Keanekaragaman spesies H’ Potensi Tumbuhan Berguna di Taman Hutan Raya R. Soerjo, Kota Batu, Jawa Timur

Selanjutnya, putihan Buddleja asiantica dan baros Prunus cf. arborea dengan nilai 1,9 . Hasil analisis vegetasi tingkat tumbuhan bawah berhabitus semak dan terna diketahui bahwa spesies yang mempunyai nilai INP tertinggi adalah seperti yang tercantum pada Tabel 6. Tabel 3 Nilai INP tertinggi pada tingkat tumbuhan bawah di lokasi penelitian No Nama Spesies Nama Ilmiah INP 1 Remejun Euphatorium riparium 74,91 2 Urang-rangan merah Elatostema latifolium 36,78 3 Paku-pakuan Pteris sp. 14,23 4 Jengkon merah Pilea sp. 14,04 5 Suruhan Piper miniatum 12,26 Spesies remejun Euphatorium riparium yang berhabitus semak memiliki nilai INP yang paling tinggi yaitu sebesar 74,91 . Hal ini menunjukkan bahwa spesies tersebut adalah yang paling dominan dengan jumlah individu lebih banyak dibandingkan spesies tumbuhan bawah lainnya. Setiap spesies tumbuhan mempunyai suatu kondisi minimum, maksimum dan optimum terhadap faktor lingkungan yang ada. Spesies yang mendominasi berarti memiliki batasan kisaran yang lebih luas jika dibandingkan dengan spesies yang lainnya terhadap faktor lingkungan, sehingga kisaran toleransi yang luas pada faktor lingkungan menyebabkan spesies ini akan memiliki sebaran yang luas. Adanya spesies yang mendominasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain persaingan antara tumbuhan yang ada yaitu berkaitan dengan iklim dan mineral yang diperlukan. Apabila iklim dan mineral yang dibutuhkan mendukung maka spesies tersebut akan lebih unggul dan lebih banyak ditemukan Syafei 1990 diacu dalam Maisyaroh 2010. Tumbuhan bawah yang memiliki nilai INP terendah adalah temu ireng Curcuma aeruginosa, codo Elaeagnus latifolia, anggrek Macodes sp. dengan nilai INP sebesar 0,32. Selanjutnya yaitu piji Pinanga sp. dengan nilai INP 0,67 dan patikan emas Euphorbia hirta dengan nilai INP 0,96 .

5.5 Keanekaragaman spesies H’

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh keanekaragaman spesies untuk semua tingkat spesies seperti yang tersaji pada Gambar 5. Gambar 5 Keanekaragaman spesies pada semua tingkat tumbuhan di lokasi penelitian Tahura R. Soerjo. Berdasarkan Gambar 5, menunjukkan besarnya nilai keanekaragaman spesies tumbuhan pada tingkat pohon sebesar 2,5; tiang dengan keanekaragaman spesies sebesar 2,7; pancang dengan keanekaragaman spesies sebesar 2.6; semai yang mempunyai nilai keanekaragaman sebesar 2,6 dan tumbuhan bawah dengan keanekaragaman spesies sebesar 2,2. Apabila derajat keanekaragaman H’ dalam suatu komunitas 1 maka keanekaragamanya rendah, 1 ≤ H’ ≤3 keanekaragamannya sedang, dan H’3 maka keanekaragamannya tinggi Shannon-Wiener 1963 diacu dalam Fachrul 2008. Berdasarkan keterangan tersebut, maka keanekaragaman spesies yang terdapat pada lokasi penelitian tergolong memiliki tingkat keanekaragaman spesies yang sedang. Tingkat keanekaragaman spesies menunjukkan tingkat kestabilan suatu komunitas hutan. Semakin tinggi tingkat keanekaragaman tersebut maka semakin tinggi pula tingkat kestabilan suatu komunitas Whitmore 1990 diacu dalam Kade et al. 2006. Kestabilan yang tinggi juga menunjukkan kompleksitas yang tinggi. Hal ini terjadi akibat adanya interaksi yang tinggi sehingga akan mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dalam menghadapi gangguan yang terjadi. Menurut Odum 1993 diacu dalam Maisyaroh 2010 keanekaragaman spesies penyusun komunitas tumbuhan pada suatu tempat merupakan hasil interaksi dari beberapa faktor. Faktor yang pertama adalah waktu, keanekaragaman spesies dalam suatu komunitas tumbuhan merupakan hasil dari evolusi sehingga keanekaragaman spesies tergantung pada panjang waktu. Faktor kedua adalah heterogenitas ruang, komunitas tumbuhan yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang ada. Semakin heterogen dan kompleks suatu lingkungan maka keanekaragaman spesies penyusun komunitas semakin meningkat. Faktor yang ketiga adalah adanya persaingan diantara individu dalam suatu komunitas yang merupakan salah satu bagian dari seleksi alam. Oleh karena itu, spesies penyusun komunitas yang ada pada suatu waktu merupakan spesies yang mampu bersaing. Faktor yang keempat adalah predasi, adanya spesies tertentu yang dimakan oleh herbivora berarti akan mengurangi persaingan. Pemangsaan dan parasitisme dalam lingkungan akan cenderung untuk membatasi kelimpahan spesies tertentu dan dengan demikian akan mempersulit spesies untuk menambah kerapatan populasinya. Faktor yang kelima adalah stabilitas lingkungan, pada lingkungan yang stabil akan menghasilkan spesies yang lebih banyak. Oleh karena itu, pada daerah tropis yang mempunyai iklim lebih stabil memiliki keanekaragaman spesies yang lebih tinggi daripada daerah yang berilklim sedang dan kutub. Faktor yang keenam adalah produktivitas, faktor ini berhubungan dengan stabilitas iklim. Pada daerah yang mempunyai iklim stabil maka akan mempunyai produktivitas yang tinggi dengan keanekaragaman yang tinggi pula. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa keanekaragaman spesies di Tahura R. Soerjo khusunya di lokasi penelitian memiliki keanekaragam spesies yang sedang. Kondisi tersebut memungkinkan pada masa yang akan datang Tahura R. Soerjo masih memiliki ketersediaan plasma nutfah. Hal ini dikarenakan pohon-pohon yang ada sekarang masih mempunyai semai yang dapat berguna bagi regenerasi spesies untuk masa kedepannya. Disisi lain, tumbuhan pada tingkat semai mempunyai kerentanan yang cukup tinggi terhadap gangguan baik dari manusia maupun alam. Gangguan dari alam seperti angin, longsor, dan tumbangnya pohon sehingga menimpa semai yang dapat menyebabkan semai mati. Masyarakat yang tinggal berdekatan dengan kawasan Tahura R. Soerjo sering memanfaatkan rumput dan tumbuh-tumbuhan lain sebagai pakan ternak. Hal ini akan berdampak buruk terhadap kondisi semai di dalam kawasan karena kebanyakan masyarakat dalam mengambil rumput tidak mengerti tentang tumbuhan yang mereka ambil. Oleh karena itu, diperlukan tindakan dari petugas untuk mengambil keputusan yang lebih tegas.

5.6 Kemerataan individu spesies Evenness