Plato 427-347 SM Filsafat Yunani – Abad Pertengahan [20]

maka dalam bahasa Sokrates, ”Mengetahui yang baik adalah melakukannya”, berarti ”keutamaan adalah pengetahuan”. Sokrates mengkritik para sofis yang menyangkal adanya pengetahuan yang bersifat umum dan norma-norma yang bersifat mutlak. Ia juga menilai mereka tidak tulus karena menggunakan pengetahuan untuk memperoleh keuntungan praktis, yaitu untuk memperkaya diri. Bagi Sokrates dan keyakian orang Yunani sezaman, pengetahuan yang sejati selalu tanpa pamrih. ”Metode Sokrates” adalah metode dialog pertemuan antara dua logos, dua pihak yang memiliki akal budi dengan kesadaran kritis. Ada dua tahap dari metodenya, yakni : 1. Metode sangkalan atau ironi. Dengan metode ini, Sokrates tidak bermaksud untuk mentransmisikan pengetahuan, tetapi terutama menggali dan mencapai pengetahuan yang sahih secara bersama-sama. Usaha bersama dalam dialog memberi dan menerima, dipandu Sokrates dengan mengajukan sejumlah pertanyaan dan dijawab oleh mitra bicara. Jawaban atas pertanyaan itu dipertanyakan seterusnya sampai mencapai jawaban yang tidak dapat dipertanyakan lagi. Dalam dialog itu, Sokrates tidak pernah memperlihatkan bahwa ia telah mengetahui jawaban atas segala persoalan. Dialog merupakan pergumulan bersama untuk menemukan kebenaran bersama-sama dan untuk memperlihatkan bahwa tentang banyak hal orang tidak tahu. Ia tidak menyebut diri sophos seperti para sofis. Ia hanyalah seorang philosophos, orang yang mencintai dan mencarikebijaksanaan; 2. Tehnik kebidanan Tehnik Maieutik. Sokrates tidak berpretensi telah memiliki kebijaksanaan dan pengetahuan yang utuh tentang sesuatu persoalan ketika memulai suatu dialog. Sokrates yakin bahwa dalam diri orang lain ada juga unsur-unsur kebijaksanaan. Maka tugasnya sebagai guru adalah membantu orang lain mengungkapkan dan menyadari pengetahuan dan kebenaran yang sudah terkandung dalam dirinya. Sokrates melihat diri hanya sebagai bidan intelektual. Seperti seorang ibu yang akan melahirkan sudah memiliki bayi dalam kandungannya dan seorang bidan hanya membantu ibu itu untuk melahirkan bayinya, demikian juga seorang guru tidak memiliki kebenaran untuk diberikan kepada para murid. [21] Seorang guru hanya membantu agar seorang murid dengan mudah mengungkapkan pengetahuan yang sudah dimiliki tanpa disadari. Relevansi metode Sokrates untuk pendidikan dewasa ini, antara lain diperlihatkan oleh pemikir-pemikir radikal dalam pendidikan seperti Paulo Freire dari Brazil. Freire mengkritik ”pendidikan gaya bank” di mana guru memberikan bahan aktif dan murid tinggal menerima reseptif tanpa kesempatan mempersoalkan. Ia menegaskan peranan dialog dalam pendidikan sebagai cara paling baik, karena menghargai anak didik sebagai pribadi. Dialog yang benar harus dilandasi cinta dan pengharapan terhadap sesama. Pendidikan dialogal inilah yang akan membawa pembebasan dari situasi masyarakat yang menindas. [22]

3.1.4. Plato 427-347 SM

Sumbangan Plato dalam filsafat pendidikan terdapat dalam buku The Republic judul asli; Politeia. Pandangannya tentang pendidikan didasarkan atas analisis-analisisnya mengenai beberapa hal berikut: 1. Mengenai manusia. Menurutnya, manusia terdiri atas tiga bagian, yaitu: [23] a. Bagian keinginan yang terikat dengan indera-indera dan dorongan badani. Keinginan ini berkaitan dengan hawa nafsu. Keutamaan yang berkaitan dengan keinginan adalah pengendalian diri. b. Bagian keberanian atau semangat yang berkaitan dengan kecenderungan ke arah sikap suka menonjolkan diri. Bagian ini berkaitan dengan kehendak. Keutamaan yang cocok dengan keberanian adalah kegagahan keperkasaan. c. Bagian bagian akal budi, intelek yang berfungsi untuk mengerti dan mengarahkan bagian- bagian lain. Keutamaan dari akal budi adalah kebijaksanaan. Keanekaan fungsi dalam diri manusia ini akan diselaraskan oleh prinsip harmoni, yaitu suatu hierarki yang adil di mana akal budi dengam bantuan keberanian mengatur keinginan. 2. Mengenai masyarakat. Menurutnya, ada tiga kelompok sosial yang menjamin kesatuan masyarakat, yakni : a. Kelompok para petani, para tukang dan pengrajin, yaitu kelompok yang menjamin pemenuhan kebutuhan pokok hidup manusia: kecenderungan dominan kelompok ini adalah keinginan. Keutamaan yang cocok adalah pengendalian diri; b. Kelompok para serdadu, yaitu kelompok yang bertugas menjaga keamanan negara terhadap serangan dari luar dan dari dalam; pada mereka yang dominan adalah keberanian. Keutamaan yang cocok adalah kegagahan. c. Kelompok para filsuf adalah kelompok yang berwewenang untuk memimpin negara. Dalam kelompok ini yang dominan adalah kemampuan intelektual. Keutamaan yang perlu adalah kebijaksanaan. Keutamaan keadilan adalah prinsip yang mengatur dan menyelaraskan ketiga kelompok dalam masyarakat. 3. Mengenai praksis pendidikan. Plato menegaskan bahwa kelompok pertama tidak memerlukan pendidikan lama, karena keterampilan yang diperlukan oleh profesi mereka dapat dipelajari dengan mengerjakannya. Kelompok kedua memerlukan pendidikan yang intensif dalam musik dan olah raga. Kelompok ketiga memerlukan pendidikan yang jauh lebih intensif dan lama karena pada mereka tergantung masa depan negara. Mereka inilah calon-calon pemimpin negara yang harus mengetahui dengan baik konsep tentang ”yang baik” yang perlu untuk menjamin kesejahteraan negara. Menurut Plato pengetahuan adalah produk dari kodrat manusia dan pendidikan. Pengetahuan adalah mengingat kembali anamnesis. Ini disebabkan karena jiwa manusia sebelum bersatu dengan tubuh sudah ada lebih dahulu dalam dunia ide-ide. Dalam keadaan itu ia mengenal segala hal. Tepai dengan bersatu dengan tubuh ia diasingkan dari pengetahuan itu. Maka pendidikan membantu untuk mengingat kembali apa yang sudah ada lebih dahulu. Pendidikan adalah latihan terhadap naluri-naluri dalam diri anak untuk mencapai keutamaan yang sesuai. Maka pendidikan yang tepat bagi individu dan setiap kelompok dalam masyarakat adalah melatih naluri-naluri atau fungsi-fungsi khas untuk memiliki keutamaan-keutamaan yang sesuai. Lebih dari itu, pendidikan yang tepat adalah pendidikan di mana individu dididik dalam kelasnya; di situ ia belajar menghayati suatu kehidupan di mana keinginan dikontrol oleh akal. 3.1.5. Aristoteles 384-322 SM Gagasan Aristoteles tentang pendidikan disajikan dalam dua bukunya, yaitu Etika Nikomachea dan Politika. Dalam hal pendidikan, ia memusatkan perhatian pada bagaimana mengajarkan keutamaan, yang merupakan suatu tema etika. Ia tidak menerima bahwa pengetahuan adalah keutamaan. Ada tiga hal yang membuat manusia baik dan berkeutamaan, yaitu kodrat, kebiasaan, dan akal budi. 1. Mengenai kodrat ditegaskan bahwa anak didik adalah manusia. Tidak ada gunanya mendidik makhluk bukan manusia dalam kebaikan dan kebajikan. Yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain adalah jiwanya. Sifat khas jiwa adalah aktivitasnya. Ada tiga jenis aktivitas, yaitu: a. Yang paling sederhana adalah tingkat vegetatif yang diperlihatkan dalam pertumbuhan, reproduksi dan kebinasaan. b. Tingkat yang mengantarai adalah tingkat hewani yang dihadirkan dalam sensasi, keinginan dan gerak lokal. c. Tingkat rasional akal budi mengatur dan mengarahkan kedua tingkat lain. Akal budi adalah unsur yang khas pada manusia yang menentukan manusia sebagai manusia. 2. Kebiasaan. Menurut Aristoteles seperti juga untuk Plato, anak-anak kecil lebih dekat dengan hewan dalam arti tindakan-tindakan awal mereka lebih dimotivasi oleh keinginan. Dalam tindakan-tindakan awal mereka, belum ada bukti tentang adanya keutamaan moral yang muncul dari bakat alam mereka. Sebaliknya, keutamaan adalah kebiasaan yang harus dipelajari. Katanya, ”karena hal-hal yang harus kita pelajari sebelum kita lakukan, kita pelajari dengan melakukannya.” Karena itu keutamaan harus dipelajari, yaitu dengan membiasakan akal budi menguasai keinginan. Orang menjadi baik karena terbiasa melakukan hal yang baik dan menjadi buruk karena berulang kali melakukan hal yang buruk. 3. Aristoteles membedakan antara akal budi praktis dan akal budi teoritis. Akal budi praktis berkaitan dengan kedua aktivitas jiwa yang lebih rendah. Ia mengekang dan mengarahkan kedua aktivitas jiwa itu agar dapat diungkapkan secara tepat. Bidang khasnya adalah moral dan politik. Akal budi teoritis berkaitan dengan aktivitas yang murni teoritis. Dalam hal ini, peranan akal sepenuhnya bersifat kognitif dan asyik dalam spekulasi mengenai hakikat kebenaran universal. Norma bagi pendidik untuk menilai aktivitas-aktivitas ini adalah kebahagiaan. Kebahagiaan dicapai dengan melaksanakan keutamaan khas manusia. Karena kekhasan manusia adalah akal budi maka kebahagiaan manusia akan tercapai dalam aktivitas terluhur akal budi, yaitu pemikiran murni. Maka pengolahan intelek adalah keutamaan utama karena mengantar kepada kebahagiaan. 3.1.6. Tomisme Pendiri Tomisme adalah Thomas Aquinas 1224-1274, yang diberi gelar Doctor Angelicus. Filsafat pendidikannya yang disajikan dalam karya berjudul De Magistero, untuk waktu yang agak lama mempengaruhi ajaran Gereja Katolik mengenai pendidikan. Thomas Aquinas hidup pada zaman yang dikenal sebagai zaman Skolastik. Ada 8 pemikiran Thomas Aquinas, yakni : 1. Mengenai kodrat manusia yang dididik, Thomas Aquinas sependapat dengan Aristoteles mengenai jiwa sebagai prinsip aktivitas. Maka, pendidikan melibatkan aktivitas dari anak didik. Thomas Aquinas membandingkan cara kerja seorang dokter. Dokter tidak dapat menyembuhkan tubuh orang sakit, tetapi dengan terapinya ia hanya membantu tubuh untuk menyembuhkan dirinya. Tubuh memiliki potensi alamiah untuk dapat mempertahankan keseimbangan kesehatan, dan hal-hal ini perlu dirangsang oleh dokter. Seorang guru tidak ”mengajar” seorang anak. Guru hanya membantu seorang anak untuk menyadari dan mengaktualisasikan potensi-potensi alamiah yang sudah ia miliki untuk belajar; 2. Thomas Aquinas menjelaskan proses belajar dengan menggunakan pembedaan Aristoteles atas materi dan forma, potensi dan aktualitas. Ide-ide, pengertian-pengertian merupakan hasil aktualisasi dari beberapa potensi. Dan aktualisasi itu dicapai melalui proses belajar. Potensi utama yang dimiliki pelajar adalah kemampuan untuk membentuk pengertian-pengertian umum. Akan tetapi, potensi ini hanya efektif bila dikembangkan sejalan dengan kontak dengan objek khusus tertentu yang merupakan contoh dari hal-hal yang umum. Bila indera-indera melaporkan objek-objek, esensinya dilepaskan dari kualitas-kualitas aksidental dan disajikan kepada intelek. Intelek lalu, berkat potensi yang dimiliki untuk membuat konsep-konsep, membuat objek yang diinderai menjadi dimengerti. Jadi, proses belajar sebagai aktualisasi potensi adalah menghubungkan hal yang umum dengan hal yang khusus, yang universal dengan yang partikular, menghubungkan materi dan forma. Dari segi logika, belajar adalah mengidentifikasi objek dan memberikan kepada mereka klasifikasi yang tepat dan khas; 3. Menempatkan Allah sebagai pusat filsafat Kristen memiliki konsekuensi yang menentukan bagi pendidikan. Hal ini membuat filsafat pendidikan Skolastik sangat berwibawa. Karena Yesus ”mengajar sebagai seorang yang berwibawa” Injil Matius. 7;29, dalam semangat yang sama Gereja perdana dan abad pertengahan melaksanakan perintas Gurunya; ”Pergilah dan ajarilah segala bangsa.., Ajarilah mereka mentaati semua yang kuperintahkan kepada kamu.”Injil Matius 28:19-20. Maka pengajaran Skolastik tidak hanya berwibawa tetapi juga bersifat dogmatis. Tetapi akan sangat baik kalau doktrin dimaklumkan bukan hanya berdasarkan akal yang benar, tetapi berdasarkan wibawa wahyu ilahi yang tidak diragukan lagi; 4. Filsafat pendidikan Kristen bersifat teosentris dengan tujuan jauh dan dekat. Tujuan akhir pendidikan Kristen berkaitan dengan tujuan akhir manusia. Untuk menemukan itu manusia harus kembali ke asalnya untuk mengenal penciptanya, yaitu Allah yang telah menciptakan manusia menurut gambarannya untuk mengabdi dan mencintai Dia dan sesudah kematian menikmati kebahagiaan kekal, menjadi orang kudus. Tujuan dekat pendidikan bersifat langsung, karena berhubungan dengan soal kehidupan sebagai warga negara masyarakat tertentu, panggilan dan akhirnya untuk kesejahteraan diri dan nasionalisme. Walaupun tujuan dekat filsafat Kristen berkaitan dengan kehidupan di sini dan kini, tidak boleh dilupakan bahwa tujuan itu selalu harus dinilai dalam perspektif sasaran terakhir yang bersifat teosentris; 5. Sumbangan lain dari kekristenan kepada filsafat pendidikan adalah pandangan tentang dosa asal. Sofisme mengajarkan tentang manusia sebagai ukuran. Jadi ada optimisme tentang kodrat manusia. Dalam kekristenan, optimisme ini harus diwaspadai. Menurut tradisi Yahudi-Kristen kodrat manusia telah dirusakkan oleh dosa asal. Maka dalam dirinya selain ada kecenderungan yang teratur dan dipuji, juga ada beberapa yang tidak baik dan harus dijauhi. Kecenderungan terakhir ini terutama terikat dengan tubuh yang dipertentangkan dengan jiwa. Pertentangan ini terutama dipengaruhi dualisme Plato tentang jiwa dan badan, yang masuk dalam pandangan Kristen sejak lama. Filsafat pendidikan Kristen, cenderung tidak percaya pada praksis pendidikan yang didasarkan hanya pada kodrat manusia. Kendatipun demikian, ada unsur yang memberikan harapan. Kodrat manusia walaupun terpengaruh dosa asal, tidak sepenuhnya rusak. Kodrat manusia diselamatkan oleh rahmat Allah dan teladan Yesus Kristus. Dalam pengertian Thomas Aquinas, dengan aktivitas diri dan dengan bantuan ajaran Gereja yang didasarkan atas wahyu, orang punya harapan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada dalam hakikatnya yang terluka dosa; 3.2. Masa Modern – Masa Kini 3.2.1. Reformasi Protestan