Pengeluaran Untuk Beradaptasi Terhadap Suhu yang Meningkat

peningkatan lama menetap selama satu tahun akan me nurunkan pengeluaran untuk adaptasi sebesar Rp 74.032. Hal tesebut relatif sesuai hipotesis. Lama menetap seseorang disuatu lokasi menentukan tindakan dan keputusan dalam menghadapi kejadian dilokasi tersebut. Semakin lama seseorang menetap, diduga akan semakin terbiasa dengan fenomena yang terjadi didaerah tersebut sehingga tindakan pencegahan atau perbaikan dapat dilakukan sedini mungkin untuk menghadapi kejadian yang sama yang mungkin terjadi di lain waktu. Sebaliknya pada seseorang yang relatif masih baru menetap disuatu lokasi. c. Jenis Adaptasi Variabel dummy adaptasi berpengaruh nyata pada model masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah karena nilai sig. yang didapat lebih kecil dari taraf nyata 10. Tanda koefisien yang positif dengan nilai 58.720 dan 237.776 memiliki arti bahwa pada masyarakat berpenghasilan rendah saat adaptasi pada suhu meningkat dan saat curah hujan meningkat terdapat perbedaan rata-rata besar pengeluaran sebesar Rp 58 720, sedangkan pada masayarakat berpenghasilan menengah sebesar Rp 237 776. Tanda yang positif juga mengartikan bahwa masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah mengeluarkan biaya adaptasi yang lebih tinggi pada saat terjadi kenaikan curah atau jumlah hari hujan dibandingkan adaptasi pada saat suhu meningkat. Hal tersebut disebabkan setiap jenis adaptasi memerlukan strategi adaptasi yang berbeda dalam artian bahwa pengeluaran untuk adaptasi saat curah hujan yang meningkat lebih besar disbanding saat suhu meningkat. Besarnya pengeluaran untuk adaptasi pada masyarakat penghasilan rendah dan menengah lebih kecil dibanding dengan masyarakat berpenghasilan tinggi. Namun proporsi pengeluaran mereka untuk adaptasi saat suhu meningkat dan curah hujan meningkat lebih terlihat perbedaannya dibanding proporsi pengeluaran untuk adaptasi pada masyarakat berpenghasilan tinggi. Hal tersebut salah satu yang mengakibatkan variabel D1 pada kedua strata tersebut menjadi signifikan. 4. Uji Multikolinearitas Mulitikolinearitas adalah kondisi terjadinya hubungan linear antar variabel independent . Untuk mendeteksi masalah multikolinearitas dapat langsung dilihat melalui nila VIF tiap variabel bebas. Apabila nilai VIF seluruh variabel bebas lebih dari 10 maka tidak terjadi multikolinearitas. Berdasarkan hasil analisis, seluruh variabel bebas pada ketiga model memiliki nilai VIF kurang dari 10. Hal ini menunjukan bahwa pada model tidak terdapat masalah multikolinearitas. 5. Uji Heteroskedastisitas Masalah heteroskedastisitas sering terjadi pada data cross section, sehingga masalah tersebut sangat mungkin terjadi pada penelitian yang banyak menggunakan data primer termasuk penelitian ini. Masalah heteroskedastisitas dapat dideteksi menggunakan uji glejser, yaitu pada sig. tabel ANOVA dengan asbolut residual ABS_RES sebagai variabel dependent. Jika nilai sig. lebih dari alpha 10 maka tidak terjadi heteroskedastisitas. Pada model masyarakat berpenghasilan rendah nilai sig. absolut residual yang didapatkan sebesar 0.302, masyarakat berpenghasilan menengah sebesar 0.112, dan pada masyarakat berpenghasilan tinggi sebesar 0.720. Hal ini menunjukan bahwa terdapat masalah heteroskedastisitas pada model masyarakat berpenghasilan rendah. 6. Uji Autokorelasi Masalah autokorelasi dapat dideteksi dengan uji Durbin-Watson DW. Jika nilai DW pada hasil analisis diantara 1.55-2.46 maka tidak terdapat autokorelasi. Berdasarkan hasil analisis, pada model masyarakat berpenghasilan rendah nilai DW yang didapat sebesar 2.136, pada model masyarakat berpenghasilan menegah sebesar 1.653, dan pada model masyarakat berpenghasilan tinggi sebesar 1.673. Nilai tersebut menunjukan bahwa pada model tidak terdapat masalah autokorelasi. 7. Uji Normalitas Uji normalitas adalah uji kenormalan, untuk melihat galat menyebar normal atau tidak. Jika nilai Asymp sig. 2-tailed lebih besar dari alpha 10, maka galat menyebar normal. Pada model masyarakat berpenghasilan rendah nilai Asymp sig. 2-tailed yang didapat sebesar 0.366, pada model masyarakat menengah sebesar 0.651, dan pada model masyarakat berpenghasilan tinggi sebesar 0.214. Hal tersebut menunjukan bahwa model yang memiliki galat menyebar normal adalah pada model masyarakat penghasilan rendah dan tinggi, sedangkan pada model masyarakat berpenghasilan menengah galat tidak menyebar normal.

6.4.1 Implikasi Kebijakan

Terjainya variabilitas iklim di Kota Bogor mempengaruhi tindakan adaptasi masyarakat. Bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan adaptasi semakin kesulitan dalam mempertahankan diri mereka dari terjadinya variabilitas iklim tersebut. Kerugian tersebut diduga paling akan dirasakan bagi masyarakat yang memiliki penghasilan rendah karena mereka kurang memiliki akses dan kemampuan adaptasi atau kapasitas adaptasi. Kapasitas adaptasi itu sendiri dipengaruhi oleh berbagai hal diantaranya adalah teknologi, pengetahuan, dan institusi Smit dan wandel 2006. Oleh karena itu perlu adanya kebijakan dari pemerintah pusat ataupun setempat terkait adaptasi tersebut, seperti: 1. Sosialisasi dari pemerintah untuk memberikan pengetahuan atau informasi mengenai fenomena variabilitas iklim atau perubahan iklim kepada masyarakat di Kota Bogor agar dapat melakukan penyesuaian sedini mungkin terhadap fenomena perubahan iklim yang terjadi. 2. Memperbaiki infrastruktur dengan kualitas yang lebih baik seperti kondisi tanggul di pinggir sungai, jembatan, saluran irigasi, hingga sumber air kota yang pernah mengalami kerusakan akibat terkena fenomena perubahan iklim seperti curah hujan deras, disertai angin kencang atau fenomena panas terik yang berkepanjangan. 3. Perlu dibangun sistem peringatan dini yang mampu menunujukan terjadi fenomena curah hujan yang besar ataupun panas terik. Hal itu akan membuat masyarakat mampu meningkatkan kewaspadaan mereka dan melakukan adaptasi. 4. Perlu adanya analisis resiko lokasi serta masyarakat yang paling rentan terkena dampak perubahan iklim, yang meliputi identifikasi resiko, prioritas resiko, pilihan adaptasi yang mampu mengurangi resiko, dan rencana aksikegiatan Diposaptono 2009. 5. Perlu adanya sistem terpadu terkait adaptasi diantaranya rencana yang meliputi: rencana strategis yang menentapkan tindakan dan kerangka waktu atas stakeholder yang terlibat, rencana kebutuhan penguatan kapasitas,