Akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi No.15PUU-XII2014 terhadap

B. Akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi No.15PUU-XII2014 terhadap

upaya pembatalan putusan arbitrase Akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh suatu peristiwa hukum. 77 Dalam penelitian ini, akibat hukum yang dimaksud adalah akibat hukum yang ditimbulkan oleh lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi No.15PUU-XII2014 terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase di Indonesia. Upaya pembatalan terhadap putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat, menurut Yahya Harahap ada pengecualian atas alasan yang sangat eksepsional sehingga dapat diajukan perlawanan atau plea dalam bentuk annulment atau pembatalan. 78 Ketentuan pembatalan putusan arbitrase di Indonesia termaktub dalam Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa pada pasal 70 dan pasal tersebut telah menentukan bahwa putusan arbitrase hanya dapat diajukan permohonan pembatalan apabila mengandung unsur-unsur: unsur pertama, surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksanaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; unsur kedua setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau unsur ketiga putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa dan 77 R.Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum Jakarta: Sinar Grafika,2009, h.296. 78 Yahya Harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata RV, Peraturan dan prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute ICSID, UNCITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma No.1 Tahun 1990,h. 277. menurut penjelasan pasal 70 tersebut ketiga unsur pembatalan putusan arbitrase harus dibuktikan melalui putusan pengadilan. Selanjutnya, putusan Mahkamah Konstitusi No. 15PUU-XII2014 yang bersifat final dan mengikat binding, menyatakan bahwa penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah mengakibatkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan sehingga bertentangan dengan Pasal 271 dan 28D 1 Undang-Undang Dasar 1945, dan menyatakan pula bahwa penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Akibat hukum lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi No.15PUU-XII2014 terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase sesuai dengan ketentuan pasal 70 menjadi jelas, karna tidak ada hambatan terhadap upaya pembatalan putusan yang memang diberikan oleh undang-undang, selain dalam pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa hanya mengatur mengenai alasan pembatalan. Sehingga dalam hal mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase atas unsur-unsur pembatalan yang tercantum dalam pasal 70 tersebut tidak harus dibuktikan terlebih dahulu melalui putusan pengadilan, yang dapat diajukan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan dan menolak permohonan pembatalan yang merupakan ketentuan penjelasan pasal 70. Akibat hukum selanjutnya menurut penulis atas dicabutnya penjelasan pasal 70 tersebut, terhadap Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan APS harus dibuat serta diterbitkannya peraturan pelaksana undang-undang yaitu Peraturan Pemerintah, khususnya terhadap ketentuan lebih lanjut terhadap pembatalan putusan arbitrase. Mengingat telah dicabutnya penjelasan pasal yang menimbulkan norma baru serta multitasir, maka pasal 70 dianggap cukup jelas dan berdiri sendiri. Namun terhadap pasal 70 yang mengandung unsur pidana, penulis berkesimpulan bahwa harus dibuatnya peraturan pelaksana untuk diatur lebih lanjut mengenai mekanisme upaya pembatalan putusan arbitrase. Menurut Maria Farida Indrati S, dalam bukunya “Ilmu Perundang-undangan; Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan ” apabila suatu ketentuan dalam undang-undang memerlukan pengaturan lebih lanjut, sedangkan di dalam ketentuan tersebut tidak menyebutkan secara tegas untuk diatur dalam Peraturan Pemerintah, maka Presiden dapat membentuk Peraturan Pemerintah sepanjang hal itu merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari undang-undang tersebut. 79 Pelaksanaan ketentuan dalam undang-undang yang dengan tegas memerintahkan pembentukan Peraturan Pemerintah dilandasi suatu kenyataan, sebagaimana ketentuan dalam pasal 5 ayat 2 UUD 1945 yang merupakan delegasi kepada setiap Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan undang-undang, berikut bunyi pasal 5 ayat 2 UUD 1945: “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang- undang sebagaimana mestinya”. 79 Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan Jenis,Fungsi, Materi Muatan. Yogyakarta: Kanisius, 2007. h.222. Artinya dengan ketentuan dalam pasal 5 ayat 2 UUD 1945 tersebut menjadi dasar hukum bagi Presiden untuk menerbitkan Peraturan pemerintah sebagai tindak lanjut penjelasan dan penjabaran dalam ketentuan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Sehingga memberikan kepastian hukum bagi para pihak bersengketa yang ingin menyelesaikan permasalahannya melalui jalan arbitrase, selain itu pula dapat memberikan kejelasan para pihak di saat ingin menempuh upaya membatalkan putusan Arbitrase. Arbitrase merupakan alternatif penyelesaian sengketa perdagangan diluar pengadilan yang bertujuan mencapai keadilan, sehingga terwujud perdamaian antar pihak yang bersengketa. Sehingga sistem arbitrase perlu dipertahankan, sebagaimana firman Allah SWT dalam al- Qur’an surat al-Hujurat ayat 9 dikatakan: اَمُهَ نْ يَ ب اوُحِلْصَأَف اوُلَ تَتْ قا َنِنِمْؤُمْلا َنِم ِناَتَفِئاَط نِإَو ۖ ىَلَع اَُُاَدْحِإ ْتَغَ ب نِإَف َِا ِرْمَأ ََِٰإ َءيِفَت ََٰح يِغْبَ ت ِِلا اوُلِتاَقَ ف ٰىَرْخُْْا ۖ اَمُهَ نْ يَ ب اوُحِلْصَأَف ْتَءاَف نِإَف اوُطِسْقَأَو ِلْدَعْلاِب ۖ َنِطِسْقُمْلا بُُِ ََا نِإ . “ Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat zalim itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah SWT maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sesungguhnya, Allah SWT mencintai orang-orang yang berlaku adil. Selain itu, dalil arbitrase dalam menengahi sengketa perdagangan demi tercapainya perdamaian antar pihak yang bersengketa, diperkuat oleh firman Allah SWT dalam al- Qur’an surat An-Nisa ayat 114 : ِسانلا َْنَ ب ٍح ََْصِإ ْوَأ ٍفوُرْعَم ْوَأ ٍةَقَدَصِب َرَمَأ ْنَم َِإ ْمُهاَوََْ ْنِم ٍرِثَك ِِ َرْ يَخ ََ ۖ اًميِظَع اًرْجَأ ِهيِتْؤُ ن َفْوَسَف َِا ِتاَضْرَم َءاَغِتْبا َكِلَٰذ ْلَعْفَ ي ْنَمَو ١١١ “ Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh orang bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencapai keridhaan Allah SWT maka kelak kami akan memberinya pahala yang besar ”. Dengan demikian, pengaturan hukum arbitrase di Indonesia harus diperjelas agar berjalan efektif, efisien dan dapat memberikan kepastian hukum bagi pihak yang ingin menyelesaikan perselisihan melalui jalur arbitrase. 80

BAB V PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, penulis dapat memberikan kesimpulan dan saran, sebagai berikut:

A. Kesimpulan

1. Mekanisme pembatalan putusan arbitrase berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah diatur pada bab VII pada pasal 70 sampai dengan pasal 72 mengenai pembatalan putusan arbitrase yaitu memenuhi alasan pembatalan menurut pasal 70 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu pertama, surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu. Kedua, setelah putusan diambil dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan ditemukan atau ketiga putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Adapun unsur- unsur pembatalan dalam pasal 70, menurut penjelasan pasal 70 tersebut harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Putusan pengadilan yang menetapkan terbukti atau tidaknya alasan yang menjadi dasar pembatalan dapat digunakan menjadi dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan. Terhadap penjelasan pasal 70 tersebut, telah diajukan pengujian materil di Mahkamah Konstitusi, dan penjelasan pasal tersebut telah dinyatakan