Identifikasi Pengaruh Variabilitas Iklim Di Kota Bogor Terhadap Adaptasi dan Pengeluaran Masyarakat

(1)

KOTA BOGOR TERHADAP ADAPTASI DAN

PENGELUARAN MASYARAKAT

JAVID ATTAURRAHMAN

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014


(2)

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Identifikasi Pengaruh Variabilitas Iklim Di Kota Bogor Terhadap Adaptasi dan Pengeluaran Masyarakat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2014

Javid Attaurrahman H44100111


(4)

(5)

Bogor Terhadap Adaptasi dan Pengeluaran Masyarakat. Dibimbing oleh RIZAL BAHTIAR

Wilayah Indonesia bagian selatan katulistiwa kini mengalami musim kemarau yang lebih panjang dan musim hujan yang lebih pendek tetapi dengan curah yang lebih tinggi. Hal itu juga terjadi pada indikator iklim di Kota Bogor berupa suhu, curah hujan, jumlah hari hujan, dan jumlah hari tanpa hujan. Variabilitas iklim secara tidak langsung diduga akan memberi dampak pada strategi adaptasi dan pengeluaran masyarakat. Penelitian ini bertujuan menganalisis persepsi masyarakat mengenai perubahan iklim, menganalisis adaptasi masyarakat menghadapi perubahan iklim menganalisis dampak perubahan iklim terhadap pengeluaran masyarakat, dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam melakukan pengeluaran untuk adaptasi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan analisis regresi linier berganda. Hasil dari penelitian ini adalah adaptasi masyarakat berpenghasilan rendah, menengah, dan tinggi melalui peninggian atap sebesar 6%, 14%, dan 36% sedangkan penggunaan kipas angin sebesar 38%, 70%, dan 62%. Pada kondisi adaptasi terhadap perubahan curah hujan dan hari hujan masyarakat melakukan perbaikan atap sebesar 48%, 66%, dan 66% dan penggunaan payung sebesar 76%, 74%, dan 86%. Pengeluaran masyarakat untuk adaptasi saat suhu meningkat melalui perbaikan atau penambahan bangunan rumah dan penggunaan barang rumahtangga sebesar Rp 2 433 070, Rp 7 038 930, dan Rp 20 580 640, pada perubahan curah hujan dan jumlah hari hujan sebesar Rp 4 588 290, Rp 20 383 370, dan Rp 49 758 430.


(6)

Adaptation and Household Expenditure in Bogor City. Supervised by RIZAL BAHTIAR

Indonesian territory south of the equator is now going on a longer dry season and the rainy season is shorter but with a higher rainfall. It also occurs in Bogor on climate indicator of temperature, rainfall, number of rainy days, and the number of days without rain. Climate variability is expected to impact the adaptation strategies and household expenditure indirectly. This study aims to analyzed the public perception about climate change, analyze the community adaptation to face the climate change, analyzed the impact of climate change on household expenditure, and identified factors that affect the community in adapting to climate changes. This study used a descriptive method and multiple linear regression analysis. The results of this study is that the adaptation of temperature increased on low-income, medium-income, and high-income community through roof improvement amount of 6%, 14%, and 36%, and used the fan amount of 38%, 70%, dan 62%. In adaptation from changed the rainfall and rainy days through roof fixing amount of 48%, 66%, and 66%, and used umbrella amount of 76%, 74%, and 86%. Increasing temperature affected on household expenditure for adaptation through home improvement or addition and the use of household goods amount of Rp 2 433 070, Rp 7 038 930, Rp 20 580 640 and household expenditure by climate change with changing the rainfall and rainy days amount of Rp 4 588 290, Rp 20 383 370, Rp 49 758 430 .

Keywords: climate variability, public perseption, adaptation, household expenditure


(7)

PENGELUARAN MASYARAKAT

JAVID ATTAURRAHMAN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjanan Ekonomi

Pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014


(8)

(9)

NIM : H44100111

Disetujui oleh

Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT Ketua Departemen

Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan


(10)

(11)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 sampai Juli 2014 adalah variabilitas iklim dengan judul “Identifikasi Pengaruh Variabilitas Iklim Di Kota Bogor Terhadap Adaptasi dan Pengeluaran Masyarakat”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada orang tua penulis tercinta, (Alm) Asep Husaeni dan Salehastuti ; kakak penulis tersayang, Zafar dan Naila, serta adik tercinta Ivana dan Irenka atas bantuan, doa, dan kasih sayangnya. Terima kasih juga kepada Rizal Bahtiar, S.Pi M.Si selaku dosen pembimbing. Terima kasih kepada Dr. Ir. Eka Intan KP, MS dan Dessy Rachmawatie, S.Pt, M.Si sebagai dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukannya. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada dosen dan staf sekretariat Departemen ESL yang telah membantu penulis selama perkuliahan dan penyusunan skripsi.

Terima kasih juga kepada teman sebimbingan, yang banyak memberikan masukan dan bantuan kepada penulis, sahabat penulis atas motivasi, semangat, dan bantuannya dalam penyusunan skripsi, serta seluruh teman-teman ESL 47 atas kebersamaannya.

Bogor, Desember 2014


(12)

(13)

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian... 4

1.4 Manfaat Penelitian... 4

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Pengertian Cuaca dan Iklim ... 7

2.2 Perubahan Iklim dan Pemanasan Global ... 8

2.3 Dampak Perubahan Iklim Secara Umum ... 9

2.3.1 Dampak Ekonomi Perubahan Iklim di Indonesia ... 11

2.4 Persepsi Masyarakat ... 13

2.5 Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim ... 14

2.6 Biaya yang Dikeluarkan Akibat Perubahan Iklim ... 16

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 19

IV. METODE PENELITIAN ... 23

4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian... 23

4.2 Jenis dan Sumber Data ... 23

4.3 Metode Pengambilan Sampel ... 24

4.4 Pengolahan dan Analisis Data ... 24

4.4.1 Persepsi Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim ... 25

4.4.2 Adaptasi Masyarakat Menghadapi Perubahan Iklim.. ... 26

4.4.3 Dampak Perubahan Iklim Terhadap Pengeluaran ... 27

4.4.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Masyarakat Beradaptasi Terhadap Perubahan Iklim... 29


(14)

5.1.1 Kondisi Geografis ... 33

5.1.2 Kondisi Topografis... 33

5.1.3 Demografi... 33

5.1.4 Kondisi Iklim ... 34

5.2 Karakteristik Responden ... 35

5.2.1 Jenis Kelamin Responden ... 35

5.2.2 Tingkat Pendidikan ... 36

5.2.3 Pekerjaan Responden ... 37

5.2.4 Tingkat Usia Responden ... 38

5.2.5 Pendapatan Rumahtangga ... 39

5.2.6 Lama Menetap ... 40

5.2.7 Jumlah Tanggungan Keluarga ... 41

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43

6.1 Persepsi Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim... 43

6.1.1 Persepsi Masyarakat Dalam Mendengar Istilah Perubahan Iklim ... 43

6.1.2 Sumber Informasi Masyarakat... 44

6.1.3 Persepsi Masyarakat Mengenai Pengetahuan Definisi Perubahan Iklim dan Pemahaman Penyebab Perubahan Iklim .. 46

6.1.4 Persepsi Masyarakat Mengenai Kesadaran dan Kerugian Akibat Perubahan Iklim ... 49

6.1.5 Persepsi Masyarakat Terhadap Suhu Udara ... 50

6.1.6 Persepsi Masyarakat Terhadap Curah Hujan... 52

6.1.7 Persepsi Masyarakat Terhadap Jumlah Hari Hujan ... 54

6.1.8 Persepsi Masyarakat Terhadap Jumlah Hari Tanpa Hujan ... 56

6.2 Adaptasi Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim... 57

6.2.1 Adaptasi Terhadap Suhu yang Meningkat... 59

6.2.2 Adaptasi Terhadap Perubahan Curah Hujan dan Jumlah Hari Hujan Serta Penurunan Suhu ... 63


(15)

6.3.1 Pengeluaran Untuk Beradaptasi Terhadap Suhu yang

Meningkat ... 69

6.3.2 Pengeluaran Untuk Beradaptasi Saat Perubahan Curah Hujan, Jumlah Hari Hujan, dan Penurunan Suhu ... 71

6.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Masyarakat Dalam Melakukan Adaptasi ... 74

6.4.1 Implikasi Kebijakan.. ... 81

VII. SIMPULAN DAN SARAN ... 83

7.1 Simpulan ... 83

7.2 Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 85

LAMPIRAN ... 89


(16)

1. Keterkaitan Tujuan, Sumber Data, dan Metode Analisis Data ... 25

2. Identifikasi Pengeluaran Untuk Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim.... 28

3. Tingkat Usia Masyarakat Berpenghasilan Rendah... 38

4. Tingkat Usia Masyarakat Berpenghasilan Menengah ... 39

5. Tingkat Usia Masyarakat Berpenghasilan Tinggi... 39

6. Persepsi Kesadaran Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim ... 49

7. Persepsi Kerugian Masyarakat Akibat Perubahan Iklim ... 50

8. Biaya Adaptasi Masyarakat Melalui Perbaikan atau Penambahan Bangunan Rumah... 69

9. Biaya Adaptasi Masyarakat Melalui Konsumsi/Penggunaan barang... 70

10. Biaya Adaptasi Masyarakat Melalui Perbaikan atau Penambahan Bangunan Rumah... 72

11. Biaya Adaptasi Masyarakat Melalui Konsumsi/Penggunaan Barang .... 72

DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Diagram Alur Berpikir ... 21

2. Jenis Kelamin Responden... 35

3. Tingkat Pendidikan Responden ... 36

4. Pekerjaan Responden... 37

5. Jumlah Tanggungan Keluarga ... 41

6. Persepsi Masyarakat Tentang Mendengar Istilah Perubahan Iklim... 43

7. Sumber Informasi Masyarakat ... 44

8. Persepsi Responden Tentang Arti Perubahan Iklim dan Penyebab Perubahan Iklim ... 47

9. Persepsi Masyarakat Terhadap Suhu Udara... 51

10. Data Suhu Udara Di Kota Bogor Tahun 2004-2013.... ... 52

11. Persepsi Masyarakat Terhadap Curah Hujan ... 53

12. Data Curah Hujan Di Kota Bogor Tahun 2004-2013... 54


(17)

16. Data Jumlah Hari Tanpa Hujan Di Kota Bogor Tahun 2004-2013 ... 57 17. Tingkat Keperluan Masyarakat Untuk Melakukan iAdaptasi …... 58 18. Strategi Adaptasi Masyarakat Melalui Perbaikan atau Penambahan

Bangunan Rumah… ... 59 19. Strategi Adaptasi Masyarakat Melalui Penggunaan Barang

Rumahtangga. ... 61 20. Strategi Adaptasi Masyarakat Melalui Perbaikan atau Penambahan

Bangunan Rumah. ... 63 21. Strategi Adaptasi Masyarakat Melalui Penggunaan Barang

Rumahtangga ... 66

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Kuesioner Penelitian... 91 2. Jumlah Responden yang Berpendapat Suhu, Curah Hujan, dan Jumlah Hari

Hujan Mengalami Peningkatan. ... 97 3. Hasil Regresi Model Pengeluaran Adaptasi Masyarakat

Berpenghasilan Rendah ... 99 4. Hasil Regresi Model Pengeluaran Adaptasi Masyarakat

Berpenghasilan Menengah ... 100 5. Hasil Regresi Model Pengeluaran Adaptasi Masyarakat

Berpenghasilan Tinggi... 101 6. Data Suhu udara, Curah Hujan, Jumlah Hari Hujan, dan Jumlah Hari

Kering... 102 7. Pengeluaran dan Strategi Adaptasi Masyarakat…... 104


(18)

(19)

(20)

(21)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kegiatan manusia berupa kegiatan industri, transportasi dan rumahtangga menghasilkan gas rumah kaca yang jumlahnya terus meningkat, terutama gas karbondioksida, yang diemisikan ke atmosfer (Diposaptono et al. 2009). Diperkirakan antara tahun 1750-2005 konsentrasi karbondioksida di atmosfer meningkat dari sekitar 280 ppm (parts per million) menjadi 379 ppm per tahun dan terus meningkat dengan kecepatan 1.9 ppm per tahun. Akibatnya suhu global akan meningkat antara 1.80C-2.90C pada tahun 2100 (UNDP Indonesia 2007). Dampak dari peningkatan suhu tersebut tersebut adala h terjadinya pemanasan global yang ditandai dengan adanya pergantian musim yang tidak dapat diprediksi, banjir dan kekeringan yang terjadi pada waktu yang bersamaan (Susanta dan Sutjahjo 2008).

Peningkatan suhu juga terjadi di Indonesia. Secara umum laju peningkatan temperatur di Indonesia tahun 1950-2000 sebesar 0.0110C/tahun. Laju kenaikan suhu meningkat cepat setelah tahun 1960-an (LAPAN 2006). Beberapa wilayah di Indonesia gejala perubahan cuaca mulai dirasakan, diantaranya musim kemarau yang berlangsung dari tahun ke tahun semakin panjang, dan musim penghujan dengan intensitas yang lebih tinggi, tetapi waktunya lebih singkat serta bergeser dari waktu yang biasanya. Di sebagian wilayah barat Indonesia selama kurun waktu 1960-1990 dan 1991-2003, awal musim hujan menjadi terlambat 10 hingga 20 hari dan awal kemarau menjadi terlambat 10 hingga 60 hari (UNDP Indonesia 2007).

Di sebagian wilayah Indonesia yang terletak di sebelah selatan katulistiwa, akan mengalami musim kemarau yang lebih panjang dan musim hujan yang lebih pendek tetapi dengan curah yang lebih tinggi (UNDP Indonesia 2007). Perubahan suhu, curah hujan, serta jumlah hari hujan dan tanpa hujan kini telah terjadi di berbagai tempat termasuk di Kota Bogor. Keempatnya telah mengalami perubahan terutama selama tahun 2004-2013. Suhu udara mengalami kenaikan rata-rata sebesar 0.280C. Curah hujan mengalami perubahan rata-rata sebesar 34.82 mm. Jumlah hari hujan dan tanpa hujan mengalami kenaikan rata-rata


(22)

sebesar 7.15 hari dan 33.65 hari (BMKG Kota Bo gor 2014). Perubahan iklim dan cuaca yang terjadi selama beberapa tahun terakhir pada akhirnya akan memberi dampak sosial dan ekonomi kepada masyarakat (Barker dalam Berina 2011). Kondisi sosial dan ekonomi masyarakat tersebut akan berubah sesuai tingkat kemampuan adaptasi mereka. Masyarakat yang memiliki pemahaman terhadap perubahan iklim diduga akan bertindak reaktif dan melakukan antisipasi terhadap dampak yang terjadi akibat dari perubahan iklim (Gallopin 2006). Tindakan adaptasi ini merupakan salah satu upaya masyarakat dalam merespon dampak lingkungan yang mereka terima akibat perubahan iklim.

Beberapa faktor- faktor yang mempengaruhi kemampuan adaptasi yaitu pendidikan, pendapatan, dan kesehatan, dengan beberapa faktor khusus yang mempengaruhi kapasitas adaptasi yaitu tingkat kerentanan, institusional, pengetahuan dan teknologi (Smit dan Wandel 2006). Terdapat perbedaan pada kemampuan beradaptasi antara masyarakat kaya dan miskin. Masyarakat lapisan menengah ke atas memiliki lebih banyak pilihan untuk beradaptasi, misalnya membangun tempat tinggal (menambah lantai) hingga pindah ke tempat lain. Berbeda dengan masyarakat miskin yang cenderung tidak memiliki banyak pilihan karena dampak lingkungan akibat perubahan iklim, yang terjadi melebihi daya adaptasi mereka (Caljouw et al. dalam Berina 2011).

Adaptasi yang dilakukan masyarakat dapat digunakan untuk menilai biaya atau resiko yang terjadi akibat perubahan iklim (Grothmann dan Anthony dalam Kurniawati 2012). Ketika menghadapi bencana akibat perubahan iklim dan cuaca, masyarakat perlu melakukan suatu tindakan adaptasi. Upaya adaptasi yang dilakukan terhadap perubahan iklim akan menimbulkan biaya bagi pemerintah maupun masyarakat (Barker dalam Berina 2011). Contoh kasus adalah adaptasi masyarakat akibat banjir rob di Jakarta. Biaya total yang dikeluarkan responden untuk pencegahan dan adaptasi berupa pengeluaran melalui penambahan bangunan adalah sebesar Rp 50 775 630 927.44 (Berina 2011).

Kasus lain adalah adaptasi yang dilakukan masyarakat akibat kekeringan di Baluran, Situbondo. Diperlukan biaya untuk pembuatan sumur, pembelian selang air dan mesin pompa perawatannya pembelian minyak yang harganya Rp 4 000/liter (Sylviani dan Sakuntaladewi 2010). Biaya yang dikeluarkan untuk


(23)

tindakan responsif ini tidaklah sedikit, khususnya yang berupa tindakan pencegahan terhadap nilai kerugian yang tinggi. Bentuk biaya adaptasi yang dikeluarkan masyarakat juga berbeda-beda. Hal ini tergantung pada faktor sosial dan ekonomi, serta tingkat dampak yang diterima oleh masing- masing individu (Berina 2011). Penduduk di Kota Bogor terdiri dari berbagai lapisan masyarakat dengan tingkat pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan yang berbeda serta lokasi pemukiman yang beragam (BPS Kota Bogor 2013). Hal ini diduga mengakibatkan terjadinya perbedaan strategi adaptasi dan pengeluaran masyarakat saat beradaptasi terhadap perubahan iklim.

1.2 Rumusan Masalah

Variabilitas iklim terjadi di berbagai daerah, termasuk di Kota Bogor. Suhu udara, curah hujan, dan jumlah hari hujan mengalami peruba han selama tahun 2010 hingga 2012 (BPS Kota Bogor 2013). Sementara pada akhir tahun 2006 dan awal 2007 curah hujan kota bogor mencapai nilai angka tertinggi selama tahun 2004-2013 yaitu sebesar 136 mm yang sempat mengakibatkan banjir di Jakarta juga beberapa wilayah di Kota Bogor. Curah hujan yang besar tersebut masuk dalam kategori variabilitas iklim. Variabilitas iklim berupa curah hujan besar juga terjadi di tahun 2013 meskipun dengan angka yang tidak sebesar saat tahun 2006-2007.

Variabilitas iklim maupun perubahan cuaca di Kota Bogor berupa peralihan antara musim hujan ke kemarau juga terjadi di tahun 2011. Menurut BMKG saat itu puncak perubahan cuaca ekstrim terjadi pada Bulan November. Kejadian perubahan cuaca tersebut berupa intensitas curah hujan tinggi, angin kencang, disertai petir besar hingga mengakibatkan kerugian harta dan jiwa. Kondisi iklim di Kota Bogor saat ini tidak lagi dapat diprediksi sesuai jadwalnya. Bahkan terkadang terjadi panas terik, namun sore hingga malam hari terjadi hujan deras. Hal ini diprediksi akan memberi pengaruh pada ekonomi mikro masyarakat/rumah tangga, khususnya pada kasus pengeluaran atau biaya.

Iklim dan cuaca yang berubah diduga membuat beberapa masyarakat melakukan tindakan adaptasi. Tindakan adaptasi membuat masyarakat atau rumahtangga mengeluarkan biaya untuk melakukan adaptasi tersebut (Barker


(24)

dalam Berina 2011). Misalkan, ketika intensitas dan curah hujan meningkat baik siang maupun malam hari, potensi terjadinya banjir dan tanah longsor semakin besar. Selain itu mengakibatkan kecepatan angin meningkat. Hal tersebut membuat masyarakat melakukan pengeluaran/biaya untuk adaptasi melalui konsumsi barang, jasa, dan makanan. Dalam hal ini juga akan timbul hal penting yang harus diteliti yaitu pengaruh faktor-faktor apa saja yang membuat masyarakat atau rumahtangga melakukan adaptasi variabilitas iklim, serta pilihan strategi adaptasi yang menurut mereka tepat untuk dilakukan. Berdasarkan uraian tersebut, maka perumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana persepsi masyarakat mengenai perubahan iklim?

2. Bagaimana adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim?

3. Bagaimana dampak perubahan iklim terhadap pengeluaran masyarakat?

4. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi masyarakat dalam melakukan pengeluaran untuk adaptasi terhadap perubahan iklim?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, maka tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Menganalisis persepsi masyarakat mengenai perubahan iklim.

2. Mengidentifikasi adaptasi masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim. 3. Menganalisis dampak perubahan iklim terhadap pengeluaran masyarakat. 4. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam

melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian yang didapat diharapkan dapat memberikan manfaat bagi: 1. Bagi peneliti diharapkan penelitian ini dapat berguna di dalam pengembangan


(25)

2. Bagi akademisi diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi dalam mengkaji dampak perubahan iklim terhadap strategi adapatasi dan pengeluaran masyarakat.

3. Menjadi dasar pertimbangan bagi Pemerintah Kota Bogor untuk menentukan kebijakan dalam upaya mengatasi dampak perubahan iklim.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa batasan, diantaranya:

1. Responden yang ditujukan adalah penduduk di enam kecamatan yang ada di Kota Bogor yang memiliki tempat tinggal dengan kriteria responden masyarakat berpenghasilan tinggi (kaya), sedang (menengah), dan rendah (miskin). Definisi kaya, sedang, miskin, dijelaskan di bab selanjutnya.

2. Persepsi masyarakat mengenai perubahan iklim dilihat dari pengetahuan masyarakat tentang perubahan suhu udara, curah hujan, jumlah hari hujan, dan hari tanpa hujan pada tahun 2004-2013.

3. Pengeluaran masyarakat untuk beradaptasi yang dimaksud adalah dilihat dari pengeluaran tahun 2004-2013 yang khusus untuk adaptasi terhadap perubahan iklim melalui perbaikan atau penambahan bangunan rumah, dan penggunaan barang, sedangkan adaptasi melalui pengeluara n konsumsi makanan dan minuman hanya dilihat pada tahun 2013.

4. Strategi adaptasi masyarakat dilihat dari tindakan masyarakat pada tahun 2004-2013 yang khusus untuk adaptasi terhadap perubahan iklim melalui perbaikan atau penambahan bangunan rumah, penggunaan barang, dan konsumsi makanan dan minuman.

5. Tindakan adaptasi yang sulit dihitung melalui nilai moneter yaitu selain tindakan berupa perbaikan atau penambahan bangunan rumah, penggunaan barang, dan konsumsi makanan dan minuman tidak dijadikan sebagai strategi adaptasi di penelitian ini.

6. Faktor suku bunga tidak dimasukan dalam jumlah biaya adaptasi karena jumlah biaya dalam penelitian ini bersifat membandingkan sehingga nilainya akan tetap sama.


(26)

7. Data yang diinput pada variabel pengeluaran untuk adaptasi pada faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat berdaptasi terhadap perubahan iklim hanya pengeluaran tahun 2013.


(27)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Iklim dan Cuaca

Cuaca dan iklim merupakan akibat dari proses-proses yang terjadi di atmosfer yang menyelubungi bumi. Cuaca adalah keadaan udara pada saat tertentu dan di wilayah tertentu yang relatif sempit pada jangka waktu yang singkat. Cuaca terbentuk dari gabungan unsur cuaca dimana jangka waktu cuaca bisa hanya beberapa jam saja (pagi hari, siang hari atau sore hari), dan keadaannya bisa berbeda-beda untuk setiap tempat serta setiap jamnya. Iklim adalah keadaan cuaca rata-rata dalam waktu satu tahun yang penyelidikannya dilakukan dalam waktu yang lama (minimal 10 tahun) dan meliputi wilayah yang luas (Sarjani dalam Ndela 2011). Iklim dapat terbentuk karena adanya:

a. Rotasi dan revolusi bumi, sehingga terjadi pergeseran semu harian matahari dan tahunan.

b. Perbedaan lintang geografi dan lingkungan fisis. Perbedaan ini menyebabkan timbulnya penyerapan panas matahari oleh bumi sehingga besar pengaruhnya terhadap kehidupan di bumi.

Ada beberapa unsur yang mempengaruhi keadaan cuaca dan iklim suatu daerah atau wilayah, yaitu:

a. Suhu atau temperatur udara

Suhu atau temperatur udara adalah derajat panas dari aktifitas molekul dalam atmosfer.

b. Tekanan udara

Tekanan udara adalah suatu gaya yang timbul akibat adanya berat dari lapisan udara. Besarnya tekanan udara di setiap tempat pada suatu saat berubah-ubah. Makin tinggi suatu tempat dari permukaan laut, makin rendah tekanan udaranya. Hal ini disebabkan karena makin berkurangnya udara yang menekan.

c. Angin

Angin adalah udara yang bergerak daridaerah bertekanan udara tinggi ke daerah bertekanan udara rendah.


(28)

Kelembaban udara adalah banyaknya uap air yang terkandung dalam massa udara pada saat dan tempat tertentu.

e. Curah hujan

Curah hujan adalah jumlah air hujan yang turun pada suatu daerah dalam waktu tertentu. Curah hujan diukur dalam harian, bulanan, dan tahunan.

2.2 Perubahan Iklim dan Pemanasan Global

Diposaptono et al. (2009) menyatakan bahwa perubahan iklim adalah perubahan unsur-unsur iklim dalam jangka waktu panjang (50 sampai 100 tahun) yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK). GRK paling penting yang menangkap panas di dalam atmosfer adalah uap air dan karbondioksida (CO2). Gas lain yang terdapat secara alami adalah metana, nitrat oksida, dan ozon. Selain itu, ada juga gas b uatan yang mempunyai efek rumah kaca amat kuat, yakni kloro fluoro karbon (CFC). Menurut Susanta dan Sutjahjo (2008) pemanasan global merupakan kejadian yang diakibatkan oleh meningkatnya temperatur rata-rata pada lapisan atmosfer, air laut, dan daratan.

Gejala terjadinya pemanasan global dapat diamati dan dirasakan oleh siapapun. Hal tersebut ditandai dengan adanya pergantian musim yang tidak dapat diprediksi, hujan badai disertai angin puting beliung yang sering terjadi dimana-mana, banjir dan kekeringan yang terjadi pada waktu yang bersamaan, penyakit yang mewabah di banyak tempat, serta terumbu karang yang memutih (Susanta dan Sutjahjo 2008). Pemanasan global disebabkan oleh semakin tingginya jumlah emisi gas rumah kaca di atmosfer. Gas-gas rumah kaca (GRK) adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki efek penyelimutan karena gas-gas tersebut menyerap panas yang dilepaskan oleh permukaan bumi.

Emisi gas rumah kaca (GRK) yang berlangsung pada atau di atas tingkat kecepatannya saat ini akan menyebabkan pemanasan lebih lanjut dan memicu perubahan-perubahan lain pada sistem iklim global. Salah satu akibat peningkatan atau penurunan suhu global adalah perubahan iklim. Iklim selalu berubah menurut ruang dan waktu. Dalam skala waktu perubahan iklim akan membentuk po la atau siklus tertentu, baik harian, musiman, tahunan maupun siklus beberapa tahunan. Selain perubahan yang berpola siklus, aktivitas manusia menyebabkan pola iklim


(29)

berubah secara berkelanjutan, baik dalam skala global maupun skala lokal. Kegiatan manusia merupakan kontribusi terbesar terjadinya pemanasan global. Pembakaran bahan bakar fosil dan alih guna lahan merupakan kegiatan yang mengemisikan gas rumah kaca terbesar ke atmosfer, diikuti oleh kegiatan-kegiatan lain seperti pertanian, peternakan dan persampahan (KLH) 2009). Pemanasan global menimbulkan perubahan pada iklim bumi yang ditandai dengan meningkatnya jumlah presipitasi (baik berupa hujan maupun salju), perubahan pola angin serta aspek-aspek cuaca ekstrim seperti kemarau, presipitasi berat, gelombang panas dan intensitas topan tropis (KLH 2009).

Menurut Konvensi Kerja PBB tentang Perubahan Iklim United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dalam Trenberth et al. (1995) dalam Ndela (2011), perubahan iklim dinyatakan sebagai perubahan pada iklim yang dipengaruhi langsung atau tidak langsung oleh aktifitas manusia yang mengubah komposisi atmosfer, yang akan memperbesar keragaman iklim teramati pada periode yang cukup panjang. Menurut Diposaptono et al. (2009), salah satu unsur iklim yang berfungsi sebagai pengendali cuaca adalah suhu udara. Perubahan iklim dicirikan oleh berubahnya nilai rata-rata atau median dan keragaman dari unsur iklim. Apabila dalam periode waktu yang panjang ada kecenderungan data suhu naik dari waktu ke waktu dan atau fluktuasinya (naik turunnya) semakin membesar atau kejadian anomali iklim semakin sering terjadi dibanding periode waktu sebelumnya, maka dapat dikatakan perubahan iklim sudah terjadi.

2.3 Dampak Perubahan Iklim Secara Umum

Potensi dampak dari perubahan iklim adalah peningkatan permukaan air laut, peningkatan temperatur bumi, perubahan pola hujan, penurunan produktivitas pertanian dan perikanan, perubahan tata guna dan fungsi hutan, pengurangan kuantitas dan kualitas air. Ryutaro (2000) dalam Ndela (2011) menyatakan dampak perubahan iklim terhadap manusia merupakan konsekuensi dari peristiwa hidrologi. Air merupakan isu paling menonjol terhadap perubahan iklim yaitu dengan adanya kenaikan permukaan air laut yang disebabkan oleh pemanasan global. Penduduk daerah pantai secara langsung terancam oleh


(30)

naiknya permukaan laut, dan ratusan orang beresiko terkena banjir akibat badai hujan. Berdasarkan laporan IPCC keempat tahun 2007, dari dua belas tahun-tahun terpanas sejak 1850, sebelas tahunnya terjadi dala m rentang tahun 1995 hingga 2005. Peningkatan suhu ini juga meningkatkan suhu permukaan laut global hingga kedalaman 3000 m, yang menyebabkan pengembangan air laut yang berkontribusi terhadap naiknya muka air laut rata-rata global. Kenaikan muka air laut ini juga disebabkan karena penurunan tutupan salju dan es di daerah kutub. Laju rata-rata naiknya muka air laut selama rentang waktu 1961 hingga 2003 adalah 1.8 mm per tahun. Laju ini lebih cepat selama rentang waktu 1993 hingga 2003, yaitu sekitar 3.1 mm per tahun (KLH 2009).

Dampak perubahan iklim terjadi di berbagai belahan dunia dan mengakibatkan kerugian akibat bencana yang dihasilkan. Di Kota Benin, Nigeria, Afrika, selama tahun 2008-2010 terjadi terjadi bencana banjir dan erosi besar akibat curah hujan yang berubah-ubah serta suhu udara yang semakin meningkat, dengan nilai kerugian dan kerusakan mencapai $23.9 juta (Odjugo 2012), jika dikonversikan ke dalam rupiah menjadi Rp 239 000 000 000 (asumsi $1=Rp 10 000). Peningkatan suhu yang besar terjadi pada daerah lintang tinggi, sehingga akan menimbulkan perubahan lingkungan global yang terkait dengan pencairan es di kutub, distribusi vegetasi alami, dan keanekaragaman hayati. Daerah tropis atau lintang rendah akan terpengaruh dalam hal produktivitas tanaman, distribusi hama dan penyakit tanaman dan manusia. Peningkatan suhu pada gilirannya akan mengubah pola distribusi dan curah hujan.

Kecenderungannya adalah bahwa daerah kering akan menjadi makin kering dan daerah basah menjadi semakin basah sehingga kelestarian sumberdaya air akan terganggu (LAPAN 2006). Studi yang dilakukan oleh Handoko et al. (2008) mengenai dampak sosio-ekonomi akibat perubahan iklim diantaranya : 1. Penurunan produksi dan produktivitas

2. Penurunan pangsa GDP sektor pertanian

3. Fluktuasi harga produk pertanian di pasar dunia 4. Perubahan distribusi geografis dari rezim perdagangan

5. Peningkatan jumlah penduduk yang beresiko kelaparan dan ketidakamanan pangan.


(31)

Ditjen (2002) dalam Ndela (2011) menyatakan bahwa perubahan iklim juga membawa pengaruh penataan ruang. Secara umum dampak negatif iklim terhadap aspek-aspek penataan ruang, meliputi pemanfaatan lahan budidaya berupa penurunan atau bahkan kegagalan berproduksi usaha pertanian, penyimpangan iklim berupa curah hujan yang cukup tinggi sehingga me micu terjadinya gerakan tanah (longsor) yang berpotensi menimbulkan bencana alam seperti banjir dan tanah longsor, penyimpangan iklim berupa curah hujan yang sangat rendah dibarengi peningkatan suhu udara menyebabkan terjadinya kekeringan sehingga berdampak pada penurunan ketersediaan air dan juga kebakaran hutan.

Dampak lainnya yaitu kenaikan temperatur yang mempercepat siklus hidrologi. Atmosfer yang lebih hangat akan menyimpan lebih banyak uap air, sehingga menjadi kurang stabil dan menghasilkan lebih banyak presipitasi, terutama dalam bentuk hujan lebat. Panas yang lebih besar juga mempercepat proses evaporasi. Dampak dari perubahan-perubahan tersebut dalam siklus air adalah menurunnya kuantitas dan kualitas air bersih di dunia. Sementara itu, pola angin dan jejak badai juga akan berubah. Intensitas siklon tropis akan semakin meningkat (namun tidak berpengaruh terhadap frekuensi siklon tropis), dengan kecepatan angin maksimum yang bertambah dan hujan yang semakin lebat (Diposaptono et al. 2009).

2.3.1 Dampak Ekonomi Perubahan Iklim di Indonesia

Dampak perubahan iklim diperparah oleh masalah lingkungan, kependudukan, dan kemiskinan, karena lingkungan rusak, alam akan lebih rapuh terhadap perubahan iklim. Dampak terhadap penataan ruang dapat terjadi antara lain apabila penyimpangan iklim berupa curah hujan yang cukup tinggi, memicu terjadinya gerakan tanah (longsor) yang berpotensi menimbulkan bencana alam, berupa banjir dan tanah longsor. Daerah rawan bencana menjadi perhatian perencanaan dalam mengalokasikan pemanfaatan ruang (LAPAN 2006). Perubahan-perubahan pada pola iklim di Indonesia terjadi sejak beberapa tahun terakhir. Indonesia sebagai negara kepulauan, dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Misalnya saja,


(32)

meningkatnya permukaan air laut bagi Indonesia tentu saja menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup masyarakat yang bertempat tinggal di daerah pesisir. Daerah-daerah pantai serta pulau-pulau kecil di Nusantara yang jumlahnya mencapai ribuan tentu saja terancam tenggelam dan hilang (KLH 2009). Perubahan iklim juga memberikan dampak pada sektor kehutanan di Indonesia, dimana meningkatnya suhu dapat memicu terjadi kebakaran hutan secara alami akibat meningkatnya kekeringan. Keanekaragaman hayati Indonesia yang sebagian besar berada di daerah hutan terancam dengan terjadinya kebakaran hutan.

Perubahan iklim juga berkaitan dengan ketersediaan pangan. Berdasarkan hasil pemantauan kekeringan pada tanaman padi selama periode tahun 1993-2002 yang dilakukan oleh Departemen Pertanian, diperoleh angka rata-rata lahan pertanian yang terkena kekeringan mencapai lebih dari 200 000 ha dengan lahan puso (gagal panen) mencapai sekitar 43 000 ha atau setara dengan kehilangan 190 000 ton gabah kering giling (GKG). Sementara itu, areal persawahan yang terlanda banjir mencapai luas 158 000 ha dengan puso sekitar 39 000 ha (setara dengan 174 000 ton GKG). Selain itu peningkatan suhu udara yang mengakibatkan penurunan produksi pangan seperti padi, jagung dan kedelai sekitar 10.0-19.5 % selama 40 tahun yang akan datang. Penciutan lahan dan degradasi sawah produktif sekitar 292 000-400 000 hektar atau 3.7% di Jawa akibat peningkatan muka air laut diproyeksikan sampai dengan tahun 2050. Kondisi ini berdampak serius terhadap pertanian di daerah pesisir.

Contoh kasus terjadi di Kabupaten Karawang dan Subang dimana produksi beras berkurang sekitar 300 000 ton, produksi jagung berkurang 5 000 ton karena genangan. Naiknya permukaan air laut juga menimbulkan salintas dan instrusi air laut yang mengancam sumber air bersih. Bidang Aplikasi Klimatologi dan Lingkungan, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (2009) dalam Kurniawati (2011) menyatakan bahwa produktivitas pertanian di daerah tropis diperkirakan akan mengalami penurunan bila terjadi kenaikan suhu rata-rata global antara 1-20C sehingga meningkatkan risiko bencana kelaparan. Meningkatnya frekuensi kekeringan dan banjir diperkirakan akan memberikan dampak negatif pada produksi lokal, terutama pada sektor penyediaan pangan d i


(33)

daerah subtropis dan tropis. Terjadinya perubahan musim di mana musim kemarau menjadi lebih panjang dan cenderung kering dengan trend hujan makin turun sehingga menyebabkan gagal panen, krisis air bersih dan kebakaran hutan. Pola musim mulai tidak beraturan sejak 1991 yang mengganggu swasembada pangan nasional hingga kini tergantung impor pangan. Terjadinya pergeseran musim dan perubahan pola hujan, akibatnya Indonesia harus mengimpor beras. Selain itu, dengan meningkatnya intensitas curah hujan akibat ik lim yang berubah tidak menentu mengakibatkan banjir lebih sering terjadi dan memicu terjadinya berbagai penyakit seperti penyakit kulit dan diare serta tercemarnya sumber air (KLH 2009). Hal tersebut mengakibatkan meningkatnya biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk penyembuhan dan kehilangan sumber air bersih.

2.4 Persepsi Masyarakat

Leavitt (1978) dalam Festiani (2011) Persepsi dalam arti sempit merupakan suatu penglihatan bagaimana seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas yaitu pandangan atau pengertian bagaimana seseorang memandang atau mengerti sesuatu. Menurut Muchtar (1998) dalam Yuwono (2006), persepsi adalah proses penginderaan dan penafsiran rangsangan suatu obyek atau peristiwa yang diinformasikan sehingga seseorang dapat memandang, mengartikan dan menginterpretasikan rangsangan yang diterimanya sesuai dengan keadaan dirinya dan lingkungan dimana ia berada dan dapat menentukan tindakannya.

Menurut Schiffman and Kanuk (1987), setiap individu mempunyai pandangan yang spesifik dalam melihat suatu realita. Empat orang yang secara bersama-sama melihat suatu kejadian yang sama, dapat menuliskan empat macam laporan yang ditulis secara jujur tetapi isinya berbeda-beda satu sama lain. Hal ini terjadi karena bagi setiap orang realita adalah suatu fe nomena yang bersifat individual tergantung dari kebutuhan, keinginan, nilai yang dipegang dan pengalaman dari individu tersebut. Cara memandang suatu kenyataan yang berbeda-beda antara individu yang satu dengan lainnya disebut persepsi. Salah satu pihak yang paling terkena dampak akibat perubahan iklim adalah petani. Keterbatasan informasi yang dimiliki petani diduga menyebabkan petani memiliki persepsi tersendiri mengenai perubahan iklim.


(34)

2.5 Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim

Adaptasi adalah sistem respon yang paling dasar untuk mengubah sistem tersebut akibat adanya gangguan atau bisa diartikan proses suatu perubahan diatasi dengan respon dari perubahan tersebut (Gallopin 2006). Proses adaptasi merupakan suatu bagian dari proses evolusi kebudayaan yakni proses yang mencakup rangkaian usaha-usaha manusia untuk menyesuaiakan diri atau memberi respon terhadap perubahan lingkungan fisik maupun sosial yang terjadi secara temporal.

Perubahan lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap sistem adaptasi manusia adalah perubahan lingkungan yang berupa bencana, yaitu kejadian yang mengancam kelangsungan hidup organisme termasuk manusia, sehingga dalam menghadapi perubahan-perubahan lingkungan akibat bencana tersebut, manusia mengembangkan pola adaptasi yang berbentuk po la-pola tingkah laku yang salah satunya adalah perubahan strategi (Mulyadi 2005).

Ketika menghadapi suatu bencana, masyarakat perlu melakukan suatu tindakan adaptasi. Hal ini merupakan salah satu bentuk respon masyarakat dalam menyikapi perubahan lingkungan (Berina 2011). Biaya yang dikeluarkan untuk tindakan responsif ini tidaklah sedikit, khususnya yang berupa tindakan pencegahan terhadap nilai kerugian yang tinggi. Biaya adaptasi yang diterima masyarakat juga berbeda-beda. Hal ini tergantung pada faktor sosial dan ekonomi, serta tingkat dampak yang diterima oleh masing-masing individu (Berina 2011).

Menurut KLH (2009), adaptasi terhadap perubahan iklim berarti mengurangi atau meminimalkan kerusakan-kerusakan yang diproyeksikan dapat terjadi pada aspek sosio-ekonomi yang disebabkan oleh perubahan-perubahan fisik pada iklim. Adaptasi terhadap perubahan iklim dapat berupa adaptasi secara otomatis, dan adaptasi terencana. Adaptasi otomatis biasanya dilakukan langsung oleh alam, sedangkan adaptasi terencana contohnya adalah kegiatan adaptasi yang dilakukan melalui perbaikan sistem pada sumber-sumber yang terkena dampak atau melalui penggunaan teknologi yang dapat mencegah atau mengurangi dampak dan/atau resiko yang mungkin terjadi, sehingga akan mengurangi b iaya yang diperlukan dibandingkan dengan apabila tidak dilakukan kegiatan adaptasi. Adaptasi mencakup cara-cara menghadapi perubahan iklim dengan melakukan


(35)

penyesuaian yang tepat untuk mengurangi berbagai pengaruh negatifnya, atau memanfaatkan efek-efek positifnya (UNDP Indonesia 2007). Umumnya pilihan-pilihan yang banyak dilakukan adalah adaptasi melalui penggunaan teknologi. Walaupun demikian, usaha adaptasi dapat pula dilakukan secara individu atau masyarakat dengan cara yang mudah, murah dan sederhana. Adaptasi merupakan hal yang penting dalam perubahan iklim. Adaptasi juga memberikan peluang untuk menyesuaikan kegiatan ekonomi pada sektor-sektor yang rentan sehingga mendukung pembangunan berkelanjutan (KLH 2009). Pada sektor pertanian, adaptasi merupakan suatu proses dimana masyarakat membuat dirinya menjadi lebih baik menghadapi ketidakpastian hasil panen pertanian dimasa mendatang.

Adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan suatu proses bagi masyarakat yang memiliki kemampuan dari dalam dirinya sendir i dalam menghadapi ketidakpastian iklim di masa mendatang. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat mampu mengembangkan cara-cara tertentu yang dapat mengurangi dampak negatif dari perubahan iklim dengan melakukan penyesuaian dan perubahan secara tepat pada aktivitas mereka. Hal ini dapat berupa penyesuaian teknologi hingga perubahan tingkah laku individual, seperti perubahan jenis tanaman ketika ketersediaan air mulai menipis (Las 2007).

Secara umum, bentuk adaptasi yang dilakukan dimaksudkan untuk merespon dampak perubahan iklim yang tidak menentu, tidak bisa diperkirakan kapan datangnya, untuk berapa lama, dan seberapa besar dampaknya. Keragaman pilihan bentuk adaptasi merupakan cermin dari keragaman musim di sekitar mereka dan dampak (sosial, ekonomi dan lingkungan) yang telah mereka rasakan. Pilihan bentuk adaptasi juga menggambarkan kapasitas adaptasi yang mereka punya. Kapasitas adaptasi dipengaruhi juga oleh pendampingan dari pihak luar, seperti pemerintah daerah dan LSM (Puspijak 2013). Beberapa pilihan untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim diantaranya peningkatan sistem teknologi seperti meningkatkan keamanan laut atau melindungi kawasan pemukiman di sekitar pesisir pantai, merubah pola pikir seseorang untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim, mengurangi penggunaan air pada saat terjadi kekeringan, dan menggunakan insektsida pembasmi hama. Upaya perbaikan sistem informasi mengenai kondisi iklim yang terjadi di suatu wilayah


(36)

perlu dilakukan dalam rangka memperkuat perencanaan dan koord inasi, melakukan investasi pada pengembangan teknologi dan menciptakan sistem keuangan yang efektif dalam upaya antisipasi perubahan iklim (World Bank 2008 dalam Handoko et al. 2008).

2.6 Biaya yang Dikeluarkan Akibat Perubahan Iklim

Berdasarkan penelitian Berina (2011) mengungkapkan bahwa perubahan iklim mengakibatkan masyarakat/rumahtangga mengeluarkan biaya tambahan untuk adaptasi terhadap banjir rob di Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara. Biaya adaptasi yang dikeluarkan masyarakat diantaranya biaya peninggian lantai dasar, penambahan lantai bangunan, dan pembuatan tanggul dibagian depan rumah. Nilai biaya total yang dikeluarkan responden untuk pencegahan dan adaptasi berupa peninggian lantai dasar rumah sebesar Rp 236 824 505.88. Beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya biaya adaptasi tersebut adalah pendapatan rumah tangga, jarak rumah ke tepi laut, status kepemilikan rumah, dan jenis bangunan.

Pada kasus lain, berdasarkan penelitian Indonesia Initiative for Social Ecology Studies (IISES) (2009), mengungkapkan bahwa pada beberapa bulan tertentu Situ Cinangneng, Desa Cibanteng, Bogor, mengalami kondisi kekeringan atau kelebihan air akibat perubahan iklim yang drastis dan perilaku masyarakat sekitar yang membangun pemukiman disekitar aliran situ. Pada saat musim kering, sumur-sumur milik warga mengalami kekeringan akibatnya kebutuhan air tidak mencukupi sehingga mereka mengeluarkan biaya tambahan untuk menambah kedalaman sumur, bagi mereka yang mampu bisa membeli air dalam kemasan galon.

Penelitian lain dilakukan oleh Syahbana (2010) mengenai analisis dampak perubahan iklim lokal terhadap kesejahteraan petambak udang, Kecamatan Muaragembong, Bekasi. Perubahan iklim yang terjadi diwilayah yang diteliti menyebabkan gagal panen dan kerugian bagi para petambak udang. Penurunan volume produksi udang 25-50% dan peningkatan biaya produksi sebesar 201.01%, yaitu meningkat dari Rp 203 700 000 menjadi Rp 409 600 000 akibat adanya perubahan iklim. Perubahan iklim telah mendorong para petambak udang


(37)

melakukan adaptasi. Bentuk adaptasi yang dilakukan nelayan melalui pembuatan atau peninggian tanggul untuk menahan banjir, menanam mangrove di sekitar tambak, serta melakukan perubahan waktu penangkapan. Penelitian di Desa Mojo, jawa Tengah dan Desa Langensari Jawa Barat menunjukan musim hujan yang berkepanjangan menjadikan produksi bunga melati di desa Mojo, Jawa Tengah, mudah sekali membusuk. Musim yang tidak menentu di desa Mojo dan Langensari juga menjadikan udang tambak stres dan mati, serta bandeng tambak menurun kualitasnya karena salinitas air yang sulit dikontrol. Petani tambak dapat mengalami kerugian hingga Rp 3 000 000/ha sekali panen. Disamping itu, gempuran ombak yang besar banyak merusak tanggul tambak ikan, menjadikan petani tambak harus mengeluarkan tambahan biaya untuk perbaikan tambak.

Bentuk adaptasi yang dijumpai ada yang dilakukan secara individu atau berkelompok, dan ada pula yang dilakukan tanpa atau dengan bantuan serta pendampingan intensif dari pemerintah dan LSM. Bantuan pemerintah diberikan untuk tindakan adaptasi dengan biayanya tinggi, seperti pembangunan saluran irigasi dan kebun bibit desa untuk tanaman mangrove yang menelan biaya hingga puluhan juta rupiah (Puspijak 2013).


(38)

(39)

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

Kota Bogor menjadi salah satu kota yang me ngalami beberapa kali perubahan iklim dan cuaca. Kondisi aktivitas ekonomi yang cukup pesat memberi dampak yang signifikan terhadap lingkungan. Polutan dan penurunan luas lahan hijau yang dihasilkan dari berbagai aktivitas ekonomi tersebut menjadi kontributor bagi terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim. Sehingga iklim yang pada awalnya terjadi sesuai waktuya menjadi berubah dan sulit diprediksi.

Masalah perubahan iklim dan pemanasan global diduga akan menciptakan persepsi yang berbeda pada beberapa penduduk. Selama iklim yang berubah-ubah tidak memberi kerugian biaya apapun bagi mereka, maka mereka tidak terlalu peduli dengan perubahan iklim tersebut. Persepsi masyarakat mengenai perubahan iklim berhubungan dengan pengetahuan dan pemahaman mereka. Masyarakat yang memiliki pendidikan lebih tinggi diduga akan memiliki pengetahuan yang lebih tinggi tentang perubahan iklim dibanding dengan masyarakat yang memiliki pendidikan lebih rendah. Begitu pula dengan usia dan lama menetap, jika nilai keduanya tinggi, diduga akan memberi pengetahuan yang lebih tinggi terhadap perubahan iklim, dibanding mereka yang memiliki usia dan lama menetap yang lebih rendah. Dalam kasus penilaian tentang persepsi masyarakat digunakan metode primer untuk menilai, melalui wawancara mendalam dan pengisian

kuesioner oleh responden. Kondisi iklim di Kota Bogor yang saat ini tidak lagi menentu diprediksi

akan memberi pengaruh pada ekonomi mikro masyarakat/rumah tangga, khususnya pada kasus pengeluaran atau biaya. Iklim dan cuaca yang berubah membuat beberapa masyarakat melakukan perubahan adaptasi. Ketika intensitas dan curah hujan meningkat baik siang maupun malam hari, potensi terjadinya banjir dan tanah longsor semakin besar. Selain itu mengakibatkan suhu menjadi turun karena kecepatan angin yang meningkat. Hal tersebut membuat masyarakat melakukan pengeluaran/biaya untuk adaptasi melalui konsumsi barang dan makanan. Misalkan, ketika sering terjadi banjir dan tanah longsor, masyarakat yang memiliki kemampuan lebih (kaya) dan sedang (menengah) bisa memilih


(40)

untuk meninggikan bangunan rumah mereka dan membangun tanggul penahan longsor guna mengurangi potensi kerugian, bahkan mereka yang kaya bisa memilih untuk membeli rumah baru dilokasi yang tidak berpotensi bencana. Tentunya bagi masyarakat miskin, adaptasi pada kondisi tersebut akan berbeda, begitu pula pada kondisi suhu tinggi.

Kasus terakhir adalah faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam beradaptasi. Indikator yang digunakan adalah dengan model melalui biaya yang mereka keluarkan untuk adaptasi. Melalui model tersebut akan diduga variable yang mempengaruhi adaptasi masyarakat. Variabel yang akan diduga diantaranya pendapatan, jumlah anggota keluarga, luas rumah, lama menetap, dan tingkat pemahaman. Semua variable tersebut diduga berpengaruh terhadap pengeluaran masyarakat untuk adaptasi. Sebagian variable akan memiliki hubungan positif yaitu jika nilai variable tersebut bertanda positif maka akan diikuti oleh kenaikan pengeluaran untuk beradaptasi. Sebaliknya pula pada hubungan negatif.


(41)

Gambar 1. Diagram Alur Berpikir Perubahan curah

hujan, hari hujan dan hari tanpa

hujan

Strategi adaptasi masyarakat

terhadap perubahan iklim

Tidak melakukan

adaptasi

Faktor-faktor yang mempengaruhi

masyarakat beradaptasi

Regresi linier berganda

Pengeluaran untuk adaptasi

Saran kebijakan Analisis pilihan

adaptasi

Analisis biaya adaptasi Melakukan

adaptasi Perubahan

suhu

Variabilitas Iklim mempengaruhi adaptasi

dan pengeluaran masyarakat

Masyarakat berpenghasilan rendah, menengah, dan tinggi

Keterangan :

:iBukan

iifokus

iipenelitian Analisis deskriptif dan

skala likert Persepsi masyarakat

terhadap perubahan iklim


(42)

(43)

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan April hingga Juni 2014. Lokasi yang dipilih adalah di enam kecamatan yang ada di Kota Bogor, yaitu Kecamatan Bogor Tengah, Selatan, Timur, Barat, Utara, dan Kecamatan Tanah Sareal. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan bahwa Kota Bogor memang mengalami perubahan iklim dan pemanasan global yang berdampak pada lingkungan serta berdampak pada biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim. Masyarakat yang bertempat tinggal di daerah tesebut dipilih untuk menjadi responden dalam penelitian ini.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan pada penelitian adalah jenis data primer dan sekunder. Menurut Muljono (2012), data primer merupakan data yang diperoleh langsung di lapangan oleh peneliti sebagai objek penulisan. Metode wawancara yang mendalam digunakan untuk memperoleh data dari narasumber. Pada penelitian ini pencarian data akan lebih ditekankan pada penggunaan kuesioner. Data primer pada penelitian ini meliputi data mengenai persepsi masyarakat, strategi adaptasi masyarakat, serta faktor- faktor yang menyebabkan masyarakat beradaptasi terhadap perubahan iklim, serta data lain yang diperlukan. Sedangkan data sekunder adalah data yang tidak langsung memberikan data kepada peneliti dalam artian peneliti harus mencari, misalkan melaui dokumen. Dokumen tersebut diperoleh dari studi literature dan catatan-catatan yang berhubungan dengan penelitian

Dalam penelitian ini, data sekunder diperoleh dari berbagai instansi terkait dengan penelitian melalui pengumpulan data mengenai perubahan suhu, jumlah curah hujan jumlah hari hujan, dan jumlah hari kering di Kota Bogor yang didapat dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Kota Bogor, serta data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bogor, Kecamatan Bogor Tengah, Selatan, Barat, Utara, Timur, dan Kecamatan Tanah Sareal. Data sekunder yang


(44)

diperlukan merupakan data time series yang terdiri dari jumlah penduduk dan data iklim Kota Bogor tahun 2004-2013, serta data lainnya yang mendukung.

4.3 Metode Pengambilan Sampel

Pemilihan kota dan kecamatan dilakukan secara purposive. Pengambilan data primer dilakukan berdasarkan informasi data sekunder sebelum penelitian, dengan pertimbangan bahwa Kota Bogor memang mengalami perubahan iklim dan pemanasan global, sehingga penelitian tepat dilakukan di daerah tersebut. Untuk teknik pengambilan sampel adalah dengan cara stratified random sampling. Muljono (2012) menyatakan bahwa metode ini memisahkan elemen-elemen populasi dalam kelompok-kelompok yang disebut dengan strata. Kemudian sampel diambil secara random dari tiap strata yang dibentuk. Strata dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga, yaitu:

1. Masyarakat berpenghasilan rendah : pendapatan kurang dari Rp 2 300 000 (UMK Kota Bogor 2014)

2. Masyarakat berpenghasilan sedang : pendapatan antara Rp 2 300 000 – Rp 5 000 i000

3. Masyarakat berpenghasilan tinggi : pendapatan diatas Rp 5 000 000 (Sumber: republika.com 2013)

Total sampel yang dipilih berjumlah 150 responden di seluruh kecamatan di Kota Bogor.

4.4 Pengolahan dan Analisis Data

Data yang didapatkan dalam penelitian diolah dan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual serta komputer dan melalui program Microsoft Office Excel 2007 dan SPSS 17. Keempat tujuan penelitian dianalisis dengan metode yang berbeda. Berikut dijelaskan pada tabel.


(45)

Tabel 1. Keterkaitan Tujuan, Sumber Data dan Metode Analisis Data

No Tujuan penelitian Sumber Data Metode Analisis Data

1 Menganalisis persepsi masyarakat terhadap perubahan iklim

Data primer (wawancara menggunakan kuesioner)

Analisis deskriptif dan skala likert menggunakan

Microsoft Excel 2007

2 Menganalisis adaptasi masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim Data primer (wawancara menggunakan kuesioner)

Analisis pilihan adaptasi

Microsoft Excel 2007

3 Menganalisis dampak perubahan iklim terhadap pengeluaran masyarakat

Data primer (wawancara menggunakan kuesioner)

Analisis biaya adaptasi menggunakan Microsoft Excel 2007

4 Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim

Data primer (wawancara menggunakan kuesioner)

Model regresi linier berganda dengan SPSS

16

4.4.1 Persepsi Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim

Pada kasus ini, metode analisis yang digunakan adalah metode analisis deskriptif. Analisis deskriptif merupakan merupakan suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, atau pun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang (Nazir 2005). Analisis deskriptif merupakan metode pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat mengenai masalah- masalah yang ada dalam masyarakat, tata cara yang berlaku, serta situasi-situasi tertentu termasuk tentang hubungan, kegiatan, sikap, pandangan, serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena (Withney dalam Nazir 2005). Analisis persepsi tersebut dilakukan melalui wawancara kepada masyarakat dengan menggunakan kuesioner. Hasil kuesioner akan diolah dan disajikan dalam bentuk diagram atau tabel untuk mempermudah dalam melakukan analisis. Sehingga interpretasi yang didapat bisa sesuai dengan hipotesis.

Dalam analisis ini juga digunakan metode penilaian atau skoring dengan skala. Persepsi masyarakat terhadap perubahan iklim akan dinilai mengenai seberapa jauh masyarakat menyadari dan merasakan kerugian akibat perubahan iklim 2004 hingga 2013. Metode skala yang digunakan adalah metode skala likert.


(46)

Metode ini sering digunakan untuk mengukur sikap dan persepsi seseorang atau masyarakat terhadap objek maupun fenomena. Hasilnya berupa kategori persepsi/ sikap, yakni mendukung (positif), menolak (negatif), dan netral.

Suryabrata (2000) dalam Sappaile (2007) menyatakan, dalam skala likert pernyataan-pernyataan yang diajukan, baik pernyataan positif maupun negatif, dinilai oleh subjek dengan sangat setuju, setuju, tidak punya pendapat, tidak setuju, sangat tidak setuju. Dalam pengukuran atribut non-kognitif diperlukan jenis ekspresi respons yang tak dapat diyatakan benar atau salah, atau seringkali dikatakan semua respon benar menurut alasannya mas ing- masing. Maka digunakanlah skala likert yang tergantung dari konsep yang hendak diukur. Misalnya yang kita ukur adalah sikap terhadap kejadian, tentu yang lebih tepat digunakan adalah kategori: sangat tidak setuju, tidak setuju, ragu-ragu, setuju, sangat setuju. Kategori yang digunakan dalam penelitian ini untuk persepsi kesadaran masyarakat adalah:

1. Tidak menyadari (TM) 3. Ragu-ragu (RR) 4. Menyadari (M)

5. Sangat menyadari (M)

Sedangkan kategori untuk persepsi pada kerugian masyarakat adalah: 1. Tidak dirugikan (TD)

3. Ragu-ragu (RR) 4. Dirugikan (D)

5. Sangat dirugikan (SD)

4.4.2 Adaptasi Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim

Metode Analisis yang digunakan untuk menganalisis strategi adaptasi masyarakat menggunakan metode analisis pilihan adaptasi. Prosedur yang dilakukan dalam kasus ini tidak jauh berbeda dengan prosedur penelitian pada kasus persepsi masyarakat. Analisis pada strategi adaptasi masyarakat terhadap perubahan iklim dilakukan guna mengetahui solusi yang dilakukan oleh masyarakat akibat dampak dari perubahan iklim. Solusi tersebut dilakukan karena mereka memprediksi di waktu yang akan datang potensi kerugian akibat


(47)

perubahan iklim akan tetap mereka alami. Selain itu, juga berdasarkan pertimbangan bahwa mereka pernah mengalami kerugian te rsebut di masa lalu atau masa sekarang. Sehingga mereka melakukan strategi dan adaptasi guna mengurangi kerugian yang akan didapat jika sewaktu-waktu perubahan iklim membawa dampak yang tidak baik bagi mereka.

Pertanyaan tentang adaptasi yang diajukan kepada responden berupa tindakan yang mereka lakukan pada tahun 2004 hingga 2013 dalam menghadapi perubahan iklim yang meliputi perubahan suhu, curah hujan, jumlah hari hujan, dan hari kering. Hasil wawancara dari seluruh responden akan diolah dalam bentuk tabel ataupun persentase dan akan didapat pilihan adaptasi yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat di Kota Bogor.

4.4.3 Dampak Perubahan Iklim Terhadap Pengeluaran

Perubahan iklim mengakibatkan perubahan kondisi ekonomi mikro masyarakat. Pada kasus ini ekonomi mikro yang akan diteliti dari sisi pengeluaran atau biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk beradaptasi. Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis biaya adaptasi. Responden akan diberikan pertanyaan tentang biaya yang mereka keluarkan guna beradaptasi terhadap perubahan iklim yang terjadi.

Perubahan iklim diduga akan merubah pengeluaran tersebut akibat biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk beradaptasi seperti biaya untuk makanan dan minuman, barang-barang rumahtangga, menambah atau memperbaiki bangunan rumah. Pengeluaran masyarakat akibat adaptasi yang akan diidentifikasi adalah biaya yang dikeluarkan mulai tahun 2004 hingga 2013. Berikut daftar pengeluaran masyarakat yang akan diidentifikasi sebagai pilihan adaptasi saat terjadi perubahan iklim.


(48)

Tabel 2. Identifikasi Pengeluaran Untuk Adaptasi Terhadap Variabilitas Iklim

No Jenis Pengeluaran Tahun Beli Biaya

(Rp) Masa Habis (Tahun) Frekuensi Pengeluaran

1 Memperbaiki/Menambah Bangunan

- Meninggikan lantai

- Menambah lantai

- Meninggikan atap

- Memperbaiki atap

- Menambah ventilasi

-

-

2 Konsumsi Barang Penyeimbang Iklim

- Blower

- Kipas angina

- Air conditioner (AC)

- Penghangat ruangan

- Selimut

- Kaos oblong

- Jaket/sweater

- Kaos kaki

- Payung

- Jas hujan

- Sepatu boot

-

-

Untuk memudahkan responden menjawab, peneliti bertanya dan wawancara langsung dengan terperinci serta tidak membatasi waktu bagi responden untuk menjawab agar responden bisa menjawab pertanyaan dengan tenang dan jelas. Melalui pendekatan ini diharapkan data yang didapat valid da n mampu dianalisis secara deskriptif serta diinterpretasikan dengan jelas. Setiap biaya yang responden keluarkan akibat perubahan iklim akan langsung ditanyakan kembali sejak tahun berapa biaya tersebut dikeluarkan serta berapa kali biaya tersebut dikeluarkan jika barang yang digunakan mengalami masa habis pakai atau kerusakan. Hingga pada akhirnya akan didapat data total pengeluaran seluruh responden dan dapat diolah menjadi hasil yang valid dan bisa diinterpretasikan dengan jelas.


(49)

4.4.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Masyarakat Beradaptasi Terhadap Perubahan Iklim

Metode yang digunakan pada kasus faktor- faktor yang mempengaruhi masyarakat beradaptasi adalah metode analisis regresi linier berganda. Tujuan dari metode ini adalah memberi gambaran atau deskripsi secara sistematis mengenai suatu fakta yang terjadi. Model regresi linier berganda mempunyai asumsi bahwa variabel dependent Y merupakan fungsi linier dari beberapa variabel independent X1, X2, ...,Xk dan komponen sisaan ε (error). Model ini juga memiliki pengertian model yang menjelaskan hubungan linear antara satu variabel dependent dengan dua atau lebih variabel independent (Juanda 2009). Berikut persamaan pengeluaran adaptasi masyarakat yang dimodelkan dalam regresi linier berganda: PUA = β0 + β1JTK + β2PDP + β3LAM + β4USI + β5PND + β5D1 + β5D2 + ε Keterangan :

PUA = Pengeluaran untuk adaptasi (Rp 000 per responden) JTK = Jumlah tanggungan keluarga (orang)

PDP = Pendapatan rumahtangga (Rp 000) LAM = Lama menetap (tahun)

USI = Tingkat Usia (tahun)

PND = Tingkat pendidikan (1-6 untuk SD, 9 untuk SMP, 12 untuk SMA, 15

iiiiiiiiiuntuk diploma, 16 untuk sarjana, 18 untuk magister, dan 22 untuk

iiiiiiiiiidoktor)

D1 = Dummy adaptasi (0 = adaptasi pada suhu meningkat, 1 = adaptasi

iiiiiiiiiipada curah hujan meningkat)

D2 = Dummy lokasi tempat tinggal (0 = lokasi tidak banyak pepohonan, 1

iiiiiiiii=ibanyak pepohonan) ε = Error term

Kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi model dalam penelitian ini adalah kriteria uji statistik dan uji ekonometrika. Kriteria uji statistik dilakukan dengan memperhatikan nilai adjusted-R2, nilai F-hitung model yang digunakan serta nilai dari t-hitung masing-masing parameter yang diestimasi. Kriteria uji ekonometrika dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya pelanggaran asumsi pada model. Berikut penjelasan kedua tahapan tersebut:


(50)

a. Kriteria Uji Statistik

Adjusted-R2 merupakan besaran yang paling lazim digunakan untuk mengukur kebaikan-suai (goodness of fit) garis regresi. jika nilai Adj-R2 semakin \mendekati satu berarti semakin besar keragaman hasil permintaan dapat dijelaskan oleh faktor-faktor yang mempengaruhinya. Uji signifikansi model untuk menguji model secara keseluruhan atau dengan kata lain apakah variabel independent secara bersama-sama dapat menjelaskan variabel dependent (Juanda 2009). Uji signifikansi variabel dilakukan untuk menguji pengaruh masing- masing variabel independent terhadap variabel dependent. Kriteria penarikan kesimpulan dalam uji ini adalah jika nilai-p (dari output komputer) lebih kecil dari alpha maka hipotesis nol ditolak.

b. Kriteria Uji Ekonometrika

Uji ekonometrika yang dilakukan untuk melihat ada atau tidak pelanggaran asumsi pada model adalah sebagai berikut:

1. Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas adalah kondisi adanya hubungan linear antar variabel independent. Multikolinearitas terjadi pada analisis regresi berganda dan tidak terjadi pada analisis regresi sederhana karena melibatkan beberapa variabel independent. Untuk mendeteksi masalah multikolinearitas, dapat dilihat langsung melalui output komputer. Apabila nilai Varian Inflation Factor VIF< 10, maka tidak ada masalah multikolinearitas.

2. Uji heteroskedastisitas

Suatu model regresi dikatakan terdapat masalah heteroskedastisitas jika ragam sisaan tidak sama atau Var(εi)= E(εi2)= σi2 untuk setiap pengamatan ke- i dari variabel independent dalam model regresi (Juanda 2009). Heteroskedastisitas sering terjadi pada data yang bersifat data silang (cross section) dibanding data time series. Masalah heteroskedastisitas dapat dideteksi dengan menggunakan beberapa metode salah satunya adalah uji Glejser. Uji Glejser dilakukan dengan meregresikan variabel- variabel independent terhadap nilai absolute residualnya (Gujarati 2006). Apabila terdapat nilai signifikan dari hasil uji Glejser lebih besar dari α maka tidak terdapat heteroskedastisitas dan sebaliknya.


(51)

3. Uji autokorelasi

Autokorelasi adalah hubungan antara residual satu observasi dengan residual observasi lainnya. Autokorelasi lebih mudah timbul pada data yang bersifat time series namun dimungkinkan autokorelasi ditemukan pada data yang bersifat cross section. Masalah autokorelasi dapat dideteksi dengan menggunakan uji Durbin Watson (DW). Koefisien DW disebut juga dengan nilai d yang akan berada di kisaran 0 hingga 4 dan dapat dibuat tabel uji DW. Asumsi yang dipakai diantaranya jika nilai DW diantara 1.55-2.46 maka tidak terdapat autokorelasi.

4.5 Hipotesis

Perubahan iklim diduga mempengaruhi pengeluaran masyarakat untuk beradaptasi. Ketika perubahan iklim semakin terasa, maka diduga akan diikuti dengan pengeluaran masyarakat untuk makanan, barang. Semakin besar dampak perubahan iklim yang dirasakan masyarakat, misalkan terjadinya kekeringan, banjir besar, ataupun hujan deras disertai angin kencang maka diduga biaya yang dikeluarkan masyarakat juga semakin besar. Perubahan iklim juga mempengaruhi strategi adaptasi masyarakat. Persepsi serta keadaan sosial dan ekonomi yang berbeda tiap masyarakat diduga akan memberikan perbedaan pada strategi adaptasi masyarakat.

Pengeluaran masyarakat untuk adaptasi diduga disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya pendapatan, lama menetap, jumlah tanggungan keluarga, pendidikan, jenis dan frekuensi adaptasi, dan lokasi tempat tinggal. Pendapatan berbanding lurus dengan pengeluaran untuk adaptasi. Semakin besar pendapatan, maka diduga akan meningkatkan pengeluaran. Pada faktor jumlah tanggungan keluarga, bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah semakin banyak jumlah tanggungan keluarga maka diduga pengeluaran adaptasi semakin kecil karena lebih banyak digunakan untuk kebutuhan lain yang lebih mendesak. Sebaliknya pada masyarakat berpenghasilan menengah dan tinggi.

Lama menetap seseorang diduga juga akan mempengaruhi keputusan untuk melakukan pengeluaran dalam beradaptasi. Semakin lama menetap diduga akan mengurangi pengeluaran untuk adaptasi. Hal tersebut disebabkan masyarakat telah `terbiasa dengan kejadian di lingkungan sekitar sehingga mereka tidak


(52)

terlalu banyak mengeluarkan biaya. Selain itu, kemungk inan besar mereka telah beradaptasi di waktu sebelumya sehingga tidak perlu lagi melakukan pengeluaran untuk adaptasi.

Pada faktor pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat diduga akan meningkatkan pengeluaran. Hal itu disebabkan pengetahua n terhadap perubahan iklim dapat disebabkan oleh tingginya pendidikan seseorang sehingga mereka akan melakukan suatu adaptasi jika mulai terasa akan terjadi perubahan iklim di lain waktu. Pada kasus jenis dan frekuensi adaptasi adaptasi, masyarakat yang melakukan adaptasi pada suhu meningkat diduga memiliki rata-rata pengeluaran yang lebih tinggi dari adaptasi saat suhu dingin, sedangkan rata-rata pengeluaran adaptasi saat curah hujan meningkat lebih besar dari adaptasi saat suhu meningkat, dan rata-rata pengeluaran untuk gabungan adaptasi memiliki nilai paling besar diantaranya keempatnya.


(53)

BAB V GAMBARAN UMUM PENELITIAN

5.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Gambaran umum terdiri dari beberapa hal penting terkait lokasi penelitian. Adapun gambaran umum yang dibahas antara lain kondisi geografis, kondisi topografis, demografi, maupun kondisi iklim.

5.1.1 Kondisi Geografis

Kota Bogor terletak di Provinsi Jawa Barat.Secara geografis Kota Bogor terletak di antara 1060 48’ Bujur Timur dan 60 26’ Lintang Selatan. Luas Wilayah Kota bogor sebesar 11 850 Ha. Secara administratif Kota Bogor dikelilingi oleh wilayah kabupaten Bogor. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kemang, Bojong Gede, dan Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Darmaga dan Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor. Kota Bogor terdiri dari enam kecamatan, yaitu Kecamatan Bogor Timur, Bogor Barat, Bogor Selatan, Bogor Utara, dan Tanah Sareal, serta terdiri dari 68 wilayah kelurahan.

5.1.2 Kondisi Topografis

Kota Bogor mempunyai rata-rata ketinggian minimum 190 m dan maksimum 330 m diatas permukaan laut. Sebagian besar wilayah berada pada kemiringan landai (2.00-14.90) yaitu sebesar 8 091.19 (68.8 %). Sebagian lahan pertanian di Kota Bogor adalah lahan bukan sawah yaitu sebesar 2 374 ha atau sekitar 76 %. Sementara 24 % sisanya adalah lahan sawah, dan sebagian berlokasi di Kecamatan Bogor Selatan (283 ha), Bogor Barat (272 ha) dan Bogor Timur (178 ha).

5.1.3 Demografi

Penduduk Kota Bogor pada tahun 2012 sebanyak 1 004 831 jiwa, yang terdiri dari 510 884 orang laki- laki dan 493 947 orang perempuan. Dibandingkan


(54)

dengan tahun 2011 jumlah penduduk pada tahun 2012 bertambah sebanyak 37 433 orang atau meningkat sebanyak 3.87 %. Dengan luas wilayah 118.50 km2, kepadatan penduduk pada tahun 2012 mencapai 8 480 orang per km2. Berdasarkan hasil survey angkatan kerja nasional, jumlah penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) pada tahun 2012 sebanyak 710 307 orang. Dari seluruh penduduk usia kerja, sebanyak 422 528 orang termasuk kedalam kelompok angkatan kerja. Sebanyak 383 111 orang adalah penduduk yang bekerja dan sisanya sebanyak 39 417 orang adalah pengangguran yang sedang mencari pekerjaan.

Pada umumnya penduduk yang bekerja di Kota Bogor terserap pada lapangan pekerjaan perdagangan dan jasa-jasa. Dengan rincian sebanyak 6 198 orang bekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan, 115 406 orang bekerja pada lapangan pekerjaan perdagangan, rumah makan dan hotel, dan yang bekerja pada lapangan pekerjaan jasa-jasa terdapat sebanyak 113 108 orang, serta sebanyak 80 725 bekerja dibidang lainnya. Penduduk yang bekerja di Kota Bogor menurut pendidikan terdapat sebanyak 29 388 orang yang tidak sekolah ataupun tidak tamat SD, sebanyak 62 377 berpendidikan tamat SMP, berpendidikan tamat SMA sebanyak 141 240 orang dan sebanyak 75 892 orang berpendidikan akademi/sekolah tinggi dan universitas.

5.1.4 Kondisi Iklim

Kondisi suhu rata-rata di Kota Bogor pada tahun 2012 rata-rata tiap bulan sebesar 32.1oC dengan suhu terendah 22.4oC dengan suhu tertinggi 33.7oC. Kelembaban udara 92.0%. Curah hujan rata-rata setiap bulan maksimum sebesar 535.3 mm dan minimum sebesar 304.5 mm dengan curah hujan terbesar pada bulan November dan Februari. Terjadi perbedaan suhu dibanding tahun 2011, yaitu suhu rata-rata maksimum perbulan pada tahun 2011 sebesar 30.9o C dan minimum sebesar 22.9º C. Begitu pula dengan curah hujan, terjadi perbedaan pada tahun 2011, yaitu rata-rata curah hujan maksimum sebesar 387.7 mm dan minimum sebesar 236.3 mm.


(55)

5.2 Karakteristik Responden

Karakteristik umum responden dalam penelitian ini diperoleh berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 150 responden. Kelompok responden ini didapat dari enam wilayah yang terdiri dari enam kecamatan yaitu, Kecamatan Bogor Utara, Bogor Selatan, Bogor Timur, Bogor Barat, dan Tanah Sareal. Karakteristik umum dari responden terdiri dari jenis kelamin, pekerjaan, usia, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, pendapatan rumah tangga, lama tinggal, status kepemilikan rumah, dan jenis bangunan.

5.2.1 Jenis Kelamin Responden

Berdasarkan hasil penelitian, pada strata masyarakat yang berpenghasilan rendah jumlah responden perempuan sebesar 64%, sedangkan jumlah responden laki- laki sebesar 36%. Pada strata masyarakat berpenghasilan menengah jumlah responden perempuan sebesar 52% dan responden laki- laki sebesar 38%. Sedangkan pada strata masyarakat berpenghasilan tinggi jumlah responden perempuan sebesar 54% dan responden laki- laki sebesar 46%. Berikut dijelaskan pada Gambar 2.

Sumber: Data primer (diolah) Gambar 2. Jenis Kelamin Responden

Terlihat pada gambar bahwa dari ketiga strata sebagian besar responden adalah perempuan. Hal ini disebabkan wawancara lebih banyak dilakukan pada hari kerja ketika kepala keluarga (laki- laki) sedang bekerja mencari nafkah. Akan tetapi responden dengan jenis kelamin perempuan pada umumnya bisa lebih


(56)

mengerti tentang pengeluaran rumah tangga dan barang-barang yang ada didalam rumah mereka. Hal tersebut lebih membantu peneliti dalam memperoleh informasi mengenai pendapatan, pengeluaran rumah tangga untuk adaptasi terhadap perubahan iklim.

5.2.2 Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan memberi pengaruh kepada pola pikir dan pengetahuan seseorang, dapat pula berpengaruh dalam pengambilan keputusan. Umumnya semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pula pengetahuan dan wawasan seseorang terhadap suatu kejadian, sehingga akan mempengaruhi keputusan terhadap kejadian tersebut. Begitu pula pengaruh tingkat pendidikan seseorang terhadap pengetahuan dan wawasan tentang kejadian atau fenomena perubahan iklim dan bentuk adaptasi yang dilakukan.

Sumber: Data primer (diolah)

Gambar 3. Tingkat Pendidikan Responden

Dalam penelitian ini masyarakat berpenghasilan rendah sebagian besar berpendidikan akhir hingga tamat SMP, yaitu sebesar 36%, berpendidikan akhir SD sebesar 28%, tidak lulus SD sebesar 6% dan berpendidikan akhir SMA sebesar 30%. Pada masyarakat berpenghasilan menengah mayoritas responden berpendidikan akhir tamat SMA yaitu sebesar 38%, tamat SD sebesar 2%, tamat SMP sebesar 22%, diploma sebesar 6%, dan sarjana sebesar 32%. Pada


(57)

masyarakat berpenghasilan tinggi mayoritas responden berpendidikan akhir hingga sarjana, yaitu sebesar 54%, tamat SMA sebesar 22%, diploma sebesar 6% dan berpendidikan akhir pascasarjana sebesar 18%.

5.2.3 Pekerjaan Responden

Jenis perkerjaan responden dalam penelitian ini sangat beragam, diantaranya adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS), pegawai swasta, wirausaha, dan Ibu Rumah Tangga (IRT). Responden yang bekerja sebagai wirausaha memiliki profesi yang beragam. Profesi yang dimaksudkan yaitu profesi atau usaha yang dibangun sendiri oleh individu seperti mulai dari usaha kecil hingga menengah ke atas seperti warung, toko makanan, pedagang sayur dan buah-buahan, konveksi, toko alat rumahtangga hingga usaha skala besar, serta profesi lainnya seperti buruh bangunan, buruh tani, maupun petugas kemanan (satpam). Responden yang bekerja sebagai pegawai swasta yang dimaksud adalah yang bekerja sebagai pegawai atau karyawan di instansi milik swasta. Sedangkan responden yang bekerja sebagai PNS yaitu responden yang bekerja di instansi milik pemerintah.

Sumber: Data primer (diolah) Gambar 4. Pekerjaan Responden

Berdasarkan Gambar 4 pekerjaan responden pada masyarakat berpenghasilan rendah relatif tidak beragam karena hanya ada dua pekerjaan yaitu sebagai ibu rumah tangga dan wirausaha, ma sing- masing sebesar 60% dan 40%. Hal ini mungkin berpengaruh dari tingkat pendidikan mereka karena sebagian besar responden hanya berpendidikan SMP dan SMA sehingga kurang memiliki


(58)

kompetensi untuk mendapat pekerjaan sebagai pegawai kantor atau instansi. Pada masyarakat berpenghasilan menengah mayoritas responden juga bekerja sebagai IRT, yaitu sebesar 38%. Pada masyarakat berpenghasilan tinggi 30% responden bekerja sebagai pegawai swasta.

5.2.4 Tingkat Usia Responden

Salah satu faktor yang menyebabkan manusia memiliki peningkatan berpikir adalah faktor usia. Pada dasarnya semakin tinggi tingkat usia seseorang, semakin tinggi pula kemampuan dan sikap seseorang dalam mengambil dan menentukan keputusan. Faktor usia juga diduga dapat mempengaruhi tingkat pendapatan seseorang maupun rumahtangga. Semakin tinggi usia seseorang, cenderung semakin tinggi penghasilan yang didapat. Sehingga dalam hal ini faktor usia menjadi penting. Begitu pula dalam penelitian ini.

Responden dengan usia yang lebih tinggi umumnya lebih memiliki sikap dalam menentukan pengeluaran yang harus mereka keluarkan untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim sebab relatif lebih memiliki pola pikir yang lebih baik serta pengalaman lebih banyak. Berikut dijelaskan pada tabel 3, 4, 5.

Tabel 3. Tingkat Usia Masyarakat Berpenghasilan Rendah

No Tingkat Usia Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 25-29 2 4%

2 30-34 1 2%

3 35-39 13 26%

4 40-44 9 18%

5 45-49 15 30%

6 50-54 7 14%

7 55-59 3 6%

8 60-64 0 0%

9 >64 0 0%

Total 50 100%

Sumber: Data primer (diolah)

Pada strata masyarakat berpenghasilan rendah rata-rata usia yaitu 43.38 tahun, dengan usia terendah dan tertinggi yaitu 25 tahun dan 57 tahun.


(1)

Lampiran 7. Lanjutan

No Nama Kaos Kaki (Lanjutan)

Tahun Biaya (Rp 000) 26 Deisman 2013 120

1 Pak Dede 2013 40 27 Nana 2013 100

2 Anne 2012 25 28 Nurul 2012 120

3 Andi 2011 20 29 Ayu 2013 220

2012 20 30 Ratih 2013 110

2013 20 31 Euis 2013 100

4 Cici 2009 20 Total 3815

Total 145 Rata2 123.0645161

Rata2 36.25 % 62%

% 8%

No Nama

Payung

No Nama Jas Hujan Tahun

Biaya (Rp 000) Tahun Biaya (Rp 000)

1 Erni 2012 60

1 Erni 2013 100 2013 35

2 Bu Harsono 2012 50 2 Sugandi 2011 100

2013 40 3 Irwan 2011 40

3 Irwan

2013 115

4 Sri M ulyasih

2006 35

4 Sri

M ulyasih 2011 2013 120 30 2010 2012 25 55 5 Suharna

2013 90 2013 25

6 Siti

Khadijah 2013 50

5 Suharna

2009 75

7 Urip 2010 70 2011 70

8 Iqbal Ayu 2012 45 2012 60

9 Pak Dede 2013 100 2013 70

10 Zainal Arif

2010 30 6 Siti Khadijah 2013 50

2011 100 7 Juariah 2010 60

2013 160 2013 40

11 Anwar 2007 100 8 Iqbal Ayu 2012 15

2011 100 9 Pak Dede 2013 40

12 Dudung 2011 80

10 Zainal Arif

2010 50

13 Husnaeni

2011 250 2011 50

14 Reno 2010 200 2012 50

15 Rahmat 2013 100 2013 50

16 Sulasno

2011 15

11 Anwar

2006 50

2013 70 2010 50

17 Evi 2013 50 2012 50

18 Nurdin 2013 220 12 Dudung 2012 40

19 Hanifa 2013 80

13 Husnaeni

2010 25

20 Arni 2012 90 2012 20

21 M ansur 2011 80 2013 40

2013 100

14 Irna

2007 50

22 Rasyid 2011 100 2010 50

23 M . Yusuf 2012 90 2011 50

24 Imas 2013 100 15 Anne 2013 100

25 Tia


(2)

117

Lampiran 7. Lanjutan

(Lanjutan) (Lanjutan)

16 Reno 2010 50 40 Heni 2009 30

17 Rahmat 2011 60 2010 45

18 Andi 2010 70 41 Lisna 2010 40

2012 25 42 Yati 2012 24

19 Bambang 2013 25 43 Ria 2013 100

20 Evi

2010 50 Total 3619

2011 50 Rata2 84.1627907

2012 20 % 86%

21 Ranti

2011 20

2012 30

No Nama

Sepatu Boot

2013 30 Tahun

Biaya (Rp 000) 22 Nurdin

2010 50 1 Rasyid 2012 60

2012 25 2 Nana 2011 70

2013 25 Total 130

23 Hanifa 2011 70 Rata2 65

24 Arni 2011 30 % 4%

2012 30

25 Cici 2012 80

26 M ansur

2010 50

2011 50

2013 50

27 Rasyid 2011 40

2013 35

28 Handi

2011 20

2012 60

2013 35

29 M . Yusuf 2012 30

2013 20

30 Elly 2008 50

2011 30

31 Dewi Lestari 2010 40

2012 25

32 Imas 2012 40

33 Zakaria 2011 35

34 Tia M artiana 2010 50

2013 50

35 Deisman 2011 30

36 Nana

2009 60

2012 50

2013 45

37 Rina 2010 30

2012 45

38 Nurul 2010 40


(3)

(4)

119

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Javid Attaurrahman, dilahirkan di Tangerang

pada tanggal 3 Desember 1991 sebagai anak ketiga dari lima bersaudara dari

pasangan Asep dan Salehastuti.

Penulis mengawali pendidikan di TK Al-Ikhsan dan melanjutkan ke

jenjang pendidikan SD di SD Serua 06 Ciputat tahun 1996-2003. Kemudian

melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 1 Pamulang tahun

2003-2006 dan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Pamulang tahun

2006-2009. Penulis melanjutkan kuliah di Institut Pertanian Bogor melalui jalur

SNMPTN tahun 2010 dan diterima sebagai mahasiswa di Departemen Ekonomi

Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.

Selain menempuh pendidikan, penulis juga aktif di organisasi mahasiswa.

Penulis pernah aktif sebagai anggota divisi

Internal Development

,

Resources and

Environmental Economics Student Association

(REESA) IPB tahun 2011. Selain

itu, pernah aktif sebagai Ketua Umum REESA periode 2012-2013. Penulis

menerima Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM) 2011 hingga sekarang.


(5)

(6)