Hakekat Pendidikan Desain Model Kurikulum Berbasis Go Green School

konsep pendidikan di atas, pendidikan merupakan pembudayaan atau enculturation, suatu proses untuk menjadikan seseorang untuk mampu hidup dalam suatu budaya tertentu. Pendidikan membutuhkan keharmonisan dengan lingkungan, sebab praktek pendidikan harus mendasarkan pada teori-teori pendidikan dan pada tahap berikutnya teori-teori pendidikan harus bersumber dari suatu pandangan hidup masyarakat yang bersangkutan. 2.1.2. Karakteristik Peserta Didik Sistem pendidikan di Indonesia mempunyai tiga tahap pendidikan yaitu: tahap pendidikan dasar SD, menengah pertama SMP, dan menengah atas SMA. Secara psikologis anak didik memiliki keunikan dan perbedaan-perbedaan baik perbedaan bakat, minat, maupun potensi yang dimilikinya sesuai dengan tahapan perkembangannya. Kurikulum merupakan pedoman bagi guru dalam mengantar anak didik sesuai dengan harapan dan tujuan pendidikan. Pemahaman tentang anak bagi pengembang kurikulum sangatlah penting. Kesalahan persepsi atau kedangkalan pemahaman tentang anak, dapat menyebabkan kesalahan arah dan kesalahan praktik pendidikan Hartati, 2005. Ada beberapa alasan yang dikemukan Santrock 2007 tentang masa-masa perkembangan perkembangan. Pertama, setiap anak didik memiliki tahapan atau masa perkembangan tertentu. Pada setiap tahapan itu anak memiliki karakteristik dan tugas-tugas perkembangan tertentu. Jika tugas-tugas perkembangan itu tidak terpenuhi, maka akan mengalami hambatan pada tahap berikutnya. Kedua, anak didik yang sedang pada masa perkembangan merupakan periode yang sangat menentukan untuk keberhasilan dan kesuksesan hidup mereka. Pada masa itu anak berada pada periode perkembangan yang sangat cepat dalam berbagai aspek perkembangan. Ketiga, pemahaman akan perkembangan anak, akan memudahkan dalam melaksanakan tugas-tugas pendidikan, baik yang menyangkut proses pemberian bantuan memecahkan berbagai masalah yang dihadapi, maupun mengantisipasi kejadian-kejadian yang tidak diharapkan. Menurut Piaget, kemampuan kognitif merupakan suatu yang fundamental yang mengarah pada membimbing perilaku anak. Menurut Piaget ada dua konsep yang perlu dipahami dalam teori perkembangan kognitif, yaitu konsep tentang fungsi dan struktur. Fungsi merupakan mekanisme biologis bawaan yang sama untuk setiap orang. Tujuannya adalah untuk menyusun struktur kognitif internal. Melalui fungsi akan terjadi kecenderungan-kecenderungan biologis untuk mengorganisasi pengetahunan ke dalam struktur kognisi, dan untuk beradaptasi terhadap berbagai tantangan yang datang dari luar lingkungannya. Sedangkan, struktur merupakan seperangkat keterampilan, pola-pola kegiatan yang fleksibel yang digunakan untuk memahami lingkungan. Piaget berpendapat bahwa dalam memahami lingkungan anak bersifat aktif. Tahapan-tahapan perkembangan kognitif menurut Piaget terdiri dari empat fase, yaitu: 1. Sensorimotor 0-2 tahun Pada fase sensorimotor yang berlangsung sejak anak lahir sampai usia 2 tahun, kemampuan kognitif anak sangat terbatas. Piaget mengistilahkannya dengan kemampuan yang bersifat primitif, artinya masih didasarkan kepada perilaku terbuka. Kemampuan kognitif yang dimiliki anak usia ini merupakan intelegensi dasar yang amat menentukan perkembangan kognitif selanjutnya. Kemampuan anak dalam berbahasa pada masa ini belum muncul. Interaksi dengan lingkungan dilakukan dengan gerakan-gerakan tubuhnya yang merupakan eksperimen terhadap lingkungannya. Melalui proses interaksi dengan lingkungan, lambat laun anak akan belajar tentang bagaimana menguasai lingkungannya secara lebih baik. 2. Praoperasional 2-7 tahun Pada fase ini menurut Piaget ditandai dengan beberapa ciri. Pertama, adanya kesadaran dalam diri anak tentang suatu objek. Artinya, pandangan anak terhadap benda sudah tidak melalui indranya seperti pada masa sensorimotor. Kedua, pada fase ini kemampuan anak dalam berbahasa mulai berkembang. Anak mulai mampu mengekspresikan sesuatu dengan kalimat pendek namun efektif. Ketiga, fase praoperasional ini dinamakan juga fase intuisi, sebab pada masa ini anak mulai mengetahui perbedaan objek-objek sebagai sesuatu bagian individu. Keempat, pandangan terhadap dunia bersifat ‘animistic” artinya, bahwa segala sesuatu yang bergerak di dunia ini adalah “hidup”. Kelima, pada masa ini pengamatan dan pemahaman anak terhadap lingkungan sangat dipengaruhi sifatnya yang “egocentric”. 3. Operasional konkret 7 – 11 tahun Dikatakan fase operasional konkret, karena pada masa ini pikiran anak terbatas pada objek-objek yang ia jumpai dari pengalaman-pengalaman langsung. Pada masa ini, selain kemampuan yang telah dimiliki sebelumnya, anak memperoleh tambahan kemampuan yang disebut dengan system of operations. Kemampuan ini sangat penting artinya bagi anak untuk mengoordinasikan pemikiran suatu ide dalam peristiwa tertentu ke dalam sistem pemikirannya sendiri. Kemampuan satuan langkah berpikir ini, kelak akan menjadi dasar terbentuknya intelegensi. Kemampuan kognitif yang dimiliki anak pada fase ini meliputi conservation, addition of classes, dan multiplication of classes. Conservation adalah kemampuan anak dalam memahami aspek-aspek komulatif materi, seperti volume dan jumlah. Addition of classes yaitu kemampuan anak dalam memahami cara mengkombinasikan benda-benda yang dianggap memiliki kelas yang rendah dan dihubungkan dengan kelas yang lebih tinggi. Multiplication of classes yakni kemampuan yang melibatkan pengetahuan mengenai cara mempertahankan dimensi-dimensi benda seperti warna bunga dan jenis bunga untuk membentuk gabungan golongan benda. Kemampuan ini juga meliputi kemampuan memisahkan gabungan golongan benda menjadi dimensi yang spesifik, misalnya warna bunga mawar terdiri atas merah, putih, dan kuning. Dengan munculnya kemampuan-kemampuan di atas, maka kemampuan operasi kognitif ini juga meliputi kemampuan melakukan berbagai macam operasional secara matematika, seperti: menambah, mengurangi, mengalikan dan membagi. Kemampuan matematika ini merupakan dasar bagi pengembangan “akal pikiran”. Sebagai hasil fase ini, anak mengorganisir lingkungannya ke dalam struktur- struktur kognitif berupa ide-ide atau konsep-konsep. Setiap kali anak menjumpai objek baru di alam sekitarnya, ia tidak perlu lagi menguji secara luas, akan tetapi ia sudah dapat mengklasifikasikannya sesuai dengan bagian, struktur, dan fungsinya. Kemampuan anak pada fase ini masih terbatas pada hal-hal yang konkret, maka proses berpikir anak akan terjadi pada aktivitas-aktivitas langsung. Anak akan menemui kesulitan untuk memecahkan masalah dengan hanya mengandalkan daya otaknya tanpa mencoba melakukan kegiatan atau pengalaman langsung. Segala sesuatu yang dipikirkan harus ditarik pada hal-hal yang konkret, tanpa ada penarikan seperti itu, maka akan sulit dipecahkan anak. 4. Operasional formal 12 – 14 tahun keatas Piaget menamakan fase ini sebagai fase “formal operasional”, karena pada masa ini pola berpikir anak sudah sitematik dan meliputi proses-proses yang kompleks. Operasionalnya tidak lagi terbatas semata-mata pada hal-hal konkret, akan tetapi dapat juga dilakukan pada oprasional lainnya, dengan menggunakan logika yang lebih tinggi tingkatannya. Aktivitas proses berpikir pada fase ini mulai menyerupai cara berpikir orang dewasa, karena kemampuannya yang sudah berkembang pada hal-hal yang bersifat abstrak. Berdasarkan teori Piaget maka baik tujuan maupun isi kurikulum harus mempertimbangkan taraf perkembangan anak. Tanpa pertimbangan psikologi anak, maka kurikulum kurang efektif. 2.1.3. Pendidikan Karakter dan Lingkungan Hidup Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional UU Sisdiknas merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”. Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Lima dari delapan potensi peserta didik yang akan dikembangkan yaitu manusia yang: 1 beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 2 berakhlak mulia; 3 kreatif; 4 mandiri; dan 5 menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab dekat dengan pendidikan karakter. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Untuk mendapatkan wawasan mengenai arti pendidikan karakter dan pendidikan lingkungan perlu dikemukakan pengertian istilah karakter bangsa, dan pendidikan lingkungan. Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan virtues yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti: jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang bersangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial, budaya masyarakat, dan budaya bangsa. Lingkungan sosial dan budaya bangsa adalah Pancasila; jadi pendidikan budaya dan karakter bangsa haruslah berdasarkan nilai- nilai Pancasila. Dengan kata lain, mendidik budaya dan karakter bangsa adalah mengembangkan nilai-nilai Pancasila pada diri peserta didik melalui pendidikan afeksi, kognitif dan psikomotorik. Dalam Ensiklopedia Indonesia 1983, lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar suatu organisme, meliputi: 1 lingkungan mati abiotik, yaitu lingkungan di luar suatu organisme yang terdiri atas benda atau faktor alam yang tidak hidup, seperti bahan kimia, suhu, cahaya, gravitasi, atmosfir, dan lainnya, 2 lingkungan hidup biotik, yaitu lingkungan di luar suatu organisme yang terdiri atas organisme hidup, seperti tumbuhan, hewan, dan manusia. Berdasarkan definisi lingkungan maka pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan lingkungan. Pendidikan tidak mungkin menisbikan proses interaksi dengan lingkungan terutama di jaman globalisasi ini. Diharapkan, pengetahuan lingkungan, persepsi, dan sikap peduli dalam pengelolaan lingkungan a k a n m e m o t i v a s i m i n a t y a n g d a p a t diimplementasikan dan ditumbuhkembangkan menjadi budaya kepada anak didik khususnya pada tahapan pendidikan dasar. Menurut Hazaa et al. 2010 pendidikan lingkungan akan membantu membentuk pengetahuan, keterampilan dan penanaman nilai-nilai bagi siswa. Proses pendidikan lingkungan dianggap dapat membentuk karakter siswa sebagai generasi penerus bangsa Neolaka, 2008. Lewat pendidikan karakter diharapkan dapat mengubah gaya hidup dan pola hidup terhadap faktor lingkungan. Hal senada juga diungkapan oleh Tyler 1990, bahwa pendidikan merupakan pengalaman belajar. Pengalaman belajar adalah segala aktivitas siswa dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Berdasarkan pendapat para ahli di atas maka kesadaran dalam melestarikan lingkungan bagi siswa akan lebih efektif bila diberikan melalui mata pelajaran atau kegiatan pembelajaran yang berarti dimasukkan dalam kurikulum Mukti, 2008. Gambar 2, memperlihatkan bahwa pendidikan lingkungan mempunyai fokus pada perbaikan lingkungan, sikap, dan nilai-nilai kehidupan sementara pendidikan untuk lingkungan membutuhkan implementasi siswa dalam situasi kehidupan yang nyata dalam proses pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, dan menyenangkan sehingga pembelajaran menjadi bermakna dalam hidup. Gambar 2. Pendekatan Model Pembelajaran Lingkungan Hidup Hazaa, 2010 Pendidikan lingkungan tidak akan terpisah dengan pendidikan karakter, karena menanamkan keutamaan yang holistik bukan hanya untuk peserta didik yang sedang berproses di sekolah, melainkan bagi setiap orang yang berada di lembaga pendidikan stakeholder. Menunjuk persoalan dan peranan pendidikan di atas, maka perlu disadari betapa pentingnya pendidikan budi pekerti, pendidikan nilai atau pendidikan karakter carachter building. Ketiga istilah ini sering kali disamakan, padahal mengandung perbedaan, tetapi intinya membawa orang mencintai keutamaan atau moral. Pendidikan karakter semakin mendesak untuk diterapkan dalam lembaga pendidikan mengingat berbagai macam perilaku yang non-edukatif kini telah merasuki zaman ini. Pendidikan karakter bukan sekadar memiliki dimensi integratif, dalam arti, mengukuhkan moral intelektual peserta didik sehingga menjadi pribadi yang kokoh dan tahan uji, melainkan juga bersifat kuratif secara personal dan sosial Koesoema, 2009. Pendidikan karakter menjadi sebuah jalan keluar penyembuh Pendidikan terintegrasi dalam lingkungan Pendidikan berbasis Lingkungan Aksi Pengalaman pengembangan pengetahuan pemahaman secara holistik Pendidikan Pendidikan Karakter penyakit sosial. Pendidikan karakter menjadi sebuah jalan keluar bagi proses perbaikan dalam masyarakat.

2.2. Hakekat Kurikulum

2.2.1. Pengertian Kurikulum Kurikulum Curriculum dalam bahasa Yunani kuno berasal dari kata Curir yang artinya pelari; dan Curere yang artinya tempat berpacu. Curriculum diartikan jarak yang harus ditempuh oleh pelari. Dari makna yang terkandung berdasarkan rumusan tersebut kurikulum dalam pendidikan diartikan sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan anak didik untuk memperoleh ijasah Sudjana, 2005. Print 1993 memandang bahwa kurikulum meliputi perencanaan pengalaman belajar, program sebuah lembaga pendidikan yang diwujudkan dalam sebuah dokumen, serta hasil dari implementasi dokumen yang telah disusun. Pada dasarnya kurikulum memiliki tiga dimensi pengertian, yakni kurikulum sebagai mata pelajaran, kurikulum sebagai pengalaman belajar, dan kurikulum sebagai perencanaan program pembelajaran. Pengertian kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik, merupakan konsep kurikulum yang sampai saat ini banyak mewarnai teori-teori dan praktik pendidikan Saylor, Alexander Lewis, 1981. Konsep kurikulum sebagai mata pelajaran biasanya erat kaitan dengan usaha memperoleh ijasah. Artinya, apabila siswa telah berhasil mendapatkan ijasah berarti ia telah menguasai pelajaran sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Kemampuan tersebut tercermin dalam nilai setiap mata pelajaran yang terkandung dalam ijasah itu. Kurikulum sebagai mata pelajaran yang harus diselesaikan oleh anak didik, dalam proses perencanaannya mempunyai ketentuan sebagai berikut Wina, 2010: 1. Perencanaan kurikulum biasanya menggunakan judgment ahli bidang studi. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor sosial dan faktor pendidikan, ahli tersebut menentukan mata pelajaran apa yang akan diajarkan kepada siswa. 2. Dalam menentukan dan menyeleksi kurikulum perlu dipertimbangkan beberapa hal seperti tingkat kesulitan, minat siswa, dan urutan bahan pelajaran. 3. Perencanaan dan implementasi kurikulum ditekankan kepada penggunaan metode dan strategi pembelajaran yang memungkinkan anak didik dapat menguasai materi pelajaran, dengan menggunakan pendekatan ekspositori. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk terjadinya pergeseran fungsi sekolah sebagai suatu institusi pendidikan. Sekolah tidak hanya dituntut untuk dapat mengembangkan minat dan bakat, membentuk moral dan kepribadian, bahkan dituntut agar siswa dapat menguasai berbagai macam keterampilan yang dibutuhkan untuk memenuhi dunia pekerjaan mengakibatkan pergeseran makna kurikulum. Kurikulum tidak lagi sebagai mata pelajaran tetapi sebagai pengalaman belajar siswa. Artinya memahami kurikulum sekolah tidak cukup hanya dengan melihat dokumen kurikulum sebagai suatu program tertulis, akan tetapi juga bagaimana proses pembelajaran yang dilakukan anak didik baik di sekolah maupun di luar sekolah. Pencapaian target kurikulum tidak hanya diukur dari kemampuan siswa menguasai seluruh isi atau materi pelajaran seperti tergambar dari hasil tes sebagai produk belajar, akan tetapi juga harus dilihat proses atau kegiatan siswa sebagai pengalaman belajar. Konsep kurikulum sebagai pengalaman belajar menimbulkan kritik dan ketidaksepahaman para pakar pendidikan, bagaimana menentukan dan mengukur pengalaman belajar siswa, karena segala bentuk dan perilaku siswa merupakan hasil dari pengalamannya yang tidak mungkin dikontrol guru. Oleh sebab itu, kurikulum sebagai pengalaman belajar dianggap beberapa ahli sebagai konsep yang luas, sehingga menyebabkan makna kurikulum menjadi kabur dan tidak fungsional. Hal ini menyebabkan munculnya konsep kurikulum sebagai suatu program atau rencana belajar. Taba 1962 mengatakan: “A curriculum is a plan for learning: therefore, what is know about the learning process and the development of the individual has bearing on the shapng of a curriculum ”. Kurikulum sebagai suatu rencana tampaknya juga sejalan dengan rumusan kurikulum menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 19, dikatakan bahwa kurikulum didefinisikan sebagi seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Batasan kurikulum menurut undang-undang No. 20 tahun 2003 tampak jelas, bahwa kurikulum memiliki dua aspek: pertama sebagai rencana as a plan yang harus dijadikan sebagai pedoman dalam pelaksanaan proses belajar mengajar oleh