Desain Model Kurikulum Berbasis Go Green School

(1)

MARIA NUR TRISNA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Desain Model Kurikulum berbasis Go Green School di Tarakanita adalah hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2012

Maria Nur Trisna NRP. P052100031


(3)

MARIA NUR TRISNA. Curriculum Design Model-Based on Go Green School in Tarakanita. Under direction of Hartrisari Hardjomidjojo and Gregorius Bambang Nugroho.

Population is increasing, on the other hand the availability of natural resources remains the same, hence, it is necessary to use advanced technology to increase productivity and to use natural resources properly for the prosperity of human beings. But this could also give negative impacts to the environment. Egoism and moral crisis are considered as factors which cause the environment destruction. This situation needs to be overcome through strategic way to young generation on character building which is integrated in the curriculum. The Go Green School Model (GGS) curriculum design of Tarakanita is based on the Education Unit Level Curriculum (EULC). System approach is used for designing the ideal mode is based on the 8 criteria of National Education Standards as stipulated in the Government Bylaws No. 19 in 2005. The performance of the model is then compared to currently-used curriculum and validated to the pre-determined sample of fourth-grade elementary students for one semester. The result shows that the understanding and creativity ( factors of environmental content) of the students treated using the curriculum of GGS tend to be higher than that of the students treated using the Education Unit Level Curriculum . To shift from the Education Unit Level Curriculum Curriculum to the GGS curriculum needs a linking step that is the Teaching Unit Curriculum Plus (EULC +).


(4)

Tarakanita. Dibimbing oleh Hartrisari Hardjomidjojo dan Gregorius Bambang Nugroho.

Jumlah manusia bertambah tetapi sumber daya alam (SDA) tetap, maka dibutuhkan teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan penggunaan SDA untuk kesejahteraan manusia. Peningkatan produktivitas dan penggunaan SDA juga berdampak negatif terhadap lingkungan. Faktor yang menyebabkan kerusakan lingkungan adalah akibat dari egoisme dan krisis moral, perlu diatasi lewat pendidikan karakter yang dimasukkan dalam kurikulum. Pendidikan merupakan bidang yang strategis dalam membina generasi muda. Maka Yayasan Tarakanita yang bergerak di bidang pendidikan memutuskan untuk menyusun modifikasi kurikulum yang berwawasan lingkungan dalam rangka pengembangan karakter untuk menumbuhkan pemahaman dan implementasi siswa terhadap lingkungan.

Metode penelitian menggunakan Pendekatan Sistem. Penelitian ini dimulai dengan melakukan identifikasi kebutuhan dari masing-masing pelaku sistem (stakeholders), selanjutnya formulasi masalah untuk melihat kebutuhan yang sinergis maupun yang kontradiktif dalam rangka menghindari konflik antar pelaku, sehingga sistem dapat berjalan dengan baik, langkah berikutnya dilakukan identifikasi sistem. Pada tahap ini diharapkan mekanisme yang terjadi pada sistem dapat dipahami sehingga hubungan antara ”pernyataan kebutuhan” dan ”pernyataan masalah” dapat disusun dalam diagram input-output.

Model Kurikulum Berbasis Go Green disusun berdasarkan 8 kriteria Standar Nasional Pendidikan menurut Peratutan Pemerintah Republik Indonesia No 19 tahun 2005. Teknik yang digunakan dalam penyusunan model adalah gap analisis terhadap substansi mata pelajaran dan cara pemberian materi di kelas. Kinerja model akan dibandingkan dengan kurikulum yang berlaku saat ini. Model akan divalidasi pada sampel yang telah ditetapkan selama 1 semester. Model adalah abstraksi dunia nyata atau sistem dalam bentuk naratif, matematis, grafis, serta lambang-lambang lainnya. Dalam penelitian ini akan dihasilkan model dalam bentuk matrik yang dapat digunakan bagi sekolah-sekolah yang akan membuat kurikulum berbasis Go Green.


(5)

masing-masing mata pelajaran. Hasil analisis gap memperlihatkan perbedaan jumlah jam pelajaran terhadap faktor muatan lingkungan dari Kurikulum Tarakanita (KTSP) dan Kurikulum Berbasis GGS untuk teori hanya 2% sedangkan untuk praktik mencapai 34%.

Berdasarkan hasil komparasi nilai teori dan praktik terlihat bahwa untuk mengubah gaya hidup dan pola hidup terhadap faktor lingkungan dibutuhkan metode penyampaian materi muatan lingkungan yang tidak hanya sebatas pemahaman tetapi juga implementasi. Untuk sampai pada implementasi membutuhkan praktik atau latihan. Latihan adalah kunci keberhasilan belajar dan merupakan cara yang penting untuk meningkatkan pengetahuan yang dimiliki menjadi pemahaman. Bila latihan sering dilakukan akan menjadi suatu kebiasaan yang dapat menjadi permanen, sesuai dengan teori.

Hasil komparasi pemahaman dan kreativitas siswa terbukti bahwa dengan pola pembelajaran pengalaman (experiential learning) untuk pembelajaran muatan lingkungan dapat merangsang siswa dalam mengekspresikan hasil belajar yang berwawasan lingkungan. Perubahan tingkah laku terjadi karena adanya individu yang belajar. Perubahan tingkah laku akan bertambah bila dilakukan banyak latihan, ulangan dan pembiasaan.

Pembelajaran muatan lingkungan diharapkan tidak hanya sebatas pemahaman tetapi sampai pada implementasi. Berdasarkan formulasi masalah implementasi membutuhkan siswa aktif, artinya membutuhkan metode mengajar yang didukung sarana dan prasarana yang memadai.

Model ideal kurikulum berbasis Go Green dibangun berdasarkan hasil identifikasi dan analisis terhadap 8 Standar Nasional Pendidikan. Dari hasil validasi teori untuk menguji pemahaman maupun hasil validasi praktik untuk menguji kreativitas terlihat bahwa siswa yang menggunakan kurikulum GGS cenderung nilai validasi teori lebih tinggi daripada siswa yang menggunakan KTSP hal ini dibuktikan dengan ketuntasan siswa (teori), demikian juga dengan kreativitas (praktik). Artinya sekolah yang menggunakan kurikulum berbasis GGS pemahaman dan kreativitas siswa untuk faktor muatan lingkungan cenderung lebih baik daripada sekolah yang menggunakan KTSP, karena siswa GGS sudah terbiasa praktik. Latihan adalah kunci


(6)

Berdasarkan hasil identifikasi masalah perlu adanya tahapan antara (KTSP+) dari KTSP menuju kurikulum GGS. dari KTSP menuju KTSP+ ditambah praktek sebanyak 40 jam pelajaran, mengadakan sarana prasarana yang dibutuhkan dan melakukan pelatihan untuk guru. Sedangkan dari KTSP+ menuju kurikulum berbasis GGS ditambah dengan 9 jam teori dan 39 jam praktek serta melengkapi sarana prasarana yang dibutuhkan bagi pembelajaran berbasis GGS. Harapannya dalam tiga tahun dari KTSP dapat menjadi kurikulum berbasis GGS.

Kurikulum berbasis GGS bukan kurikulum yang terbaik dibandingkan KTSP, tetapi kurikulum berbasis GGS sebagai salah satu alternatif kurikulum jika mau menanamkan kesadaran lingkungan menjadi sikap hidup peserta didik. Karena baik KTSP maupun kurikulum berbasis GGS mempunyai kelebihan dan kelemahan.


(7)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor , Tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

MARIA NUR TRISNA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012


(9)

(10)

(11)

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNya sehingga penulisan tesis yang berjudul: Desain Model Kurikulum Berbasis Go Green School di Tarakanita dapat selesai disusun. Tesis ini dibuat sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Hartrisari H., DEA sebagai ketua komisi pembimbing dan Br. Dr. Gregorius Bambang N, FIC sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Yayasan Tarakanita, SD Tarakanita 1, SD Tarakanita 3, SD Tarakanita Gading Serpong dan SD Tarakanita Citra Raya, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Kongregasi Suster-suster Cinta Kasih Santo Carolus Borromeus, Orangtua serta kakak dan adik yang telah mendukung lewat doa dan perhatiannya.

Semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Bogor, Maret 2012


(12)

Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 30 Oktober 1970 sebagai anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan Marcelinus Wiguna dan Marcelina Nuryati.

Pendidikan formal dimulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) Xaverius Palembang. Lulus SD Tahun 1983, lulus SMP tahun 1986, lulus SMA tahun 1989 dan selanjutnya penulis diterima di Fakultas MIPA jurusan KIMIA Universitas Sriwijaya Palembang. Penulis menyelesaikan studi S1 pada tahun 1994.

Pada tahun 1994 penulis masuk biara Suster-suster Cinta kasih Santo Carolus Borromeus dan menjalankan pendidikan sampai dengan tahun 1997. Sejak tahun 1997 mendapatkan tugas di Yayasan Tarakanita, pada tahun 1997 – 2001 bertugas di SMA Tarakanita Pluit Jakarta, tahun 2001-2004 bertugas di SMA Stella Duce Yogyakarta, tahun 2004-2008 bertugas di SMA Santo Yosef Lahat dan pada tahun 2008-2010 bertugas di SMA Tarakanita 2 Pluit Jakarta.

Pada tahun 2010 penulis mendapatkan beasiswa dari Yayasan Tarakanita untuk melanjutkan studi di Program Magister (S2) Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan di Institut Pertanian Bogor.


(13)

DAFTAR TABEL ……… DAFTAR GAMBAR ………... DAFTAR LAMPIRAN ………

I. PENDAHULUAN ……….

1.1.`Latar belakang ……… 1.2. Perumusan Masalah ………... 1.3. Tujuan penelitian ……… 1.4. Manfaat Penelitian ……….. 1.5. Kerangka pemikiran ……… II. TIJAUAN PUSTAKA ………..

2.1. Hakekat Pendidikan ………. 2.2.Hakekat Kurikulum ……….. 2.3. Kurikulum berbasis Go green School ……….. 2.4. Kebaruan Penelitian ………. III. METODOLOGI PENELITIAN ……….

3.1. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian ……….. 3.2. Metode Penelitian ………. 3.3. Rancangan Penelitian ……… IV. PROFIL YAYASAN TARAKANITA ……….

4.1. Gambaran Umum Yayasan Tarakanita ……… 4.2. Implementasi Kurikulum berbasis Go Green School di

Tarakanita ……… V. HASIL DAN PEMBAHASAN ………..

5.1. Identifikasi Stakeholders ……… 5.2. Analisa Kebutuhan Stakeholders ………. 5.3. Formulasi Masalah ……….. 5.4. Identifikasi Sistem ………..

xi xii xiv 1 1 2 2 2 2 4 4 11 17 28 31 31 34 38 50 50

58 62 62 62 63 64


(14)

5.6. Validasi ………. 5.7. Rekomendasi ……… 5.8. Kelebihan dan kelemahan KTSP dan Kurikulum berbasis Go Green School ……… VI. SIMPULAN DAN SARAN ………... 6.1. Simpulan ………... 6.2. Saran ………. DAFTAR PUSTAKA ……… LAMPIRAN ………..

81 84

85 87 87 88 89 92


(15)

1. Materi muatan lingkungan yang disisipkan pada KTSP …... 2. Kelebihan dan kelemahan metode infusi ………. 3. Kelebihan dan kelemahan metode block ………... 4. Kriteria Sekolah sampel ………. 5. Kuesioner Guru ……….... 6. Hasil Survey guru sekolah model ……… 7. Daftar pertanyaan analisis kebutuhan stakeholders ………… 8. Dasar Pengembangan Model kurikulum berbasis Go Green … 9. GAP Analisis terhadap substansi muatan lingkungan ……… 10.Indikator penilaian ……….. 11.Alat Uji Validasi teori ……… 12.Program Sekolah tentang Lingkungan Hidup di sekolah

model ………. 13.Analisis kebutuhan Sistem ……….. 14.Formulasi masalah Kurikulum Berbasis GGS di Tarakanita .. 15.Hasil analisis GAP substasi muatan lingkungan ………. 16a.Nilai Akhir kelompok mata pelajaran (MP) agama dan

akhlak mulia ... 16b. Nilai kelompok (MP) agama dan akhlak mulia

{f(lingkungan)} ... 17a. Nilai Akhir PKn ... 17b. Nilai PKn {f(lingkungan)} ... 18a. Nilai akhir IPA ... 18b.Nilai IPA {f(lingkungan)} ... 19a.Nilai Akhir Seni Budaya dan Keterampilan ... 19b. Nilai Seni Budaya dan Keterampilan {f(lingkungan)}...

24 27 27 31 32 34 36 38 40 41 47

61 62 64 66 68

68

69 70 70 71 72 72


(16)

20b. Nilai Pendidikan Jamani dan kesehatan {f(lingkungan)}... 21. Analisis GAP Sarana Prasarana ……… 22. Hasil Validasi Teori ……… 23. Hasil validasi praktik ………. 24. Kelebihan dan kelemahan KTSP ……… 25. Kelebihan dan Kelemahan Kurikulum berbasis GGS …

73 78 82 82 85 86


(17)

1. Kerangka Pemikiran ……….. 2. Pendekatan Model Pembelajaran Lingkungan Hidup ……….. 3. Diagram input-output ……… 4. Tahapan Pendekatan Sistem ………. 5. Tahap Pemodelan Sistem ………. 6. Alur analisis gap terhadap substansi muatan lingkungan…….. 7. Gambaran Umum Tarakanita ……… 8. Logo Tarakanita ……… 9. Pembelajaran IPA ………. 10.Ektrakurikuler Pramuka ……… 11.Guru memberi contoh cara mengolah sampah (keteladanan)….. 12.Siswa memelihara tanaman (Pembiasaan) ………. 13.Sistem Kurikulum Berbasis Go Green School di Tarakanita…. 14.Hasil karya mata pelajaran IPS ………. 15.Hasil karya daur ulang siswa KTSP ………. 16.Hasil karya daur ulang siswa GGS ………. 17.Implementasi hasil belajar siswa GGS ………. 18.Sarana prasarana GGS ………..

19.Model KTSP ……….

20.Model Ideal Kurikulum Go Green School ……… 21.Hasil Validasi praktek pada sekolah KTSP ……….. 22.Hasil Validasi praktek pada sekolah GGS ……… 23.Usulan Implementasi ………. 24.Usulan Model Kurikulum berbasis Go Green School …………

3 10 37 38 39 40 50 57 59 59 60 60 65 75 75 75 76 79 80 80 83 83 84 85


(18)

1. Data hasil survey pemahaman pemahaman guru SD Tarakanita 3 2. Data hasil survey pemahaman pemahaman guru SD Tarakanita

Citra Raya

3. Analisis KTSP versi BSNP dan Tarakanita

4. Analisis KTSP dan Kurikulum berbasis Go Green School 5. Nilai Raport SD Taranita 1 Jakarta (KTSP)

6. Nilai Raport SD Tarakanita Gading Serpong (KTSP) 7. Nilai Raport SD Tarakanita 3 Jakarta (GGS)

8. Nilai Raport SD Tarakanita Citra Raya (GGS) 9. Leger Nilai Muatan Lingkungan SD Tarakanita 1

10.Leger Nilai Muatan Lingkungan SD Tarakanita Gading Serpong 11.Leger Nilai Muatan Lingkungan SD Ttarakanita 3

12.Leger Nilai Muatan Lingkungan SD Tarakanita Citra Raya 13.PP No. 19 tahun 2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional 14.Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi Satuan

pendidikan.

15.Permendiknas No. 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Satuan pendidikan.

16.Permendiknas No. 24 tahun 2006 tentang Satandar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan menengah

17.Permendiknas No. 24 tahun 2007 tentang Sarana dan Prasarana 18.Panduan Umum KTSP

92 93

94 101 113 115 117 119 121 123 125 127


(19)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pertumbuhan penduduk semakin pesat, memerlukan sandang, pangan dan papan. Dengan demikian maka, membutuhkan penggunaan sumber daya alam (SDA) yang lebih besar. Permasalahannya, pertumbuhan populasi ini tidak didukung dengan SDA, maka untuk memenuhi kebutuhannya manusia menggunakan teknologi (Soemarwoto,1994). Dengan kemajuan ilmu dan teknologi yang pesat, membantu manusia untuk mensejahterakan hidupnya.

Kemajuan ilmu dan teknologi yang pesat menyebabkan kemajuan di segala bidang, tetapi juga berdampak negatif terhadap lingkungan. Al Gore dengan buku, ceramah, dan terutama tayangan film dokumenternya berjudul An Inconvenient Truth membentangkan secara dramatis dampak ulah perbuatan manusia pada perubahan iklim sejagat. Kurangnya kesadaran lingkungan menyebabkan pencemaran (air, udara dan daratan), penurunan keanekaragaman hayati dan ketersediaan pangan, dan penurunan ketersediaan SDA. Pencemaran udara menyebabkan perubahan cuaca global, perusakan lapisan ozon, hujan asam, dan udara menjadi tercemar. Pencemaran air menyebabkan pengendapan dan mencemari sumber-sumber air sehingga membahayakan kehidupan. Produksi limbah padat, limbah cair, limbah beracun dan berbahaya menyebabkan lingkungan hidup menjadi terancam. Oleh karena itu, semua usaha pembangunan yang dilakukan manusia hendaknya memperhatikan kelestarian lingkungan hidup.

Menurut Neoloka (2008) masalah lingkungan hidup pada hakikatnya adalah masalah kemanusiaan yang erat hubungannya dengan sistem nilai, sistem sosial, dan agama dalam pengendalian pertumbuhan penduduk dan pengelolaan lingkungan hidup. Karena itu, cara mengatasi masalah kependuduan dan lingkungan hidup tidak dapat hanya dengan melakukan usaha yang bersifat teknis, tetapi perlu didukung dengan upaya yang bersifat edukatif dan persuasif. Upaya tersebut dengan melaksanakan pendidikan lingkungan hidup, mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi. Maka Yayasan Tarakanita yang bergerak di bidang pendidikan memutuskan untuk menyusun modifikasi kurikulum yang berwawasan lingkungan dalam rangka pengembangan karakter untuk menumbuhkan pemahaman dan implementasi siswa terhadap lingkungan.


(20)

1.2. Perumusan Masalah

Budaya cinta lingkungan penting dikembangkan melalui dunia pendidikan, karena jutaan anak bangsa kini tengah gencar menuntut ilmu di bangku pendidikan. Merekalah yang kelak akan menjadi penentu kebijakan mengenai penanganan dan pengelolaan lingkungan hidup yang baik. Menanamkan nilai-nilai budaya cinta lingkungan hidup kepada anak-anak bangsa melalui bangku pendidikan sama saja menyelamatkan lingkungan hidup dari kerusakan yang makin parah.

1. Bagaimana menumbuhkan pemahaman dan implementasi siswa terhadap lingkungan.

2. Bagaimana mengembangkan kurikulum Go Green School untuk membangun pemahaman dan implementasi siswa terhadap lingkungan.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dari permasalahan yang ada, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan:

• Membuat rancang bangun model kurikulum berbasis lingkungan (GGS). Model ini dibangun berdasarkan kurikulum existing (KTSP) dan kurikulum Go Green untuk menumbuhkan pemahaman dan implementasi siswa terhadap lingkungan.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:

1. Memberikan masukan pentingnya pendidikan lingkungan hidup dimasukkan ke dalam kurikulum untuk meningkatkan pemahaman dan implementasi siswa terhadap lingkungan.

2. Memberikan desain model bagi Yayasan Tarakanita dalam menerapkan pendidikan berwawasan lingkungan.

1.5. Kerangka Pemikiran

Pendidikan merupakan sarana untuk membentuk sumber daya manusia (SDM) yang ahli dan terampil serta produktif sehingga pada gilirannya dapat mempercepat kesejahteraan manusia. Manusia berperan dalam melestarikan lingkungan, maka perlu diberi bekal untuk melestarikan lingkungan dengan pendidikan lingkungan (Yustina, 2006). Proses pendidikan lingkungan dianggap


(21)

dapat membentuk karakter siswa sebagai generasi penerus bangsa (Neolaka, 2008). Kesadaran dalam melestarikan lingkungan bagi siswa akan lebih efektif bila diberikan melalui mata pelajaran atau kegiatan pembelajaran yang berarti dimasukkan dalam kurikulum (Mukti, 2008).

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Permendiknas no. 22, 23, 24 tahun 2006, mengamanatkan bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) jenjang pendidikan dasar dan menengah disusun oleh satuan pendidikan dengan berpedoman pada panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

Secara umum KTSP bertujuan untuk memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan kepada lembaga pendidikan dan hal ini menjadi peluang untuk mengembangkan kurikulum berbasis Go Green School (GGS). Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ke kurikulum berbasis GGS mengacu pada standar nasional pendidikan dimaksudkan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasioanl. Delapan Standar Nasional Pendidikan terdiri dari : 1) standar isi; 2) standar proses; 3) standar kompetensi lulusan; 4) standar pendidik dan tenaga kependidikan; 5) standar sarana dan prasarana; 6) standar pengelolaan; 7) standar pembiayaan; dan 8) standar penilaian pendidikan. Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dalam hal ini menjadi acuan utama bagi satuan pendidikan dalam upaya mengembangkan kurikulum.

Gambar 1, berikut ini memperlihatkan kerangka pemikiran dari penelitian ini.


(22)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hakekat Pendidikan

2.1.1. Definisi Pendidikan

Pendidikan memiliki peranan strategis untuk menyiapkan generasi berkualitas untuk kepentingan masa depan. Bagi setiap orangtua, masyarakat dan bangsa pemenuhan akan pendidikan menjadi kebutuhan pokok. Pendidikan dijadikan sebagai institusi utama dalam upaya pembentuk sumber daya manusia (SDM) berkualitas yang diharapkan suatu bangsa, karena pada gilirannya pendidikan menjadi taken for granted terkait dengan eksistensi dan kelangsungan hidup (survival) budaya suatu bangsa (Soerjani, 2008).

Pendidikan dalam bahasa Inggris adalah education. Kata education diserap dari bahasa Latin educare yang dapat berarti mempertumbuhkan; memelihara; membesarkan; mendidik. Pendidikan merupakan sebuah proses yang membantu menumbuhkan, mengembangkan, mendewasakan, membuat yang tidak tertata atau liar menjadi semakin tertata, semacam proses penciptaan kultur dan tata keteraturan dalam diri maupun dalam diri orang lain. Pendidikan juga berarti proses pengembangan berbagai macam potensi yang ada dalam diri manusia, seperti kemampuan akademis, relasional, bakat-bakat, talenta, kemampuan fisik, atau daya-daya seni (Muslich, 2008).

Pendidikan menurut UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Tujuan pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang mencakup seluruh aspek kehidupan setiap pribadi peserta didik. Hal ini diupayakan dengan adanya pendidikan formal, yaitu melalui sekolah dengan segala perangkat penyelenggaraannya, terutama perangkat kurikulum yang ditetapkan.

Pendidikan dalam arti luas adalah proses yang saling berkaitan sebagai upaya untuk mengembangkan diri berupa tiga aspek dalam kehidupannya, yaitu: pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup. Upaya untuk mengembangkan ketiga aspek tersebut bisa dilaksanakan di sekolah, luar sekolah dan keluarga. Berdasarkan


(23)

konsep pendidikan di atas, pendidikan merupakan pembudayaan atau "enculturation", suatu proses untuk menjadikan seseorang untuk mampu hidup dalam suatu budaya tertentu. Pendidikan membutuhkan keharmonisan dengan lingkungan, sebab praktek pendidikan harus mendasarkan pada teori-teori pendidikan dan pada tahap berikutnya teori-teori pendidikan harus bersumber dari suatu pandangan hidup masyarakat yang bersangkutan.

2.1.2. Karakteristik Peserta Didik

Sistem pendidikan di Indonesia mempunyai tiga tahap pendidikan yaitu: tahap pendidikan dasar (SD), menengah pertama (SMP), dan menengah atas (SMA). Secara psikologis anak didik memiliki keunikan dan perbedaan-perbedaan baik perbedaan bakat, minat, maupun potensi yang dimilikinya sesuai dengan tahapan perkembangannya. Kurikulum merupakan pedoman bagi guru dalam mengantar anak didik sesuai dengan harapan dan tujuan pendidikan. Pemahaman tentang anak bagi pengembang kurikulum sangatlah penting. Kesalahan persepsi atau kedangkalan pemahaman tentang anak, dapat menyebabkan kesalahan arah dan kesalahan praktik pendidikan (Hartati, 2005).

Ada beberapa alasan yang dikemukan Santrock (2007) tentang masa-masa perkembangan perkembangan. Pertama, setiap anak didik memiliki tahapan atau masa perkembangan tertentu. Pada setiap tahapan itu anak memiliki karakteristik dan tugas-tugas perkembangan tertentu. Jika tugas-tugas perkembangan itu tidak terpenuhi, maka akan mengalami hambatan pada tahap berikutnya. Kedua, anak didik yang sedang pada masa perkembangan merupakan periode yang sangat menentukan untuk keberhasilan dan kesuksesan hidup mereka. Pada masa itu anak berada pada periode perkembangan yang sangat cepat dalam berbagai aspek perkembangan. Ketiga, pemahaman akan perkembangan anak, akan memudahkan dalam melaksanakan tugas-tugas pendidikan, baik yang menyangkut proses pemberian bantuan memecahkan berbagai masalah yang dihadapi, maupun mengantisipasi kejadian-kejadian yang tidak diharapkan.

Menurut Piaget, kemampuan kognitif merupakan suatu yang fundamental yang mengarah pada membimbing perilaku anak. Menurut Piaget ada dua konsep yang perlu dipahami dalam teori perkembangan kognitif, yaitu konsep tentang fungsi dan struktur. Fungsi merupakan mekanisme biologis bawaan yang sama untuk setiap orang. Tujuannya adalah untuk menyusun struktur kognitif internal. Melalui fungsi


(24)

akan terjadi kecenderungan-kecenderungan biologis untuk mengorganisasi pengetahunan ke dalam struktur kognisi, dan untuk beradaptasi terhadap berbagai tantangan yang datang dari luar lingkungannya. Sedangkan, struktur merupakan seperangkat keterampilan, pola-pola kegiatan yang fleksibel yang digunakan untuk memahami lingkungan. Piaget berpendapat bahwa dalam memahami lingkungan anak bersifat aktif.

Tahapan-tahapan perkembangan kognitif menurut Piaget terdiri dari empat fase, yaitu:

1. Sensorimotor (0-2 tahun)

Pada fase sensorimotor yang berlangsung sejak anak lahir sampai usia 2 tahun, kemampuan kognitif anak sangat terbatas. Piaget mengistilahkannya dengan kemampuan yang bersifat primitif, artinya masih didasarkan kepada perilaku terbuka. Kemampuan kognitif yang dimiliki anak usia ini merupakan intelegensi dasar yang amat menentukan perkembangan kognitif selanjutnya.

Kemampuan anak dalam berbahasa pada masa ini belum muncul. Interaksi dengan lingkungan dilakukan dengan gerakan-gerakan tubuhnya yang merupakan eksperimen terhadap lingkungannya. Melalui proses interaksi dengan lingkungan, lambat laun anak akan belajar tentang bagaimana menguasai lingkungannya secara lebih baik.

2. Praoperasional (2-7 tahun)

Pada fase ini menurut Piaget ditandai dengan beberapa ciri. Pertama, adanya kesadaran dalam diri anak tentang suatu objek. Artinya, pandangan anak terhadap benda sudah tidak melalui indranya seperti pada masa sensorimotor. Kedua, pada fase ini kemampuan anak dalam berbahasa mulai berkembang. Anak mulai mampu mengekspresikan sesuatu dengan kalimat pendek namun efektif. Ketiga, fase praoperasional ini dinamakan juga fase intuisi, sebab pada masa ini anak mulai mengetahui perbedaan objek-objek sebagai sesuatu bagian individu. Keempat, pandangan terhadap dunia bersifat ‘animistic” artinya, bahwa segala sesuatu yang bergerak di dunia ini adalah “hidup”. Kelima, pada masa ini pengamatan dan pemahaman anak terhadap lingkungan sangat dipengaruhi sifatnya yang “egocentric”.

3. Operasional konkret (7 – 11 tahun)

Dikatakan fase operasional konkret, karena pada masa ini pikiran anak terbatas pada objek-objek yang ia jumpai dari pengalaman-pengalaman langsung. Pada


(25)

masa ini, selain kemampuan yang telah dimiliki sebelumnya, anak memperoleh tambahan kemampuan yang disebut dengan system of operations. Kemampuan ini sangat penting artinya bagi anak untuk mengoordinasikan pemikiran suatu ide dalam peristiwa tertentu ke dalam sistem pemikirannya sendiri. Kemampuan satuan langkah berpikir ini, kelak akan menjadi dasar terbentuknya intelegensi. Kemampuan kognitif yang dimiliki anak pada fase ini meliputi conservation, addition of classes, dan multiplication of classes.

Conservation adalah kemampuan anak dalam memahami aspek-aspek komulatif materi, seperti volume dan jumlah.

Addition of classes yaitu kemampuan anak dalam memahami cara mengkombinasikan benda-benda yang dianggap memiliki kelas yang rendah dan dihubungkan dengan kelas yang lebih tinggi.

Multiplication of classes yakni kemampuan yang melibatkan pengetahuan mengenai cara mempertahankan dimensi-dimensi benda seperti warna bunga dan jenis bunga untuk membentuk gabungan golongan benda. Kemampuan ini juga meliputi kemampuan memisahkan gabungan golongan benda menjadi dimensi yang spesifik, misalnya warna bunga mawar terdiri atas merah, putih, dan kuning. Dengan munculnya kemampuan-kemampuan di atas, maka kemampuan operasi kognitif ini juga meliputi kemampuan melakukan berbagai macam operasional secara matematika, seperti: menambah, mengurangi, mengalikan dan membagi. Kemampuan matematika ini merupakan dasar bagi pengembangan “akal pikiran”. Sebagai hasil fase ini, anak mengorganisir lingkungannya ke dalam struktur-struktur kognitif berupa ide-ide atau konsep-konsep. Setiap kali anak menjumpai objek baru di alam sekitarnya, ia tidak perlu lagi menguji secara luas, akan tetapi ia sudah dapat mengklasifikasikannya sesuai dengan bagian, struktur, dan fungsinya.

Kemampuan anak pada fase ini masih terbatas pada hal-hal yang konkret, maka proses berpikir anak akan terjadi pada aktivitas-aktivitas langsung. Anak akan menemui kesulitan untuk memecahkan masalah dengan hanya mengandalkan daya otaknya tanpa mencoba melakukan kegiatan atau pengalaman langsung. Segala sesuatu yang dipikirkan harus ditarik pada hal-hal yang konkret, tanpa ada penarikan seperti itu, maka akan sulit dipecahkan anak.


(26)

4. Operasional formal (12 – 14 tahun keatas)

Piaget menamakan fase ini sebagai fase “formal operasional”, karena pada masa ini pola berpikir anak sudah sitematik dan meliputi proses-proses yang kompleks. Operasionalnya tidak lagi terbatas semata-mata pada hal-hal konkret, akan tetapi dapat juga dilakukan pada oprasional lainnya, dengan menggunakan logika yang lebih tinggi tingkatannya.

Aktivitas proses berpikir pada fase ini mulai menyerupai cara berpikir orang dewasa, karena kemampuannya yang sudah berkembang pada hal-hal yang bersifat abstrak.

Berdasarkan teori Piaget maka baik tujuan maupun isi kurikulum harus mempertimbangkan taraf perkembangan anak. Tanpa pertimbangan psikologi anak, maka kurikulum kurang efektif.

2.1.3. Pendidikan Karakter dan Lingkungan Hidup

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”. Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Lima dari delapan potensi peserta didik yang akan dikembangkan yaitu manusia yang: 1) beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 2) berakhlak mulia; 3) kreatif; 4) mandiri; dan 5) menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab dekat dengan pendidikan karakter. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Untuk mendapatkan wawasan mengenai arti pendidikan karakter dan pendidikan lingkungan perlu dikemukakan pengertian istilah karakter bangsa, dan pendidikan lingkungan.

Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak.


(27)

Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti: jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang bersangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial, budaya masyarakat, dan budaya bangsa. Lingkungan sosial dan budaya bangsa adalah Pancasila; jadi pendidikan budaya dan karakter bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dengan kata lain, mendidik budaya dan karakter bangsa adalah mengembangkan nilai-nilai Pancasila pada diri peserta didik melalui pendidikan afeksi, kognitif dan psikomotorik.

Dalam Ensiklopedia Indonesia (1983), lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar suatu organisme, meliputi: (1) lingkungan mati (abiotik), yaitu lingkungan di luar suatu organisme yang terdiri atas benda atau faktor alam yang tidak hidup, seperti bahan kimia, suhu, cahaya, gravitasi, atmosfir, dan lainnya, (2) lingkungan hidup (biotik), yaitu lingkungan di luar suatu organisme yang terdiri atas organisme hidup, seperti tumbuhan, hewan, dan manusia. Berdasarkan definisi lingkungan maka pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan lingkungan.

Pendidikan tidak mungkin menisbikan proses interaksi dengan lingkungan terutama di jaman globalisasi ini. Diharapkan, pengetahuan lingkungan, persepsi, dan sikap peduli dalam pengelolaan lingkungan a k a n m e m o t i v a s i m i n a t y a n g d a p a t diimplementasikan dan ditumbuhkembangkan menjadi budaya kepada anak didik khususnya pada tahapan pendidikan dasar.

Menurut Hazaa et al. (2010) pendidikan lingkungan akan membantu membentuk pengetahuan, keterampilan dan penanaman nilai-nilai bagi siswa. Proses pendidikan lingkungan dianggap dapat membentuk karakter siswa sebagai generasi penerus bangsa (Neolaka, 2008). Lewat pendidikan karakter diharapkan dapat mengubah gaya hidup dan pola hidup terhadap faktor lingkungan. Hal senada juga diungkapan oleh Tyler (1990), bahwa pendidikan merupakan pengalaman belajar. Pengalaman belajar adalah segala aktivitas siswa dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Berdasarkan pendapat para ahli di atas maka kesadaran dalam


(28)

melestarikan lingkungan bagi siswa akan lebih efektif bila diberikan melalui mata pelajaran atau kegiatan pembelajaran yang berarti dimasukkan dalam kurikulum (Mukti, 2008).

Gambar 2, memperlihatkan bahwa pendidikan lingkungan mempunyai fokus pada perbaikan lingkungan, sikap, dan nilai-nilai kehidupan sementara pendidikan untuk lingkungan membutuhkan implementasi siswa dalam situasi kehidupan yang nyata dalam proses pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, dan menyenangkan sehingga pembelajaran menjadi bermakna dalam hidup.

Gambar 2. Pendekatan Model Pembelajaran Lingkungan Hidup (Hazaa, 2010)

Pendidikan lingkungan tidak akan terpisah dengan pendidikan karakter, karena menanamkan keutamaan yang holistik bukan hanya untuk peserta didik yang sedang berproses di sekolah, melainkan bagi setiap orang yang berada di lembaga pendidikan (stakeholder). Menunjuk persoalan dan peranan pendidikan di atas, maka perlu disadari betapa pentingnya pendidikan budi pekerti, pendidikan nilai atau pendidikan karakter (carachter building). Ketiga istilah ini sering kali disamakan, padahal mengandung perbedaan, tetapi intinya membawa orang mencintai keutamaan atau moral.

Pendidikan karakter semakin mendesak untuk diterapkan dalam lembaga pendidikan mengingat berbagai macam perilaku yang non-edukatif kini telah merasuki zaman ini. Pendidikan karakter bukan sekadar memiliki dimensi integratif, dalam arti, mengukuhkan moral intelektual peserta didik sehingga menjadi pribadi yang kokoh dan tahan uji, melainkan juga bersifat kuratif secara personal dan sosial (Koesoema, 2009). Pendidikan karakter menjadi sebuah jalan keluar penyembuh

Pendidikan terintegrasi  dalam lingkungan

Pendidikan  berbasis  Lingkungan

Aksi

Pengalaman 

pengembangan pengetahuan & pemahaman secara holistik

Pendidikan 


(29)

penyakit sosial. Pendidikan karakter menjadi sebuah jalan keluar bagi proses perbaikan dalam masyarakat.

2.2. Hakekat Kurikulum

2.2.1. Pengertian Kurikulum

Kurikulum (Curriculum) dalam bahasa Yunani kuno berasal dari kata Curir yang artinya pelari; dan Curere yang artinya tempat berpacu. Curriculum diartikan jarak yang harus ditempuh oleh pelari. Dari makna yang terkandung berdasarkan rumusan tersebut kurikulum dalam pendidikan diartikan sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan anak didik untuk memperoleh ijasah (Sudjana, 2005).

Print (1993) memandang bahwa kurikulum meliputi perencanaan pengalaman belajar, program sebuah lembaga pendidikan yang diwujudkan dalam sebuah dokumen, serta hasil dari implementasi dokumen yang telah disusun. Pada dasarnya kurikulum memiliki tiga dimensi pengertian, yakni kurikulum sebagai mata pelajaran, kurikulum sebagai pengalaman belajar, dan kurikulum sebagai perencanaan program pembelajaran. Pengertian kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik, merupakan konsep kurikulum yang sampai saat ini banyak mewarnai teori-teori dan praktik pendidikan (Saylor, Alexander & Lewis, 1981).

Konsep kurikulum sebagai mata pelajaran biasanya erat kaitan dengan usaha memperoleh ijasah. Artinya, apabila siswa telah berhasil mendapatkan ijasah berarti ia telah menguasai pelajaran sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Kemampuan tersebut tercermin dalam nilai setiap mata pelajaran yang terkandung dalam ijasah itu.

Kurikulum sebagai mata pelajaran yang harus diselesaikan oleh anak didik, dalam proses perencanaannya mempunyai ketentuan sebagai berikut (Wina, 2010): 1. Perencanaan kurikulum biasanya menggunakan judgment ahli bidang studi.

Dengan mempertimbangkan faktor-faktor sosial dan faktor pendidikan, ahli tersebut menentukan mata pelajaran apa yang akan diajarkan kepada siswa.

2. Dalam menentukan dan menyeleksi kurikulum perlu dipertimbangkan beberapa hal seperti tingkat kesulitan, minat siswa, dan urutan bahan pelajaran.

3. Perencanaan dan implementasi kurikulum ditekankan kepada penggunaan metode dan strategi pembelajaran yang memungkinkan anak didik dapat menguasai materi pelajaran, dengan menggunakan pendekatan ekspositori.


(30)

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk terjadinya pergeseran fungsi sekolah sebagai suatu institusi pendidikan. Sekolah tidak hanya dituntut untuk dapat mengembangkan minat dan bakat, membentuk moral dan kepribadian, bahkan dituntut agar siswa dapat menguasai berbagai macam keterampilan yang dibutuhkan untuk memenuhi dunia pekerjaan mengakibatkan pergeseran makna kurikulum.

Kurikulum tidak lagi sebagai mata pelajaran tetapi sebagai pengalaman belajar siswa. Artinya memahami kurikulum sekolah tidak cukup hanya dengan melihat dokumen kurikulum sebagai suatu program tertulis, akan tetapi juga bagaimana proses pembelajaran yang dilakukan anak didik baik di sekolah maupun di luar sekolah. Pencapaian target kurikulum tidak hanya diukur dari kemampuan siswa menguasai seluruh isi atau materi pelajaran seperti tergambar dari hasil tes sebagai produk belajar, akan tetapi juga harus dilihat proses atau kegiatan siswa sebagai pengalaman belajar.

Konsep kurikulum sebagai pengalaman belajar menimbulkan kritik dan ketidaksepahaman para pakar pendidikan, bagaimana menentukan dan mengukur pengalaman belajar siswa, karena segala bentuk dan perilaku siswa merupakan hasil dari pengalamannya yang tidak mungkin dikontrol guru. Oleh sebab itu, kurikulum sebagai pengalaman belajar dianggap beberapa ahli sebagai konsep yang luas, sehingga menyebabkan makna kurikulum menjadi kabur dan tidak fungsional. Hal ini menyebabkan munculnya konsep kurikulum sebagai suatu program atau rencana belajar.

Taba (1962) mengatakan: “A curriculum is a plan for learning: therefore, what is know about the learning process and the development of the individual has bearing on the shapng of a curriculum”. Kurikulum sebagai suatu rencana tampaknya juga sejalan dengan rumusan kurikulum menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 19, dikatakan bahwa kurikulum didefinisikan sebagi seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

Batasan kurikulum menurut undang-undang No. 20 tahun 2003 tampak jelas, bahwa kurikulum memiliki dua aspek: pertama sebagai rencana (as a plan) yang harus dijadikan sebagai pedoman dalam pelaksanaan proses belajar mengajar oleh


(31)

guru; dan kedua pengaturan isi dan cara pelaksanaan rencana itu. Keduanya digunakan sebagai upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.

Menurut Wina (2010) ada tiga bentuk organisasi kurikulum yang berorientasi pada disiplin ilmu, yaitu: subject centered curriculum, correlated curriculum, dan integrated curriculum.

1. Subject Centered Curriculum

Pada subject centered curriculum, isi kurikulum disusun berdasarkan bentuk mata pelajaran yang terpisah-pisah, misalnya: mata pelajaran IPA, IPS, Matematika. Mata pelajaran itu tidak berhubungan satu sama lain. Pada pengembangan kurikulum di dalam kelas, setiap guru hanya bertanggung jawab pada mata pelajaran yang diberikannya.

2. Correlated Curriculum

Pada correlated curriculum, mata pelajaran tidak disajikan secara terpisah, akan tetapi mata pelajaran yang memiliki kedekatan (sejenis) dikelompokkan sehingga menjadi satu bidang studi, seperti misalnya: mata pelajaran sejarah, geografi, ekonomi dikelompokkan dalam bidang studi IPS.

3. Integrated Curriculum

Pada integrated curriculum tidak lagi menampakkan nama-nama mata pelajaran atau bidang studi. Belajar berangkat dari suatu pokok masalah yang harus dipecahkan. Masalah tersebut kemudian dinamakan unit. Belajar berdasarkan unit bukan hanya menghafal sejumlah fakta, akan tetapi juga mencari dan menganalisis fakta sebagai bahan untuk memecahkan masalah. Belajar melalui pemecahan masalah itu diharapkan perkembangan siswa tidak hanya terjadi pada segi intelektual saja akan tetapi seluruh aspek sikap, emosi, dan keterampilan. 2.2.2. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum yang berlaku saat ini, di mana KTSP berorientasi pada pencapaian kompetensi. KTSP merupakan penyempurnaan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), hal ini dapat dilihat dari standar kompetensi dan kompetensi dasar serta adanya prinsip yang sama dalam pengelolaan kurikulum yang disebut Kurikulum Berbasis Sekolah (KBS). Standar kompetensi dan kompetensi dasar dapat dilihat dari Standar Isi (SI) yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), yang diturunkan dari Standar Kompetensi Lulusan (SKL). SI dan SKL ini menjadi rujukan dalam


(32)

pengembangan kurikulum di setiap satuan pendidikan. KTSP lahir dari semangat otonomi daerah, di mana urusan pendidikan tidak semuanya tanggung jawab pusat, akan tetapi sebagian tanggung jawab daerah.

Dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP Pasal 1, ayat 15), dijelaskan bahwa KTSP adalah kurikulum opreasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Penyusunan KTSP dilakukan oleh satuan pendidikan dengan memperhatikan dan berdasarkan standar kompetensi serta kompetansi dasar yang dikembangkan oleh BSNP. Dilihat dari pola atau model pengembangannya KTSP merupakan salah satu model kurikulum yang bersifat desentralistik.

Adapun makna kurikulum operasional ada 3 yaitu: Pertama, sebagai kurikulum bersifat operasional, maka dalam pengembangannya tidak terlepas dari ketetapan-ketetapan yang telah disusun pemerintah secara nasional. Hal ini sesuai dengan Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendididkan Nasional Pasal 36 Ayat 1, yang menjelaskan bahwa pengembangan kurikulum mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Kedua, para pengembang KTSP, dituntut dan harus memperhatikan ciri khas kedaerahan, sesuai dengan UU No. 20 tahun 2003 ayat 2, bahwa kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.

Ketiga, para pengembang kurikulum di daerah memiliki keleluasaan dalam mengembangkan kurikulum menjadi unit-unit pelajaran, misalnya dalam mengembangkan strategi dan metode pembelajaran, menentukan media pembelajaran, menentukan evaluasi pembelajaran, dan berapa kali pertemuan, serta kapan topik materi harus dipelajari siswa agar kompetensi dasar yang telah ditentukan dapat dicapai.

Secara umum tujuan diterapkan KTSP untuk memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada lembaga pendidikan. Melalui KTSP diharapkan dapat mendorong sekolah untuk melakukan pengembangan kurikulum.

Undang-undang Republik Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Permendiknas No. 22, 23, dan 24 tahun 2006, mengamanatkan bahwa KTSP jenjang pendidikan dasar dan menengah disusun oleh satuan pendidikan dengan berpedoman pada panduan yang disusun oleh BSNP.


(33)

Pengembangan kurikulum disusun antara lain agar dapat memberi kesempatan peserta didik untuk :

a. Belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. b. Belajar untuk memahami dan menghayati

c. Belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif d. Belajar untuk hidup bersama dan berguna untuk orang lain, dan

e. Belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM).

Pengembangan KTSP yang mengacu pada standar nasional pendidikan dimaksudkan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional (Wina, 2010). Menurut PP No. 19 tahun 2005, delapan standar nasional pendidikan terdiri atas : 1. Standar isi

Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.

2. Standar proses

Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan.

3. Standar kompetensi lulusan

Standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

4. Standar pendidik dan tenaga kependidikan

Standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan.

5. Standar sarana dan prasarana

Standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.


(34)

6. Standar pengelolaan

Standar pengelolaan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten atau kota, provinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan.

7. Standar pembiayaan

Standar pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun.

8. Standar penilaian pendidikan.

Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik

2.3. Kurikulum Berbasis Go Green School

2.3.1. Pengertian kurikulum berbasis Go Green School

Kurikulum berbasis GGS merupakan pengembangan dari KTSP. Kurikulum berbasis GGS ini menyisipkan unsur muatan pendidikan lingkungan di dalam setiap mata pelajaran. Berdasarkan definisi, pendidikan lingkungan merupakan suatu proses yang bertujuan membentuk perilaku, nilai dan kebiasaan untuk menghargai lingkungan hidup. Maka sekolah yang menggunakan kurikulum berbasis GGS dinamakan sekolah yang berwawasan lingkungan. Sekolah ini menjadikan pendidikan lingkungan merupakan salah satu misi dalam mencapai tujuan sekolah. Program pendidikan lingkungan ini memberikan atmosfir di sekolah sehingga setiap saat ketika siswa berada dalam lingkungan sekolah, siswa selalu bersentuhan dengan program ini. Jadi pendidikan lingkungan hidup sudah terintegrasi ke dalam kurikulum sekolah (Surakusumah, 2008).

Kebijakan, arah dan pelaksanaan pendidikan perlu berorientasi pada kepedulian lingkungan hidup (environmental centered learning) dan diarahkan pada sustainable development centered orientation seperti harapan United Nations Development Programme (UNDP) and the United Nations Environment Programme (UNEP). Untuk memotivasi sikap dan perilaku siswa, pengertian dasar tentang lingkungan hidup harus diintegrasikan ke dalam keseluruhan kurikulum yang mengacu pada proses pembelajaran student centered learning yang mengarah pada kepentingan masa depan siswa, maka perlu dilengkapi dengan community centered orientation (Soerjani, Yowono dan Fardiaz, 2007).


(35)

Pendidikan lingkungan sejak tahun 1970-an menurut Konferensi Nevada Uni Internasional didefinisikan sebagai proses pengenalan nilai dan klarifikasi konsep-konsep dalam rangka mengembangkan keterampilan dan sikap yang diperlukan untuk memahami dan menghargai keterkaitan antara manusia, budaya dan lingkungan biofisiknya. Lingkungan pendidikan juga mencakup praktek dalam pengambilan keputusan dan merumuskan kode etik pengelolaan lingkungan. Prinsipnya, tujuan penyelenggaraan pendidikan lingkungan mencakup pembelajaran holistik dalam bentuk pengetahuan atau pengertian, sikap atau nilai, keterampilan, serta aksi atau partisipasi (Unesco-UNEP, 1985).

Konferensi Bumi di Brazil yang tertuang dalam Agenda 20 pada Bab 36 menyatakan: untuk memecahkan masalah lingkungan hanya mungkin bila melalui pendidikan lingkungan, karena lewat pendidikan lingkungan orang dapat mengembangkan segi pemikiran dalam mendukung langkah yang tepat untuk skala lokal dan global.

Pada tahun 1975, sebuah lokakarya internasional tentang pendidikan lingkungan hidup diadakan di Beograd, Jugoslavia. Pada pertemuan tersebut dihasilkan pernyataan antar negara peserta mengenai pendidikan lingkungan hidup yang dikenal sebagai "The Belgrade Charter a Global Framework for Environmental Education". Secara ringkas tujuan pendidikan lingkungan hidup yang dirumuskan dalam Belgrade Charter tersebut di atas adalah sebagai berikut: a. Meningkatkan kesadaran dan perhatian terhadap keterkaitan bidang ekonomi,

sosial, politik serta ekologi, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan.

b. Memberi kesempatan bagi setiap orang untuk mendapatkan pengetahuan, keterampilan, sikap atau perilaku, motivasi dan komitmen, yang diperlukan untuk bekerja secara individu dan kolektif untuk menyelesaikan masalah lingkungan saat ini dan mencegah munculnya masalah baru.

c. Menciptakan satu kesatuan pola tingkah laku baru bagi individu, kelompok-kelompok dan masyarakat terhadap lingkungan hidup.

Pada bulan Desember 2007 yang lalu, negara-negara yang peduli terhadap lingkungan dan bencana alam mengadakan konferensi tingkat tinggi (KTT) bumi di Bali. KTT ini salah satu agendanya adalah membahas tentang pemanasan global atau global warming. Pemanasan global ini menyebabkan perubahan iklim global, yang pada akhirnya menyebabkan menurunnya kualitas hidup akibat banyaknya bencana alam. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya pemanasan global.


(36)

Penebangan hutan, penangkapan ikan dengan bom, pencemaran lingkungan adalah contoh-contoh penyebab pemanasan global. Cara penangulangan bencana global adalah dengan menyadarkan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan dengan cara pendidikan lingkungan hidup yang diberikan sejak anak berusia dini. Kesadaran pada masalah konservasi dan pembangunan yang berkelanjutan perlu dibudayakan untuk menghindari perusakan sumber-sumber alam yang akan menjaga kelangsungan hidup di bumi (Salim, 2010).

Pembinaan kesadaran lingkungan hidup melalui kegiatan-kegiatan nyata yang dekat dengan kehidupan siswa sehari-hari, dapat membawa siswa lebih memahami dan dapat langsung mengimplementasikannya. Lingkungan sekolah merupakan lingkungan para siswa hidup sehari-hari, di dalamnya terdapat komponen-komponen ekosistem dan sosiosistem, jika lingkungan sekolah tersebut di tata sedemikian rupa maka akan dapat menjadi wahana pembentukan perilaku arif terhadap lingkungan (Keraf, 2002).

2.3.2. Prinsip-prinsip pengembangan kurikulum berbasis GGS

Pendidikan lingkungan hidup harus diberikan mulai dari anak usia dini. Secara rasional ada dua alasan utama mengapa pendidikan lingkungan harus diberikan secara dini: pertama anak-anak harus mengembangkan rasa mencintai lingkungan hidup pada usia yang dini, diharapkan dengan pengembangan perasaan kecintaan akan lingkungan hidup secara dini maka perkembangan rasa tersebut akan tertanam dengan baik. Kedua Interaksi dengan lingkungan hidup merupakan bagian penting dari perkembangan kehidupan anak yang sehat dan interaksi tersebut dapat mendorong kemampuan belajar dan kualitas hidup anak ke depan (Neolaka, 2008).

Adapun prinsip-prinsip pengembangan kurikulum berbasis GGS sama dengan prinsi-prinsip pengembangan KTSP yaitu:

1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya.

Kurikulum berbasis GGS memiliki prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan potensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta


(37)

bertanggung jawab. Pengembangan kurikulum berbasis GGS perlu memperhatikan potensi dan kebutuhan lingkungan di mana siswa tinggal.

2. Beragam dan terpadu

Pengembangan kurikulum berbasis GGS memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta menghargai dan tidak diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial, ekonomi, dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna.

3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

Pengembangan kurikulum atas dasar kesadaran ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang berkembang secara dinamis. Maka semangat dan isi kurikulum berbasis GGS memberikan pengalaman belajar peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.

4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan

Pengembangan kurikulum berbasis GGS dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan.

5. Menyeluruh dan berkesinambungan

Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antar semua jenjang pendidikan.

6. Belajar sepanjang hayat

Kurikulum berbasis GGS diarahkan pada proses pengembangan, pembudayaan, dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, informal, dan nonformal dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.

7. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.

Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.


(38)

2.3.3. Karakteristik kurikulum berbasis GGS

Menurut UNESCO (United Nation for Educational, Scientific, and Cultural Organization) ada empat pilar pendidikan yang mendukung proses pembelajaran siswa, yaitu:

1. Learning to know; 2. Learning to do; 3. Learning to be, dan

4. Learning how to live together.

Pertama, learning to know. Dalam pilar ini, belajar dimaknai sebagai upaya hanya sebatas untuk mengetahui. Belajar dalam pilar ini termasuk dalam kategori sebagai belajar pada tingkat yang rendah, yakni belajar yang lebih menekankan pada ranah kognitif.

Kedua, learning to do. Dalam pilar ini, belajar dimaknai sebagai upaya untuk membuat peserta didik bukan hanya mengetahui, tetapi lebih kepada dapat melakukan atau mengerjakan kegiatan tertentu. Fokus pembelajaran dalam pilar ini lebih memfokuskan pada ranah psikomotorik.

Ketiga, learning to be. Dalam pilar ketiga ini, belajar dimaknai sebagai upaya untuk menjadikan peserta didik sebagai dirinya sendiri. Belajar dalam konteks ini bertujuan untuk meningkatkan dan mengembangkan potensi peserta didik, sesuai dengan minat dan bakatnya atau tipe-tipe kecerdasannya (types of intelligence). Howard Gardner menyebutkan ada delapan tipe kecerdasan, yang biasa disingkat

SLIM n BIL yaitu:

1. spatial atau keruangan; 2. language atau bahasa;

3. interpersonal atau hubungan social; 4. music atau musik;

5. naturalist atau cinta alam;

6. bodily kinesthetics atau olah raga atau gerak badan, 7. intrapersonal atau melihat diri sendiri, dan

8. logical mathematics atau logis matematis.

Keempat, learning how to live together. Pilar keempat ini memaknai belajar sebagai upaya agar peserta didik dapat hidup bersama dengan sesamanya secara damai. Dikaitkan dengan tipe-tipe kecerdasan, maka pilar keempat ini berupaya untuk menjadikan peserta didik memiliki kecerdasan sosial (social intelligence).


(39)

Keempat pilar pendidikan ini dimaksudkan oleh UNESCO bahwa proses belajar mengajar tidak hanya mementingkan hasilnya terutama hanya dalam bidang akademis, tetapi justru yang lebih penting adalah prosesnya. Konsep inilah yang digunakan sebagai karakteristik kurikulum berbasis GGS. Artinya menekankan proses belajar mengajar di dalam kelas bukan hanya diperlukan agar peserta didik dapat memperoleh pengetahuan sebanyak-banyaknya semata-mata, tetapi harus lebih banyak memperoleh pengalaman berintegrasi dengan lingkungan, dan siswa diberi kesempatan agar tumbuh kepedulian akan lingkungan lewat praktik, sehingga pada akhirnya dapat mengimlementasikan kepedulian terhadap issu lingkungan.

Menurut Nasution (1989) ada empat prinsip penerapan dalam belajar yaitu: 1. Belajar berdasarkan keseluruhan

Prinsip ini mengandung pengertian bahwa pembelajaran bukanlah berangkat dari fakta-fakta, akan tetapi berangkat dari masalah. Melalui masalah siswa dapat mempelajari fakta.

2. Anak yang belajar merupakan keseluruhan

Prinsip ini mengandung pengertian bahwa membelajarkan anak bukan hanya mengembangkan intelektual saja, tetapi mengembangkan seluruh kepribadiannya. 3. Belajar berkat “insight”

Insight merupakan pemahaman terhadap hubungan antar bagian di dalam suatu situasi permasalahan. Belajar bukanlah menghafal fakta. Melalui persoalan yang dihadapi, anak akan mendapatkan insight yang sangat berguna untuk menghadapi suatu problema.

4. Belajar berdasarkan pengalaman

Pengalaman adalah kejadian yang dapat memberikan arti dan makna kehidupan setiap pelaku individu. Proses pembelajaran adalah proses memberikan pengalaman-pengalaman yang bermakna untuk kehidupan anak.

Salah satu hukum belajar yang dikemukakan Thorndike dan dikutip Bigge adalah “hukum latihan” atau “The Law of Exercise or Repetion”. Hukum ini sangat mempengaruhi perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku terjadi karena adanya individu yang belajar. Perubahan tingkah laku akan bertambah bila dilakukan banyak latihan (praktik) dan pembiasaan.

Menurut Olivia (1977) istilah kompetensi dipahami sebagai kemampuan yang tampak dan tidak tampak. Kemampuan yang tampak disebut performance (penampilan). Performance itu tampil dalam bentuk tingkah laku yang dapat


(40)

didemonstrasikan, sehingga dapat diamati, dilihat, dan dirasakan. Kemampuan yang tidak tampak disebut juga kompetensi rasional, yang dikenal dalam taksonomi Bloom sebagai kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Kedua komponen itu saling terkait. Kemampuan performance akan berkembang manakala kemampuan rasional meningkat. Hal senada diungkapan oleh Dauer dan Pangrazi (1990), latihan adalah kunci keberhasilan belajar dan merupakan suatu cara yang penting dan efisien untuk meningkatkan kemampuan yang dimiliki menjadi pemahaman. Bila latihan sering dilakukan akan menjadi suatu kebiasaan yang permanen.

Kolb yang dikutib Holzer dan Andruet (1999) mengemukakan teori belajar yang berdasarkan pengalaman (experiential learning) terhadap suatu materi pengetahuan akan meningkat melalui pengalamannya. Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut dibutuhkan model-model pembelajaran yang menarik minat siswa untuk belajar.

Model pembelajaran tentang issu lingkungan di sekolah hendaknya dikemas secara menarik dan menantang sehingga tidak membosankan, untuk itu perlu adanya inovasi pembelajaran dengan cara permainan-permainan sehingga peserta didik tertarik dan paham akan arti pentingnya memelihara lingkungan hidup. Model pembelajaran ceramah seringkali kurang efektif, hal ini disebabkan karena proses belajar mengajar ceramah menempatkan peserta didik sebagai pihak yang pasif sehingga siswa cenderung bosan dan kurang memperhatikan (Hamalik, 1997).

Bagi anak-anak usia sekolah dasar, bermain masih merupakan kebutuhan. Model pembelajaran yang menarik akan membuat setiap anak menjadi aktif dan merasa senang. Model-model permainan seperti games, bermain peran (role play) atau simulasi bisa menarik minat dan memudahkan anak-anak memahami tujuan pengajaran. Permainan-permainan tersebut antara lain flipchart, pictuter is worth a thousand word, dan flow learning. Pendidikan lingkungan membutuhkan model-model pengembangan pembelajaran yang cocok, sehingga pemahaman tentang issu lingkungan hidup dapat tersampaikan sejak dini.

Pola pembelajaran dalam model pembelajaran merupakan karakteristik dan tahapan-tahapan kegiatan guru-siswa dalam peistiwa pembelajaran atau dikenal dengan istilah sintaks. Joyce et al., (1992) menggolongkan karakteristik model pembelajaran ke dalam empat rumpun, yaitu :


(41)

a. Rumpun model-model pengelolaan informasi

Model pembelajaran rumpun ini bertitik tolak dari prinsip-prinsip pengelolaan informasi. Model pengelolaan informasi ini dikembangkan berdasarkan cara-cara bagaimana manusia menangani rangsangan dari lingkungan, mengorganisasi data, mengenali masalah dan mencari solusinya, serta mengembangkan konsep-konsep dan bahasa untuk menangani masalah tersebut. Contoh model pembelajaran rumpun ini adalah: berpikir induktif, latihan inkuiri, concept attainmen, mnemonic (strategi mengingat dan menerima informasi), ceramah, perkembangan kognitif, advance organizer, dan synectics. b. Rumpun model-model pribadi

Model-model pembelajaran yang termasuk rumpun pribadi ini menekankan pada pengembangan pribadi siswa. Model ini menekankan proses membangun dan mengorganisasi realita yang memandang manusia sebagai pembuat makna. Contoh model pembelajaran rumpun ini adalah: pengajaran non-direktif, latihan kesadaran, sistem konseptual dan pertemuan kelas.

c. Rumpun model-model sosial

Model-model pembelajaran ini dikembangkan dengan cara belajar membangun lewat interaksi sosial dengan masyarakat. Model ini menggunakan sumber belajar dari kondisi lingkungan masyarakat. Contoh model pembelajaran rumpun ini adalah: pathners in learning atau kerja kelompok, jurisprudential, role playing (bermain peran).

d. Rumpun model-model perilaku

Model-model pembelajaran ini didasarkan pada suatu pengetahuan yang mengacu pada teori perilaku, seperti teori belajar sosial, dan modifikasi perilaku. Model pembelajaran ini mementingkan penciptaan lingkungan belajar yang memungkinkan penguatanan perilaku secara efektif sehingga terbentuk pola perilaku yang dikehendaki. Contoh model pembelajaran rumpun ini adalah: mastery learning, direct instruction, dan social learning theory, self control, training dan self training dalam bentuk learning from simulation, dan the condition of learning.

2.3.4. Aplikasi muatan lingkungan dalam kurikulum berbasisGGS

Judi dan Wood (1993) mengklasifikasikan kurikulum muatan lingkungan dalam dua metode yaitu metode infusi dan block.


(42)

1. Metode Infusi

Metode ini disebut juga metode penyisipan, dimana muatan lingkungan dan proses pelestarian alam diselaraskan dengan kurikulum yang telah ada dengan menganalisa standar kompetensi dan indikator masing-masing mata pelajaran. Dalam KTSP, issu lingkungan yang berisi permasalahan pelestarian alam dan lingkungan tersebut secara tradisional telah masuk dalam mata pelajaran pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan Sejarah. Selain itu permasalahan pelestraian alam dan issu lingkungan dapat disisipkan ke semua mata pelajaran dalam KTSP. Pada tingkat Sekolah Dasar (SD) persoalan-persoalan pelestarian alam dan lingkungan dapat disampaikan kepada siswa melalui mata pelajaran:

a. Pendidikan Agama

b. Pendidikan kewarganegaraan (PKn) c. Bahasa Indonesia

d. M a t e m a t i k a

e. IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) f. IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) g. Seni Budaya dan Ketrampilan h. Pendidikan Jasmani dan Kesehatan

Berikut ini adalah contoh cara menyisipkan pembelajaran pendidikan lingkungan dan konservasi alam kedalam mata pelajaran pada KTSP:

Tabel 1. Materi muatan lingkungan yang disisipkan pada KTSP

No Mata

pelajaran

Standar Kompetensi Kegiatan Pembelajaran

1. Pendidikan Agama

1. Kemampuan mengenal dan memahami keluarga, teman-teman dan masyarakat majemuk sebagai anugerah Tuhan, untuk memperkembangkan kerja sama dan kasih kepada sesama, hidup adil dan jujur dalam membangun kerukunan hidup, dan ikut serta memberantas penyakit sosial.

1. Siswa membuat doa / tulisan / gambar tentang kisah penciptaan bumi. 2. Simulasi atau drama

dengan mengetengahkan tema tentang lingkungan sebagai anugerah Tuhan

2. Kemampuan mengenal dan memahami lingkungan rumah & sekolah sebagai anugerah Tuhan, di era globalisasi ini ditandai dengan kemajuan industri dan IPTEK, sehingga mampu bersikap benar dan kritis terhadap kemajuan tersebut demi kesejahteraan bersama.


(43)

No Mata pelajaran

Standar Kompetensi Kegiatan Pembelajaran

3. Mengenal diri sendiri, perasaan, kemampuan dan sikap-sikapnya yang baik sebagai anugerah Tuhan, sehingga sebagai orang beriman mampu memperkembangkan diri dan menentukan cita-citanya. 2 Pendidikan

Kewarganeg araan (PKn)

1. Kemampuan siswa menujukkan sikap terhadap globalisasi di lingkungannya

1.1. Kemampuan siswa memberikan contoh sederhana pengaruh globalisasi di lingkungannya. 1.2. Kemampuan siswa menentukan

sikap terhadap pengaruh globalisasi yang terjadi di lingkungannya.

1.3. Kemampuan siswa

mengekspresikan sikap terhadap pengaruh globalisasi yang terjadi di lingkungannya drama singkat.

1. Studi kasus dan diskusi tentang dampak positif dan negative yang ditimbulkan dari globalisasi terhadap lingkungan

2. Simulasi atau drama dengan

mengetengahkan tema tentang bencana alam akibat ulah manusia.

3. Bahasa Indonesia

1. Kemampuan siswa dalam mendengar dan menyimak tentang issu

lingkungan.

2. Kemampuan berekspresi dan mengembangkan gagasan secara lisan tentang issu lingkungan.

3. Kemampuan membaca efektif dan memahami isi wacana tentang issu lingkungan.

4. Kemampuan menulis gagasan tentang issu lingkungan.

1. Guru menceritakan suatu cerita fiksi atau cerita nyata dengan tema lingkungan, setelah selesai siswa diminta untuk mencatat dan menceritakan kembali. 2. Siswa diminta untuk

bercerita tentang lingkungan, kemudian guru mengkomentarinya dan dilanjutkan pada siswa lainnya.

3. Guru memutar film cerita atau film dokumenter yang bertemakan lingkungan, selanjutnya siswa diminta

menceritkan. 4. Matematika 1. Kemampuan menghitung.

2. Kemampuan memahami data matematis.

3. Kemampuan mengelompokkan data.

Kemampuan membuat grafik.

1. Menyelesaikan soal cerita tentang korban bencana alam.

2. Membuat grafik korban bencana alam.

3. Mengenalkan bentuk-bentuk segitiga, jajaran genjang, persegi panjang, segi empat dengan gambar-gambar flora dan fauna khas daerah masing-masing.


(44)

No Mata pelajaran

Standar Kompetensi Kegiatan Pembelajaran

5. IPA (Ilmu

Pengetahuan ALAM)

1. Pengetahuan tentang dinamika alam dan manusia yang menyebabkan bencana. 2. Pengetahuan tentang hubungan

manusia dan alam.

3. Kemampuan mengamati sumber daya alam.

4. Kemampuan menyampaikan pikiran dalam karya tulis. 5. Kemampuan memanfaatkan

sumber daya alam. 6. Kemampuan meneliti. 7. Pengetahuan tentang

keanekaragaman hayati

1. Ceramah dan diskusi tentang permasalahan lingkungan. Guru dapat memutarkan film dokumentar atau membuat kliping dan didiskusikan dalam kelas.

2. Wawancara. Guru mengajak siswa untuk mewawancarai ahli/ masyarakat mengenai permasalahan lingkungan sesuai dg timpat tinggalnya. 3. Field Trip. Mengajak

siswa live in lingkungan

6. IPS (Ilmu

Pengetahuan Sosial

1. Kemampuan memahami sejarah, kenampakan alam, dan keragaman suku bangsa di lingkungan kabupaten/kota dan provinsi. 2. Kemampuan mengenal sumber daya

alam, kegiatan ekonomi, dan kemajuan teknologi di lingkungan kabupaten/kota dan provinsi 3. Kemampuan memahami sumber daya

alam, kegiatan ekonomi, dan kemajuan teknologi di lingkungan kabupaten/kota dan provinsi.

1. Simulasi menghadapi gempa bumi, tsunami dan banjir.

2. Bermain peran siswa diminta membuat cerita drama tentang issu lingkungan. 7. Seni Budaya dan Ketrampil an

1. Kemampuan memanfaatkan sumber daya alam.

2. Pengetahuan keterampilan memelihara lingkungan sekitar 3. Kemampuan berekpresi 4. Ketrampilan tangan

5. Kemampuan bekerja kelompok dan kepemimpinan

1. Menuangkan permasalahan

permasalahan lingkungan kedalam lukisan, naskah drama, tarian, puisi dan lagu

2. Membuat mainan dari tumbuhan dan barang-barang bekas. 8. Pendidikan

Jasmani dan Kesehatan

1. Mengembangkan kesadaran dan keterampilan untuk menolong korban, dengan materi pembelajaran tentang tumbuhan obat-obatan, P3K, teknik memindahkan korban, dan menerapkan budaya hidup sehat.

1. Permainan-permainan 2. Operasi semut.

2. Metode Block

Metode ini disebut juga pelajaran khusus. Metode block adalah pembelajaran pendidikan lingkungan dengan mata pelajaran yang berdiri sendiri. Ada dua cara dalam pembelajaran metode block ini, yaitu dengan memasukkan ke dalam kurikulum sekolah dan di luar kurikulum sekolah. Jika dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah, biasanya berupa mata pelajaran


(45)

muatan lokal (mulok).

Pendidikan Lingkungan jika tidak dimasukkan dalam kurikulum sekolah maka dapat dimasukkan dalam ektrakurikuler. Alasan memasukkan permasalahan lingkungan hidup ke dalam ektrakurikuler adalah bagi anak sekolah di Indonesia sudah terlalu banyak mata pelajaran yang diajarkan, sehingga jika mata pelajaran tentang pendidikan lingkungan diajarkan dengan mata pelajaran tersendiri menambah beban siswa, sehingga dimasukkan kedalam ektrakurikuler (Armanto et al., 2007). Kelemahan metode karena susah membuat materi tentang pendidikan lingkungan.

Metode infusi dan block punya kelebihan dan kelemahan dalam penerapannya. Tabel 2. menjelaskan kelebihan dan kelemahan metode infusi. Tabel 2. Kelebihan dan kelemahan metode infusi

KELEBIHAN METODE INFUSI KELEMAHAN METODE INFUSI

1. Sumber Daya Manusia (Guru) tidak membutuhkan khusus spesialis pendidikan lingkungan.

2. Tidak membutuhkan waktu khusus dan tidak menambah pelajaran bagi siswa.

3. Gerakan peduli lingkungan didukung oleh semua guru mata pelajaran.

4. Mendorong transfer pembelajaran dan pemecahan masalah terpadu untuk lintas kurikulum.

5. Sesuai dengan tingkatan umur dan perkembangan siswa. 6. Dapat diterapkan secara berkesinambungan (jenjang TK

SMA).

1. Membutuhkan Sumber Daya Manusia (Guru) yang peduli dengan lingkungan.

2. Perlu analisa dalam pengembangan kurikulum.

3. Perlu pelatihan dan upaya guru yang ektensif.

4. Pesan pendidikan lingkungan menjadi samar karena disesuaikan dengan mata pelajaran.

5. Evaluasi lebih sulit.

Tabel 3. Berikut di bawah ini menjelaskan kelebihan dan kelemahan metode block.

Tabel 3. Kelebihan dan kelemahan metode block

KELEBIHAN METODE BLOCK KELEMAHAN METODE BLOCK

1. Lebih mudah diterapkan sebagai materi tunggal dan lebih mendalam, sehingga pesan yang disampaikan lebih mudah dipahami.

2. Evaluasi pelaksanaan lebih mudah dilaksanakan.

1. Membutuhkan Sumber daya manusia (guru) sesuai dengan bidangnya (lulusan ilmu lingkungan).

2. Perlu waktu untuk menyesuaikan dengan standar kompetensi dengan mata pelajaran lain.

3. Menambah beban pelajaran bagi siswa. 4. Sulit mendapatkan guru berkualitas untuk

merancang dan mengajar mata pelajaran ini. 5. Memungkinkan berimplikasi karena mata

pelajaran ini tidak interdisiplin.

Kebijakan pemerintah untuk menerapkan pendidikan lingkungan belum jelas benar apakah memilih metode infusi atau block.


(46)

2.4. Kebaruan Penelitian

Berdasarkan beberapa penelitian yang terdahulu yaitu:

1. Yustina (2006) dengan judul: Hubungan Pengetahuan Lingkungan dengan Persepsi, Sikap dan Minat dalam Pengelolaan Lingungan Hidup pada Guru Sekolah Dasar di Pakanbaru. Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan signifikan skor pengetahuan lingkungan guru antara sebelum dan sesudah diberikan pendidikan pengetahuan Lingkungan Hidup.

2. Tim Peneliti Balitbank Provinsi Jateng yang berjudul Perilaku Sosial Anak Sekolah terhadap Lingkungan Hidup dan Upaya Pelestarian Lingkungan Hidup. Penelitian ini menghasilkan deskripsi penegasan pentingnya peran sekolah dan lingkungan tempat tinggal dalam pendidikan lingkungan hidup. Sekolah menanamkan kepedulian pada lingkungan menunjukkan siswa punya kepedulian terhadap lingkungan termanifestasi dalam perilaku sosial dengan menjadi pelopor bagi budaya peduli terhadap lingkungan hidup.

3. Suroso Mukti Leksono (2008) meneliti tentang Pengembangan Kurikulum Pembelajaran Konservasi, Lingkungan Hidup dan mitigasi Bencana Alam. Dalam penelitian ini ditemukan dua cara untuk mengajarkan pendidikan lingkungan dan konservasi serta mitigasi bencana, yaitu metode infusi dan metode block. Kedua cara tersebut dapat dipilih oleh pemerintah dan memasukkan ke dalam kurikulum KTSP untuk muatan lokal.

4. Vlasta Hus (2010) dengan judul The curriculum for the subject enviromental studies in the primary school in Slovenia. Hasil penelitannya: The aim of the present paper is to demonstrate the characteristic of the new curriculum for the subject Environmental studies. It is possible to conclude that the curriculum for Environmental studies is designed very “openly”, is realisable and requires well trained teachers.

5. Al Fowehi Hazaa Abdul Karem, Kamisah Osman, T. Subahan Mohd Meerah (2010) dengan judul penelitian The effectiveness of classroom and non classroom activities on developing Saudi Arabian secondary students’ environmental values. Analyses of findings reveal that students who were exposed to the classroom and non-classroom environmental intervention module significantly improved their environmental values as compared to their counterparts in the control group. When gender effect was measured, it was found that significant improvement occurred within both the female and male groups. The findings will lead to


(47)

several suggestions on how to improve the existing teaching of environmental issues within the context of Saudi’s Biology classes.

6. Amie Eisenhut and Diana Flannery (2005) dengan judul Fostering an Environmental Ethic through Service. The findings of the study revealed that students grew in their sense of environmental responsibility; significantly increased their “level of concern” for 18 of the 19 environmental variables measured; and viewed community action as empowering.

7. Resti Meilani (2009) meneliti tentang Implementasi Pendidikan Lingkungan Hidup di Sekolah Sekitar. Dihasilkan Interaksi dengan siswa di kedua sekolah menunjukkan bahwa wawasan mengenai hutan dan lingkungan yang dikuasai oleh siswa di SDN Gunung Bunder 04 relatif lebih luas dibandingkan siswa di SDN Gunung Picung 05. Hal ini diduga berkaitan dengan metode dan media pembelajaran PLH yang digunakan oleh guru SDN Gunung Bunder 04 dalam menyampaikan materi PLH kepada siswanya.

8. Indyah Sulistyo Arty (2005) meneliti tentang Pendidilan Lingkungan Hidup tentang Bahaya Polutan. Pendidikan lingkungan hidup sangat dimungkinkan diintegrasikan ke dalam mata pelajaran IPA, biologi, fisika, kimia, dan geografi. Selain itu perlu mencoba pendidikan lingkungan sebagai muatan lokal untuk mendukung misi pokok pendidikan lingkungan hidup.

9. Kongsak Thathong (2010) dengan judul A study of suitable environmental education process for Thai schools context. Seven guidelines for the suitable environmental education process for Thai schools context were 1) environmental issues should be addressed in a vision of school-based curriculum, 2) environmental education should be indicated in school policy and action plan, 3) student-centered and integration instruction using community resource should be used in providing learning activities, 4) enhancement of self-directed improvement of teachers' awareness toward environmental activities by providing a workshop and promotion of cooperation among stakeholders in school, 5) providing activities to develop the desired characteristics of the students and empowerment the students to launch the environmental projects by themselves, 6) physical environment of school should be decorated to be learning resource, and 7) a school superintendent should allocate personnel, time, money, and continuous support for environmental projects.


(48)

Dalam penelitian ini akan dihasilkan rancang bangun model kurikulum berbasis Go Green School (GGS) di Tarakanita. Model dibangun berdasarkan KTSP dan kurikulum berbasis GGS dengan menggunakan metode Pendekatan Sistem. Model Ideal Kurikulum berbasis Go Green disusun berdasarkan 8 kriteria Standar Nasional Pendidikan menurut Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 dalam bentuk matrik. Teknik yang digunakan dalam penyusunan model adalah gap analisis terhadap substansi mata pelajaran dan cara pemberian materi di kelas. Komparasi Nilai teori dan praktek untuk menguji pemahaman dan kreativitas siswa terhadap faktor muatan lingkungan. Model ideal kurikulum berbasis Go Green dapat digunakan bagi sekolah-sekolah yang akan membuat kurikulum berbasis Go Green.


(49)

III.

METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Wilayah Jakarta dan Tangerang pada siswa kelas IV SD. Wilayah Jakarta yaitu di SD Tarakanita 1 dan SD Tarakanita 3. Wilayah Tangerang di SD Tarakanita Gading Serpong dan di SD Tarakanita Citra Raya. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2011 sampai dengan bulan Januari 2012.

Dalam penelitian ini, peneliti membagi objek yang diteliti menjadi dua grup, yaitu grup treatment atau yang memperoleh perlakukan menggunakan kurikulum GGS, yaitu: di SD Tarakanita 3 (wilayah Jakarta) dan SD Tarakanita Citra Raya (wilayah Tangerang) dan grup kontrol yang tidak memperoleh perlakuan menggunakan KTSP, yaitu SD Tarakanita 1 (wilayah Jakarta) dan SD Tarakanita Gading Serpong (wilayah Tangerang). Perlakuan yang dilakukan dalam penelitian ini berupa pengembangan kurikulum berbasis Go Green School. Pada penelitian ini penulis menggunakan metode infusi, di mana muatan lingkungan disisipkan pada setiap mata pelajaran pada KTSP.

Penelitian ini menggambil sampel siswa jenjang SD kelas IV karena, menurut teori Piaget (Santrock, 2009) anak yang berada di kelas awal SD adalah anak yang berada pada rentangan usia dini, di mana masa yang sangat penting bagi kehidupannya. Waktu yang tepat untuk menanamkan pemahaman issu lingkungan untuk mengembangkan pemahaman dan implementasi terhadap issu lingkungan.

Penentuan sampel pada penelitian ini berdasarkan kriteria yang sama, adapun kriteria sekolah sampel dapat terlihat pada Tabel 4 di berikut ini:

Tabel 4. Kriteria Sekolah sampel

KRITERIA

WILAYAH JAKARTA SD TAKANITA

WILAYAH TANGERANG SD TARAKANITA

1 3 GADING CITRA

SEKOLAH: 1. Akreditasi 2. Lokasi Sekolah 3. Rata-rata NEM 4. Pekerjaan orangtua 5. Pendidikan orangtua

A Perumahan

8,28 PNS (85%)

SMA – S3

A Perumahan

8,31 PNS (82%)

SMA – S2

A Perumahan

8,29 PNS(80%) SMA – S2

A Perumahan

8,35 PNS(82%) SMA – S2 GURU:

1. Sarjana 2. Terserifikasi

3. Bekerja di Tarakanita min 5 th 4. Sudah mengikuti pelatihan

guru model √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √


(50)

Struktur model kurikulum berbasis Go Green School membutuhkan guru model yang memiliki kompetensi tentang pemahaman dan implementasi muatan lingkungan pada masing-masing bidang studi. Secara teori untuk meningkatkan pemahaman dan implementasi siswa terhadap issu lingkungan membutuhkan guru yang mampu mengelola proses belajar mengajar yang aktif, inovatif, kreatif dan menyenangkan (PAIKEM), sehingga siswa dapat termotivasi untuk belajar dengan tujuan dapat menghasilkan proses pembelajaran secara maksimal. Ramsden (1992) memaparkan kunci pembelajaran efektif yang dapat dipakai sebagai domain penyusunan elemen-emenan kerja kompetensi guru dalam melaksanakan pembelajaran, yaitu: 1) ketertarikan terhadap pembelajaran, 2) apresiasi dan respek terhadap siswa dan cara belajarnya, 3) ketepatan melakukan asesmen dan umpan balik, 4) kejelasan tujuan dan minat pada tantangan intelektual, 5) kemandirian, 6) kendali dan pengembangan diri secara aktif.

Pada penelitian ini, penulis tidak menguji kompetensi guru karena guru model dipilih yang sudah tersertifikasi dan telah sesuai dengan kriteria yang ditetapkan, tetapi dilakukan survey untuk melihat sejauh mana pemahaman guru terhadap kurikulum berbasis GGS di sekolah model. Survey pemahaman guru model dilakukan setelah sosialisasi dilaksanakan. Kuesioner yang disampaikan kepada guru, sebelum digunakan telah diperiksa oleh dosen pembimbing dan teman sejawat, dengan koreksi beberapa hal yang menyangkut kebahasaan maupun kontainnya. Hal ini dilakukan oleh peneliti agar kuesioner tersebut memenuhi kebutuhan dalam penelitian.

Alat uji berupa skala ordinal dalam kuesioner tertutup, responden diminta memilih empat pilihan, yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), kurang setuju (KS), dan tidak setuju (TS). Kuesioner yang diberikan seperti terlihat pada Tabel 5 berikut ini: Tabel 5. Kuesioner Guru

No PERNYATAAN SS S KS TS

1. Situasi dunia dengan issu kerusakan lingkungan menjadi tanggung jawab bersama untuk mengusahakan dan mencegah agar kerusakan lingkungan tidak semakin parah

2. Saya paham tujuan dari kurikulum berbasis Go Green

School

3. Pendidikan merupakan bidang yang sangat strategis dalam membina generasi muda, maka untuk mengubah paradigma tersebut perlu dimulai dari pendidikan. 4. Jika sekolah membuat terobosan untuk mengembangkan


(1)

70

 

 


(2)

71

 

 


(3)

72

 

 


(4)

73

 

 


(5)

HASIL

 

VALIDASI

 

GURU

 

SD

 

TARAKANITA

 

CITRA

 

RAYA

 

1

2

3

4

5

6

7

8

9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26

1 4 4 4 3 4 4 4 3 4 4 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3

2

3 2 2 2 2 2 3 3 3 3 2 3 3 3 3 4 4 3 3 3 3 4 4 3 4 3

3

4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 3 4 4 3 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4

4

4 3 4 4 4 4 4 3 3 3 4 3 3 3 4 4 4 3 4 3 4 4 4 4 4 4

5

2 4 4 3 4 3 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

6

4 3 4 4 3 4 4 3 4 3 4 3 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 3

7 3 4 4 4 4 4 4 3 4 3 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3

8 4 4 4 3 4 4 4 3 4 4 3 4 4 3 4 4 4 3 3 3 4 4 4 4 4 3

9 4 4 4 3 4 4 4 3 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

10

4 4 4 2 4 4 3 3 3 3 2 4 4 3 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 3

11 3 4 4 2 4 3 3 3 4 3 2 2 2 3 4 4 3 3 3 3 4 4 4 4 4 3

12 4 3 3 3 3 3 4 4 3 4 3 3 3 3 3 4 3 3 3 4 4 4 4 3 4 3

13 3 3 4 2 3 4 4 3 4 3 2 2 2 3 4 4 3 2 3 3 4 4 4 3 4 3

14 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 3

15 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 3

16 3 3 4 2 3 4 4 2 3 2 2 3 3 3 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 3

17 4 3 4 3 4 4 4 3 4 3 3 3 3 3 4 4 3 4 3 4 4 4 4 4 4 3

18 4 4 4 3 4 4 4 3 4 3 3 4 4 3 4 4 3 4 3 4 4 4 4 4 4 3

19 4 3 4 3 2 3 4 3 4 3 3 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 3

20 3 4 4 3 4 4 4 3 4 3 3 3 3 3 3 4 3 4 3 3 4 4 4 4 4 3

∑ 72 71 77 60 72 73 77 64 75 67 60 68 70 66 77 80 71 72 70 73 79 80 80 77 80 64

Nilai 90 89 96 75 90 91 96 80 94 84 75 85 88 83 96 100 89 90 88 91 99 100 100 96 100 80

L /TL L L L TL L L L L L L TL L L L L L L L L L L L L L L L

i

 

Rata

90,14423077

No. Soa


(6)

28

29

30

99 95 Amat baik

77 74 Cukup

100 96 Amat baik

95 91 Amat baik

99 95 Amat baik

97 93 Amat baik

99 95 Amat baik

96 92 Amat baik

101 97 Amat baik

93 89 Baik

85 82 Baik

88 85 Baik

83 80 Cukup

101 97 Amat baik

101 97 Amat baik

87 84 Baik

93 89 Baik

96 92 Amat baik

94 90 Amat baik

91 88 Baik