tahun 1947-1998, dan tahun 1998-sekarang.

banyak, agar memudahkan dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, pada tahun 1905 telah diundangkan Faillissements Verordening selanjutnya disebut FV Stb. 1905-217 yang terdiri atas Bab I tentang Kepailitan pada umumnya, dan Bab II tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Peraturan ini lengkapnya bernama : Verordening op het Faillissement en de Surseance van Betalin voor de Europeanen in Nederlands Indie Peraturan untuk Kepailitan dan Penundaan Pembayaran untuk Orang-orang Eropa. Berdasarkan Faillissementsverordening ter invoering van de Faillissementsverordening Stb. 1906-348, FV Stb. 1905-217 itu dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 1 November 1906. 37 Berlakunya FV tersebut, maka dicabutlah seluruh Buku HI dari WvK dan Reglement op de Rechts verordening, Buku III, Bab Ketujuh, Pasal 899 sampai Pasal 915. FV ini hanya berlaku bagi golongan Eropa saja. Hal ini sesuai dengan asas diskriminasi hukum yang diberlakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu. 38 Setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, ada beberapa kurun waktu yang perlu dicermati sehubungan dengan berlakunya FV Peraturan Kepailitan, yaitu tahun 1945-

1947, tahun 1947-1998, dan tahun 1998-sekarang.

Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menentukan : Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Berdasarkan Aturan Peralihan tersebut, 37 Ibid. 38 Ibid., hlm. 2. seluruh perangkat hukum yang berasal dari zaman Hindia Belanda diteruskan berlakunya setelah proklamasi kemerdekaan, kecuali jika bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. 39 Pada tahun 1947, pemerintah Belanda di Jakarta menerbitkan Peraturan Darurat Kepailitan 1947 Noodsregeling Faillissementen 1947. Tujuannya untuk memberikan dasar hukum bagi penghapusan putusan kepailitan yang terjadi sebelum jatuhnya Jepang. Tugas ini sudah lama selesai sehingga Peraturan Darurat Kepailitan 1947 itu sudah tidak berlaku lagi. Pada tahun 1947 – 1998, FV relatif sangat sedikit digunakan. Penyebabnya karena keberadaan peraturan itu kurang dikenal dan dipahami oleh masyarakat. Akibatnya, FV itu tidak dirasakan sebagai suatu peraturan yang menjadi milik masyarakat pribumi, karenanya tidak pernah tumbuh di dalam kesadaran hukum masyarakat. 40 Disempurnakannya FV menjadi Perpu Nomor 1 Tahun 1998 dan dikuatkan menjadi Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan menjadi Undang-Undang selanjutnya disebut UUK dan PKPU lama tidak terlepas dari kelemahan yang terkandung dalam FV tersebut. Dari segi substansi, terdapat beberapa kelemahan dalam FV 1905 : 1. Tidak jelasnya time frame yang dapat diberikan untuk menyelesaikan kasus kepailitan. Akibatnya untuk menyelesaikan sebuah kasus kepailitan dibutuhkan waktu yang sangat lama; 39 Ibid. 40 Ibid. 2. Jangka waktu untuk penyelesaian utang melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PKPU juga sangat lama, yaitu memkan waktu 18 bulan; 3. Apabila pengadilan menolak Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka pengadilan tersebut tidak diwajibkan untuk menetapkan debitor dalam keadaan pailit; 4. Kedudukan kreditur masih lemah. Umpamanya, pembatalan perbuatan debitur yang dapat merugikan kreditur, jangka waktu yang diberikan hanya selama 40 hari sebelum pailit, sedangkan dalam UUK dan PKPU lama jangka waktu diberikan sampai 4 tahun. 41 Faktor lainnya karena sebagian besar pengusaha pribumi masih belum banyak melakukan transaksi bisnis yang besar. Pada umumnya, mereka masih melakukan transaksi dalam lingkungan yang terbatas dan sebagian besar belum mengenal sistem hukum bisnis Barat. 42 Berlakunya UUK dan PKPU lama tersebut, maka Peraturan Kepailitan FV Stb 1905 No. 217 jo Stb. 1906 No. 348 yang sejak lama tidak beroperasi lagi, menjadi hidup kembali. Sejak itu, berbagai pengajuan permohonan pernyataan pailit mulai mengalir ke pengadilan niaga sehingga muncullah berbagai putusan pengadilan mengenai perkara kepailitan. 43 Secara umum, terdapat tujuh perubahan utama yang menjadi semangat Perpu No. 1 Tahun 1998 yang dikuatkan menjadi UUK dan PKPU lama dibandingkan dengan peraturan kepailitan yang lama, yaitu sebagai berikut : 41 Erman Radjagukguk, Perkembangan Peraturan Kepailitan Di Indonesia Bahan Kuliah E Learning, 2002, hlm. 2-3. 42 Adrian Sutedi, Op.cit., hlm. 3. 43 Sutan Remy Syahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No.4 Tahun 1998 Jakarta : Pustaka Umum Grafiti, 2002, hlm. 9. 1. Penyempurnaan di sekitar syarat-syarat dan prosedur permintaan pernyataan kepailitan, termasuk di dalamnya pemberian kerangka waktu yang pasti bagi pengambilan keputusan pernyataan kepailitan; 2. Penyempurnaan pengaturan yang bersifat penambahan ketentuan tentang tindakan sementara yang dapat diambil kreditor atas kekayaan debitor sebelum adanya putusan pernyataan kepailitan; 3. Peneguhan fungsi kurator dan penyempurnaan yang memungkinkan berfungsinya pemberian jasa-jasa tersebut, disamping institusi yang selama ini telah dikenal, yaitu Balai Harta Peninggalan. Ketentuan yang ditambahkan antara lain mengatur syarat-syarat untuk dapat melakukan kegiatan sebagai kurator berikut kewajiban mereka; 4. Penegasan upaya hukum yang dapat diambil terhadapu putusan pernyataan kepailitan, bahwa untuk itu dapat langsung diajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Tata cara dan kerangka waktu bagi upaya hukum juga ditegaskan dalam penyempurnaan ini; 5. Dalam rangka kelancaran proses kepailitan dan pengamanan bebagai kepentingan secara adil, ditegaskan pula adanya mekanisme penangguhan pelaksanaan hak diantara kreditur yang memegang hak tanggungan, gadai, atau agunan lainnya. Diatur pula ketentuan mengenai status hukum atas perikatan yang telah dibuat debitur, sebelum adanya putusan pernyataan kepailitan; 6. Penyempurnaan dilakukan pula terhadap ketentuan tentang penundaan kewajiban pembayaran sebagaimana telah diatur dalam Bab Kedua UUK dan PKPU; 7. Penegasan dan pembentukan peradilan khusus yang akan menyelesaikan masalah kepailitan secara umum. Lembaga ini berupa Pengadilan Niaga, dengan hakim-hakim yang akan bertugas secara khusus. Pembentukan Pengadilan Niaga ini merupakan langkah diferensiasi atas peradilan umum yang dimungkinkan pembentukkannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Perpu ini, peradilan khusus tersebut bertugas menangani permintaan pernyataan kepailitan. Keberadaan lembaga ini akan diwujudkan secara bertahap. Begitu pula dengan lingkup tugas dan kewenangannya di luar masalah kepailitan, akan ditambahkan atau diperluas dari waktu ke waktu. Semuanya akan dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat kebutuhan. 44 Sebagai peraturan pelaksana dari UUK dan PKPU ini, pemerintah juga mengeluarkan beberapa ketentuan yang merupakan pelaksanaan teknisnya, yaitu sebagai berikut: 1. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pemohonan Pernyataan Pailit untuk Kepentingan Umum. PP ini memberikan petunjuk teknis bagi pihak kejaksaan dalam mengajukan permohonan pailit untuk kepentingan umum, serta kejaksaan negeri mana yang dapat melakukannya; 44 Ibid., hlm. 6. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 1998 tentang Perhitungan Jumlah Hak Suara Kreditor. PP ini mengatur dua hal utama : pertama mengenai hak kreditor yang memiliki piutang sampai dengan Rp. 10.000.000,- yang berhak mengeluarkan satu suara dan jika terjadi kelebihan piutang dari jumlah Rp 10.000.000,- tersebut. Kedua, bagaimana menetapkan utang yang nilainya tidak dapat ditetapkan secara pasti atau ditetapkan dalam valuta asing. 45 Inilah ketentuan yang terdapat di dalam UUK dan PKPU lama yang tidak dijumpai dalam FV. Diaturnya perkara kepailitan dalam suatu pengadilan khusus yang disebut Pengadilan Niaga merupakan sesuatu yang baru yang merupakan penerobosan terhadap sistem peradilan yang selama ini ada. Pada tanggal 18 Oktober 2004 UUK dan PKPU lama diganti dengan disahkannya UUPK dan PKPU. UUPK dan PKPU ini mempunyai cakupan yang luas karena adanya perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat untuk menyelesaikan utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif. Adapun pokok materi baru dalam UUK dan PKPU ini antara lain: 46 1. Agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran dalam UU ini pengertian utang diberikan batasan secara tegas. Demikian juga pengertian jatuh waktu. 2. Mengenai syarat-syarat dan prosedur permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang termasuk di dalamnya pemberian kerangka waktu secara pasti bagi pengambilan putusan pernyataan pailit danatau penundaan kewajiban pembayaran utang. 45 Ibid., hlm. 7. 46 Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan Malang: UMM Press, 2008, hlm. 9-12.

B. Syarat-Syarat Pailit Perusahaan