Pemodelan kurikulum berbasis Go Green School
yang dimiliki menjadi pemahaman. Maka sesuai dengan tujuan kurikulum berbasis GGS, yaitu: menumbuhkan pemahaman dan implementasi siswa terhadap issu
lingkungan sehingga dapat mengubah gaya hidup dan pola hidup terhadap faktor lingkungan dibutuhkan pola pembelajaran dari pengetahuan ke praktik, maka
kurikulum GGS mengemas dalam cara penyampaian bobot teori dan praktik. Pada penelitian ini menggunakan metode infusi, di mana muatan lingkungan
diselaraskan dengan KTSP dengan menganalisa standar kompetensi dan indikator masing-masing mata pelajaran. Metode infusi ini dipilih penulis, karena dari hasil
analisa kebutuhan stakeholders dan formulasi masalah ada kebutuhan yang kontradiktif dengan faktor konflik, yaitu: tuntutan kurikulum. Apabila mata pelajaran
ditambah maka beban siswa dan guru bertambah, serta yayasan harus menambah personil guru. Padahal kebutuhan orangtua siswa dengan sistem kurikulum berbasis
GGS tidak menambah beban siswa, kebutuhan guru tidak menambah beban guru, sedangkan yayasan kebutuhannya tidak menambah guru. Maka solusinya mengemas
muatan lingkungan terintegrasi di dalam mata pelajaran. Tabel 15 memperlihatkan gap antara Kurikulum Tarakanita KTSP dan GGS
dimana pada sekolah yang menggunakan kurikulum berbasis Go Green School disisipkan muatan lingkungan pada kompetensi dasar pada masing-masing mata
pelajaran. Tabel 15. Hasil analisis GAP substasi muatan lingkungan
MATA PELAJARAN Versi BSNP
TARAKANI TA
GO GREEN ∆ Go Green
- Tarakanita Teori Prak Teori Prak Teori Prak Teori Prak
Pendidikan Agama
12 2 12 2 16 12 4 10 Pendidikan
Kewarganegaraan 12 - 10 - 6 8 4 8
Bahasa Indonesia
- - - - 33 35
33 35
Matematika - - - - 8 12 8 12
IPA 46 20 46 20 38 38 8 18
IPS 48 - 48 - 24 24
24 24
Seni Budaya dan keterampilan
- 6 - 6 - 26 - 20 Pendidikan Jasmani dan
kesehatan - 8 - 8 - - - -
∑ Jam Pelajaran Muatan Lingkungan
118 36 116 36 125 155 9 119 JP dalam 1 semester
33,7 10,3 33,1 10.3 36,7 44,3 2
34
Total JP Teori + Praktek 154
152 280
128 Total JP Keseluruhan
350 350
350 350
JP dalam 1 semester 44
43,42 80
36,58 Sumber : Silabus BSNP, Tarakanita dan GGS
Menurut Wina 2010 belajar bukanlah sekadar mengumpulkan pengetahuan. Belajar adalah proses mental yang terjadi dalam diri seseorang, sehingga
menyebabkan munculnya perubahan perilaku. Aktivitas mental itu terjadi karena adanya interaksi individu dengan lingkungan yang disadari sebagai pengalaman
belajar. Pengalaman belajar membutuhkan metode pembelajaran yang tidak hanya di dalam kelas tetapi siswa diberi pengalaman belajar lewat praktik. Maka Tabel 15,
hasil analisis gap memperlihatkan perbedaan jumlah jam pelajaran terhadap faktor muatan lingkungan dari Kurikulum Tarakanita KTSP dan Kurikulum Berbasis GGS
untuk teori hanya 2 sedangkan untuk praktik mencapai 34. 5.5.2.
Komparasi Nilai teori dan praktik Empat Pilar Pendidikan menurut UNESCO United Nation for Educational,
Scientific, and Cultural Organization , yaitu: 1 Learning to know; 2 Learning to
do;3 Learning to be, dan; 4 Learning how to live together . Empat pilar pendidikan
ini memberikan penegasan bahwa proses belajar mengajar tidak hanya mementingkan hasilnya, tetapi justru yang lebih penting adalah prosesnya. Proses belajar mengajar
di dalam kelas bukan hanya diperlukan agar peserta didik dapat semata-mata memperoleh pengetahuan sebanyak-banyaknya, tetapi harus lebih banyak
memperoleh pengalaman, siswa diberikan kesempatan agar pada akhirnya dapat melakukan atau mengerjakan sendiri.
Komparasi nilai akhir terhadap nilai teori dan praktik f {lingkungan} pada sekolah yang menggunakan KTSP dan GGS ini akan memperlihatkan bahwa strategi
atau metode dalam pelaksanaan proses pembelajaran sangat menentukan keberhasilan kualitas pembelajaran. Komparasi nilai teori dan praktek disajikan berdasarkan
kelompok mata pelajaran sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 6 ayat 1.
1. Kelompok mata pelajaran MP Agama dan Akhlak Mulia
Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama.
Tabel 16a memperlihatkan komparasi nilai akhir, sedangkan Tabel 16b memaparkan komparsi nilai teori dan praktik siswa KTSP dan GGS terhadap faktor
muatan lingkungan.
Tabel 16a. Nilai Akhir kelompok mata pelajaran MP agama dan akhlak mulia
KETERANGAN PENDIDIKAN
AGAMA NILAI
AKHIR RAPOR KTSP
GGS TQ
1 TQ
GS TQ
3 TQ
CR ∑ SISWA
54 54
54 54
KKM 75
75 75
75 Rata
‐rata 82.61
82.70 82.89
83.30 ∑ Tuntas
54 54
54 54
∑Tdk Tuntas Tuntas
100.00 100.00
100.00 100.00
Tdk Tuntas 0.00
0.00 0.00
0.00 Sumber: Leger nilai sekolah sampel
Tabel 16a memperlihatkan nilai akhir atau nilai raport mata pelajaran Agama pada sekolah yang menggunakan KTSP maupun GGS tidak terlihat perbedaan yang
signifikan. Untuk kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia ketuntasan kurikulum tercapai, sehingga kekuatiran stakeholders dengan sistem kurikulum
berbasis GGS terhadap faktor ketidak tercapaian target kurikulum, tidak terbukti. Tabel 16b. Nilai kelompok MP Agama dan Akhlak Mulia {flingkungan}
KETERANGAN AGAMA
NILAI TEORI
NILAI PRAKTIK
KTSP GGS
KTSP GGS
TQ 1
TQ GS
TQ 3
TQ CR
TQ 1
TQ GS
TQ 3
TQ CR
∑ SISWA 54
54 54
54 54
54 54
54 KKM
75 75
75 75
75 75
75 75
Rata ‐rata
76 77
86 88
71 72
81 85
∑ Tuntas 35
36 52
51 31
27 51
51 ∑Tdk Tuntas
19 18
2 3
23 27
3 3
Tuntas 64.81
66.67 96.30
94.44 57.41
50.00 94.44
94.44 Tdk Tuntas
35.18 33.33
3.70 5.56
42.59 50.00
5.56 5.56
Sumber: Leger nilai sekolah sampel
Tabel 16b menunjukkan komparasi nilai teori dan praktik untuk mata pelajaran Agama terhadap faktor muatan lingkungan, terlihat ada perbedaan yang
signifikan. Siswa GGS persentase ketuntasan untuk kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia cenderung lebih tinggi daripada KTSP. Hal ini menunjukkan bahwa
khusus untuk faktor muatan lingkungan siswa GGS baik pemahaman maupun implementasi hasil belajar cenderung lebih tinggi, karena siswa GGS sudah terbiasa
dengan issu lingkungan.
2. Kelompok mata pelajaran Kewarganegaraan dan Kepribadian
Kelompok mata pelajaran Kewarganegaraan dan Kepribadian dimaksudkan untuk peningkatan kesadaran dan wawasan peserta didik akan status, hak, dan
kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia.
Kesadaran dan wawasan termasuk wawasan kebangsaan, jiwa dan patriotisme bela negara, penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, kemajemukan bangsa,
pelestarian lingkungan hidup, kesetaraan gender, demokrasi, tanggung jawab sosial, ketaatan pada hukum, ketaatan membayar pajak, dan sikap serta perilaku anti korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Tabel 17a memperlihatkan komparasi nilai akhir PKn, sedangkan Tabel 17b
menunjukkan komparasi nilai teori dan praktik untuk substansi muatan lingkungan. Tabel 17a. Nilai Akhir PKn
KETERANGAN PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN NILAI
AKHIR RAPOR KTSP
GGS TQ
1 TQ
GS TQ
3 TQ
CR ∑ SISWA
54 54
54 54
KKM 70
70 70
70 Rata
‐rata 76.02 76.12 75.74 75.72
∑ Tuntas 49
48 49
50 ∑Tdk Tuntas
5 6
5 4
Tuntas 90.74
88.89 90.74
92.59 Tdk Tuntas
9.26 11.11
9.26 7.41
Sumber: Leger nilai sekolah sampel
Dari Tabel 17a memperlihatkan nilai akhir atau nilai raport mata pelajaran PKn pada sekolah yang menggunakan KTSP maupun GGS tidak terlihat perbedaan
yang signifikan. Untuk kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian ketuntasan kurikulum tercapai, sehingga kekuatiran stakeholders dengan sistem
kurikulum berbasis GGS terhadap faktor ketidak tercapaian target kurikulum, tidak terbukti.
Tabel 17b. Nilai PKn {flingkungan}
KETERANGAN Pendidikan
Kewarganegaraan NILAI
TEORI NILAI
PRAKTIK KTSP
GGS KTSP
GGS TQ
1 TQ GS TQ 3 TQ CR TQ
1 TQ GS TQ
3 TQ CR ∑ SISWA
54 54
54 54
54 54
54 54
KKM 70
70 70
70 70
70 70
70 Rata
‐rata 64.42
66.70 81.58 77.18 68.24 68.72 81.16 78.80 ∑ Tuntas
25 27
39 38
20 32
48 49
∑Tdk Tuntas 29
27 15
16 34
22 6
5 Tuntas
46.30 50.00 72.21 70.37 37.04 59.26 88.89 90.74
Tdk Tuntas 53.70 50.00 27.78 29.63 62.96 40.74 11.11 9.26
Sumber: Leger nilai sekolah sampel
Tabel 17b menunjukkan komparasi nilai teori dan praktik untuk mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan terhadap faktor muatan lingkungan, terlihat
ada perbedaan yang signifikan. Siswa GGS persentase ketuntasan untuk kelompok mata pelajaran Kewarganegaraan dan Kepribadian cenderung lebih tinggi daripada
KTSP. 3.
Kelompok Mata Pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dimaksudkan untuk
mengenal, menyikapi, dan mengapresiasi ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menanamkan kebiasaan berpikir dan berperilaku ilmiah yang kritis, kreatif dan
mandiri. Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi terdiri atas mata
pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, IPA dan IPS. Komparasi nilai yang digunakan adalah mata pelajaran IPA, seperti terlihat pada Tabel 18a berikut ini:
Tabel 18a. Nilai akhir IPA
KETERANGAN ILMU
PENGETAHUAN ALAM NILAI
AKHIR RAPOR KTSP
GGS TQ
1 TQ
GS TQ
3 TQ
CR ∑ SISWA
54 54
54 54
KKM 70
70 70
70 Rata
‐rata 79.03 79.70 78.74 79.55
∑ Tuntas 48
50 49
48 ∑Tdk Tuntas
6 4
5 6
Tuntas 88.89
92.59 90.74
88.89 Tdk Tuntas
11.11 7.41
9.26 11.11
Sumber: Leger nilai sekolah sampel
Dari Tabel 18a memperlihatkan nilai akhir atau nilai raport mata pelajaran IPA pada sekolah yang menggunakan KTSP maupun GGS tidak terlihat perbedaan
yang signifikan. Untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi ketuntasan kurikulum tercapai, sehingga kekuatiran stakeholders dengan sistem
kurikulum berbasis GGS terhadap faktor ketidak tercapaian target kurikulum, tidak terbukti.
Tabel 18b. Nilai IPA {flingkungan}
KETERANGAN ILMU
PENGETAHUAN ALAM IPA NILAI
TEORI NILAI
PRAKTIK KTSP
GGS KTSP
GGS TQ
1 TQ GS TQ
3 TQ CR TQ 1 TQ
GS TQ
3 TQ
CR ∑ SISWA
54 54
54 54
54 54
54 54
KKM 70
70 70
70 70
70 70
70 Rata
‐rata 64.42 74.59 85.04 83.13 72.99 75.57 84.63 82.47
∑ Tuntas 28
29 44
45 22
31 52
44 ∑Tdk Tuntas
26 25
10 9
32 23
2 10
Tuntas 51.85
53.70 81.48 83.33 40.74 57.41 96.30 81.48 Tdk Tuntas
48.15 46.30 18.52 16.67 59.26 42.59
3.70 18.52
Sumber: Leger nilai sekolah sampel
Tabel 18b menunjukkan komparasi nilai teori dan praktik untuk mata pelajaran IPA terhadap faktor muatan lingkungan, terlihat ada perbedaan yang
signifikan. Siswa GGS persentase ketuntasan untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi cenderung lebih tinggi daripada KTSP. Hal ini
menunjukkan bahwa khusus untuk faktor muatan lingkungan siswa GGS baik pemahaman maupun implementasi hasil belajar cenderung lebih tinggi, karena siswa
GGS sudah terbiasa dengan issu lingkungan. 4.
Kelompok mata pelajaran Estetika Kelompok mata pelajaran estetika dimaksudkan untuk meningkatkan
sensitivitas, kemampuan mengekspresikan dan kemampuan mengapresiasi keindahan dan harmoni. Kemampuan mengapresiasi dan mengekspresikan keindahan serta
harmoni mencakup apresiasi dan ekspresi, baik dalam kehidupan individual sehingga mampu menikmati dan mensyukuri hidup, maupun dalam kehidupan kemasyarakatan
sehingga mampu menciptakan kebersamaan yang harmonis. Komparasi nilai kelompok mata pelajaran Estetika dapat dilihat pada Tabel 19a berikut ini:
Tabel 19a. Nilai Akhir Seni Budaya dan Keterampilan
KETERANGAN
SENI BUDAYA KETERAMPILAN
NILAI AKHIR RAPOR
KTSP GGS
TQ 1
TQ GS
TQ 3
TQ CR
∑ SISWA 54
54 54
54 KKM
75 75
75 75
Rata ‐rata
81.15 80.65 80.47 80.54 ∑ Tuntas
54 54
54 54
∑Tdk Tuntas Tuntas
100.00 100.00
100.00 100.00
Tdk Tuntas 0.00
0.00 0.00
0.00
Sumber: Leger nilai sekolah sampel
Dari Tabel 19a memperlihatkan nilai akhir atau nilai raport mata pelajaran Seni Budaya dan kesenian pada sekolah yang menggunakan KTSP maupun GGS
tidak terlihat perbedaan yang signifikan. Untuk kelompok mata pelajaran Estetika ketuntasan kurikulum tercapai, sehingga kekuatiran stakeholders dengan sistem
kurikulum berbasis GGS terhadap tidak mencapai target kurikulum, tidak terbukti. Tabel 19b. Nilai Seni Budaya dan Keterampilan {flingkungan}
KETERANGAN
SENI BUDAYA KETERAMPILAN
NILAI PRAKTIK
KTSP GGS
TQ 1
TQ GS
TQ 3
TQ CR
∑ SISWA 54
54 54
54 KKM
75 75
75 75
Rata ‐rata
81 80
82 80
∑ Tuntas 54
54 54
54 ∑Tdk Tuntas
Tuntas 100.00
100.00 100.00 100.00 Tdk Tuntas
0.00 0.00
0.00 0.00
Sumber: Leger nilai sekolah sampel
Tabel 19b menunjukkan komparasi nilai teori dan praktik untuk mata pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan terhadap faktor muatan lingkungan, terlihat
tidak ada perbedaan yang signifikan. Hal ini dikarenakan penyampaian materi dan substansi telah menggunakan praktik.
5. Kelompok mata pelajaran Jasmani, Olahraga dan Kesehatan
Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan dimaksudkan untuk meningkatkan potensi fisik serta menanamkan sportivitas dan kesadaran hidup
sehat. Budaya hidup sehat termasuk kesadaran, sikap, dan perilaku hidup sehat yang
bersifat individual ataupun yang bersifat kolektif kemasyarakatan seperti keterbebasan dari perilaku seksual bebas, kecanduan narkoba, HIVAIDS, demam berdarah,
muntaber, dan penyakit lain yang potensial untuk mewabah. Komparasi nilai kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan
dapat dilihat pada Tabel 20a berikut ini: Tabel 20a. Nilai akhir Pendidikan Jamani dan kesehatan
KETERANGAN
PENDIDIKAN JASMANI KESEHATAN
NILAI AKHIR RAPOR
KTSP GGS
TQ 1
TQ GS
TQ 3
TQ CR
∑ SISWA 54
54 54
54 KKM
75 75
75 75
Rata ‐rata
78.29 78.57 78.66 78.47 ∑ Tuntas
54 54
54 54
∑Tdk Tuntas Tuntas
100.00 100.00
100.00 100.00
Tdk Tuntas 0.00
0.00 0.00
0.00
Sumber: Leger nilai sekolah sampel
Dari Tabel 20a memperlihatkan nilai akhir atau nilai raport mata pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan pada sekolah yang menggunakan KTSP maupun
GGS tidak terlihat perbedaan yang signifikan. Untuk kelompok mata pelajaran Jasmani, Olahraga dan Kesehatan ketuntasan kurikulum tercapai, sehingga
kekuatiran stakeholders dengan sistem kurikulum berbasis GGS terhadaptidak mencapai target kurikulum, tidak terbukti.
Tabel 20b. Nilai Pendidikan Jamani dan kesehatan {flingkungan}
KETERANGAN
PENDIDIKAN JASMANI KESEHATAN
NILAI PRAKTIK
KTSP GGS
TQ 1
TQ GS
TQ 3
TQ CR
∑ SISWA 54
54 54
54 KKM
75 75
75 75
Rata ‐rata
79.66 79.17
91.82 93.34
∑ Tuntas 54
54 54
54 ∑Tdk Tuntas
Tuntas 100.00
100.00 100.00 100.00 Tdk Tuntas
0.00 0.00
0.00 0.00
Sumber: Leger nilai sekolah sampel
Tabel 20b menunjukkan komparasi nilai teori dan praktik untuk mata pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan terhadap faktor muatan lingkungan,
terlihat tidak ada perbedaan yang signifikan. Hal ini dikarenakan penyampaian materi dan substansi telah menggunakan praktik dan pada mata pelajaran ini tidak ada
penambahan materi muatan lingkungan. Jadi baik KTSP maupun GGS baik substansi maupun penyampaian materi tidak ada perbedaan.
Dari hasil komparasi nilai teori dan praktik pada kelima kelompok mata pelajaran terlihat dari Tabel 16a, 17a, 18a, 19a dan 20a terbukti bahwa kekuatiran
stakeholders dengan penambahan bobot teori dan praktik untuk muatan lingkungan
tidak menyebabkan efek negatif terhadap ketuntasan kurikulum. Sedangkan Tabel 16b, 17b, dan 18b terlihat bahwa kecenderungan nilai baik teori maupun praktik siswa
pada sekolah yang menggunakan kurikulum berbasis GGS cenderung lebih tinggi dibanding KTSP, karena siswa GGS terbiasa pola pembelajaran praktik. Pada Tabel
19 dan 20 terlihat tidak ada perbedaan yang signifikan antara siswa yang menggunakan KTSP dan GGS. Hal ini dikarenakan pada kelompok mata pelajaran
estetika dan jasmani, olahraga dan kesehatan siswa metode diberikan dalam bentuk praktik. Khusus untuk kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan
muatan lingkungan pada KTSP dan GGS tidak ada penyisipan kurikulum. Berdasarkan hasil komparasi nilai teori dan praktik terlihat bahwa untuk
mengubah gaya hidup dan pola hidup terhadap faktor lingkungan dibutuhkan metode penyampaian materi muatan lingkungan yang tidak hanya sebatas pemahaman tetapi
juga implementasi. Untuk sampai pada implementasi membutuhkan praktik atau latihan, seperti yang diungkapan oleh Dauer dan Pangrazi 1990. Latihan adalah
kunci keberhasilan belajar dan merupakan cara yang penting untuk meningkatkan pengetahuan yang dimiliki menjadi pemahaman. Bila latihan sering dilakukan akan
menjadi suatu kebiasaan yang dapat menjadi permanen, sesuai dengan teori yang diungkapan oleh Nasution 1989.
5.5.3. Pemahaman dan kreativitas
Pendidikan mempunyai makna yang amat penting bagi kehidupan manusia dan mempunyai pengaruh yang amat besar bagi kehidupan. Pendidikan juga
membantu peserta didik mengembangkan bakat fisik, moral, intelektualnya secara harmonis, akan membentuk pemahaman dan kreativitas siswa lewat pengalaman
belajar learning experiences. Menurut Tyler 1990 pengalaman belajar adalah segala aktivitas siswa dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Pada kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi akan komparasi yang ditampilkan adalah mata pelajara IPS. Pada mata pelajaran IPS
dimana dalam salah satu indikator pencapaian yaitu: siswa mampu memperkenalkan seni budayanya masing-masing, misalnya: rumah adat, pakaian daerah, tradisi. Siswa
diminta membuat rumah adat dengan bahan kertas. Hasilnya sebagai berikut:
Gambar 14. Hasil karya mata pelajaran IPS Gambar 14 memperlihatkan bahwa kedua hasil karya sama-sama bagus, tetapi
siswa yang menggunakan KTSP menggunakan kertas yang baru, sedangkan siswa GGS menggunakan kertas dari karton bekas. Hal ini menunjukkan bahwa siswa yang
diberi wawasan mengenai issu lingkungan akan cenderung menghargai dan memanfaatkan bahan yang masih bisa digunakan.
Pada kelompok mata pelajaran estetika Seni Budaya dan Keterampilan, siswa diminta membuat daur ulang kertas dari bubur kertas dan botol bekas,
dihasilkan hasil sebagai berikut:
Gambar 15. Hasil karya daur ulang kertas KTSP
Gambar 16. Hasil karya daur ulang kertas GGS
Pengalaman belajar menunjuk pada aktivitas siswa di dalam proses pembelajaran, dalam hal ini dapat dilihat pemahaman akan membentuk kreativitas
siswa dalam mengekspresikan hasil belajar seperti terlihat pada hasil belajar siswa. Gambar 15 dan 16 memperlihatkan siswa yang menggunakan kurikulum GGS
cenderung lebih kreatif di dalam mengekpresikan pemahaman karena sudah terbiasa, sedangkan siswa yang menggunakan KTSP cenderung hasilnya kurang karena para
siswa belum terbiasa praktik. Berdasarkan hasil komparasi pemahaman dan kreativitas siswa terbukti bahwa
dengan pola pembelajaran pengalaman experiential learning untuk pembelajaran muatan lingkungan dapat merangsang siswa dalam mengekspresikan hasil belajar
yang berwawasan lingkungan. Perubahan tingkah laku terjadi karena adanya individu yang belajar. Perubahan tingkah laku akan bertambah bila dilakukan banyak latihan,
ulangan dan pembiasaan, seperti yang diungkapkan Kolb yang dikutip Holzer dan Andruet 1999.
5.5.4. Implementasi Hasil Belajar
Proses pendidikan membentuk manusia secara individual. Pendidikan menjadikan manusia dan masyarakat mampu menghasilkan apa yang dapat mereka
inginkan. Demikian Bill Richardson menjelaskan peran pendidikan dalam melahirkan kemampuan tertentu dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari implementasi hasil
belajar sekolah yang menggunakan kurikulum GGS mempunyai hasil karya siswa yaitu:
Gambar 17. Implementasi hasil belajar siswa GGS Gurih Gurih Gizi G3 menjadi salah satu hasil dari proses belajar anak
Tarakanita cinta lingkungan ANTARCIL. Ramuan ini aslinya dikembangkan oleh para ahli di gizi dari Filipina. Ramuan ini sangat mudah dibuat di rumah maupun di
sekolah. Bahan-bahan dasar adalah sayur-sayuran yang ditanam dan dipanen
ANTARCIL dari laboratorium lingkungan hidup di sekolah. Sekolah melihat bahwa program ini baik kalau dibagikan pada ibu-ibu PKK setempat. Maka sekolah
menjalin kerjasama dengan RT dan RW setempat untuk memberi pelatihan membuat ramuan G3 kepada ibu-ibu PKK.
Produk ANTARCIL yang kedua adalah pupuk organik. Pupuk organik dihasilkan dari pemisahan sampah organik dan anorganik serta sampah kertas.
Sampah kertas digunakan sebagai bahan baku pembuatan daur ulang kertas, sampah an organik diangkut ke Tempat Pembuangan Sampah TPS, sampah organik didaur
ulang menjadi pupuk organik dan hasilnya digunakan kembali untuk memupuk tanaman di lingkungan sekolah.
Tiga pilar dalam Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan berupa Ekologi, Sosial dan Ekonomi. Implementasi hasil belajar mengajak siswa
untuk mengelola ekonomi, lewat hasil belajar berupa G3 dan pupuk organik ANTARCIL belajar untuk mempunyai jiwa kewirausahaan. Dengan memanfaatkan
hasil kebun di laboratorium lingkungan hidup para siswa membuat ramuan G3 yang dikemas dan dijual per paket Rp. 30.000;.
Hasil implementasi siswa ini didukung oleh pandangan Piaget tentang bagaimana sebenarnya pengetahuan itu terbentuk dalam struktur kognitif anak. Maka
untuk mengembangkan pengetahuan tersebut dibutuhkan model pembelajaran yang kontekstual.
5.5.5. Analisis gap Sarana Prasarana
Permendiknas No. 24 tahun 2007 menyatakan bahwa: Pelaksanaan pembelajaran dalam pendidikan nasional berpusat pada peserta didik agar dapat: 1
belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 2 belajar untuk memahami dan menghayati; 3 belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat
secara efektif, 4 belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain, dan 5 belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif,
kreatif, efektif, dan menyenangkan. Untuk menjamin terwujudnya hal tersebut diperlukan adanya sarana dan prasarana yang memadai sesuai dengan ketentuan
minimum yang ditetapkan dalam standar sarana dan prasarana. Analisis gap terhadap sarana prasarana pada sekolah yang menggunakan
KTSP dan GGS dapat dilihat pada Tabel 21 berikut ini:
Tabel 21. Analisis gap sarana prasarana
No. KETERANGAN
KTSP GGS
1. Ruang kelas
√ √
2. Ruang perpustakaan
√ √
3. Laboratorium IPA
√ √
4. Ruang pimpinan
√ √
5. Ruang Guru
√ √
6. Ruang beribadah
√ √
7. Ruang UKS
√ √
8. Jamban Toilet
√ √
9. Gudang √
√ 10. Ruang
sirkulasi √
√ 11.
Tempat bermain berolahraga √
√ 12.
Laboratorium Lingkungan Hidup -
√ 13.
Ruang keterampilan dan perlengkapan daur ulang -
√ 14. Mesin
penghancur sampah
- √
Sumber: Permendiknas No.24 th 2007, dan KTSP SD Tarakanita 3
Pembelajaran muatan lingkungan diharapkan tidak hanya sebatas pemahaman tetapi sampai pada implementasi. Berdasarkan formulasi masalah implementasi
membutuhkan siswa aktif, artinya membutuhkan metode mengajar yang didukung sarana dan prasarana yang memadai. Tabel 21 memperlihatkan sekolah GGS
membutuhkan sarana prasarana yang lebih dibandingkan KTSP untuk membantu para siswa dalam proses implementasi pembelajaran lingkungan, seperti terlihat pada
Gambar 18.
Gambar 18. Sarana prasarana GGS 5.5.6.
Model Ideal Kurikulum Berbasis GGS Model ideal dibangun berdasarkan delapan Standar Nasional pendidikan
seperti terlihat pada Gambar 19 memperlihatkan model KTSP, sedangkan Gambar 20 model ideal kurikulum berbasis GGS
Gambar 20. Model Ideal Kurikulum Go Green School
Standar isi 1
Kompetensi lulusan
3
Pengelolaan 6
Penilaian pendidikan 8
Proses 2
Pendidik dan Tenaga
kependidikan 4
Sarana prasarana 5
Standar Isi 1
Kompetensi Lulusan 3
Pengelolaan 6
Penilaian Pendidikan
Proses 2
Pendidik Tenaga
Kependidikan 6
Sarana Prasarana 5
Pembiayaan 7
KTSP
Gambar 19. Model KTSP
Model ideal kurikulum berbasis Go Green dimulai dengan melakukan identifikasi kurikulum, yaitu standar isi dan standar kompetensi lulusan, kemudian
dilakukan pengecekan untuk melihat apakah KTSP sudah sesuai dengan permendiknas No. 22 tahun 2006. Jika telah sesuai maka diajukan ke dinas
pendidikan untuk disyahkan, yakni Standar pengelolaan dan penilaian pendidikan. Jika belum sesuai dilakukan revisi KTSP. Setelah KTSP disyahkan dilakukan
implementasi yang standar proses. Dari hasil implementasi dapat kita cek apakah implementasi kurikulum dapat mengubah gaya hidup terhadap faktor lingkungan.
Jika ya selesai artinya cukup dengan KTSP tidak perlu kurikulum berbasis GGS. Tarakanita melihat implementasi kurikulum KTSP belum mampu mengubah
gaya hidup terhadap faktor lingkungan maka dilakukan identifikasi substansi dan cara penyampaian muatan lingkungan bobot teori dan praktek. Berikutnya dicek
kesiapan guru, ini termasuk standar pendidik dan tenaga pendidikan. Dari Tabel 6, hasil survey guru menunjukkan 93,3 siap, sedangkan 6,67 yang belum siap diberi
pelatihan kurikulum berbasis GGS. Jika guru siap, dicek sarana prasarana apakah sudah memadai, ini merupakan standar sarana prasarana. Jika belum memadai
dilakukan investasi untuk kelengkapan sarana prasarana, masuk ke standar pembiayaan. Tabel 21 menunjukkan bahwa sarana prasarana telah memadai, maka
selanjutnya dicek apakah kurikulum siap diuji coba. Jika tidak, dilakukan revisi dan identifikasi substansi dan cara penyapaian muatan lingkungan. Tarakanita siap
melakukan uji coba, maka uji coba dilakukan pada sekolah model yaitu SD Tarakanita 3 dan SD Tarakanita Citra Raya. Dari hasil uji coba dicek apakah hasil uji
coba memuaskan, jika tidak masuk kembali pada identifikasi substansi dan cara penyapaian muatan lingkungan. Dari Tabel 16, 17, 18, 19, dan 20 berupa hasil
komparasi nilai teori dan praktek serta dari Gambar 14, 15, dan 16 berupa gambar hasil unjuk kerja siswa terlihat bahwa sekolah model GGS pemahaman dan
kreativitas mengenai faktor lingkungan lebih baik dibandingkan sekolah KTSP, hal ini menunjukkan bahwa hasil uji coba memuaskan, maka siap untuk diajukan
pengesahan ke dinas pendidikan.