Kendala-Kendala Supervisi Pendidikan oleh Kepala Sekolah Dalam

g. Tipe Supervisi Pendidikan Kepala Sekolah dalam Penerapan Kurikulum

Tingkat Satuan Pendidikan KTSP Tipe supervisi pendidikan kepala sekolah berbeda satu sama lain. Tipe- tipe supervisi yang diterapkan tentu akan sangat berpengaruh terhadap guru yang mendapat supervisi, baik itu pengaruh berupa timbal balik yang positif atau malah sebaliknya. Berikut pendapat dari beberapa orang guru mengenai tipe supervisi pendidikan kepala SMA Negeri 6 Surakarta. Informan II mengatakan bahwa “Pak Makmur itu tipenya konstruktif, sifatnya itu membangun, selalu berpandangan ke depan, maju, dan ingin guru disini itu punya semangat untuk memajukan SMA 6”. Hasil wawancara tanggal 18 Mei 2009. Sedangkan menurut informan IV, berpendapat bahwa “Tipe supervisi nya bersifat konstruktif dan kreatif”. Hasil wawancara tanggal 20 Mei 2009. Informan III mencoba menambahi: “Bapak kepala sekolah memiliki tipe supervisi yang sifatnya konstruktif”. Hasil wawancara tanggal 18 Mei 2009. Dari ketiga pendapat diatas diperoleh jawaban yang serupa bahwa tipe supervisi pendidikan kepala SMA Negeri 6 Surakarta bersifat konstruktif, dimana supervisi ini ialah jenis tipe supervisi yang berorientasi ke masa depan, menolong guru-guru untuk selalu melihat ke depan, belajar dari pengalaman, melihat hal-hal yang baru, dan secara antusias mengusahakan perkembangan.

2. Kendala-Kendala Supervisi Pendidikan oleh Kepala Sekolah Dalam

Penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP di SMA Negeri 6 Surakarta Meskipun pelaksanaan supervisi pendidikan oleh kepala sekolah SMA Negeri 6 Surakarta dalam implementasi KTSP sudah dilaksanakan sebaik mungkin, namun dalam prakteknya ada saja kendala-kendala yang ditemui. Berbagai kendala yang dialami antara lain sebagai berikut: a. Kompleksitas tugas manajerial seorang kepala sekolah Seorang kepala sekolah tidak hanya melaksanakan fungsi-fungsi manajerial di bidang supervisi saja, namun masih banyak bidang yang perlu dilaksanakannya dengan baik. Oleh karena hal itulah, kepala sekolah tidak dapat menangani sendiri pelaksanaan supervisi pendidikan, khususnya supervisi pada aspek pembelajaran. Seperti yang telah dikemukakan sendiri oleh informan I: Jelas saya repot sekali jika harus melaksanakan supervisi secara langsung terhadap seluruh guru yang ada di SMA 6 ini. Bayangkan aja, total guru di SMA ini hampir 100 orang, jelas tidak mungkin jika saya melakukannya sendiri. Karena kerjaan kepala sekolah itu kan banyak, nggak hanya supervisi saja. Hasil wawancara tanggal 27 Mei 2009. Dari hasil wawancara diatas dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat tugas-tugas manajerial yang harus dilakukan oleh kepala SMA Negeri 6 Surakarta yang sangat banyak dan beragam. Oleh sebab itu seorang kepala sekolah tidak akan mampu menyelesaikan semuanya seorang diri tanpa bantuan atau campur tangan dari orang lain, termasuk dalam hal supervisi pendidikan. b. Kurangnya persiapan dari guru yang disupervisi Meskipun pelaksanaan supervisi pendidikan dilakukan dengan pemberitahuan terlebih dahulu kepada guru yang akan mendapat supervisi, masih saja para guru yang akan disupervisi belum mempersiapkan diri secara matang. Wawancara yang dilakukan dengan informan IV didapatkan informasi sebagai berikut: Biasanya kan supervisi itu sudah ada pemberitahuan terlebih dahulu kepada guru yang akan disupervisi, tapi ya masih ada beberapa yang kurang persiapan, mulai dari silabus, RPP, media pembelajaran, itu semua belum dipersiapkan secara matang. Biasanya itu yang kerap saya alami selama menjadi supervisor. Hasil wawancara tanggal 20 Mei 2009. Hal senada juga diungkapkan oleh informan V, ”Kadangkala yang menjadi kendala itu di persiapannya, yang terjadi lebih semacam kurang motivasi saja dari dalam diri guru. Tapi yang terjadi itu lebih ke masalah teknisnya saja sih sebenarnya”. Hasil wawancara tanggal 18 Mei 2009. Pendapat lain diungkapkan oleh informan VII, ”Apa itu supervisi, disini semua guru sudah baik, gak perlu ada supervisi-supervisi kayak gitu, semua sudah baik”. Hasil wawancara tanggal 17 Mei 2009. Dari keterangan yang diperoleh dari wawancara dengan informan IV, V, dan VII diatas, diperoleh kesimpulan bahwa dalam pelaksanaan supervisi pendidikan di SMA Negeri 6 Surakarta masih terdapat kendala yaitu kurangnya persiapan teknis pada saat pelaksanaan supervisi, hal tersebut lebih dikarenakan kurangnya motivasi dan rasa keengganan para guru yang akan mendapat supervisi. c. Unsur subjektifitas guru supervisor dirasa masih tinggi Karena adanya pendelegasian wewenang dalam pelaksanaan supervisi pendidikan, maka yang terjadi adalah kurangnya objektifitas dari guru yang ditunjuk sebagai supervisor terhadap para guru yang akan disupervisi. Berikut sepenggal wawancara dengan informan I: Karena saya tidak dapat melakukan supervisi sendirian, maka saya meminta bantuan dari guru-guru senior untuk menjadi supervisor sebagai pengganti saya. Untuk kendala, ada, unsur subjektifitas itu cenderung tinggi karena dilakukan oleh beberapa guru yang masing- masing guru kan tidak sama satu dengan yang lain. Hasil wawancara tanggal 27 Mei 2009. Sedangkan informan IV mengemukakan bahwa: Unsur subjektif mungkin saja terjadi, karena biasa ya mbak orang jawa, kadang ya ada ewuh pekewuh, tapi hal ini lebih terjadi ketika diminta untuk mensupervisi rekan yang lebih tua atau seangkatan. Tapi itu kembali pada diri masing-masing individu, karena yang tau benar dan bisa merasakan adalah guru supervisor itu sendiri. Hasil wawancara tanggal 24 Juni 2009. Dari pernyataan tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa kendala yang terjadi pada pelaksanaan supervisi pendidikan di SMA Negeri 6 Surakarta adalah masih tingginya unsur subjektifitas dari para supervisor. Karena kegiatan supervisi pendidikan tidak dilakukan sendiri secara langsung oleh kepala sekolah. Dimana supervisor tersebut merupakan guru-guru yang telah dianggap senior oleh kepala sekolah, sehingga kepala sekolah meminta mereka untuk menjadi supervisor pengganti dirinya. d. Sering terjadi pergantian kepala sekolah Pelaksanaan supervisi pendidikan di SMA Negeri 6 Surakarta dinilai belum sepenuhnya rutin dan kontinyu, sehingga dimungkinkan ada beberapa guru yang tidak mendapatkan supervisi selama satu semester. Kurang rutinnya supervisi dari kepala sekolah menjadi kendala tersendiri yang nantinya akan menghambat tercapainya tujuan supervisi pendidikan di SMA Negeri 6 Surakarta. Hal tersebut diperkuat oleh informasi dari informan V yang merupakan guru kelas dan guru yang pernah mendapat supervisi, mengatakan bahwa ”Satu tahun ini saya belum mendapat supervisi dari kepala sekolah atau guru senior. Beberapa ya memang sudah, tapi sebagian besar setahu saya belum”. Hasil wawancara tanggal 18 Mei 2009. Informan I memberi tanggapan sebagai berikut: Saya benar-benar tidak paham, kenapa sering sekali SMA 6 dilakukan pergantian kepala sekolah, kesannya seperti SMA 6 itu sebagai SMA uji coba atau apa saya kurang paham. Hal ini sangat jelas sekali mengganggu jalannya pengeloaan di SMA 6. Ibarat orang mau tidur, baru mau merem sudah dibangunin lagi. Itu kan jelas mengganggu. Hal itu sangat juga berdampak pada kegiatan supervisi pendidikan di SMA ini. Hasil wawancara tanggal 27 Mei 2009. Beberapa pernyataan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya kepala sekolah dalam melakukan supervisi dinilai belum sepenuhnya rutin, dikarenakan sering terjadinya pergantian kepala sekolah, dimana dalam kurun waktu lima tahun telah terjadi pergantian kepemimpinan kepala sekolah selama empat kali. Ditambah lagi dengan kurangnya koordinasi antara supervisor maupun guru yang akan disupervisi. Sehingga mengakibatkan jalannya pelaksanaan supervisi pendidikan di SMA Negeri 6 Surakarta oleh kepala sekolah menjadi tersendat- sendat dan menjadi kurang rutin.

3. Upaya-Upaya Kepala Sekolah dalam Mengatasi Kendala-Kendala