dengan tuntutan struktur-struktur sosial, ekonomis, moral, agama dan politik. Proses pendidikan mencapai sasarannya kalau yang dididik menyesuaikan diri, juga tahu bersikap dan bertindak
sesuai dengan tatanan yang ada.
Ketiga, kedua hal ini tidak saling bertentangan dalam konteks pendidikan yang integral. Proses pendidikan di sini mendasari tuntutan akan kebebasan, orisinalitas setiap
pribadi tanpa mengabaikan kehadiran kondisi-kondisi sosial dan tuntutan lingkungan. Autoedukasi akan memajukan kematangan dan kedewasaan integral dan menumbuhkan
kesadaran dan tanggung jawab personal, sedangkan heteroedukasi akan menumbuhkan dalam diri yang dididik kesadaran akan keterlibatan sosial dan tanggung jawab pribadi di tengah-
tengah lingkungan sosial atau religius. 2.3. Filsafat Pendidikan
2.3.1. Filsafat dan Pendidikan
Setiap praksis pendidikan selalu mencerminkan suatu pandangan tentang manusia, dunia dan Tuhan.
[18] Seringkali pandangan itu tidak bersifat refleksif, kritis dan
sistematis. Seringkali pandangan itu diandaikan saja dan dihayati secara praktis. Tetapi pandangan itu diberi bentuk yang lebih ilmiah dalam ilmu mendidik, yang memiliki objek yang
jelas dan dilengkapi dengan metode yang khusus. Pada langkah terakhir ada suatu pandangan yang diberi bentuk yang sistematis dengan diberi dasar-dasar mengenai hakikat manusia, dunia
dan Tuhan, dan melihat implikasinya bagi praksis pendidikan. Pada tahap ini disusunlah suatu filsafat yang menguraikan tentang latar belakang dan menjelaskan fenomen dan praksis
pendidikan secara kristis.
Pengertian tentang pendidikan selalu berkaitan erat dengan pengertian tentang manusia dan tujuan hidup manusia. Maka jelas ada hubungan antara filsafat dan ilmu
pendidikan. Ilmu pendidikan merupakan mahkota logis dari antropologi filsafat dan etika. Sesudah memahami pertanyaan tentang siapakah manusia dan apa tujuan akhir hidupnya,
harus diajukan pertanyaan tentang bagaimana menjadi manusia yang sesungguhnya dan bagaimana mencapai tujuan akhir manusia itu. Maka ilmu pendidikan harus dibangun di atas
dasar filsafat manusia yang sehat dan juga atas dasar etika yang seimbang.
Setiap filsafat yang sistematis akan menyusun suatu konsepsi mengenai pendidikan, entah dalam garis besar atau juga secara lengkap dan filsafat itu dapat
memberikan pengarahan kepada ilmu pendidikan dan praksis mendidik misalnya; komunisme, nasionalisme, eksistensialisme, personalisme, pragmatisme, dan sebagainya. Maka selalu ada
hubungan timbal balik antara filsafat pendidikan, ilmu pendidikan dan praksis pendidikan.
Terutama seorang pendidik yang memiliki keahlian harus menyadari latar belakang ini. Juga seorang guru dengan bidang spesialisasinya pertama-tama menjadi pendidik.
Baik kepada spesialisasi itu, maupun kepada unsur-unsur pedagogi, sosiologi, psikologi dan didaktik, perlu memiliki perspektif yang lebih luas. Filsafat pendidikan berusaha untuk
memberikan kerangka frame lebih luas itu.
Secara singkat, filsafat pendidikan adalah cabang filsafat yang memberikan landasan teoritis dan kritis tentang data-data, gejala-gejala dan teori-teori pendidikan. Data-
data, gejala-gejala, dan teori-teori itu tidak diterima saja tetapi diterima dan dianalisis secara kritis untuk melihat sejauh mana data, gejala dan teori itu mencerminkan suatu pandangan
tentang manusia yang utuh. Karena bagaimanapun, seperti yang sudah dikatakan di atas, subjek pendidikan adalah manusia, dan praksis pendidikan itu berlangsung di antara pribadi-pribadi.
2.3.2. Kaitan antara Filsafat dan Ilmu Pendidikan