maka   dalam   bahasa   Sokrates,   ”Mengetahui   yang   baik   adalah   melakukannya”,   berarti ”keutamaan adalah pengetahuan”.
Sokrates mengkritik para sofis   yang menyangkal  adanya pengetahuan  yang bersifat umum dan norma-norma yang bersifat mutlak. Ia juga menilai mereka tidak tulus karena
menggunakan   pengetahuan   untuk memperoleh   keuntungan   praktis, yaitu untuk memperkaya diri. Bagi Sokrates dan keyakian orang Yunani sezaman, pengetahuan yang sejati selalu tanpa
pamrih.
”Metode Sokrates” adalah metode dialog pertemuan antara dua logos, dua pihak yang memiliki akal budi  dengan kesadaran kritis. Ada dua tahap dari metodenya, yakni :
1. Metode   sangkalan   atau   ironi.   Dengan   metode   ini,   Sokrates   tidak   bermaksud   untuk
mentransmisikan pengetahuan, tetapi terutama menggali dan mencapai pengetahuan  yang sahih secara bersama-sama.  Usaha bersama dalam dialog memberi dan menerima, dipandu Sokrates
dengan   mengajukan   sejumlah   pertanyaan   dan   dijawab   oleh   mitra   bicara.   Jawaban   atas pertanyaan   itu   dipertanyakan   seterusnya   sampai   mencapai   jawaban   yang   tidak   dapat
dipertanyakan lagi.   Dalam dialog itu, Sokrates   tidak pernah memperlihatkan bahwa ia telah mengetahui   jawaban   atas   segala   persoalan.   Dialog   merupakan   pergumulan   bersama   untuk
menemukan   kebenaran   bersama-sama dan untuk memperlihatkan bahwa tentang banyak hal orang   tidak   tahu.   Ia   tidak   menyebut   diri  sophos  seperti   para   sofis.   Ia   hanyalah   seorang
philosophos, orang yang mencintai dan mencarikebijaksanaan;
2. Tehnik kebidanan Tehnik Maieutik. Sokrates tidak berpretensi telah memiliki kebijaksanaan
dan pengetahuan   yang utuh   tentang sesuatu persoalan ketika memulai suatu dialog. Sokrates yakin bahwa dalam diri orang lain ada juga unsur-unsur kebijaksanaan. Maka tugasnya sebagai
guru adalah membantu orang lain mengungkapkan  dan menyadari pengetahuan  dan kebenaran yang sudah  terkandung  dalam dirinya.  Sokrates melihat diri hanya sebagai  bidan intelektual.
Seperti   seorang   ibu   yang   akan   melahirkan   sudah   memiliki   bayi   dalam   kandungannya   dan seorang bidan hanya membantu ibu itu  untuk melahirkan  bayinya, demikian juga seorang  guru
tidak   memiliki   kebenaran   untuk   diberikan   kepada   para   murid.
[21] Seorang   guru   hanya
membantu   agar   seorang   murid   dengan   mudah   mengungkapkan   pengetahuan   yang   sudah dimiliki tanpa disadari.
Relevansi   metode   Sokrates   untuk   pendidikan   dewasa   ini,   antara   lain diperlihatkan   oleh pemikir-pemikir radikal   dalam pendidikan seperti Paulo Freire dari Brazil.
Freire mengkritik ”pendidikan gaya bank” di mana guru memberikan bahan aktif dan murid tinggal menerima reseptif tanpa kesempatan mempersoalkan.   Ia menegaskan peranan dialog
dalam pendidikan   sebagai cara   paling baik, karena menghargai anak didik sebagai pribadi. Dialog yang benar harus dilandasi  cinta dan pengharapan  terhadap sesama. Pendidikan  dialogal
inilah yang akan membawa pembebasan  dari situasi masyarakat yang menindas.
[22]
3.1.4. Plato 427-347 SM
Sumbangan Plato dalam filsafat pendidikan  terdapat dalam buku The Republic judul asli;  Politeia. Pandangannya   tentang pendidikan   didasarkan   atas analisis-analisisnya
mengenai beberapa hal berikut: 1.
Mengenai manusia. Menurutnya, manusia terdiri atas tiga bagian, yaitu: [23]
a. Bagian   keinginan   yang   terikat   dengan   indera-indera   dan   dorongan   badani.   Keinginan   ini
berkaitan dengan  hawa nafsu. Keutamaan yang berkaitan dengan keinginan adalah pengendalian diri.
b. Bagian keberanian  atau semangat yang berkaitan  dengan kecenderungan  ke arah  sikap suka
menonjolkan   diri.   Bagian   ini   berkaitan   dengan   kehendak.   Keutamaan   yang   cocok   dengan keberanian  adalah kegagahan keperkasaan.
c. Bagian bagian akal budi, intelek yang berfungsi untuk mengerti dan mengarahkan   bagian-
bagian   lain.   Keutamaan   dari   akal   budi   adalah   kebijaksanaan.   Keanekaan   fungsi   dalam   diri manusia ini akan diselaraskan  oleh prinsip harmoni, yaitu suatu hierarki  yang adil  di mana akal
budi dengam bantuan keberanian mengatur keinginan.
2. Mengenai   masyarakat.   Menurutnya,   ada   tiga   kelompok   sosial   yang   menjamin   kesatuan
masyarakat, yakni : a.
Kelompok para petani, para tukang dan pengrajin, yaitu kelompok yang menjamin pemenuhan kebutuhan   pokok   hidup   manusia:   kecenderungan   dominan   kelompok   ini   adalah   keinginan.
Keutamaan yang cocok adalah pengendalian diri; b.
Kelompok para serdadu, yaitu kelompok yang bertugas menjaga   keamanan negara terhadap serangan dari luar dan dari dalam; pada mereka yang dominan  adalah keberanian. Keutamaan
yang cocok adalah kegagahan. c.
Kelompok para filsuf adalah kelompok yang berwewenang   untuk memimpin negara. Dalam kelompok   ini   yang   dominan   adalah   kemampuan   intelektual.   Keutamaan   yang   perlu   adalah
kebijaksanaan. Keutamaan keadilan adalah   prinsip yang mengatur   dan menyelaraskan   ketiga kelompok dalam masyarakat.
3. Mengenai praksis pendidikan. Plato menegaskan  bahwa kelompok pertama tidak memerlukan
pendidikan lama, karena keterampilan yang   diperlukan   oleh profesi   mereka dapat dipelajari dengan mengerjakannya.  Kelompok  kedua memerlukan pendidikan yang  intensif  dalam musik
dan olah raga.   Kelompok ketiga   memerlukan   pendidikan   yang jauh   lebih intensif dan lama karena pada mereka   tergantung   masa depan   negara.   Mereka   inilah calon-calon pemimpin
negara yang harus   mengetahui   dengan baik   konsep tentang   ”yang baik” yang perlu   untuk menjamin  kesejahteraan negara.
Menurut   Plato   pengetahuan   adalah   produk   dari   kodrat   manusia   dan   pendidikan. Pengetahuan   adalah   mengingat   kembali   anamnesis.   Ini   disebabkan   karena   jiwa   manusia
sebelum bersatu dengan tubuh sudah ada  lebih dahulu dalam dunia ide-ide. Dalam keadaan itu ia mengenal segala hal. Tepai dengan bersatu dengan tubuh ia diasingkan   dari pengetahuan itu.
Maka   pendidikan   membantu   untuk   mengingat   kembali   apa   yang   sudah   ada   lebih   dahulu. Pendidikan adalah latihan terhadap naluri-naluri dalam diri anak untuk mencapai keutamaan
yang sesuai. Maka pendidikan yang tepat bagi individu dan setiap kelompok  dalam masyarakat adalah melatih   naluri-naluri atau fungsi-fungsi   khas   untuk memiliki   keutamaan-keutamaan
yang sesuai.  Lebih dari itu, pendidikan  yang tepat adalah  pendidikan  di mana individu dididik dalam kelasnya; di situ ia belajar menghayati suatu   kehidupan   di mana keinginan   dikontrol
oleh akal. 3.1.5. Aristoteles 384-322 SM
Gagasan Aristoteles  tentang  pendidikan  disajikan  dalam dua bukunya, yaitu Etika   Nikomachea  dan  Politika.   Dalam   hal   pendidikan,   ia   memusatkan   perhatian   pada
bagaimana   mengajarkan   keutamaan,   yang   merupakan   suatu   tema   etika.   Ia   tidak   menerima bahwa   pengetahuan   adalah   keutamaan.   Ada   tiga   hal   yang   membuat   manusia   baik   dan
berkeutamaan, yaitu kodrat, kebiasaan, dan akal budi.
1. Mengenai kodrat ditegaskan bahwa anak didik adalah manusia. Tidak ada gunanya mendidik
makhluk   bukan manusia dalam kebaikan   dan kebajikan.   Yang   membedakan   manusia dari makhluk-makhluk   lain   adalah   jiwanya.   Sifat   khas   jiwa   adalah   aktivitasnya.  Ada   tiga   jenis
aktivitas, yaitu:
a. Yang   paling   sederhana   adalah  tingkat   vegetatif   yang   diperlihatkan   dalam   pertumbuhan,
reproduksi dan kebinasaan. b.
Tingkat yang mengantarai adalah  tingkat hewani   yang   dihadirkan   dalam sensasi, keinginan dan gerak lokal.
c. Tingkat rasional akal budi mengatur dan mengarahkan  kedua tingkat lain.  Akal budi adalah
unsur  yang khas pada manusia yang menentukan manusia sebagai manusia. 2.
Kebiasaan. Menurut Aristoteles seperti juga  untuk Plato, anak-anak kecil lebih dekat  dengan hewan   dalam   arti   tindakan-tindakan   awal   mereka   lebih   dimotivasi   oleh   keinginan.   Dalam
tindakan-tindakan awal mereka, belum ada bukti tentang  adanya keutamaan moral yang muncul dari   bakat   alam   mereka.   Sebaliknya,   keutamaan   adalah   kebiasaan   yang   harus   dipelajari.
Katanya, ”karena hal-hal yang harus kita pelajari sebelum kita lakukan, kita pelajari dengan melakukannya.”   Karena itu keutamaan harus dipelajari, yaitu   dengan membiasakan akal budi
menguasai keinginan. Orang menjadi baik karena terbiasa melakukan hal yang baik dan menjadi buruk karena berulang kali  melakukan  hal yang buruk.
3. Aristoteles   membedakan   antara   akal   budi   praktis   dan   akal   budi   teoritis.  Akal   budi   praktis
berkaitan   dengan kedua aktivitas jiwa yang   lebih rendah.   Ia mengekang   dan mengarahkan kedua aktivitas jiwa itu   agar dapat   diungkapkan   secara tepat.   Bidang khasnya adalah moral
dan politik. Akal budi teoritis berkaitan dengan aktivitas   yang murni teoritis. Dalam hal ini, peranan   akal   sepenuhnya   bersifat   kognitif   dan   asyik   dalam   spekulasi   mengenai   hakikat
kebenaran universal.
Norma bagi pendidik  untuk menilai aktivitas-aktivitas ini adalah kebahagiaan. Kebahagiaan   dicapai   dengan   melaksanakan   keutamaan   khas   manusia.   Karena   kekhasan
manusia adalah akal budi maka kebahagiaan manusia  akan tercapai dalam aktivitas terluhur akal budi,   yaitu   pemikiran   murni.   Maka   pengolahan   intelek   adalah   keutamaan   utama   karena
mengantar kepada kebahagiaan. 3.1.6. Tomisme
Pendiri   Tomisme   adalah   Thomas  Aquinas   1224-1274,   yang   diberi   gelar Doctor Angelicus. Filsafat pendidikannya yang disajikan dalam karya berjudul  De Magistero,
untuk   waktu   yang   agak   lama   mempengaruhi   ajaran   Gereja   Katolik   mengenai   pendidikan. Thomas Aquinas hidup pada zaman   yang dikenal sebagai zaman Skolastik. Ada 8 pemikiran
Thomas Aquinas, yakni :
1. Mengenai   kodrat   manusia   yang   dididik,   Thomas  Aquinas   sependapat   dengan  Aristoteles
mengenai   jiwa   sebagai   prinsip   aktivitas.   Maka,   pendidikan   melibatkan   aktivitas   dari   anak didik.   Thomas   Aquinas   membandingkan   cara   kerja   seorang   dokter.   Dokter   tidak   dapat
menyembuhkan tubuh   orang sakit, tetapi dengan terapinya ia hanya membantu   tubuh untuk menyembuhkan   dirinya.   Tubuh   memiliki   potensi   alamiah   untuk   dapat   mempertahankan
keseimbangan   kesehatan,   dan   hal-hal   ini   perlu   dirangsang   oleh   dokter.   Seorang   guru   tidak ”mengajar”   seorang   anak.   Guru   hanya   membantu   seorang   anak   untuk   menyadari   dan
mengaktualisasikan potensi-potensi alamiah yang sudah ia miliki untuk belajar;
2. Thomas Aquinas menjelaskan  proses belajar dengan menggunakan pembedaan Aristoteles atas
materi   dan   forma,   potensi   dan   aktualitas.   Ide-ide,   pengertian-pengertian   merupakan   hasil
aktualisasi dari   beberapa potensi. Dan aktualisasi itu dicapai melalui proses belajar. Potensi utama   yang   dimiliki   pelajar   adalah   kemampuan   untuk   membentuk   pengertian-pengertian
umum. Akan tetapi, potensi ini hanya efektif  bila dikembangkan sejalan dengan kontak dengan objek khusus tertentu yang   merupakan   contoh dari hal-hal yang umum. Bila indera-indera
melaporkan   objek-objek,   esensinya   dilepaskan   dari   kualitas-kualitas   aksidental   dan   disajikan kepada   intelek.   Intelek   lalu,   berkat   potensi   yang   dimiliki   untuk   membuat   konsep-konsep,
membuat   objek   yang   diinderai   menjadi   dimengerti.   Jadi,   proses   belajar   sebagai   aktualisasi potensi  adalah menghubungkan  hal yang umum dengan hal yang khusus, yang universal dengan
yang   partikular,   menghubungkan   materi   dan   forma.   Dari   segi   logika,   belajar   adalah mengidentifikasi  objek  dan memberikan  kepada mereka  klasifikasi yang tepat dan khas;
3. Menempatkan Allah sebagai pusat   filsafat Kristen   memiliki konsekuensi   yang menentukan
bagi pendidikan.   Hal ini membuat   filsafat   pendidikan   Skolastik sangat berwibawa. Karena Yesus ”mengajar sebagai seorang yang berwibawa” Injil Matius. 7;29, dalam semangat yang
sama Gereja   perdana dan abad pertengahan melaksanakan   perintas Gurunya; ”Pergilah dan ajarilah   segala   bangsa..,   Ajarilah   mereka   mentaati   semua   yang   kuperintahkan   kepada
kamu.”Injil Matius 28:19-20. Maka pengajaran Skolastik  tidak hanya berwibawa  tetapi juga bersifat   dogmatis.   Tetapi   akan   sangat   baik   kalau   doktrin   dimaklumkan   bukan   hanya
berdasarkan akal yang benar, tetapi berdasarkan  wibawa  wahyu ilahi  yang tidak diragukan lagi;
4. Filsafat  pendidikan   Kristen  bersifat  teosentris  dengan  tujuan  jauh dan  dekat.  Tujuan akhir
pendidikan   Kristen   berkaitan   dengan   tujuan   akhir   manusia.   Untuk   menemukan   itu   manusia harus   kembali ke asalnya   untuk mengenal penciptanya, yaitu Allah yang telah menciptakan
manusia   menurut   gambarannya   untuk   mengabdi   dan   mencintai   Dia   dan   sesudah   kematian menikmati kebahagiaan kekal, menjadi orang kudus. Tujuan dekat pendidikan bersifat langsung,
karena   berhubungan   dengan   soal   kehidupan   sebagai   warga   negara   masyarakat   tertentu, panggilan   dan   akhirnya   untuk   kesejahteraan   diri   dan   nasionalisme.   Walaupun   tujuan   dekat
filsafat Kristen berkaitan dengan  kehidupan  di sini dan kini, tidak boleh dilupakan bahwa tujuan itu selalu harus dinilai dalam perspektif sasaran terakhir yang bersifat teosentris;
5. Sumbangan lain dari kekristenan kepada filsafat pendidikan adalah pandangan   tentang  dosa
asal. Sofisme mengajarkan  tentang manusia sebagai ukuran. Jadi ada optimisme  tentang kodrat manusia. Dalam kekristenan, optimisme ini harus diwaspadai. Menurut tradisi Yahudi-Kristen
kodrat manusia telah dirusakkan oleh dosa asal. Maka dalam dirinya selain ada kecenderungan yang teratur dan dipuji, juga ada  beberapa yang tidak baik dan harus dijauhi. Kecenderungan
terakhir ini terutama terikat dengan tubuh  yang dipertentangkan  dengan jiwa. Pertentangan ini terutama   dipengaruhi   dualisme Plato tentang jiwa dan badan, yang masuk dalam pandangan
Kristen   sejak   lama.   Filsafat   pendidikan   Kristen,   cenderung   tidak   percaya   pada   praksis pendidikan yang  didasarkan  hanya pada kodrat manusia. Kendatipun demikian, ada unsur yang
memberikan harapan. Kodrat manusia walaupun  terpengaruh  dosa asal, tidak sepenuhnya rusak. Kodrat manusia diselamatkan  oleh rahmat Allah  dan teladan Yesus Kristus. Dalam pengertian
Thomas Aquinas, dengan aktivitas diri dan dengan bantuan  ajaran Gereja yang didasarkan atas wahyu,   orang   punya   harapan   untuk   memperbaiki   kekurangan-kekurangan   yang   ada   dalam
hakikatnya  yang terluka dosa;
3.2. Masa Modern – Masa Kini 3.2.1. Reformasi Protestan