Filsafat dan Ilmu-ilmu Empiris

Bangsa Yunani, leluhur peradaban manusia Barat, pertama kali berhasil menemukan dan menetapkan sarana-sarana seperti logika, yaitu aturan-aturan untuk penalaran logis yang perlu untuk mengangkat filsafat dari tingkat alamiah ke tingkat ilmiah. Pada bangsa-bangsa asli Timur sezaman Yunani Kuno ketika filsafat lahir, unsur-unsur filsafat selalu berhubungan dengan kehidupan religius dan karena itu tidak dapat disebut sebagai filsafat dalam arti yang sesungguhnya. Parmenides, Herakleitos, Pythagoras, Sokrates, Plato dan Aristoteles adalah pemikir-pemikir besar pertama yang mengembangkan tehnik-tehnik baru untuk menghadapi dan memecahkan persoalan-persoalan mendasar menyangkut kehidupan dengan bertumpu pada penalaran murni penalaran yang dikontrol secara ketat oleh hukum-hukum logika. Tokoh- tokoh ini mengembangkan filsafat sebagai ilmu yang sistematis dan metodis. Filsafat sistematis adalah hasil temuan manusia Yunani. Dalam pembicaran selanjutnya, kita akan menggunakan filsafat dalam pengertian kedua ini.

1.3. Pengertian Filsafat

Istilah filsafat berasal dari kata bahasa Yunani philosophia. Kata ini terbentuk dari dua kata dasar, yakni philia kata benda berarti cinta atau philein kata kerja berarti mencintai dan sophia kata benda yang berarti kebijaksanaan, kebenaran. Menurut tradisi filsafat, orang yang pertama kali memakai kata philosophos atau filsuf orang yang mencintai kebijaksanaan adalah Phytagoras. Dari tinjauan etimologis ini menjadi jelas bahwa filsafat secara harafiah berarti cinta akan kebijaksanaan dan filsuf berarti orang yang mencintai kebijaksanaan. Dengan demikian, segera tampak bahwa filsafat adalah suatu aktivitas intelektual yang bersifat dinamis dan bukan suatu pengertian yang statis. Cinta philia atau hasrat menunjuk kepada suatu aspirasi, keterarahan seluruh diri kepada sesuatu yang dicita-citakan, yang belum dimiliki sepenuhnya. Kebijaksanaan dan kebenaran sophia menunjuk kepada sasaran yang dituju oleh aspirasi itu. [4] Berdasarkan pengertian ini, ada beberapa unsur hakiki yang perlu digarisbawahi, yaitu: 1. Sebagai aktivitas intelektual, filsafat selalu terarah kepada kebenaran objek intelek adalah kebenaran. Filsafat tidak pernah berhenti pada suatu pendapat yang sudah mapan dan diterima umum; ia tidak pernah berhenti mempertanyakan. Ia selalu mempertanyakan secara kritis semua pendapat dan pandangan dan tidak menerima begitu secara buta. [5] 2. Filsafat mau mencari sampai ke akar memikirkan secara radikal, radix; akar, mau mencari sampai kepada sesuatu yang paling mendalam yang mendasari kenyataan. Dengan kata lain, filsafat mau menggapai syarat-syarat yang memungkinkan adanya atau terjadinya sesuatu. Inilah yang dalam filsafat dikenal sebagai metode transendental to transcend; melampaui dan mengatasi fakta-fakta dan gejala-gejala yang tampak. 3. Ketulusan dan kejujuran untuk selalu memihak kepada kebenaran, kerendahan hati untuk terus menerus mencari. Dalam hal ini orang perlu membuat suatu pertobatan terus menerus. Ada tiga jenis pertobatan yang perlu untuk mencapai kebenaran, yaitu: a. Pertobatan intelektual. Orang harus terus menerus menjernihkan pandangannya tentang realitas yaitu bahwa kebenaran ada dan harus ditemukan. b. Pertobatan moral. Orang harus selalu mengarahkan diri kepada nilai yang akan membantu perwujudan dirinya dalam penggunaan kebebasan yang memihak kepada nilai. c. Pertobatan religius. Orang harus membuka diri kepada realitas yang lebih tinggi.

1.4. Filsafat dan Ilmu-ilmu Empiris

Secara singkat filsafat yang dimaksudkan di sini selain sebagai ilmu adalah juga sikap hidup. Sikap hidup yang dituntut oleh filsafat adalah kepekaan dan keterbukaan untuk senantiasa membuat refleksi kritis rasional yang tak berkesudahan tentang penghayatan hidup sendiri, tentang tindakan dan tentang realitas secara keseluruhan. Plato pernah mengatakan bahwa hidup yang tidak direflesikan tidak layak untuk dibanggakan. Sebagai ilmu, sebenarnya filsafat merupakan suatu bentuk pengetahuan yang bersifat metodis, sistematis, dan kritis tentang seluruh kenyataan yang dibahas menurut aspek kedalamannya, sampai ke akar-akarnya. Filsafat dengan ini berupaya mencari sebab-sebab terdalam dan prinsip-prinsip [6] dasar dari kenyataan. Dengan kata lain, filsafat adalah ilmu mengenai prinsip-prinsip dasar. [7] Adapun yang menjadi persamaan antara ilmu-ilmu dan filsafat, yakni filsafat dan ilmu-ilmu timbul dari dorongan untuk mengetahui dan keinginan dasar untuk mengerti. Filsafat dan ilmu-ilmu timbul dari manusia sebagai mahkluk rasional, yang bertanya dan mencari jawaban. Semuanya terarah kepada kepentingan manusia. Tidak ada filsafat untuk filsafat, seperti juga tidak ada ilmu untuk ilmu. Karena apa yang dilakukan manusia dengan sadar dan sengaja selalu bersifat intensional dalam arti memiliki tujuan tertentu. Demikian juga filsafat dan ilmu selalu merupakan abdi manusia, demi kepentingan manusia. Sementara yang menjadi perbedaan antara ilmu-ilmu dan filsafat terletak pada objek kajian obyek material dan sudut pandang dari mana suatu segi dari realitas dibahas objek formal. Objek material dari filsafat adalah seluruh kenyataan; tak ada aspek yang diabaikan. Maka objek filsafat adalah yang paling luas. Objek formal adalah sebab-sebab pertama dan terdalam first and ultimate causes dari kenyataan. Sementara ilmu-ilmu lain membatasi diri pada bagian tertentu dari kenyataan. Misalnya, objek kajian biologi terbatas pada makhluk- makhluk hidup; objek kajian geografi adalah letak tempat-tempat di permukaan bumi, iklim, fauna, flora, dan populasi suatu daerah; ilmu kedokteran mempelajari perlbagai hal tentang kesehatan dan penyakit-penyakit. Ilmu-ilmu lain bekerja mulai dengan kata-kata dan gejala- gejala yang dapat diamati diobservasi dan dikuantifikasi. Ilmu-ilmu lain menyelidiki sebab- sebab sejauh dapat diamati dan dapat diukur, bukan sebab terdalam, yaitu kenyataan sebagaimana adanya. Boleh dikatakan bahwa ilmu-ilmu membahas sebab-sebab kedua dan terdekat secondary and immediate causes. 1.5. Filsafat dan Ideologi Ditilik dari segi kata, Ideologi berarti ilmu tentang ide-ide; ilmu yang mengambil ide-ide sebagai objek kajiannya. Pada umumnya ideologi diartikan sebagai berikut: [8] 1. Teori tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan pada kepentingan fisik pihak yang memperjuangkannya. Dalam hal ini ideologi menjadi sarana untuk membenarkan dan mengabadikan kekuasaan dan kepentingan sebuah kelompok sosial; 2. Keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai dan sikap-sikap dasar rohani suatu kelompok sosial. Di sini pengertian ideologi bersifat netral. Baik buruknya suatu ideologi tergantung pada isinya; 3. Segala penilaian etis, anggapan-anggapan normatif, teori-teori serta paham-paham keagamaan, yang tidak dapat diuji secara matematis-logis atau empiris tuntutan positivisme. Dalam arti ini ideologi tidak bersifat rasional, karena bersifat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara objektif. Filsafat berbeda dari ideologi. Perbedaan keduanya dapat dijelaskan sebagai berikut : [9] 1. Filsafat bersifat refleksif dan spekulatif, sedangkan ideologi bersifat instrumental dan pragmatis digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu yang dianggap berguna secara praktis; 2. Filsafat bersifat revelatif, dalam arti bertujuan menyingkapkan kebenaran, sedangkan ideologi menetapkan ide-ide dasar yang berguna untuk menunjang sukses praktis; 3. Filsafat akan tetap bertahan selama sifat refleksif kritis dan spekulatifnya ada dan akan mati kalau ia berubah menjadu ideologi yang digunakan sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan praktis dan langsung. 1.6. Tujuan Belajar Filsafat 1.6.1. Tujuan Umum