Kebudayaan-Kebudayaan Kuno Sofisme Filsafat Yunani – Abad Pertengahan [20]

BAB III FILSAFAT PENDIDIKAN DALAM LINTASAN SEJARAH

3.1. Filsafat Yunani – Abad Pertengahan [20]

3.1.1. Kebudayaan-Kebudayaan Kuno

Dalam masyarakat primitif hampir tidak ada refleksi kritis dan sadar tentang proses pendidikan. Di situ pendidikan bertujuan melestarikan masa lampau dan mengamankan diri terhadap lingkungan hidup yang mengancam. Asumsi dasar pendidikan di dalam kebudayaan itu adalah apa yang ada, sudah benar. Karena kebiasaan dan adat berubah sangat perlahan, maka mudah disimpulkan bahwa apa yang ada, selalu sudah ada. Dan karena sudah selalu ada, maka itu sudah merupakan hakikat dari kenyataan. Dalam kebudayaan ini, fungsi pendidikan demikian jelas sehingga tidak diperlukan lagi suatu filsafat pendidikan untuk mengarahkan proses pendidikan. Pada awal abad 5 SM, orang Yunani mulai memberikan perhatian istimewa pada persoalan-persoalan mengenai pendidikan. Kondisi-kondisi sosial yang sebelumnya terikat dengan kebiasaan-kebiasaan yang kaku mulai dipertanyakan dan cara hidup yang lama dianggap tidak lagi memadai. Sukses dalam perang-perang dengan Persia dan kemakmuran ekonomi yang mencolok dibandingkan dengan keadaan sebelumnya menuntut adaptasi sosial baru. Semakin orang menjadi sadar bahwa kebiasaan-kebiasaan lama tidak lagi cocok dengan keadaan- keadaan baru, persoalan-persoalan mengenai pendidikan semakin tajam mendesak. Bagaimana manusia muda harus dididik bila kebiasaan-kebiasaan lama tidak lagi memadai, sedangkan cara hidup yang baru belum mendapat pengakuan umum? Di sini situasi menuntut pemikiran kritis dan sadar dari filsafat.

3.1.2. Sofisme

Para sofis Yunanilah yang pertama kali mengabdikan diri terhadap persoalan- persoalan mengenai pendidikan yang ditimbulkan oleh keresahan-keresahan sosial zamannya. Mereka mulai menyadari bahwa tatanan lama tidak memadai lagi dan memberikan kritik-kritik yang tajam. Mereka menggunakan penalaran rasional untuk mengkritik pola-pola pendidikan tradisional, yang sebagian bersifat transmitif mengalihkan dan berusaha melestarikan bentuk- bentuk kehidupan sosial yang sudah mapan. Dalam melawan pelestarian kebiasaan-kebiasaan lama tanpa sikap kritis, mereka menetapkan kurikulum berdasarkan penalaran rasional dan kebutuhan-kebutuhan orang yang mereka ajar. Mereka tidak menggunakan kebiasaan-kebiasaan sosial lama sebagai ukuran penilaian. Mereka menegaskan bahwa ”manusia adalah ukuran dari segala sesuatu” homo mensura. Prinsip homo mensura ini berasal dari Protagoras. Manusia di sini adalah individu. Kaum sofis mengajarkan bahwa tentang sesuatu orang bisa mengatakan apa saja. Segala sesuatu bersifat relatif. Kaum sofis juga menuntut pembayaran atas pengajaran mereka komersialisasi, maka yang mereka ajarkan adalah yang individu butuhkan, bukan apa yang benar. Keinginan para sofis untuk mengajarkan sisi apa saja, dengan tidak terikat oleh kebenaran dan norma tertentu, tujuannya adalah untuk mendapatkan bayaran. Hal ini jelas menimbulkan keraguan mengenai kemungkinan mengajarkan prinsip-prinsip moral yang stabil, yang menyebabkan mereka dituduh tidak tulus. Mengenai teori pendidikan, para Protagonis membuat kritik terhadap aliran sofisme dengan menggunakan metode-metode rasional seperti bahasa dan dialektika yang pernah diajarkan oleh para sofis. Menurut mereka, dengan cara dan metode pengajaran yang dilakukan oleh para sofis, jelas menimbulkan rasa skeptis bahwa orang dapat memiliki keutamaan arete. Menurut tradisi lama, norma keutamaan adalah contoh dan teladan kaum ningrat atau bangsawan. Keutamaan diwariskan dan bukan diajarkan. Keutamaan dimiliki dengan melatih diri dalam tindakan melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur dan bukan melalui latihan akal atau intelek. Karena itu usaha para sofis yang bersifat demokratis dan populer untuk mengajarkan keutamaan kepada kaum muda dari kelompok sosial rendah dengan sendirinya ditolak. Persoalan yang muncul antara kaum sofis dan kelompok konservatif adalah persoalan pendidikan yang ditambahkan pada perjuangan yang berbasis politis untuk menggantikan sistem aristokratis lama dengan sistem demokratis dalam masyarakat Yunani. Dengan para sofis mulailah suatu proses emansipasi dan demokratisasi dalam bidang pendidikan dan dalam masyarakat secara keseluruhan. Hubungan erat ini penting karena ia memberikan kepada persoalan pendidikan suatu prioritas tingkat tinggi dalam pikiran guru-guru terbaik zaman itu. 3.1.3. Sokrates 469-399 SM Sokrates memberikan perhatian sangat besar terhadap implikasi-implikasi pengetahuan teoritis. Ia mengambil sisi demokratis dan sejalan dengan kaum sofis menegaskan bahwa keutamaan dapat diajarkan. Ia menegaskan bahwa tidak ada tindakan yang kayak disebut baik kalau tidak dilakukan dengan pengetahuan tentang hal yang baik itu. Dengan kata lain, untuk melakukan yang baik, mula-mula orang harus memiliki pengetahuan tentang apa yang baik. Tetapi, pengetahuan teoritis dapat diajarkan. Karena itu, sejauh suatu tindakan bergantung pada pengetahuan teoritis, keutamaan tentu saja dapat diajarkan. Tetapi, apakah pengetahuan semata-mata tentang keutamaan menjamin tindakan yang keutamaan? Karena Sokrates berpendapat bahwa tak seorangpun dengan kesadaran melakukan hal yang buruk, maka dalam bahasa Sokrates, ”Mengetahui yang baik adalah melakukannya”, berarti ”keutamaan adalah pengetahuan”. Sokrates mengkritik para sofis yang menyangkal adanya pengetahuan yang bersifat umum dan norma-norma yang bersifat mutlak. Ia juga menilai mereka tidak tulus karena menggunakan pengetahuan untuk memperoleh keuntungan praktis, yaitu untuk memperkaya diri. Bagi Sokrates dan keyakian orang Yunani sezaman, pengetahuan yang sejati selalu tanpa pamrih. ”Metode Sokrates” adalah metode dialog pertemuan antara dua logos, dua pihak yang memiliki akal budi dengan kesadaran kritis. Ada dua tahap dari metodenya, yakni : 1. Metode sangkalan atau ironi. Dengan metode ini, Sokrates tidak bermaksud untuk mentransmisikan pengetahuan, tetapi terutama menggali dan mencapai pengetahuan yang sahih secara bersama-sama. Usaha bersama dalam dialog memberi dan menerima, dipandu Sokrates dengan mengajukan sejumlah pertanyaan dan dijawab oleh mitra bicara. Jawaban atas pertanyaan itu dipertanyakan seterusnya sampai mencapai jawaban yang tidak dapat dipertanyakan lagi. Dalam dialog itu, Sokrates tidak pernah memperlihatkan bahwa ia telah mengetahui jawaban atas segala persoalan. Dialog merupakan pergumulan bersama untuk menemukan kebenaran bersama-sama dan untuk memperlihatkan bahwa tentang banyak hal orang tidak tahu. Ia tidak menyebut diri sophos seperti para sofis. Ia hanyalah seorang philosophos, orang yang mencintai dan mencarikebijaksanaan; 2. Tehnik kebidanan Tehnik Maieutik. Sokrates tidak berpretensi telah memiliki kebijaksanaan dan pengetahuan yang utuh tentang sesuatu persoalan ketika memulai suatu dialog. Sokrates yakin bahwa dalam diri orang lain ada juga unsur-unsur kebijaksanaan. Maka tugasnya sebagai guru adalah membantu orang lain mengungkapkan dan menyadari pengetahuan dan kebenaran yang sudah terkandung dalam dirinya. Sokrates melihat diri hanya sebagai bidan intelektual. Seperti seorang ibu yang akan melahirkan sudah memiliki bayi dalam kandungannya dan seorang bidan hanya membantu ibu itu untuk melahirkan bayinya, demikian juga seorang guru tidak memiliki kebenaran untuk diberikan kepada para murid. [21] Seorang guru hanya membantu agar seorang murid dengan mudah mengungkapkan pengetahuan yang sudah dimiliki tanpa disadari. Relevansi metode Sokrates untuk pendidikan dewasa ini, antara lain diperlihatkan oleh pemikir-pemikir radikal dalam pendidikan seperti Paulo Freire dari Brazil. Freire mengkritik ”pendidikan gaya bank” di mana guru memberikan bahan aktif dan murid tinggal menerima reseptif tanpa kesempatan mempersoalkan. Ia menegaskan peranan dialog dalam pendidikan sebagai cara paling baik, karena menghargai anak didik sebagai pribadi. Dialog yang benar harus dilandasi cinta dan pengharapan terhadap sesama. Pendidikan dialogal inilah yang akan membawa pembebasan dari situasi masyarakat yang menindas. [22]

3.1.4. Plato 427-347 SM