Analisis data yang diperoleh dilakukan dengan menggunakan korelasi Chi-square. Selang kepercayaan yang digunakan adalah 95%. Analisis regresi digunakan adalah regresi logistik. Variabel dependen adalah BB/U, variable independen adalah pengetahuan gizi ibu, biaya pengeluaran pangan, asupan gizi (energi, protein, lemak, karbohidrat, besi, kalsium, fosfor, vitamin A, vitamin C, dan vitamin D), pendidikan dan pekerjaan ibu.
Terdapat perbedaan yang nyata (P < 0.05) pada status gizi balita berdasarkan pengukuran BB/U antara Posyandu Kelapa Gading dan Sukapura. Terdapat hubungan yang nyata (P < 0.05) antara pengetahuan gizi ibu, biaya pengeluaran pangan, asupan besi, asupan vitamin D, dan pendidikan ibu dengan status gizi balita; Asupan zat gizi energi, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, vitamin A, vitamin C, dan pekerjaan ibu tidak berhubungan (P > 0.05) dengan status gizi balita. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi (BB/U) anak balita pada kedua wilayah posyandu yaitu tingkat pengetahuan gizi ibu, biaya pengeluaran pangan, tingkat kecukupan zat gizi, dan pendidikan ibu. Variabel independen mempengaruhi sebesar 19.5% status gizi balita pada kedua wilayah posyandu.
(5)
v
SUMMARY
BERNADETHA BEATRIX SIBARANI. Diet and Nutritional Status Profile of Under Five Years Old Children in Posyandu in North Jakarta. Supervised By MADE ASTAWAN and NURHENI SRI PALUPI.
The under five year old children period is the most important time and needs
to get attention in the process of child’s growth and development. To achieve a
good nutritional status, food containing sufficient nutrients and safe for consumption are necessary. Under five year old children diet can be assessed using 24-hour dietary recall data that is then processed using the Nutrisurvey program to obtain energy, protein, fat, carbohydrates, iron, calcium, phosphorus, vitamin A, vitamin C and vitamin D values. These nutrient intake values are compared with the 2013 recommended dietary allowance(RDA) and can be used to determine the nutritional status of children for each age group. In general, this study aimed to analyze the diet pattern towards profile nutritional status of under five year old children in Posyandu in North Jakarta. The specific objectives of this study were to: (1) assess the nutrient adequacy towards the nutritional status of UFYOC (W/A). (2) identify the factors that affect the nutritional status of under five year old children. (3) analyze the relationship between factors that affect the nutritional status of under five year old children and the influence of these factors on the nutritional status of under five year old children.
Nutritional status is determined by using a reference of weight for age (W/A) and the mid-upper arm circumference by age (MUAC/A). Respondents are 70 from two Posyandu in North Jakarta were involved in this study. These Posyandu were selected to represent two different socio-demographic conditions. Data analysis was conducted using Chi-square correlation. Confidence interval used was 95%. Regression analysis was conducted using logistic regression. The dependent variable was W/A, while the independent variables were the nutrition-related knowledge of mother, food expenses, nutrition (energy, protein, fat, carbohydrates, iron, calcium, phosphorus, vitamin A, vitamin C, and vitamin D), education and occupation of mother.
There were significant differences (P <0.05) on the nutritional status of children based on the W/A measurement between Posyandu Kelapa Gading and Sukapura. There were significant relationships (P <0.05) between the nutrition-related knowledge of mother, food expenses, iron intake, vitamin D intake, and
mother’s education with under five year old children nutritional status, while nutrient intake of energy, protein, fat, carbohydrates, calcium, phosphorus, vitamin A, vitamin C, and mother's occupation showed no relations (P> 0.05) with the nutritional status of under five year old children. Factors affected the nutritional status (W/A) of under five year old children in both Posyandu were the level of nutrition-related knowledge of mother, food expenses, nutrition adequacy,
and mother’s education. Independent variables affected 19.5% of under five year old children nutritional status in both Posyandu.
(6)
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
(7)
vii
POLA MAKAN DAN PROFIL STATUS GIZI
ANAK BALITA DI POSYANDU JAKARTA UTARA
BERNADETHA BEATRIX SIBARANI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi Teknologi Pangan
pada
Program Studi Teknologi Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2016
(8)
(9)
(10)
Judul Tesis : Pola Makan dan Profil Status Gizi Anak Balita di Posyandu Jakarta Utara
Nama : Bernadetha Beatrix Sibarani
NIM : F252130015
Disetujui oleh, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi.
Ketua Anggota
Diketahui oleh,
Ketua Program Studi
Magister Profesi Teknologi Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi. Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr
(11)
x
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan baik. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2015 sampai Juni 2015 ini adalah Pola Makan dan Profil Status Gizi Anak Balita di Posyandu Jakarta Utara.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS dan Ibu Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada mama dan adik, serta seluruh keluarga, dan rekan-rekan atas doa, dukungan dan kasih sayangnya hingga selesainya tugas akhir ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2016
(12)
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI xi
DAFTAR TABEL xii
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xii
1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Ruang Lingkup 2
1.3 Hipotesis Penelitian 2
1.4 Tujuan Penelitian 2
1.5 Manfaat Penelitian 3
2 TINJAUAN PUSTAKA 4
2.1 Balita 4
2.2 Penyediaan Menu Seimbang untuk Balita 5
2.3 Status Gizi 6
3 BAHAN DAN METODE 13
3.1 Desain Penelitian 13
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian 13
3.3 Bahan dan Alat 13
3.4 Prosedur Penelitian 14
3.5 Rancangan Percobaan 15
3.6 Pengumpulan Data 15
3.7 Pengolahan Data 15
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 16
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 16
4.2 Karakteristik Demografi 17
4.3 Hubungan Karakteristik Responden dengan Status Gizi 30 4.4 Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Status Gizi 32
5 SIMPULAN DAN SARAN 33
5.1 Simpulan 33
5.2 Saran 33
DAFTAR PUSTAKA 34
LAMPIRAN 38
(13)
xii
DAFTAR TABEL
2.1 Antropometri anak berdasarkan berat badan dan tinggi badan 9 2.2 Kriteria status gizi dibandingkan standar WHO – NCHS 9 2.3 Interpretasi BB/U yang dipetakan pada kurva berat badan 10 2.4 Interpretasi status gizi dinyatakan dalam nilai persentase BB/U 10 2.5 Interpretasi persentase kehilangan berat badan 10
2.6 Kriteria status gizi berdasarkan nilai LILA 11
4.1 Karakteristik keluarga menurut jenis kelamin balita, usia balita, pendidikan ibu, pekerjaan ibu tingkat pengetahuan gizi ibu dan biaya
pengeluaran pangan 23
4.2 Hasil uji beda rerata asupan zat gizi balita usia 24-59 bulan di posyandu
Jakarta Utara 24
4.3 Persentase balita terhadap tingkat pemenuhan zat gizi balita usia 24-59
bulan di posyandu Jakarta Utara 26
4.4 Hasil uji beda status gizi balita usia 24-59 bulan di posyandu
Jakarta Utara 28
4.5 Hubungan variabel independen dengan status gizi balita (BB/U) usia
24-59 bulan di posyandu kelapa gading dan sukapura Jakarta Utara 31
DAFTAR GAMBAR
2.1 Kecenderungan prevalensi status gizi pada balita Indonesia 2007, 2010,
dan 2013 11
2.2 Kecenderungan prevalensi status gizi balita menurut gabungan
indikator TB/U dan BB/TB, di Indonesia 2007, 2010, dan 2013 12 4.1 Keadaan geografis posyandu kelapa gading dan sukapura 16
4.2 Profil balita menurut usia 18
4.3 Profil balita menurut jenis kelamin 18
4.4 Profil ibu dari responden menurut pendidikan 19
4.5 Profil ibu dari responden menurut pekerjaan 20
4.6 Profil ibu dari responden menurut tingkat pengetahuan gizi 21 4.7 Profil keluarga dari responden menurut biaya pengeluaran pangan 22 4.8 Persentase pemenuhan zat gizi pada menu makanan balita usia
24-59 bulan terhadap AKG di posyandu Jakarta Utara 25 4.9 Profil status gizi BB/U balita usia 24-59 bulan di posyandu
Jakarta Utara 28
4.10 Profil LILA balita usia 24-59 bulan di posyandu Jakarta Utara 29
DAFTAR LAMPIRAN
1 Kuesioner penelitian 39
(14)
(15)
(16)
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar BelakangAnak balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan penyakit, dan yang paling banyak menderita gangguan akibat gizi (Kurang Energi Protein) dikarenakan anak balita berada dalam masa transisi, yaitu perubahan pola makan dari makanan bayi ke makanan dewasa (Notoadmodjo 2003). Gizi kurang yang terjadi pada anak-anak, dapat menghambat pertumbuhan, rentan terhadap penyakit infeksi, dan rendahnya tingkat kecerdasan anak. Konsekuensi membiarkan anak-anak menderita kurang gizi berarti “mempersiapkan” sebagian mereka menjadi generasi yang hilang karena terbentuknya potensi intelektual dan produktivitas yang tidak mampu menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Masa balita merupakan masa yang paling penting dan perlu untuk mendapatkan perhatian dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak. Untuk itu dalam masa ini, perlu untuk selalu melakukan pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak. Anak menempati posisi strategis dalam pembangunan sumber daya manusia masa depan. Anak merupakan kelompok penduduk yang paling rentan terhadap gangguan kesehatan dan gizi karena status imunitas, diet, dan psikologi anak belum matang atau masih dalam taraf perkembangan. Kelangsungan dan kualitas hidup anak sangat tergantung pada penduduk dewasa, terutama ibu atau orang tuanya (Utomo 1998).
Data Riskesdas 2013 secara nasional, prevalensi berat-kurang pada tahun 2013 adalah 19.6 persen, terdiri dari 5.7 persen gizi buruk dan 13.9 persen gizi kurang. Kejadian tersebut meningkat dibandingkan dengan angka prevalensi nasional tahun 2007 (18.4 persen) dan tahun 2010 (17.9 persen). Perubahan terutama terjadi pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5.4 persen tahun 2007, 4.9 persen pada tahun 2010, dan 5.7 persen tahun 2013. Prevalensi gizi kurang naik sebesar 0.9 persen dari 2007 dan 2013. Untuk mencapai sasaran millenium development goal (MDG) tahun 2015 yaitu 15.5 persen maka prevalensi gizi buruk-kurang secara nasional harus diturunkan sebesar 4.1 persen dalam periode 2013 sampai 2015 (Bappenas 2012). Pada tahun 2013, secara nasional prevalensi gizi buruk-kurang pada anak balita sebesar 19.6 persen, yang berarti masalah gizi buruk-kurang di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, mendekati prevalensi tinggi. Di antara 33 provinsi, terdapat tiga provinsi termasuk kategori prevalensi sangat tinggi, yaitu Sulawesi Barat, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Status gizi menurut Hermana (1993), merupakan hasil masukan zat gizi makanan dan pemanfaatannya di dalam tubuh. Untuk mencapai status gizi yang baik diperlukan pangan yang mengandung zat gizi cukup dan aman untuk dikonsumsi. Bila terjadi gangguan kesehatan, maka pemanfaatan zat gizi pun akan terganggu.
Angka kematian bayi, balita, dan anak merupakan salah satu indikator kesehatan yang sangat mendasar dan status gizi merupakan faktor utama yang berpengaruh pada peningkatan atau penurunan angka kematian bayi, balita, dan anak. Gizi pada balita terutama diperlukan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangannya. Kurang terpenuhinya gizi pada anak akan menghambat sintesis
(17)
2
DNA sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan sel otak yang selanjutnya akan menghambat perkembangan otak. Jika hal ini terjadi setelah masa divisi sel otak terhenti, hambatan sintesis protein akan menghasilkan otak dengan jumlah sel yang normal tetapi dengan ukuran yang lebih kecil. Namun perubahan yang kedua ini dapat hilang kembali (reversibel) dengan perbaikan diet.
Selain faktor konsumsi makan dan faktor infeksi atau kesehatan, Engle et al
(1996) menambahkan faktor ketersediaan sumberdaya keluarga seperti pendidikan dan pengetahuan ibu, pendapatan keluarga, pola pengasuhan, sanitasi dan kesehatan rumah, ketersediaan waktu serta dukungan ayah, sebagai faktor yang mempengaruhi status gizi. Status gizi balita secara tidak langsung akan dipengaruhi oleh status sosial ekonomi keluarga. Masyarakat yang tergolong miskin dan berpendidikan rendah merupakan kelompok yang paling rawan gizi. Apabila status sosial ekonomi rendah maka kebutuhan makanan keluarga akan kurang terpenuhi sehingga balita akan memiliki status gizi kurang.
Faktor lingkungan tempat tinggal sangat berperan penting terhadap pertumbuhan balita. Wilayah yang memiliki keadaan status sosial ekonomi yang berbeda akan memberikan juga dampak yang berbeda bagi perkembangan balita. Posyandu Sukapura dipilih untuk mewakili wilayah dengan kondisi sosial ekonomi menengah ke bawah, merupakan wilayah perumahan yang padat penduduk dan terdapat banyak industri garmen di sekitar perumahan warga. Posyandu Kelapa Gading dipilih untuk mewakili wilayah dengan kondisi sosial ekonomi menengah ke atas, merupakan wilayah perumahan kompleks tentara nasional Indonesia (TNI) angkatan laut (AL) dan posyandu ini merupakan salah satu posyandu berprestasi yang ada di wilayah Kelapa Gading.
1.2 Ruang Lingkup
Ruang lingkup dari penelitian ini adalah mengetahui pola makan balita melalui tingkat kecukupan zat gizi makanan yang dikonsumsi terhadap status gizi anak balita dalam suatu keluarga.
1.3 Hipotesis Penelitian
Pola makan melalui tingkat kecukupan zat gizi berpengaruh terhadap status gizi anak balita dalam suatu keluarga.
1.4 Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola makan terhadap profil status gizi anak balita di Posyandu, Jakarta Utara. Adapun tujuan khususnya adalah: (1) Menilai tingkat kecukupan zat gizi terhadap status gizi anak balita (BB/U). (2) Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi anak balita. (3) Menganalisis hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi anak balita dan pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap status gizi anak balita.
(18)
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi lebih dini tentang status gizi balita melalui pengukuran antropometri dan pola makan balita pada setiap wilayah posyandu. Selain itu hasil penelitian ini juga dapat memberi gambaran terhadap kekurangan zat gizi yang diderita oleh balita sehingga perlu diberi tambahan agar tidak terjadi defisiensi zat gizi dalam waktu yang lama khusus nya zat gizi vitamin dan mineral.
(19)
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Balita2.1.1 Pengertian Balita
Balita atau anak bawah umur lima tahun adalah anak usia kurang dari lima tahun sehingga bagi usia di bawah satu tahun juga termasuk dalam golongan ini. Namun faal (kerja alat tubuh semestinya) bagi usia di bawah satu tahun berbeda dengan anak usia di atas satu tahun, maka anak di bawah satu tahun tidak termasuk ke dalam golongan yang dikatakan balita. Anak usia 1-5 tahun dapat pula dikatakan mulai disapih atau selepas menyusu sampai dengan pra-sekolah. Sesuai dengan pertumbuhan badan dan perkembangan kecerdasannya, faal
tubuhnya juga mengalami perkembangan sehingga jenis makanan dan cara pemberiannya pun harus disesuaikan dengan keadaannya. Berdasarkan karakteristiknya, balita usia 1-5 tahun dapat dibedakan menjadi dua, yaitu anak yang berumur 1-3 tahun yang dikenal dengan Batita merupakan konsumen pasif. Sedangkan usia prasekolah lebih dikenal sebagai konsumen aktif (Uripi 2004).
Menurut Sutomo dan Anggraeni (2010), balita adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5 tahun). Saat usia batita anak masih tergantung penuh kepada orang tua untuk melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air, dan makan. Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah baik, namun kemampuan lain masih terbatas. Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau lebih popular dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun (Muaris 2006).
Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang manusia. Perkembangan dan pertumbuhan pada masa ini menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak pada periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan masa yang berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang, karena itu sering disebut golden age atau masa keemasan.
2.1.2 Karakteristik Balita
Anak usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya. Laju pertumbuhan masa batita lebih besar dari masa usia prasekolah sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif besar. Namun perut yang masih lebih kecil menyebabkan jumlah makanan yang mampu diterimanya dalam sekali makan lebih kecil dari anak yang usianya lebih besar. Oleh karena itu, pola makan yang diberikan adalah porsi kecil dengan frekuensi sering.
Pada usia prasekolah anak menjadi konsumen aktif. Mereka sudah dapat memilih makanan yang disukainya. Pada usia ini anak mulai bergaul dengan lingkungannya atau bersekolah playgroup sehingga anak mengalami beberapa perubahan dalam perilaku. Pada masa ini anak akan mencapai fase gemar memprotes sehingga mereka akan mengatakan “tidak” terhadap setiap ajakan. Pada masa ini berat badan anak cenderung mengalami penurunan, akibat dari aktivitas yang mulai banyak dan pemilihan maupun penolakan terhadap makanan.
(20)
Diperkirakan pula bahwa anak perempuan relatif lebih banyak mengalami gangguan status gizi bila dibandingkan dengan anak laki-laki (BPS 1999).
2.2 Penyediaan Menu Seimbang untuk Balita 2.2.1. Pengertian Makanan bagi Balita
Pada dasarnya makanan bagi balita harus bersifat lengkap, artinya kualitas dari makanan harus baik dan kuantitas makanan pun harus cukup dan bergizi. Makanan harus mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan, dengan memperhitungkan:
1. Pada periode ini dibutuhkan penambahan konsumsi zat pembangun karena tubuh anak sedang berkembang pesat.
2. Bertambahnya aktivitas membutuhkan penambahan bahan makanan sebagai sumber energi.
3. Untuk perkembangan mentalnya anak membutuhkan lebih banyak lagi zat pembangun, terutama untuk pertumbuhan jaringan otak yang mempengaruhi kecerdasan, walaupun tak secara signifikan.
2.2.2. Pola Makan Sehat dan Seimbang
Menurut Harper (1986), pola makan (dietary pattern) adalah cara seseorang atau sekelompok orang dalam memilih pangan dan makanannya serta mengonsumsinya sebagai tanggapan terhadap pengaruh fisiologi, psikologi, budaya, dan sosial. Pola makan dinamakan pula kebiasaan makan, kebiasaan pangan atau pola pangan (Suhardjo 2003).
Menu seimbang adalah menu yang terdiri dari beraneka ragam makanan dalam jumlah dan proporsi yang sesuai, sehingga memenuhi kebutuhan gizi seseorang guna pemeliharaan, perbaikan sel-sel tubuh, proses kehidupan serta pertumbuhan dan perkembangan (Almatsier 2004). Pola menu seimbang adalah pengaturan makanan yang sehat dengan susunan hidangan menu sesuai dengan kebutuhan gizi esensial dalam jumlah yang ideal serta disesuaikan dengan daya toleransi anak. Dengan kata lain menu seimbang adalah menu yang kebutuhan gizinya sudah disesuaikan dengan golongan usia balita.
2.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Makan Balita Dalam hal pola makan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
1. Pengetahuan Gizi Ibu
Bila pengetahuan tentang bahan makanan yang bergizi masih kurang maka pemberian makanan untuk keluarga biasa dipilih bahan-bahan makanan yang hanya dapat mengenyangkan perut, tanpa memikirkan apakah makanan itu bergizi atau tidak, sehingga kebutuhan energi dan gizi masyarakat dan anggota keluarga tidak tercukupi. Bila ibu rumah tangga memiliki pengetahuan gizi yang baik, ia akan mampu memilih makanan-makanan yang bergizi untuk dikonsumsi (Suhardjo 1989).
2. Pendidikan Formal Ibu
(21)
6
pengetahuan yang diperoleh baik formal maupun non formal, sangat menentukan untuk ditetapkan dalam hal pemilihan dan penentuan jenis makanan yang dikonsumsi oleh balita dan anggota keluarga lainnya. Pendidikan gizi ibu bertujuan untuk meningkatkan penggunaan sumber daya makanan yang tersedia. Dari hal tersebut dapat diasumsikan bahwa tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada balita relatif tinggi bila pendidikan ibu tinggi (Depkes RI 2010).
3. Pendapatan Keluarga
Pendapatan merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan. Perlu disadari bahwa pendapatan tidak selalu membawa perbaikan pada susunan makanan. Tingkat pendapatan juga ikut menentukan jenis pangan yang akan dibeli dengan tambahan uang tersebut. Orang miskin membelanjakan sebagian besar pendapatan tambahan tersebut untuk makanan, sedangkan orang kaya jauh lebih rendah. Semakin tinggi pendapatan semakin besar pula persentase dari pendapatan tersebut dipergunakan untuk membeli buah, sayur mayur, dan berbagai jenis bahan pangan lain (Berg dan Sajogyo 1986).
2.3 Status Gizi 2.3.1 Definisi Status Gizi
Menurut Soekirman (2000) status gizi adalah keadaan kesehatan akibat interaksi antara makanan, tubuh manusia, dan lingkungan hidup manusia. Suhardjo (2003) menyatakan bahwa status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat dari pemakaian, penyerapan dan penggunaan makanan. Supariasa et al
(2002), status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari status tubuh yang berhubungan dengan gizi dalam bentuk variable tertentu. Jadi intinya terdapat suatu variable yang diukur (misalnya: berat badan dan tinggi badan) yang dapat digolongkan ke dalam kategori gizi tertentu (misalnya: baik, kurang, dan buruk).
Pertumbuhan seorang anak bukan hanya sekedar gambaran perubahan ukuran tubuh, tetapi lebih dari itu memberikan gambaran tentang keseimbangan antara asupan dan kebutuhan gizi (status gizi). Oleh karena itu pertumbuhan merupakan indikator yang baik dari perkembangan status gizi anak (Depkes RI 2002).
Status gizi menjadi indikator ketiga dalam menentukan derajat kesehatan anak. Status gizi yang baik dapat membantu proses pertumbuhan dan perkembangan anak untuk mencapai kematangan yang optimal. Gizi yang baik juga dapat memperbaiki ketahanan tubuh sehingga diharapkan tubuh akan bebas dari segala penyakit. Status gizi ini dapat membantu untuk mendeteksi lebih dini risiko terjadinya masalah kesehatan. Pemantauan status gizi dapat digunakan sebagai bentuk antisipasi dalam merencanakan perbaikan status kesehatan anak.
2.3.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi
Faktor yang menyebabkan kurang gizi telah diperkenalkan UNICEF dan telah digunakan secara internasional, yang meliputi beberapa tahapan penyebab timbulnya kurang gizi pada anak balita, baik penyebab langsung maupun tidak
(22)
langsung. Berdasarkan Soekirman dalam materi aksi pangan dan gizi nasional (Depkes RI 2000) penyebab kurang gizi dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Penyebab gizi kurang tidak hanya disebabkan makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan yang baik tetapi karena sering sakit diare atau demam dapat menderita kurang gizi. Demikian pula anak yang makannya tidak cukup baik maka daya tahan tubuh akan melemah dan mudah terserang penyakit. Kenyataannya baik makanan maupun penyakit secara bersama-sama merupakan penyebab kurang gizi. 2. Penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan
anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Ketahanan pangan adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga dalam jumlah yang cukup dan baik mutunya. Pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga untuk menyediakan waktunya, perhatian, dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, dan sosial. Pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan adalah tersedianya air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh seluruh keluarga. Faktor-faktor tersebut sangat terkait dengan tingkat pendidikan, pengetahuan, dan ketrampilan keluarga. Makin tinggi pendidikan, pengetahuan, dan ketrampilan terdapat kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan anak dan keluarga makin banyak memanfaatkan pelayanan yang ada. Ketahanan pangan keluarga juga terkait dengan ketersediaan pangan, harga pangan, daya beli keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan.
2.3.3 Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi adalah interpretasi dari data yang didapatkan dengan menggunakan berbagai metode untuk mengidentifikasi populasi atau individu yang berisiko atau dengan status gizi buruk (Hartriyanti dan Triyanti 2007). Tujuan penilaian status gizi menurut Hammond (2004) antara lain: 1) mengidentifikasi individu yang membutuhkan dukungan nutrisi cukup; 2) mempertahankan status gizi seseorang; 3) mengidentifikasi penatalaksanaan medis yang sesuai; 4) memonitor efektivitas intervensi yang telah dilakukan.
Menurut Supariasa et al (2002), penilaian status gizi dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.
1.Penilaian secara langsung. Penilaian status gizi secara langsung dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Adapun penilaian dari masing-masing adalah sebagai berikut (Supariasa et al 2002): a. Antropometri
Secara umum bermakna ukuran tubuh manusia. Antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Parameter yang diukur antara lain BB, TB, LLA, Lingkar kepala, Lingkar dada dan lemak subkutan. Indeks antropometri bisa merupakan rasio dari satu pengukuran terhadap satu atau lebih pengukuran atau yang dihubungkan dengan umur (Hartriyanti dan Triyanti 2007).
(23)
8
b. Klinis
Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal tersebut dapat dilihat pada jaringan epitel seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid.
c. Biokimia
Adalah suatu pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain: urine, tinja, darah serta beberapa jaringan tubuh lain seperti hati dan otot.
d. Biofisik
Penentuan gizi secara biofisik adalah suatu metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi, khususnya jaringan, dan melihat perubahan struktur jaringan.
2. Penilaian secara tidak langsung. Penilaian status gizi secara tidak langsung dibagi menjadi 3 yaitu: survey konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi (Supariasa, et al 2002). Adapun uraian dari ketiga hal tersebut adalah: a. Survey konsumsi makanan
Adalah suatu metode penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi.
b. Statistik vital
Adalah dengan cara menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat penyebab tertentu, dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi.
c. Faktor ekologi
Malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis, dan lingkungan budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi dan lain-lain.
2.3.4 Jenis dan Parameter Status Gizi
Dalam menentukan status gizi harus ada ukuran baku (reference). Baku antropometri yang sekarang digunakan di Indonesia adalah baku world health organization–national centre for health statistics (WHO-NCHS) sesuai rekomendasi pakar gizi dalam pertemuannya di Bogor tahun 2000. Selain itu juga dapat digunakan baku rujukan yang dibuat oleh departemen kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI). Depkes RI membuat baku rujukan penilaian status gizi anak balita yang terpisah antara anak laki-laki dan perempuan. Kriteria jenis kelamin inilah yang membedakan baku WHO-NCHS dengan baku Harvard.
Antropometri untuk penilaian status gizi berdasarkan parameter: a. Umur
Umur sangat memegang peranan dalam penentuan status gizi, kesalahan penentuan akan menyebabkan interpretasi status gizi yang salah. Hasil penimbangan berat badan maupun tinggi badan yang akurat, menjadi tidak berarti bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat. Kesalahan yang sering muncul adalah adanya kecenderungan untuk memilih angka yang mudah seperti 1
(24)
Tabel 2.2 Kriteria status gizi dibandingkan standar WHO – NCHS. Parameter
Pengukuran Gizi Baik Gizi Kurang Gizi Buruk
BB/U >80% 61% - 80% ≤60%
Tabel 2.1 Antropometri anak berdasarkan berat badan dan tinggi badan.
Kategori Umur Berat Badan Tinggi Badan
1-6 bulan 7-12 bulan 1-6 tahun 1 tahun 2-12 tahun
BBL (g) + (usia x 600 g) BBL (g) + (usia x 500 g) atau
(usia / 2) + 3 2n + 8
- -
- - -
1.5 x panjang badan lahir umur (tahun) x 6 + 77 tahun; 1.5 tahun; 2 tahun. Oleh sebab itu penentuan umur anak perlu dihitung dengan cermat. Ketentuannya adalah 1 tahun adalah 12 bulan, 1 bulan adalah 30 hari. Jadi perhitungan umur adalah dalam bulan penuh, artinya sisa umur dalam hari tidak diperhitungkan (Depkes RI 2004).
Rumus antropometri anak (Soetjiningsih 1998) yang berhubungan dengan umur dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Kriteria status gizi berdasarkan pengukuran tersebut dibandingkan dengan WHO – NCHS dapat dilihat pada Tabel 2.2
b. Berat Badan
Berat badan merupakan salah satu ukuran yang memberikan gambaran massa jaringan, termasuk cairan tubuh. Berat badan merupakan pengukuran yang terpenting pada bayi baru lahir. Hal ini digunakan untuk menentukan apakah bayi termasuk normal atau tidak (Supariasa et al 2001).
Berat badan merupakan hasil peningkatan atau penurunan semua jaringan yang ada pada tubuh antara tulang, otot, lemak, dan cairan tubuh. Parameter ini yang paling baik untuk melihat perubahan yang terjadi dalam waktu singkat karena konsumsi makanan dan kondisi kesehatan (Soetjiningsih 1998).
Penentuan berat badan dilakukan dengan cara menimbang. Alat yang digunakan sebaiknya memenuhi persyaratan sebagai berikut: (1) Mudah digunakan dan dibawa dari satu tempat ke tempat lain; (2) Mudah diperoleh dan relatif murah harganya; (3) Ketelitian penimbangan maksimum 0.1 kg; (4) Skalanya mudah dibaca; dan (5) Aman untuk menimbang balita. Berat badan ini dinyatakan dalam bentuk indeks BB/U (Berat Badan menurut Umur) atau melakukan penilaian dengan melihat perubahan berat badan pada saat pengukuran dilakukan, yang dalam penggunaannya memberikan gambaran keadaan kini. Berat badan paling banyak digunakan karena hanya memerlukan satu pengukuran, hanya saja tergantung pada ketetapan umur, tetapi kurang dapat menggambarkan
(25)
10
Tabel 2.3 Interpretasi BB/U yang dipetakan pada kurva berat badan.
Parameter Pengukuran Defisit Kelebihan
Berat badan <sentil ke-10 >sentil ke-90
Tabel 2.4 Interpretasi status gizi dinyatakan dalam nilai persentase BB/U.
Status Gizi Nilai Persentase BB/U
Gizi Lebih Gizi Baik
Gizi Kurang tanpa edema
Gizi Buruk dengan edema (kwashiorkor) Marasmus tanpa edema
Marasmus kwashiorkor dengan edema
>120% 80% - 120%
60% - 80% 60% - 80%
<60% <60%
Tabel 2.5 Interpretasi persentase kehilangan berat badan.
Parameter Pengukuran Ringan Sedang Berat
Kehilangan berat badan 5% - 15% 16% - 25% 16% - 25% kecenderungan perubahan situasi gizi dari waktu ke waktu (Djumadias Abunain 1990) dalam Atmarita et al (2009).
Pengukuran berat badan juga dapat digunakan sebagai dasar perhitungan dosis dan makanan yang diperlukan dalam tindakan pengobatan. Berat badan dipetakan pada kurva berat badan menurut umur dan interpretasi dapat dilihat pada Tabel 2.3.
BB/U dibandingkan acuan standar dapat dinyatakan dalam persentase dalam menentukan status gizi, interpretasi nya dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Perubahan berat badan (berkurang atau bertambah) perlu mendapat perhatian karena merupakan petunjuk adanya masalah nutrisi akut. Kehilangan BB dihitung sebagai berikut (BB saat ini/BB semula) x 100%. Interpretasi nya dapat dilihat pada Tabel 2.5.
c. Lingkar Lengan Atas (LILA)
Pengukuran ini mencerminkan tumbuh kembang jaringan lemak dan otot yang tidak terpengaruh banyak oleh keadaan cairan tubuh dibandingkan berat badan. Pada anak umur 1-5 tahun, LILA saja sudah dapat menunjukan status gizi. Alat yang digunakan adalah pita ukur yang terbuat dari fiberglass, atau jenis kertas tertentu berlapis plastik. Pengukuran dilakukan pada lengan yang tidak aktif pada pertengahan bahu dan siku. Pada orang normal (tidak kidal) dilakukan pada
(26)
Tabel 2.6 Kriteria status gizi berdasarkan nilai LILA. Parameter
Pengukuran Gizi Baik Gizi Kurang Gizi Buruk
LILA >13.5 cm 12.5 – 13.5 cm <12.5 cm
tangan kiri, sedangkan pada anak yang kidal dilakukan pengukuran pada lengan kanan. Interpretasi nya dapat dilihat pada Tabel 2.6.
Gambar 2.1 menyajikan kecenderungan prevalensi status gizi anak balita menurut ketiga indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB. Terlihat prevalensi gizi buruk dan gizi kurang meningkat dari tahun 2007 ke tahun 2013. Prevalensi sangat pendek turun 0.8 persen dari tahun 2007, tetapi prevalensi pendek naik 1.2 persen dari tahun 2007. Prevalensi sangat kurus turun 0.9 persen tahun 2007. Prevalensi kurus turun 0.6 persen dari tahun 2007. Prevalensi gemuk turun 2.1 persen dari tahun 2010 dan turun 0.3 persen dari tahun 2007 (Riskesdas 2013).
Gambar 2.2 menyajikan kecenderungan prevalensi status gizi gabungan indikator TB/U dan BB/TB secara nasional. Berdasarkan Riskesdas 2007, 2010, dan 2013 terlihat adanya kecenderungan bertambahnya prevalensi anak balita pendek-kurus, bertambahnya anak balita pendek-normal (2.1%) dan normal-gemuk (0.3%) dari tahun 2010. Sebaliknya, ada kecenderungan penurunan prevalensi pendek-gemuk (0.8%), normal-kurus (1.5%) dan normal-normal (0.5 %) dari tahun 2010 (Riskesdas 2013).
Data baku WHO-NCHS indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB disajikan dalam dua versi, yakni persentil dan skor simpang baku (standart deviation score = z). Gizi anak di negara-negara yang populasinya relatif baik, sebaiknya digunakan persentil, sedangkan di negara untuk anak yang populasinya relatif kurang, lebih
Gambar 2.1 Kecenderungan prevalensi status gizi pada balita Indonesia 2007, 2010 dan 2013
(27)
12
baik menggunakan skor simpang baku (SSB) sebagai persen terhadap baku rujukan (Depkes RI 2004).
Gambar 2.2 Kecenderungan prevalensi status gizi balita menurut gabungan indikator TB/U dan BB/TB di Indonesia 2007, 2010, dan 2013.
(28)
3 BAHAN DAN METODE
3.1 Desain PenelitianPenelitian ini dilakukan dengan pendekatan kuantitatif. Desain penelitian yang digunakan adalah desain studi deskriptif cross sectional, yaitu suatu penelitian di mana variabel-variabel yang termasuk efek diobservasi sekaligus dalam waktu yang bersamaan (Notoatmodjo, 2002). Penelitian dilakukan melalui wawancara terstruktur menggunakan kuesioner dan lembar food recall 1x24 jam untuk melihat karakteristik dan gambaran pola pemberian makan dan asupan makanan pada balita usia 24-59 bulan di posyandu Kelapa Gading dan Sukapura tahun 2015. Data antropometri diperoleh dengan melakukan pengukuran yang meliputi pengukuran berat badan, tinggi badan, dan lingkar lengan bagian atas dari balita yang dimiliki oleh responden.
Wawancara dilakukan oleh peneliti dan dibantu oleh asisten peneliti (enumerator). Validasi pertanyaan pada kuesioner dan pelatihan enumerator dilakukan terlebih dahulu sebelum melakukan pengambilan data pada balita usia 24-59 bulan di posyandu Kelapa Gading dan Sukapura tahun 2015.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2015 di posyandu Sukapura dan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Pemilihan dua posyandu ini berdasarkan data demografi yang diperoleh dari masing-masing puskesmas yang mewakili dua wilayah dengan latar belakang ekonomi yang berbeda. Posyandu Sukapura dipilih untuk mewakili wilayah dengan kondisi sosial ekonomi menengah ke bawah, merupakan wilayah perumahan yang padat penduduk dan terdapat banyak industri garmen di sekitar perumahan warga. Posyandu Kelapa Gading dipilih untuk mewakili wilayah dengan kondisi sosial ekonomi menengah ke atas, merupakan wilayah perumahan kompleks tentara nasional Indonesia (TNI) angkatan laut (AL) dan posyandu ini merupakan salah satu posyandu berprestasi yang ada di wilayah Kelapa Gading.
3.3 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah: kuesioner, grafik pertumbuhan menurut WHO, dan KMS balita. Alat yang digunakan adalah: timbangan berat badan merek SMIC ZT 120 dengan kapasitas maksimal 120 kilogram, pengukur tinggi badan merek SMIC ZT 120 dengan maksimal tinggi 190 cm, dan pita ukur LILA dari bahan fiberglass.
Data yang dikumpulkan meliputi: data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui metode kuesioner dan wawancara. Data primer yang dikumpulkan meliputi identitas responden (nama balita, umur, jenis kelamin, alamat), pengetahuan gizi ibu, pola asuh kesehatan anak balita, pola asuh diri anak balita, dan data food recall 1x24 jam. Data antropometri diperoleh dengan melakukan pengukuran yang meliputi pengukuran berat badan, tinggi badan, dan lingkar lengan bagian atas dari balita yang dimiliki oleh responden. Data sekunder
(29)
14
diperoleh dari data KMS yang tersedia di posyandu untuk mendapatkan informasi apakah balita selalu mengikuti kegiatan posyandu mulai awal sampai dengan waktu sebelum dilaksanakannya penelitian. Data sekunder ini akan menjadi faktor inklusi dalam penelitian yang dapat membatasi data balita yang diperoleh akan dianalisis lebih lanjut atau tidak berdasarkan kelengkapan data KMS.
3.4 Prosedur Penelitian
Prosedur pengumpulan data pada penelitian ini dimulai dengan pembuatan surat izin persetujuan pengambilan data awal dari Program Studi MPTP IPB. Populasi dalam penelitian ini adalah anak balita dan ibunya dari keluarga yang berdomisili di posyandu wilayah Sukapura dan posyandu di wilayah Kelapa Gading, Jakarta Utara. Dua posyandu ini dipilih untuk mewakili dua keadaan dengan status sosial ekonomi yang berbeda. Metode yang digunakan untuk menentukan jumlah sampel adalah menggunakan rumus Slovin (Sevilla et al
2007) sebagai berikut:
dimana
n: jumlah sampel N: jumlah populasi
e: batas toleransi kesalahan (error tolerance)
Jumlah balita yang berusia 24-59 bulan dari posyandu Kelapa Gading berjumlah 36 balita, jika menggunakan rumus Slovin maka diperoleh jumlah responden minimal 32 balita. Jumlah balita yang berusia 24-59 bulan dari posyandu Sukapura berjumlah 77 balita, jika menggunakan rumus Slovin maka diperoleh jumlah responden minimal 65 balita. Terdapat perbedaan jumlah responden antara posyandu Kelapa Gading dan Sukapura, karena pada posyandu Kelapa Gading secara keseluruhan, tidak semua balita datang ke posyandu untuk mengikuti kegiatan penimbangan rutin setiap bulan. Warga yang berada di sekitar posyandu Kelapa Gading banyak yang membawa balitanya ke dokter pribadi atau rumah sakit untuk pemeriksaan rutin setiap bulannya sehingga meskipun yang terdaftar di posyandu jumlah balitanya banyak, tetapi yang datang untuk penimbangan ke posyandu jumlahnya sedikit. Warga yang berada di sekitar posyandu Sukapura banyak yang membawa balitanya ke posyandu untuk pemeriksaan rutin setiap bulannya. Warga sangat memanfaatkan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah karena harga pemeriksaan yang murah dan pelaksanaan posyandu berada dekat dengan wilayah tempat tinggal warga, sehingga jumlah balita antara yang terdaftar dengan yang datang ke posyandu saat penimbangan, sama jumlahnya. Oleh karena itu jumlah responden yang ditetapkan adalah mengikuti jumlah responden minimal yang berasal dari posyandu Kelapa Gading, yaitu sejumlah 35 responden.
Prosedur pengambilan data meliputi: peneliti menjelaskan tujuan dari penelitian kemudian dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran tinggi badan, dan pengukuran lingkar lengan bagian atas dari balita. Setelah itu ibu dari
n = N
(30)
balita diminta untuk mengisi atau menjawab setiap pertanyaan yang terdapat dalam lembar kuesioner serta dilakukan wawancara dengan ibu dari balita untuk memperoleh data food recall 1x24 jam dari balita.
3.5 Rancangan Percobaan
Analisis data dilakukan secara deskriptif. Pengolahan statistik deskriptif untuk memperoleh gambaran tentang karakteristik keluarga, tingkat kecukupan zat gizi, dan status gizi anak balita berdasarkan BB/U. Untuk menguji hubungan pengetahuan gizi ibu, biaya pengeluaran pangan, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, tingkat kecukupan zat gizi terhadap status gizi anak balita dipergunakan uji korelasi Chi-square pada selang kepercayaan 95%. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap status gizi anak balita dipergunakan analisis regresi logistik menggunakan program statistical package for social science (SPSS).
Faktor yang menjadi variabel independen terdiri dari lima variabel yaitu tingkat pengetahuan gizi ibu, biaya pengeluaran pangan, tingkat kecukupan zat gizi, pendidikan ibu dan pekerjaan ibu. Faktor dependen dalam analisis ini adalah status gizi berdasarkan antropometri BB/U balita.
3.6 Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dari penelitian ini berupa:
1. Konsumsi pangan melalui food recall 24 jam sebanyak dua kali ulangan. Ulangan pertama dilakukan pada saat akhir pekan (weekend) dan ulangan kedua dilakukan pada saat hari biasa (weekdays). Hal ini dilakukan untuk mengetahui rata-rata asupan zat gizi balita.
2. Data antropometri anak balita yang meliputi berat badan, tinggi badan, dan lingkar lengan atas balita.
3.7 Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan secara bertahap mulai dari data terkumpul di lapangan sampai siap untuk dianalisis. Terhadap data dari hasil pengumpulan di lapangan dilakukan tahap pengkodean (coding) dengan memberikan kode terhadap jawaban yang ada pada kuesioner yang bertujuan untuk mempermudah analisis data dan mempercepat proses entry data. Tahap pengeditan (editing), yaitu memastikan semua pertanyaan telah dijawab oleh responden. Apabila ada data yang salah atau meragukan maka dapat ditelusuri kepada responden yang bersangkutan. Tahap pemasukan data ke dalam komputer (entry data), data dimasukkan ke dalam program yang digunakan untuk mengolah data menggunakan komputer dan perangkat lunak yang sesuai. Tahap pembersihan data (cleaning) dengan cara melihat distribusi dan frekuensi setiap peubah. Apabila ada kesalahan memasukkan data ke dalam komputer, dilakukan pengecekan ulang pada kuesioner.
(31)
16
Gambar 4.1 Keadaan geografis posyandu kelapa gading dan posyandu sukapura.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi PenelitianPosyandu Kelapa Gading dan posyandu Sukapura berada di wilayah Jakarta Utara.
4.1.1 Keadaan Geografis
Posyandu Kelapa Gading dan posyandu Sukapura berada di wilayah kerja Suku Dinas Kesehatan (Sudinkes) Jakarta Utara. Batas wilayah untuk posyandu Kelapa Gading yaitu, Utara: Kali Pertamina Kelurahan Rawa Badak dan Kelurahan Tugu Selatan, Selatan: Jalan Perintis Kemerdekaan mulai Perempatan Coca Cola sampai dengan Jalan Dolog atau PT. Goro, Timur: Jalan Dolog Jaya – Jalan Pelepah Raya – Jalan Boulevard Utara Tersusun, Kelurahan Kelapa Gading Timur – Kelurahan Pegangsaan Dua, Barat: Jalan Yos Sudarso mulai Perempatan Coca Cola sampai dengan Jembatan Pertamina. Komposisi luas wilayah tersebut terdiri dari perumahan penduduk, mall, ruko, perkantoran, pergudangan, dan apartemen.
Batas wilayah untuk Posyandu Sukapura yaitu, Utara: Laut Jawa, Selatan: Kecamatan Cakung, Timur: Kota administrasi Bekasi, Barat: Kecamatan Koja dan Kecamatan Kelapa Gading. Komposisi luas wilayah tersebut terdiri dari perumahan padat penduduk, pasar, ruko, pergudangan, dan pabrik garmen. Keadaan geografis posyandu kelapa gading dan posyandu sukapura dapat dilihat pada Gambar 4.1.
(32)
4.1.2 Keadaan Demografi
Kelurahan Kelapa Gading Barat terbagi dalam 22 Rukun Warga (RW) dari 22 RW tersebut enam RW merupakan komplek perumahan TNI AL, sepuluh RW merupakan komplek perumahan real estate, tiga RW merupakan apartemen, dan tiga RW merupakan perumahan perkampungan yang ada disepanjang Jalan Inspeksi Kali Sunter dan Jalan Rawa Sengon. Kelurahan Sukapura terbagi dalam 19 Rukun Warga (RW) dari 19 RW tersebut tujuh RW merupakan komplek perumahan sederhana, empat RW merupakan komplek perumahan real estate dan delapan RW merupakan perumahan perkampungan yang ada disepanjang Jalan Tipar Cakung dan Pegangsaan. Penduduk di wilayah Kelurahan Kelapa Gading Barat, Kecamatan Kelapa Gading, Kota Madya (Kodya) Jakarta Utara berjumlah 39,056 jiwa. Penduduk di wilayah Kelurahan Sukapura Kecamatan Cilincing, Kodya Jakarta Utara berjumlah 56,140 jiwa (Dinas Kependudukan Jakarta Utara 2015).
4.2 Karakteristik Demografi 4.2.1 Usia dan Jenis Kelamin Balita
Penilaian hasil pengukuran antropometri dapat berupa usia, berat badan, panjang badan jika usia kurang dari dua tahun atau tinggi badan jika usia dua tahun atau lebih, serta lingkar lengan atas (LILA). Usia dalam bulan ditentukan dari tanggal lahir dan tanggal pengukuran antropometri. Dilakukan pembulatan ke atas bila lebih dari 15 hari dan demikian sebaliknya. Usia yang digunakan adalah menggunakan perhitungan bulan penuh sehingga keakuratan usia balita sangat diperlukan saat pengumpulan data. Umur sangat memegang peranan dalam penentuan status gizi, kesalahan penentuan akan menyebabkan interpretasi status gizi yang salah (Depkes RI 2004).
Umur merupakan salah satu faktor yang penting untuk menentukan jumlah asupan yang dapat dikonsumsi balita, sehingga makanan yang dikonsumsi balita akan sesuai menurut umurnya, tidak kekurangan dan kelebihan, karena apabila balita mengonsumsi makanan kurang dari jumlah yang seharusnya secara kumulatif, balita tersebut bisa menjadi terlalu kurus atau bahkan sampai mengalami kurang energi protein (KEP), sementara apabila terlalu berlebihan, balita akan menjadi kegemukan bahkan ada yang sampai obesitas. Semakin bertambah umur, kebutuhan zat gizi seseorang relatif lebih rendah untuk tiap kilogram berat badannya. Kebutuhan energi bayi atau balita 100-120 kkal/kg berat badan, sedangkan pada orang dewasa 40-50 kkal/kg berat badan. Hal ini dikarenakan pada usia balita terjadi pertumbuhan dan perkembangan sangat pesat (Depkes RI 2003).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah usia balita pada kedua wilayah posyandu adalah sama, balita yang berusia 24-36 bulan berjumlah 15 balita dengan jumlah persentase sebesar 50% sedangkan untuk balita yang berusia 37-59 bulan berjumlah 20 balita dengan jumlah persentase sebesar 50%. Jumlah jenis kelamin balita pada kedua wilayah posyandu adalah sama, balita laki-laki berjumlah 20 balita dengan jumlah persentase sebesar 50% sedangkan untuk balita perempuan berjumlah 15 balita dengan jumlah persentase sebesar 50%. Data ditunjukkan pada Gambar 4.2, Gambar 4.3 dan Tabel 4.1.
(33)
18
Gambar 4.2 Profil balita menurut usia.
Gambar 4.3 Profil balita menurut jenis kelamin.
Kebutuhan zat gizi berbeda antara laki-laki dan perempuan (Depkes 2002). Perbedaan ini disebabkan oleh komposisi tubuh dan jenis aktivitas. Anak laki-laki umumnya lebih aktif dibandingkan dengan anak perempuan sehingga kebutuhan zat gizinya lebih banyak. Kejadian gizi buruk lebih rentan diderita oleh balita perempuan dengan rentang usia 25-36 bulan, meskipun berat badan lahir normal dan berada pada urutan kelahiran pertama atau kedua pada Wilayah Kerja Puskesmas Rangkah Kota Surabaya (Rusjayanti dan Siti 2009). Pada saat anak berusia 2-3 tahun, perhatian ibu kepada anak biasanya mulai berkurang. Hal itu menyebabkan gangguan psikis pada anak dan hilangnya nafsu makan sehingga memperburuk status gizi balita (Pratiwi 2007). Pada usia ini, pertumbuhan anak semakin memburuk, bahkan tidak jarang berat badan tetap atau menurun. Penyebabnya adalah kurang asupan protein dan karbohidrat, selain itu pertumbuhan sudah jarang dipantau. Keadaan ini diperparah dengan seringnya menderita sakit infeksi seperti diare dan infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) (Adi, 2001).
(34)
Gambar 4.4 Profil ibu dari responden menurut pendidikan.
Hasil survei di wilayah Lembata NTT oleh PLAN Indonesia tahun 2006 menemukan prevalensi underweight pada anak perempuan 52.4% hampir sama dengan prevalensi pada anak laki-laki 52.1%.Selain itu, hasil analisis data susenas menunjukkan bahwa status gizi anak perempuan secara umum lebih baik dari status gizi anak laki-laki. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa balita gizi kurang lebih banyak terdapat pada balita laki-laki dibandingkan balita perempuan. Jumlah balita laki-laki yang mengalami gizi kurang sebanyak tujuh balita dan jumlah balita perempuan yang mengalami gizi kurang sebanyak dua balita. Hal ini menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak berhubungan dengan kejadian gizi buruk, karena gizi buruk memiliki kecenderungan dapat dialami balita laki-laki dan perempuan (Sihadi 2006). Kecenderungan memburuknya status gizi anak lebih dikarenakan buruknya kualitas dan kuantitas makanan serta kemungkinan eksposur terhadap lingkungan yang lebih tinggi intensitasnya yang memungkinkan anak mudah tertular penyakit infeksi, terlebih kondisi lingkungan yang buruk (PLAN Indonesia 2006).
4.2.2 Karakteristik Keluarga menurut Pendidikan Ibu, Pekerjaan Ibu, Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu dan Biaya Pengeluaran Pangan
Pembagian tingkat pendidikan menurut Depdiknas (2003), digolongkan menjadi dua tingkatan. Dikatakan memiliki tingkat pendidikan tinggi, jika seseorang tamat SLTA/MA, diploma atau perguruan tinggi. Dikatakan memiliki tingkat pendidikan rendah, jika seseorang tidak pernah sekolah atau tidak tamat SD/MI, dan tamat SLTP/MTs. Tingkat pendidikan ibu pada wilayah Posyandu Kelapa Gading didominasi oleh tingkat pendidikan tinggi yaitu berjumlah 33 ibu (73.3%) dan tingkat pendidikan rendah sebanyak dua ibu (8%). Tingkat pendidikan ibu pada wilayah Posyandu Sukapura didominasi oleh tingkat pendidikan rendah yang berjumlah 23 ibu (92%) dan tingkat pendidikan tinggi yang berjumlah 12 ibu (26.7%). Tingkat pendidikan ibu disajikan pada Gambar 4.4 dan Tabel 4.1.
(35)
20
Gambar 4.5 Profil ibu dari responden menurut pekerjaan.
Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan wanita mempengaruhi derajat kesehatannya (WNPG 2004). Seseorang dengan tingkat pendidikan rendah belum tentu kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan orang lain yang pendidikannya lebih tinggi. Seseorang yang berpendidikan rendah, apabila rajin mendengarkan atau melihat informasi mengenai gizi, bukan mustahil pengetahuan gizinya akan lebih baik.
Faktor pendidikan akan mempengaruhi tingkat pengetahuan orangtua terhadap masalah gizi. Secara teori, pendidikan yang rendah identik dengan pengetahuan gizi yang rendah. Rendahnya pendidikan juga berhubungan dengan tingkat ekonomi yang rendah karena terbatasnya kesempatan kerja. Dampak dari ekonomi yang rendah dan pengetahuan gizi yang kurang menyebabkan ibu tidak dapat memilih makanan yang dapat memenuhi kecukupan gizi balita (Wigati 2008).
Status pekerjaan ibu dari kedua wilayah posyandu didominasi oleh ibu yang tidak bekerja. Wilayah posyandu Kelapa Gading untuk ibu rumah tangga (tidak bekerja) berjumlah 31 ibu (50.8%) dan yang bekerja berjumlah empat ibu (44.4%). Wilayah posyandu Sukapura untuk ibu rumah tangga (tidak bekerja) berjumlah 30 ibu (49.2%) dan yang bekerja berjumlah lima ibu (55.6%). Pekerjaan ibu disajikan pada Gambar 4.5 dan Tabel 4.1.
Menurut Aditianti (2010), status pekerjaan orang tua mempengaruhi pola pengasuhan. Pada orang tua yang bekerja, khususnya ibu, dapat menyebabkan alokasi waktu untuk anak lebih sedikit dibandingkan ibu yang tidak bekerja. Ibu yang bekerja di luar rumah dapat menyebabkan anak tidak terawat, sebab anak balita sangat bergantung pada pengasuhannya atau anggota keluarga yang lain. Selain itu, ibu yang bekerja di luar rumah cenderung memiliki waktu yang lebih terbatas untuk melaksanakan tugas rumah tangga dibandingkan ibu yang tidak bekerja, oleh karena itu pola pengasuhan anak akan berpengaruh dan pada akhirnya pertumbuhan dan perkembangan anak juga akan terganggu.
Untuk mengetahui pengetahuan gizi ibu digunakan wawancara terstruktur yang berisi pertanyaan untuk mengidentifikasi pengetahuan ibu tentang gizi pada
(36)
Gambar 4.6 Profil ibu dari responden menurut tingkat pengetahuan gizi. balita, kemudian diberi skor masing-masing jawaban yang dipilih oleh responden, diberi nilai satu bila jawaban benar dan nilai nol bila jawaban salah. Jawaban dinyatakan benar bila sesuai teori dan sebaliknya. Data yang diperoleh dari responden ditabulasi yang kemudian disajikan dalam bentuk grafik distribusi kategori jumlah pertanyaan benar. Untuk mengukur tingkat pengetahuan gizi digunakan rumus prosentase sebagai berikut :
P = X
n ×100%
Keterangan: P = prosentase
X = jumlah jawaban yang benar n = nilai maksimum
Dari hasil perhitungan data yang bersifat kuantitatif untuk aspek pengetahuan dimasukkan ke dalam standar objektif sebagai berikut: Cukup : > 75% dan
Kurang : ≤ 75%.
Pengetahuan orang tua terutama ibu, tentang gizi sangat berpengaruh terhadap tingkat kecukupan gizi yang diperoleh oleh balita. Pengetahuan tentang gizi yang penting diketahui oleh ibu adalah berkaitan dengan kandungan makanan, cara pengolahan makanan, kebersihan makanan dan lain-lain. Orang tua perlu memahami pengetahuan tentang gizi, terutama yang berkaitan dengan zat-zat yang dikandung dalam makanan, cara mengolah makanan, menjaga kebersihan makanan, waktu pemberian makan dan lain-lain, sehingga pengetahuan yang baik akan membantu ibu atau orangtua dalam menentukan pilihan kualitas dan kuantitas makanan (Fatimah et al 2008). Tingkat pengetahuan gizi ibu disajikan pada Gambar 4.6.
(37)
22
Gambar 4.7 Profil keluarga dari responden menurut biaya pengeluaran pangan. Pengetahuan gizi ibu di wilayah posyandu Kelapa Gading didominasi oleh nilai cukup yang berjumlah 34 ibu (55.7%) dan nilai kurang berjumlah satu ibu (11.1%). Pengetahuan gizi ibu pada wilayah posyandu Sukapura yang mendapatkan nilai cukup berjumlah 27 ibu (44.3%) dan nilai kurang berjumlah delapan ibu (88.9%). Data dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Biaya pengeluaran untuk makanan merupakan kejadian yang dapat menggambarkan keadaan ekonomi suatu keluarga. Keluarga ekonomi rendah akan cenderung membelanjakan penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasar yaitu makanan. Makanan yang lebih banyak dibeli yaitu makanan berpati sedangkan untuk makanan sumber protein adalah terutama protein hewani. Hal ini akan menghubungkan tidak terpenuhinya kebutuhan gizi anak terutama kebutuhan protein sehingga akan mempengaruhi kesehatan dan status gizi anak. Status gizi anak dan kurangnya asupan protein akan menyebabkan anak menjadi sulit tumbuh dan berkembang. Keadaan ini diperparah apabila tidak mempunyai alokasi dana sehingga kejadian ini akan memperparah kondisi kesehatan, status gizi, dan tumbuh kembang anak (Santi 2011). Biaya pengeluaran pangan disajikan pada Gambar 4.7.
Biaya pengeluaran pangan di wilayah posyandu Kelapa Gading yang memiliki biaya pengeluaran tinggi berjumlah tujuh keluarga (87.5%) dan biaya pengeluaran rendah berjumlah 28 keluarga (45.2%). Biaya pengeluaran pangan di wilayah posyandu Sukapura yang memiliki biaya pengeluaran tinggi berjumlah satu keluarga (12.5%) dan biaya pengeluaran rendah berjumlah 34 keluarga (54.8%). Data dapat dilihat pada Tabel 4.1.
(38)
Tabel 4.1 Karakteristik keluarga menurut jenis kelamin balita, usia balita, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, tingkat pengetahuan gizi ibu dan biaya pengeluaran pangan. Variabel Posyandu Kelapa Gading Posyandu Sukapura jumlah responden (n) % jumlah responden (n) % Jenis Kelamin Balita
Laki-laki Perempuan 20 15 50 50 20 15 50 50 Usia Balita 24-36 bulan 37-59 bulan 15 20 50 50 15 20 50 50 Pendidikan Ibu Rendah Tinggi 2 33 8 73.3 23 12 92 26.7 Pekerjaan Ibu Bekerja Tidak Bekerja 4 31 44.4 50.8 5 30 55.6 49.2 Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu
Kurang Cukup 1 34 11.1 55.7 8 27 88.9 44.3 Biaya Pengeluaran Pangan
Rendah Tinggi 28 7 45.2 87.5 34 1 54.8 12.5
4.2.3 Tingkat Kecukupan Zat Gizi Anak Balita
Pola makan berhubungan dengan pengaturan makanan yang seimbang dengan asupan gizi yang dibutuhkan. Gizi yang dibutuhkan tubuh dihasilkan dari zat gizi untuk menjaga kesehatan. Dengan demikian pola makan yang sehat berhubungan dengan aneka ragam makanan yang dapat memenuhi zat gizi yang diperlukan sesuai dengan usia. Kelebihan atau kekurangan gizi akan menyebabkan masalah pada status gizi pada balita dan anak. Ada dua pendekatan yang bisa digunakan sebagai indikator untuk mengukur pola makan balita, yaitu indikator hasil penelitian sebelumnya atau indikator yang sudah ditetapkan oleh WHO/UNICEF. Pola makan balita dapat dilihat dari dua aspek, yaitu kualitatif dan kuantitatif. Indikator yang bisa digunakan untuk metode kualitatif adalah frekuensi makan dan jenis makanan, sedangkan pada metode kuantitatif adalah jumlah zat gizi makanan yang dikonsumsi.
Tingkat kecukupan zat gizi anak balita dihitung dari konsumsi zat gizi yang diperoleh berdasarkan perhitungan konsumsi pangan balita (metode recall 1x24 jam) dengan ulangan sebanyak dua kali. Selanjutnya hasil perhitungan konsumsi pangan tersebut dikonversi ke dalam nilai energi, protein, lemak, karbohidrat,
(39)
24
Tabel 4.2 Hasil uji beda rerata asupan zat gizi balita usia 24-59 bulan di posyandu Jakarta Utara.
Zat Gizi Satuan Posyandu Kelapa Gading
Posyandu
Sukapura Signifikansi
Energi kkal 1169 ± 12 1208 ± 62.7 0.484
Protein g 45.9 ± 1.6 43.6 ± 2.1 0.342
Lemak g 41.1 ± 0.8 43.1 ± 4.3 0.574
Karbohidrat g 153.3 ± 3.6 159.6 ± 3.5 0.222
Besi mg 9.5 ± 0.9 5.7 ± 1 0.056
Kalsium mg 603 ± 30.6 457.7 ± 115.3 0.227
Fosfor mg 715.7 ± 26.1 605 ± 98.9 0.266
Vitamin A mcg RE 599.7 ± 111.5 415.9 ± 32.3 0.154
Vitamin C mg 40.5 ± 6.5 20.7 ± 3.7 0.065
Vitamin D mcg 5.9 ± 1.1 2.8 ± 1.2 0.118
besi, kalsium, fosfor, vitamin A, vitamin C, dan vitamin D dengan menggunakan program software Nutrisurvey dan daftar komposisi bahan makanan (DKBM). Selanjutnya dihitung nilai rata-rata tingkat kecukupan zat gizi dibandingkan dengan AKG sesuai dengan usia balita. Hasil uji beda rerata asupan zat gizi balita usia 24-59 bulan di posyandu Jakarta Utara dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Kategori untuk zat gizi energi dikatakan cukup jika memiliki nilai persentase lebih dari sama dengan 70% dan dikatakan kurang jika memiliki nilai persentase kurang dari 70%. Kategori untuk zat gizi protein dikatakan cukup jika memiliki nilai persentase lebih dari sama dengan 80% dan dikatakan kurang jika memiliki nilai persentase kurang dari 80%. Kategori untuk zat gizi mikro untuk vitamin dan
trace mineral dikatakan memenuhi AKG jika memiliki nilai persentase lebih dari sama dengan 100% dan dikatakan tidak memenuhi AKG jika memiliki nilai persentase kurang dari 100%. Distribusi tingkat kecukupan zat gizi menurut acuan AKG balita usia 24-59 bulan di posyandu Jakarta Utara disajikan pada Gambar 4.8.
Masalah gizi dibedakan menjadi masalah gizi makro dan masalah gizi mikro. Masalah gizi makro dapat berbentuk gizi kurang dan gizi lebih, sedangkan untuk masalah gizi mikro hanya dikenal gizi kurang. Masalah gizi makro, terutama masalah KEP, merupakan masalah yang mendominasi perhatian dunia. Kekurangan konsumsi protein mengakibatkan berbagai penyakit. Masalah gizi makro yang sering disebut KEP adalah salah satu masalah gizi kurang akibat konsumsi makanan yang tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena gangguan kesehatan. Golongan penduduk yang rawan terhadap kekurangan gizi termasuk rawan terkena KEP adalah balita, ibu hamil dan ibu menyusui. Beberapa masalah gizi yang penting antara lain kurang protein, kurang energi atau kombinasi kurang energi dan protein. Masalah gizi mikro, khususnya masalah kurang vitamin A, kurang zat iodium, kurang zat besi, dan kurang zat seng sedangkan masalah gizi lebih, yaitu kelebihan konsumsi energi yang bersumber dari lemak.
(40)
Gambar 4.8 Persentase pemenuhan zat gizi pada menu makan balita usia 24-59 bulan terhadap AKG di posyandu Jakarta Utara.
a
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%.
Kecukupan zat gizi menurut AKG di wilayah posyandu Kelapa Gading yang memiliki nilai energi cukup berjumlah 21 balita (45.7%) dan yang memiliki nilai energi kurang berjumlah 14 balita (58.3%). Zat gizi protein dengan nilai cukup berjumlah 31 balita (49.2%) dan protein dengan nilai kurang berjumlah empat balita (57.1%). Zat gizi besi dengan nilai memenuhi AKG berjumlah 16 balita (72.7%) dan besi dengan nilai tidak memenuhi AKG berjumlah 19 balita (39.6%). Zat gizi vitamin A dengan nilai memenuhi AKG berjumlah 18 balita (50%) dan vitamin A dengan nilai tidak memenuhi AKG berjumlah 17 balita (50%).
Kecukupan zat gizi menurut AKG di wilayah posyandu Sukapura yang memiliki nilai energi cukup berjumlah 25 balita (54.3%) dan yang memiliki nilai energi kurang berjumlah 10 balita (41.7%). Zat gizi protein dengan nilai cukup berjumlah 32 balita (50.8%) dan protein dengan nilai kurang berjumlah tiga balita (42.9%). Zat gizi besi dengan nilai memenuhi AKG berjumlah enam balita (27.3%) dan besi dengan nilai tidak memenuhi AKG berjumlah 29 balita (60.4%). Zat gizi vitamin A dengan nilai memenuhi AKG berjumlah 18 balita (50%) dan vitamin A dengan nilai tidak memenuhi AKG berjumlah 17 balita (50%). Data dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Asupan makanan merupakan zat gizi yang dikonsumsi oleh tubuh untuk beraktifitas serta untuk mencapai kesehatan yang optimal. Asupan makanan yang dilihat dalam penelitian ini adalah asupan energi, protein, lemak, karbohidrat, besi, kalsium, fosfor, vitamin A, vitamin C, dan vitamin D. Kebutuhan energi total untuk anak balita diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi basal dan untuk beraktifitas. Energi yang dibutuhkan berasal dari zat gizi yang dikonsumsi seperti karbohidrat, protein dan lemak. Dari hasil penelitian diketahui bahwa asupan energi, protein dan vitamin A masih berada pada nilai rata-rata AKG sedangkan zat gizi besi (Fe) yang tidak memenuhi AKG menduduki nilai paling besar (lebih dari 50%) terutama di wilayah posyandu Sukapura yaitu sebesar 82.9%.
(41)
26
Tabel 4.3 Persentase balita terhadap tingkat pemenuhan zat gizi balita usia 24-59 bulan di posyandu Jakarta Utara.
Variabel Posyandu Kelapa Gading Posyandu Sukapura jumlah responden (n) % jumlah responden (n) % Rerata AKG Energi
Cukup ( ≥ 70% )
Kurang ( < 70% )
21 14 60 40 25 10 71.4 28.6 Rerata AKG Protein
Cukup ( ≥ 80% )
Kurang ( < 80% )
31 4 88.6 11.4 32 3 91.4 8.6 Rerata AKG Lemak
Memenuhi AKG ( ≥ 100% )
Tidak Memenuhi AKG ( < 100% )
8 27 22.9 77.1 10 25 28.6 71.4 Rerata AKG Karbohidrat
Memenuhi AKG ( ≥ 100% )
Tidak Memenuhi AKG ( < 100% )
10 25 28.6 71.4 8 27 22.9 77.1 Rerata AKG Besi
Memenuhi AKG ( ≥ 100% )
Tidak Memenuhi AKG ( < 100% )
16 19 45.7 54.3 6 29 17.1 82.9 Rerata AKG Kalsium
Memenuhi AKG ( ≥ 100% )
Tidak Memenuhi AKG ( < 100% )
8 27 22.9 77.1 4 31 11.4 88.6 Rerata AKG Phosfor
Memenuhi AKG ( ≥ 100% )
Tidak Memenuhi AKG ( < 100% )
26 9 74.3 25.7 23 12 65.7 34.3 Rerata AKG Vitamin A
Memenuhi AKG ( ≥ 100% )
Tidak Memenuhi AKG ( < 100% )
18 17 51.4 48.6 18 17 51.4 48.6 Rerata AKG Vitamin C
Memenuhi AKG ( ≥ 100% )
Tidak Memenuhi AKG ( < 100% )
9 26 25.7 74.3 4 31 11.4 88.6 Rerata AKG Vitamin D
Memenuhi AKG ( ≥ 100% )
Tidak Memenuhi AKG ( < 100% )
4 31 11.4 88.6 0 35 0 100
Salah satu mikronutrien esensial bagi manusia adalah Fe atau zat besi yang merupakan mineral mikro yang paling banyak di dalam tubuh yaitu sebanyak 3-5 gram di dalam tubuh (Almatsier, 2004). Sumber zat besi paling utama dan paling baik adalah pada makanan hewani, seperti daging, ayam, ikan dan makanan hasil olahan darah. Sumber zat besi yang baik lainnya adalah telur, serealia, kacang-kacangan, biji-bijian, sayuran hijau, dan buah-buahan. Disamping jumlah besi, perlu diperhatikan kualitas besi di dalam makanan yang dimakan dan ketersediaan biologisnya. Besi dalam serealia dan kacang-kacangan mempunyai ketersediaan
(42)
biologis sedang, dan besi dalam sebagian besar sayuran, terutama yang mengandung oksalat tinggi seperti bayam mempunyai ketersediaan biologis rendah.
Menurut Indonesian Pediatric Society kekurangan zat besi sangat mempengaruhi fungsi kognitif, tingkah laku, dan pertumbuhan seorang bayi. Gejala yang paling sering ditemukan adalah pucat yang berlangsung lama (kronis) dan gejala komplikasi antara lain lemas, mudah lelah, mudah infeksi, gangguan prestasi belajar, menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi, dan gangguan perilaku (Anonim 2015).
Data riset kesehatan dasar (Riskesdas) yang dilakukan pada tahun 2007 dan 2010 secara konsisten menunjukkan bahwa rata-rata asupan kalori dan protein anak balita masih di bawah AKG. Akibat dari keadaan tersebut, anak balita perempuan dan anak balita laki-laki Indonesia mempunyai rata-rata tinggi badan masing-masing 6.7 cm dan 7.3 cm lebih pendek daripada standar rujukan WHO 2005 (Bappenas 2012). Anisa (2012), dalam penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara asupan protein dengan kejadian stunting.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Dewi dan Kadek (2014), ada pengaruh yang bermakna pada konsumsi protein, konsumsi seng dan riwayat penyakit infeksi terhadap kejadian pendek. Faktor dominan yang mempengaruhi kejadian pendek di wilayah kerja Puskesmas Nusa Penida III adalah konsumsi seng (p=0.006 OR=9.94 artinya konsumsi seng mempunyai peluang 9.94 lebih baik dibandingkan yang tidak mengonsumsi seng terhadap kejadian pendek di wilayah kerja Puskesmas Nusa Penida III) dan riwayat penyakit infeksi anak (p=0.025 OR=5.41 artinya riwayat penyakit infeksi anak mempunyai peluang 5.41 untuk mempengaruhi kejadian pendek di wilayah kerja Puskesmas Nusa Penida III ).
4.2.4 Berat Badan Balita menurut Umur
Status gizi merupakan suatu ukuran keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrisi yang diindikasikan oleh variabel tertentu yang diukur melalui indikator BB/U, TB/U dan IMT/U berdasarkan standar baku WHO-Antropometri 2005 (Kemenkes 2011). Dalam penelitian ini indeks yang digunakan adalah indeks BB/U dengan nilai rujukan WHO–NCHS sesuai Kepmenkes RI No. 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang standar antropometri penilaian status gizi anak. Indeks ini digunakan karena keterbatasan waktu penelitian. Berat badan dapat berkembang lebih cepat atau lebih lambat dari keadaan normal (Supariasa 2002). Berdasarkan karakteristik berat badan ini, maka indeks berat badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current nutritional status)
(Supariasa 2002). Sementara apabila menggunakan BB/PB–TB memerlukan waktu yang lama karena pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama (Supariasa 2002). Distribusi status gizi BB/U balita usia 24-59 bulan di posyandu Jakarta Utara disajikan pada Gambar 4.9.
(43)
28
Gambar 4.9 Profil status gizi BB/U balita usia 24-59 bulan di posyandu Jakarta Utara.
Tabel 4.4 Hasil uji beda status gizi balita usia 24-59 bulan di posyandu Jakarta Utara.
Parameter Status Gizi
Posyandu Kelapa Gading
Posyandu
Sukapura Signifikansi
BB/U (z score) 0.2 ± 0 -0.4 ± 0.1 0.002
LILA/U (z score) 0.4 ± 0.1 -0.2 ± 0 0.005
TB/U (z score) -0.1 ± 0 -0.9 ± 0 0.000
Berat badan balita menurut umur di wilayah posyandu Kelapa Gading yang memiliki gizi normal yaitu nilai Z skor lebih dari sama dengan -2 sampai dengan 2 berjumlah 34 balita (97.1%) dan gizi kurang yaitu nilai Z skor kurang dari -2 berjumlah satu balita (2.9%). Berat badan balita menurut umur di wilayah posyandu Sukapura yang memiliki gizi normal yaitu nilai Z skor lebih dari sama dengan -2 sampai dengan 2 berjumlah 27 balita (77.1%) dan gizi kurang yaitu nilai Z skor kurang dari -2 berjumlah delapan balita (22.9%). Jumlah balita yang memiliki gizi kurang di wilayah posyandu Sukapura lebih banyak dibandingkan dengan balita yang berada di wilayah posyandu Kelapa Gading. Hasil uji beda status gizi balita usia 24-59 bulan di posyandu Jakarta Utara dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Makanan yang memiliki asupan gizi seimbang sangat penting dalam proses tumbuh kembang dan kecerdasan anak. Bersamaan dengan pola makan yang baik dan teratur yang harus diperkenalkan sedini mungkin pada anak, dapat membantu memenuhi kebutuhan akan pola makan sehat pada anak, seperti variasi makanan dan pengenalan jam-jam makan yang tepat. Pola makan yang baik harusnya dibarengi dengan pola gizi seimbang, yaitu pemenuhan zat-zat gizi yang telah disesuaikan dengan kebutuhan tubuh dan diperoleh melalui makanan sehari-hari.
(44)
Gambar 4.10 Profil LILA balita usia 24-59 bulan di posyandu Jakarta Utara. Dengan makan makanan yang bergizi dan seimbang secara teratur, diharapkan pertumbuhan anak akan berjalan optimal. Nutrisi sangat penting dan berguna untuk menjaga kesehatan dan mencegah penyakit (Waladow et al 2013). Hal ini didukung dengan penelitian Dina (2011), bahwa upaya untuk mengatasi masalah gizi yang sangat penting adalah dengan pengaturan pola makan. Pola makan yang diterapkan dengan baik dan tepat sangat penting untuk membantu mengatasi masalah gizi yang sangat penting bagi pertumbuhan balita. Ditambah dengan asupan gizi yang benar maka status gizi yang baik dapat tercapai.
4.2.5 Lingkar Lengan Atas (LILA) Balita
LILA menggambarkan tumbuh kembang jaringan lemak di bawah kulit dan otot yang tidak banyak terpengaruh oleh keadaan cairan tubuh dibandingkan dengan berat badan (BB). LILA lebih sesuai untuk dipakai menilai keadaan gizi atau tumbuh kembang pada anak kelompok umur prasekolah (1-5 tahun). Distribusi LILA balita usia 24-59 bulan di posyandu Jakarta Utara disajikan pada Gambar 4.10.
LILA balita di wilayah posyandu Kelapa Gading yang memiliki gizi baik yaitu nilai LILA lebih dari 12.5 cm berjumlah 35 balita (100%). LILA balita di wilayah posyandu Sukapura yang memiliki gizi kurang yaitu nilai LILA kurang dari sama dengan 12.5 cm berjumlah dua balita (5.7%), dan gizi baik yaitu nilai LILA lebih dari 12.5 cm berjumlah 33 balita (94.3%). Hasil uji beda status gizi balita usia 24-59 bulan di posyandu Jakarta Utara dapat dilihat pada Tabel 4.4.
(45)
30
4.3 Hubungan Karakteristik Responden dengan Status Gizi
4.3.1 Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu dengan Status Gizi Balita (BB/U)
Terdapat hubungan yang nyata antara pengetahuan gizi ibu dengan status gizi balita melalui pengukuran BB/U pada kedua wilayah posyandu pada selang kepercayaan 95% berdasarkan hasil uji korelasi Chi-square. Data dapat dilihat pada Tabel 4.5. Apooh dan Krekling (2005), mengemukakan bahwa pengetahuan gizi ibu sangat berhubungan dengan status gizi anak balita.
Penelitian Rahmaulina (2008), menunjukkan adanya hubungan nyata dan positif antara pengetahuan ibu mengenai gizi dengan tumbuh kembang anak serta pemberian stimulasi psikososial pada anak. Semakin tinggi pendapatan per kapita dan pendidikan orang tua maka pengetahuan ibu mengenai gizi dan tumbuh kembang anak serta pemberian stimulasi psikososial semakin baik. Pengetahuan ibu mengenai gizi dan tumbuh kembang anak serta pemberian stimulasi psikososial juga menunjukkan hubungan positif dan signifikan dengan perkembangan kognitif anak. Semakin tinggi pengetahuan ibu mengenai gizi dan tumbuh kembang anak serta pemberian stimulasi psikososial pada anak maka perkembangan kognitif anak semakin baik.
4.3.2 Hubungan Antara Biaya Pengeluaran Pangan dengan Status Gizi Balita (BB/U)
Riset Kesehatan Dasar 2007 mengemukakan persentase rumah tangga dengan konsumsi energi rendah dan protein rendah menurut tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita menunjukkan pola spesifik, yaitu semakin tinggi tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita, semakin menurun persentase rumah tangga yang konsumsi energi dan proteinnya rendah. Hasil uji korelasi Chi-square
menunjukkan terdapat hubungan yang nyata antara biaya pengeluaran pangan dengan status gizi balita melalui pengukuran BB/U di kedua wilayah posyandu pada selang kepercayaan 95%. Data dapat dilihat pada Tabel 4.5.
Hasil penelitian Tuankotta (2012), menunjukkan terdapat hubungan berbeda secara bermakna antara pengeluaran keluarga untuk makanan dengan kecukupan total asupan energi pada anak usia 24-59 bulan. Pada keluarga yang pengeluaran untuk makanannya lebih tinggi sebesar 1.930 kali mengalami total asupan energi yang cukup, dibandingkan anak pada keluarga yang pengeluaran untuk makanannya lebih rendah.
4.3.3 Hubungan Antara Tingkat Kecukupan Zat Gizi dengan Status Gizi Balita (BB/U)
Menurut Prasetyawati (2012), kesehatan tubuh anak sangat erat kaitannya dengan makanan yang dikonsumsi. Zat-zat yang terkandung dalam makanan yang masuk dalam tubuh sangat mempengaruhi kesehatan. Faktor yang cukup dominan yang menyebabkan keadaan gizi kurang meningkat ialah perilaku memilih dan memberikan makanan yang tidak tepat kepada anggota keluarga termasuk
(1)
Petunjuk II pengisian:
a. Semua pertanyaan dibawah ini adalah pengetahuan ibu dalam pemenuhan gizi balita.
b. Beri tanda silang (X) pada jawaban yang saudara/i anggap benar. D. Kuisioner Pengetahuan Gizi Ibu
1. Makanan bergizi adalah :
a. Makanan yang mengandung sumber energi, protein, vitamin dan mineral b. Makanan yang porsinya banyak
c. Makanan yang rasanya enak dan gurih d. Makanan yang bersih dan menarik
2. Pernyataan di bawah ini yang benar adalah :
a. Makanlah makanan yang banyak mengandung lemak
b. Makanlah makanan yang banyak mengandung serat dan lemak c. Makanlah makanan yang beragam, bergizi dan seimbang d. Makanlah makanan yang sudah diawetkan dan bervariasi 3. Makanan yang banyak mengandung zat tenaga adalah: a. Mie, jeruk, tomat dan sayuran
b. Jeruk, apel, salak dan pepaya
c. Kacang tanah, buncis dan kacang panjang d. Ubi kayu, ubi jalar, jagung, roti dan nasi
4. Makanan di bawah ini adalah makanan yang banyak mengandung Protein/zat pembangun, yaitu:
a. Kacang hijau dan tomat
b. Daun singkong, kangkung, dan sayuran berwarna hijau c. Tahu, tempe, telur dan ikan
d. Bayam, kacang
5. Makanan yang banyak mengandung zat pengatur atau vitamin dan mineral adalah
a. Mi goreng, bakso, tahu goreng
b. Kacang tanah, buncis, ,wortel, bayam, kacang panjang, kangkung c. Ubi kayu, ubi jalar, jagung, roti dan nasi
d. Daging, ikan, tempe, tahu
6. Manfaat dari makan makanan beraneka ragam pada anak balita adalah: a. Melengkapi kekurangan zat gizi dari berbagai makanan, yang menjamin terpenuhinya kecukupan sumber zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur. b. Melengkapi kekurangan zat tenaga.
c. Melengkapi kekurangan zat pembangun. d. Melengkapi kekurangan zat zat pengatur.
(2)
7. Pemenuhan zat gizi bagi anak balita bermanfaat untuk : a. Membuat anak lincah
b. Mendapatkan balita yang gemuk c. Meningkatkan berat badan anak balita
d. Membuat anak balita menjadi sehat dan pintar 8. Makanan apa yang paling baik untuk bayi ? a. Nasi
b. Susu sapi c. ASI d. Buah
9. Keuntungan pemberian ASI adalah : a. Menghemat biaya pengeluaran
b. Bayi sehat, tidak mudah sakit, cerdas dan tidak cengeng c. Bayi cepat kenyang
d. Pengganti vitamin
10. Makanan pendamping ASI sebaiknya diberi sejak: a. Usia bayi 4 bulan
b. Usia bayi 1 bulan c. Usia bayi 6 bulan d. Bayi lahir
11. Menu makanan yang tepat untuk anak balita adalah : a. Roti, kue dan biskuit
b. Mie dan es krim
c. Bubur/nasi, ikan/daging, sayur-mayur, buah-buahan dan susu. d. Keripik
12. Menu makanan anak diatur berdasarkan apa ? a. Kesukaan anak
b. Keinginan anak c. Kebutuhan gizi anak d. Keinginan pengatur menu
13. Pemenuhan zat gizi bagi anak balita bermanfaat untuk : a. Membuat anak balita menjadi sehat dan pintar
b. Mendapatkan anak balita yang gemuk c. Meningkatkan berat badan anak balita d. Membuat anak lincah
(3)
E. Pola Asuh Kesehatan Anak Balita
1. Apakah ibu membawa balita ke posyandu tiap kali imunisasi dan penimbangan a. Ya
b. Tidak
2. Apakah ibu membawa KMS tiap kali datang ke posyandu? a. Ya
b. Tidak
3. Jika petugas kesehatan datang ke rumah ibu untuk melakukan imunisasi dan penimbangan, apa yang ibu lakukan?
a. Mengizinkan petugas kesehatan untuk mengimunisasi balita b. Menolak petugas kesehatan
4. Apakah balita mendapatkan imunisasi sesuai umur a. Ya
b. Tidak
5. Bila balita ibu sakit, apa tindakan yang ibu lakukan... a. Di bawa ke puskesmas
b. Di bawa ke dukun c. Dibiarkan saja
6. Jika anak ibu terkena diare, apa yang ibu lakukan a. Memberikan oralit
b. Memberinya obat-obat tradisional
7. Apakah ibu memantau setiap jenis makanan yang dikonsumsi balita (termasuk jajanan)?
a. Ya b. Tidak
c. Kadang-kadang
8. Apakah ibu mencuci tangan sebelum memberikan makan kepada balita a. Ya
b. Tidak
(4)
F. Pola Asuh Diri Anak Balita
1. Berapa kali balita mandi setiap hari a. 3 kali
b. 4 kali c. 2 kali
2. Apakah ibu selalu memotong kuku balita tiap kali panjang a. Kalau ingat
b. Ya c. Tidak
3. Jika anak bermain di luar, apakah ibu membiasakan memakai sandal a. Ya
b. Tidak
c. Kadang-kadang
4. Jika balita bermain tanah, apa tindakan yang ibu lakukan a. Membiarkan
b. Membiarkannya lalu dibersihkan c. Segera dibersihkan
5. Berapa kali ruangan rumah dibersihkan setiap hari a. 2 kali
b. 3 kali
c. Setiap kali kelihatan jorok
6. Apakah ibu langsung membersihkan piring makanan balita setelah selesai makan a. Ya
b. Tidak
7. Peralatan makan balita dibersihkan dengan a. Menggunakan sabun dan air di ember b. Tidak menggunakan sabun
c. Menggunakan sabun di air mengalir
8. Apakah ibu membiasakan balita mencuci tangan dengan sabun setiap kali makan a. Ya
b. Tidak
c. Kadang-kadang
9. Jika balita ingin BAB, apa yang ibu lakukan a. Membiarkannya BAB di celana
b. Membawanya ke jamban
10. Setelah selesai BAB, apakah ibu mencuci tangan dengan sabun a. Ya
b. Tidak
(5)
Lampiran 2. Formulir food recall 24 jam
Kode :
FORMULIR
FOOD RECALL
24 JAM
Hari/Tanggal : ... Hari ke- : ...
Waktu Nama Masakan
Bahan Penyusun
Jenis Banyaknya
URT Gram
Pagi (Jam) Antara
Pagi dan siang (Jam)
Siang (Jam)
Antara Siang dengan malam (Jam)
Malam (Jam)
Sebelum tidur malam
(Jam)
(6)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 24 Juli 1983 sebagai anak pertama dari pasangan Edwin Mercurius Sibarani (alm.) dan Sonaria Theresia Sitanggang. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Biologi, Fakultas Biologi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Penulis lulus pada November 2005. Pada November 2013, penulis melanjutkan studi ke Program Studi Magister Profesi Teknologi Pangan pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2016.
Penulis setelah lulus dari pendidikan sarjana, bekerja di PT Centralproteina Prima sebagai Supervisor bagian unit pengawasan mutu (quality control), kemudian pada 2011 bekerja sebagai Senior Supervisor pada unit quality control
di PT Frisian Flag Indonesia hingga tahun 2013. Saat ini penulis bekerja sebagai