Protestanisme menegaskan peranan individu sebagai pelaku tindakan yang bebas dan pemikir yang mandiri. Karena itu, pemikiran yang mandiri dan keputusan yang
bebas selalu didorong. Tokoh dari reformasi Protestan adalah Marthin Luther King 1483-1546 yang sukses melepaskan diri dari otoritas Gereja di Roma, mencari otoritas lain yang
memiliki wibawa untuk memecahkan semua konflik yang muncul, yaitu Kitab Suci. Tokoh lain adalah J. Calvin 1509-1564 memberikan beberapa modifikasi atas doktrin Tomistik tentang
kodrat manusia yang rusak. Menurut dia, kodrat manusia sama sekali rusak karena dosa asal. Hanya Allah saja yang dapat menyelamatkan manusia.
Protestanisme mengambil alih beberapa aspek dari pandangan Aristoteles- Tomistik mengenai tujuan pendidikan. Tujuan akhir pendidikan ditentukan oleh hakikat
manusia yang tidak binasa. Tujuan dekat pendidikan menyiapkan orang untuk bekerja dan menyumbang bagi kepentingan orang lain.
3.2.2. Naturalisme dan Empirisme
Pemacu naturalisme adalah perkembangan baru dan cepat dalam ilmu pengetahuan pada abad 17 dan 18. Pelopor gerakan baru ini adalah Francis Bacon 1561-1623,
penulis karya berjudul Advancement of Learning dan Novum Organum. Perlahan-lahan dan melalui beberapa penulis, unsur-unsur baru dari pemahaman baru tentang dunia menjadi jelas
pengaruhnya dalam filsafat pendidikan. Berkaitan dengan pendidikan, Naturalisme mengemukakan beberapa dimensi, yaitu :
1. Pendidikan harus dilaksanakan sesuai dengan tuntutan alam dan kodrat natura. Orang
pertama yang memberikan pendasaran teoritis bagi orientasi pendidikan ini adalah Johann Amos Comenius.
[24] Sebagai seorang pendeta, ia menegaskan bahwa kodrat manusia menjadi
rusak karena dosa. Tetapi ia tidak merendahkan kodrat manusia. Dalam Didactica Magna ia menegaskan bahwa ”jika kita ingin mencari penyembuhan atas cacat celah kodrat, maka itu
harus dicari dalam kodrat itu sendiri. Ia mengusahakan suatu sistem pendidikan yang bekerjasama dengan alam dan bukan memperkosa alam. Dari kodratnya segala sesuatu
berkembang dari alam. Perkembangan alam selalu teratur, tahap demi tahap. Manusia harus dididik menjadi makhluk yang saleh, berbudi pekerti dan bijaksana;
2. Tekanan pada peran sentral indera-indera dalam proses belajar. Comenius menegaskan
pentingnya pengalaman mengenai indera-indera. Landasan teoritis bagi penekanan pendidikan pada indera-indera berasal dari pietisme. Pietisme adalah suatu reaksi dari rasionalisme dalam
agama yang melihat agama sebagai suatu pengalaman vital batin. Pembenaran agama oleh rasa puas batiniah diungkapkan di bidang pendidikan dalam proses belajar, juga dibenarkan dalam
pengalaman inderawi.
Dimensi inderawi filsafat pendidikan naturalistik lebih jauh ditegaskan dalam empirisme empeiria; pengalaman inderawi John Locke 1632-1704. Dalam karyanya yang
berjudul Essay Concerning Human Understanding, Locke menegaskan bahwa semua pengetahuan dalam akal budi berasal dari pengamatan atas fakta-fakta yang disampaikan oleh
pengalaman inderawi. Ia menegaskan bahwa pada saat kelahiran, akal budi seseorang ibarat suatu papan bersih tabula rasa. Anggapan dasarnya berbunyi: ”Tidak ada sesuatu dalam jiwa
yang sebelumnya tidak ada dalam indera-indera.” Hal ini berarti bahwa tidak ada pengertian dalam pikiran yang masuk tanpa melalui penginderaan. Locke membedakan dua jenis
pengetahuan, yaitu :
1. Pengetahuan yang dibentuk oleh kesan langsung mengenai objek-objek empiris oleh indera-
indera, yang disebut sensation, sebagai hasil penginderaan dunia luar;
2. Pengetahuan yang dibentuk oleh gagasan yang berasal dari reflexion, yaitu pengalaman dalam
jiwa sebagai hasil pengolahan dari sensation. Akal budi memiliki kemampuan untuk membedakan, membandingkan dan membuat generalisasi atas kesan-kesan yang disampaikan
oleh indera-indera.
Dalam pendidikan, Locke menekankan harmoni antara unsur rohani dan unsur jasmani. Prinsip yang dipegang teguh adalah ungkapan tua yang berbunyi : mens sana in
copore sano; jiwa yang sehat berada dalam tubuh yang sehat. Pendidikan bertujuan membantu anak menjadi orang yang sehat jasmani dan berkepribadian yang utuh.
3.2.3. Rasionalisme