Analisis putusan Mahkamah Konstitusi No.15PUU-XII2014

Republik Indonesia Tahun 1999 No.138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872 Bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No.138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat c. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

3. Analisis putusan Mahkamah Konstitusi No.15PUU-XII2014

a. Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan pengujian penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terhadap UUD 1945. Berdasarkan pasal 24C ayat 1 UUD 1945 dan terdapat pula dalam Pasal 10 Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang mahkamah Konstitusi, bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang salah satunya mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Pada putusan Mahkamah Konstitusi No.15PUU-XII2014 yang pada objek permohonannya untuk melakukan pengujian penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terhadap UUD 1945, yaitu khususnya terhadap Pasal 27 1 dan 28D 1 UUD 1945 yang menurut pemohon pasal tersebut mengandung hak konstitusonal pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 telah dirugikan akibat berlakunya penjelasan pasal 70 tersebut. Selanjutnya pemohon telah menguraikan penjelasan pasal 70 yang dianggap telah melanggar hak konstitusional yang terdapat dalam UUD 1945. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan pada pasal 51 ayat 3 UU No.24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi bahwa dalam permohonannya, pemohon wajib menguraikan dengan jelas materi muatan dalam ayat, pasal, danatau bagian undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Selanjutnya berdasarkan yurisprudensi pada Putusan Perkara No.005PUU- III2005, 71 penjelasan merupakan bagian yang tak terpisahkan dan merupakan satu kesatuan dengan Undang-Undang yang bersangkutan, oleh karena itu penjelasan pasal 70 dapat diajukan sebagai objek permohonan dalam pengujian materil ke Mahkamah Kontitusi. Karena dalam praktek, Menurut Jimly Asshiddiqqie sering ditemukan kenyataan bahwa materi yang dipermasalahkan oleh pemohon bukanlah norma yang terdapat dalam Pasal undang-undang, melainkan dalam lampiran undang-undang. 72 Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji penjelasan pasal 70 yang merupakan satu kesatuan atas 71 Yurisprudensi Putusan Mahkamah Konstitusi No.005PUU-III2005 Perkara Pengujian Undang-undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-undang dasar 1945. Dalam putusan ini yang dipermasalahkan mengenai Penjelasan Pasal 59 1 terhadap UUD 1945. h.29 72 Jimly Asshiddiqqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi Press, 2006 h. 52 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian terhadap Undang-undang Dasar NRI 1945. b. Kedudukan hukum legal standing Pemohon lebih tepat sebagai badan hukum privat. Pemohon atau pihak yang mengajukan permohonan perkara konstitusi diharuskan membuktikan bahwa ia atau mereka benar-benar memiliki kedudukan hukum atau legal standing, sehingga permohonan yang diajukannya dapat diperiksa, diadili dan diputus sebagaimana mestinya oleh Mahkamah Konstitusi dengan memenuhi persyaratan formal sebagaimana yang ditentukan Undang-undang maupun syarat materiil berupa kerugian hak atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya undang-undang yang sedang dipersoalkan. 73 Pasal 51 ayat 1 Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menentukan bahwa: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak danatau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang- undang yaitu a perorangan warga Indonesia; b kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diiatur dalam undang-undang; c badan hukum publik atau privat atau d Lembaga Negara. Selajutnya, penjelasan pasal 51 ayat 1, memperjelas bahwa: “yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang- Undang Dasar 1945”, dan “Yang dimaksud dengan perorangan termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama”. 73 Jimly Asshiddiqqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang.. h. 69 Dengan demikian. dapat diketahui bahwa setiap pemohon harus memenuhi kriteria dalam mengajukan permohonan perkara konstitusi: 74 1. Salah satu dari ke empat kelompok subjek hukum, yang tercantum pasal 51 ayat 1 Undang-Undang No.24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. 2. Subjek hukum tersebut mempunyai hak-hak atau kewenangan- kewenangan sebagaimana diatur dalam UUD 1945 3. Hak atau kewenangan konstitusional yang bersangkutan memang telah dirugikan atau dilanggar oleh berlakunya undang-undang atau bagian dari undang-undang yang dipersoalkan tersebut. 4. Adanya atau timbulnya kerugian dimaksud memang terbukti mempunyai hubungan kausal causal verband dengan berlakuanya undang-undang tersebut. 5. Apabila permohonan yang bersangkutan memang dapat dipulihkan kembali dengan dibatalkannya undang-undang yang dimaksud. Dalam putusan Mahkamah Konsitusi No.15PUU-XII2014, kedudukan hukum legal standing para pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia berdasarkan bukti KTP dan sebagai direksi PT. Minerina Cipta Guna serta dan direksi PT. Bangun Bumi Bersatu berpotensi atau setidaknya akan mengalami kerugian konstitusional. Kerugian tersebut akan dialami oleh para pemohon dengan alasan bahwa, pemohon merupakan pihak yang telah bersengketa di Badan Arbitrase Nasional Indonesia BANI dan telah diputus dengan putusan perkara No. 443IARB-BANI2012, selanjutnya pemohon mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase BANI ke Pengadilan Negeri Bandung dan telah diputus dengan register perkara 74 Jimly Asshiddiqqie, h.70 No.57PdtPPN-BDG2013. Kemudian atas putusan PN Bandung telah diajukan banding oleh BANI dan PT.PLN Distribusi Jawa Barat dan banten DJBB yang masih di proses di Mahkamah Agung, saat diajukannya permohonan uji materiil penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dengan salah satu alasan banding yang diajukan pemohon banding di Mahkamah Agung adalah terkait dengan penjelasan pasal 70 tersebut. Sebagai perorangan warga Indonesia dan sebagai direksi Pt.BBB dan PT.MCG para pemohon mengatakan bahwa penjelasan pasal 70 Undang- Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah merugikan hak konstitusionalnya, yang tercantum dalam pasal 27 ayat 1 dan 28D ayat 1 UUD 1945. Memang benar bahwa, perorangan warga Indonesia merupakan salah satu subjek hukum yang yang tercantum pasal 51 ayat 1 Undang-undang No.24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, dan pemohon selanjutnya dapat menerangkan haknya yang telah disediakan oleh UUD 1945 yaitu pasal 27 ayat 1 dan 28D ayat 1 UUD 1945 berpotensial dapat dipastikan akan terjadi akibat dari berlakunya penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Namun, menurut penulis lebih tepat bahwa kedudukan hukum legal standing dari para pemohon adalah sebagai perusahaaan badan hukum privat, jika menelaah pada alasan-alasan yang diberikan pemohon atas kerugian konstitusionalnya yang terlibat adalah perusahaan, khususnya PT.MCG dan PT.BBB dan pemohon sebagai direksi dari perusahaan tersebut. Kerena menurut I Dewa Gede Palguna yang merupakan salah seorang majelis hakim Mahkamah Konstitusi, sengketa arbitrase itu melibatkan perusahaan bukan perseorangan, maka akan lebih baik jika kedudukan hukum yang mengajukan permohonan terhadap Undang- undang arbitrase adalah perusahaan badan hukum, saran tersebut dikemukakan dalam sidang perdana pengujian pasal 67 ayat 1 dan pasal 71 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa di gedung Mahkamah kontitusi. 75 c. Penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menimbulkan ketidakpatian hukum. Sebelum penulis menganalisis ke dalam pokok permohonan, terlebih dahulu disajikan selengkapnya isi batang tubuh pasal 70 dan isi penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, sebagai berikut: Isi norma pada batang tubuh pasal 70 menyatakan bahwa: “Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur antara lain sebagai berikut : a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu 75 Hukum Online, Hilangnya Hak Pembatalan Putusan, UU Arbitrase Di Gugat. Artikel di akses pada tanggal 12 April 2015. http:www.hukumonline.comberitabacalt54d0f15bc29f1hilangkan-hak-pembatalan-putusan--uu- arbitrase-digugat b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Kemudian, Pasal 70 mempunyai Penjelasan yang menyatakan bahwa: “Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan negeri. Alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan. Menurut penulis, pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, hanya mengatur mengenai tiga unsur yang dapat membatalkan putusan arbitrase yang bersifat limitatif, tetapi disisi lain pada penjelasan pasal 70 menentukan bahwa unsur- unsur yang ada pasal 70 tersebut harus dibuktikan dengan adanya putusan pengadilan, justru pembuktian dengan menggunakan putusan pengadilan menjadi kontradiktif sebab putusan pengadilan mengandung unsur kepastian, dan bukan merupakan suatu penjelasan pasal melainkan berubah menjadi ketentuan normatif baru yang tak selaras dan sesuai dengan maksud dan arti dari substansi pokok ketentuan normatif yang diatur didalam pasal yang dijelaskan. Dengan begitu penjelasan pasal 70 menimbulkan norma baru atas pasal 70 tersebut yang seharusnya hanya menjelaskan mengenai alasan pembatalan yang ada pada batang tubuh pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dengan begitu penulis, setuju dengan pendapat mahkamah bahwa dalam pasal hanya mensyaratkan adanya dugaan yang bersifat apriori dari pemohon sedangkan dalam penjelasan mengubah makna dugaan menjadi sesuatu yang pasti berdasarkan putusan pengadilan dan bersifat posteriori, sehingga penjelasan pasal 70 menimbulkan norma baru dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Berdasarkan lampiran II Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan, pada angka 176 tentang penjelasan menyatakan bahwa penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentukan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kataistilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud. Lebih lanjut, angka 186 menyatakan bahwa rumusan penjelasan pasal demi pasal harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. Tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh 2. Tidak memperluas, mempersempit atau menambah pengertian norma yang ada dalam batang tubuh 3. Tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam batang tubuh 4. Tidak mengulangi uraian kata, istilah, frasa atau pengertian yang telah dimuat di dalam ketentuan umum; danatau 5. tidak memuat rumusan pendelegasian. Selanjutnya, penulis sependapat dengan Mahkamah bahwa rumusan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah jelas expresis verbis, dengan mengatur ketiga unsur yang dapat membatalkan putusan arbitrase. Tetapi penjelasan pasal yang menyatakan unsur-unsur tersebut agar dibuktikan dengan putusan pengadilan, justru menimbulkan multitafsir, dengan timbul dua tafsir bahwa unsur-unsur pasal 70 tersebut diperiksa dan diputus lebih dahulu oleh pengadilan yang berbeda atau diperiksa dan diputus pengadilan tempat diajukannya permohonan pembatalan. Lebih lanjut bahwa, pasal 70 sendiri terkait dengan limitasibatasan waktu yang diatur dalam pasal 71, yang mengatur bahwa permohonan pembatalan harus diajukan paling lama setelah 30 tiga puluh hari sejak pendaftaran putusan arbitrase di PN. Timbul pertanyaan apakah dimungkinkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas dugaan unsur pembatalan yang bernafaskan pidana yang harus melalui proses pidana yang telah kita ketahui bersama harus melewati proses penyelidikan, penyidikan hingga proses pemeriksaan di pengadilan dapat diputus dalam jangka waktu 30 hari? Sementara azas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan tidak relevan dalam segi praktek pada masa sekarang ini. dan perlu diingat bahwa arbitrase sendiri merupakan sebuah alternatif penyelesaian sengketa di luar peradilan, arbitrase dipilih mengingat kelemahan-kelamahan yang ada pada badan peradilan salah satunya adalah time consuming. Akibatnya di dalam praktik, timbul ketidakseragaman putusan Pengadilan Negeri, dalam mempertimbangkan wajib atau tidaknya disertakan putusan pengadilan. Dengan contoh, perkara PT. krakatau Steel melawan International Piping Product, Inc. di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pertimbangan hakim pada putusan tersebut menyatakan bahwa alasan-alasan permohonan pembatalan putusan arbitrase cukup dituangkan dalam putusan hakim yang memeriksa perkara permohonan tersebut. 76 Secara nyata ketentuan pasal 70 dan penjelasan pasal 70 dikaitkan dengan pasal 71 tidak dapat dilaksanakan, selain itu membuat para pihak kebingungan atas ketidakpastian hukum pada pengaturan hukum mengenai pembatalan putusan arbitrase dan justru menghalangi hak para pencari keadilan untuk menggunakan haknya yang sudah diberikan sendiri oleh Undang-Undang No.30 Tahun 1999 khususnya pada pasal 70 terkait dengan pembatalan putusan arbitrase. Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa penjelasan pasal 70 mengandung norma baru dan multitafsir sehingga menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. 76 Hukum Online, beberapa kelemahan ketentuan pembatalan putusan arbitrase. Artikel diakses pada 11 April 2015, http:www.hukumonline.comberitabacahol9134beberapa-kelemahan- ketentuan-pembatalan-putusan-arbitrase .

B. Akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi No.15PUU-XII2014 terhadap