SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
D. Keuntungan dari Arbitrase
Pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain:
a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak; b. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan
administratif ; c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai
pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan ,jujur dan adil;
d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
e. Putusan arbiter merupakan putusan akhir yang mengikat para pihak dan f. dengan melalui tata cara prosedur sederhana saja ataupun langsung
dapat dilaksanakan. Pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas tidak semuanya benar, sebab
di negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat dari pada proses arbitrase. Satu-satunya kelebihan arbitrase terhadap pengadilan adalah sifat
kerahasiannya karena keputusannya tidak dipublikasikan. Namun demikian penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih diminati daripada litigasi,
terutama untuk kontrak bisnis bersifat intemasional.
E. Pelaksanaan Putusan Arbitrase 1. Putusan Arbitrase Nasional
Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59 – Pasal 64 UU No. 30 Tahun 1999. Pada dasamya para pihak harus melaksanakan
putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaannya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada
kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau
kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 tiga puluh hari setelah putusan arbitase diucapkan.
Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat seperti putusan yang mempunyai kekekuatan hukum tetap, sehingga Ketua
Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Berdasar Pasal 62 UU AAPS, sebelum memberi perintah pelaksanaan, Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi
Pasal 4 dan Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat
menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri tersebut tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun.
2. Putusan Arbitrase Internasional
Pasal 65 sampai dengan Pasal 69 UU a quo memberi kewenangan kepada PN Jakarta Pusat untuk menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan
Putusan Arbitrase lntemasional, yang menurut Pasal 1 butir 9 adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar
wilayah hukum Republik Indonesia, atau suatu putusan suatu lembaga aribtrase atau perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia
dianggap sebagai putusan arbitrase internasional
3. Pembatalan Putusan
Pasal 70 UU a quo, menetapkan bahwa permohonan pembatalan putusan arbitrase hanya dapat dikabulkan apabila putusan tersebut diduga
mengandung unsur-unsur ditemukannya surat atau dokumen dalam pemeriksaan palsu atau, disembunyikan dan putusan diambil dari hasil tipu
muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak. Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan yang sudah didaftarkan di pengadilan dan
alasan-alasan permohonan pembatalan harus dibuktikan dengan putusan pengadilan.
Alasan pembatalan dalam UU AAPS berbeda dengan UNCITRAL Model Law, yang menyatakan bahwa pembatalan meliputi Pasal 34:
a Satu atau para pihak tidak cakap Incapacity; b Pemberitahuan yang kurang wajar mengenai pengangkatan arbiter atau
proses arbitrase atau tidak dapat mempresentasikan perkaranya. c Putusan dijatuhkan atas perkara yang tidak dalam lingkup arbitrase,
atau berisi putusan-putusan diluar kewenangan arbitrase;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
d Penunjukan majelis arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan kesepakatan para pihak, kecuali perjanjian tersebut bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang; atau e Pengadilan menemukan bahwa pokok perkara dalam sengketa tidak dapat
diselesaikan melalui arbitrase menurut peraturan perundang-undangan di Negara tersebut atau putusan bertentangan dengan ketertiban umum
public policy dari negara tersebut. Sementara banyak negara telah membatasi hak untuk banding, namun
demikian hak banding tersebut tetap merupakan ancaman terhadap putusan arbitrase. Hak banding tersebut telah menghambat eksekusi dan penyelesaian
sengketa. Di sisi lain, hak untuk banding merupakan stimulus bagi para arbiter untuk bekerja dengan penuh kehati-hatian dan wajar sehingga arbiter
senantiasa harus beritikad baik dalam menyelesaikan sengketa.
F. Asas Itikad Baik dalam Berarbitrase
Arbitrase adalah suatu perjanjian yang dinegosiasikan, disepakati dan dijalankan; karenanya itikad baik menjadi pusat dalam arbitrase. Sebagai
dipersyaratkan dalam konvensi-konvesi lnternasional dan Undang-Undang, para pihak dalam arbitrase, termasuk kuasa, arbiter, lembaga arbitrase dan para pihak
yang bersengketa harus beritikad baik ketika memasuki proses arbitrase. Misalnya, kuasa atau pengacara para pihak tidak menutup kemungkinan untuk
perdamaian dengan cara-cara menunda sidang. Para kuasa atau pengacara tersebut seyogyanya selalu berkomunikasi dengan kliennya untuk menjajagi
kemungkinan tercapainya penyelesaian segera setelah mengetahui bahwa pembahasan menuju perdamaian mengenai kasus cukup memberikan harapan.
Dalam setiap arbitrase. tugas dan kewajiban harus dilaksanakan dengan standar itikad baik dan penyikapan secara penuh full disclosure. Hal ini berarti
bahwa para pihak dari awal bersedia membahas kepentingannya masing-masing . Mereka mengerjakannya dengan cara-cara yang efektif dan tidak membuang-
buang waktu, wajar reasonable dan menujukkan proaktif keinginan untuk menyelesaikan sengketa.
Tanpa itikad baik, keunggulan arbitrase dalam penyelesaian sengketa menjadi tidak efektif atau hilang. Untuk arbiter, itikad baik berarti tidak bersedia menjadi
arbiter jika jadwal yang bersangkutan penuh dan bersedia mengungkapkan kemungkinan adanya benturan kepentingan conflict of interest. Karena itu arbiter
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
sebelum dan selama proses harus melakukan introspeksi mengenai sikapnya sehingga tidak mejatuhkan putusan yang bias. Ketidakberpihakan dan kebebasan
dari seorang arbiter merupakan hal yang esensial dalam pemeriksaan. Dalam premise tersebut, itikad baik mengharuskan para arbiter bertindak wajar, untuk
melindungi ekspektasi yang berasal dari perjanjiannya. Hal yang juga cukup relevan tentang itikad baik dalam arbitrase adalah hak
banding atas putusan yang dijatuhkan. Kesepakatan menyelesaikan sengketa melalui abitrase pada hakekatnya bersedia menerima putusan arbitrase sebagai
putusan terakhir finaL dari para arbiter, karena itu pengajuan banding kepada pengadilan untuk membatalkan putusan dapat dipandang sebagai suatu tindakan
yang tidak beritikad baik, selain melanggar cita-cita hukum yang didambakan tetapi tidak selalu seiring, yaitu asas-asas manfaat, keadilan dan kepastian hukum.
Selanjutnya terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan Penjelasan Pasal 70 UU a quo tidak konsisten, tidak operasional dan menimbulkan kerancuan,
Pemerintah memberikan keterangannya sebagai berikut: Bahwa sebagaimana dikatakan oleh Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, SH dalam
tulisannya yang berjudul Perihal Undang-Undang, norma atau kaidah merupakan nilai-nilai baik dan buruk dalam bentuk kata aturan yang berisi kebolehan, anjuran
atau perintah, dan bahwa dengan demikian norma hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan adalah peraturan yang timbul dari hukum yang
berlaku. Bahwa suatu norma yang telah ditetapkan kadang-kadang diperlukan
penjelasan lebih lanjut agar pembentuk Undang-Undang dapat menyampaikan apa yang dimaksud dari norma tersebut sebagai keterangan resmi dari norma yang
ditetapkan tersebut. Seperti yang ditetapkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan bahwa Penjelasan adalah
tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap
kata, frasa, kalimat atau padanan kataistilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma
dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud.vide Pasal 176 UU No. 12 Tahun 2011.
Oleh karena itu, dalam ketentuan Pasal 70 UU AAPS yang menyatakan Putusan Arbitrase hanya dapat dibatalkan dalam hal adanya dokumen yang
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
diduga palsu atau dipalsukan atau tipu muslihat adalah norma yang harus dipenuhi sebagai syarat dapat dibatalkannya suatu putusan arbitrase.
Sedangkan Penjelasan Pasal 70 yang menjelaskan bahwa atas dugaan yang telah ditetapkan dalam batang tubuhnya harus dibuktikan melalui putusan
pengadilan adalah putusan pengadilan yang berwenang mengadili pemalsuan atau tipu muslihat. Hal ini terkait dengan kepastian hukum dan keadilan dalam arti
bahwa seseorang baru dapat dinyatakan bersalah dalam hukum setelah pembuktian. Sebaliknya jika Penjelasan Pasal 70 dianggap bertentangan dengan
normanya sebagaimana dimaksud oleh Para Pemohon, maka Pasal 70 UU a quo akan kehilangan penafsirannya, sehingga bagi pihak yang memenangkan perkara
arbitrase akan menghilangkan hak-hak konstitusional dan tidak akan mendapatkan manfaat, keadilan dan kepastian hukum dalam melakukan eksekusi putusan
arbitrase. Bahwa berdasarkan uraian di atas, Penjelasan Pasal 70 UU AAPS bukan
menjadi normatif baru dan telah selaras dan sesuai dengan maksud dan arti dari substansi pokok ketentuan normatif yang diatur dalam Pasal 70 AAPS dan bahwa
dengan demkian penjelasan Pasal 70 sudah berfungsi sebagai penjelasan yang memberikan tambahan pengertian atau keterangan dari Pasal 70 UU AAPS.
Terhadap dalil Para Pemohon yang menganggap dengan terlalu lamanya waktu untuk membuktikan dugaan tersebut ke Pengadilan sehingga menjadi
adanya ketidakpastian hukum, Pemerintah memberikan keterangannya sebagai berikut:
Bahwa dalam pembuktian pengadilan terhadap adanya unsur unsur sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan 70 UU a quo dibutuhkan waktu yang
lama untuk mendapatkan putusan akhir untuk membuktikan adanya dokumenfakta palsu atau dipalsukan dalam rangka pembatalan putusan arbitrase
itu merupakan teknis pengadilan, yang tidak sesuai dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.
Pemalsuan dokumen dan tipu muslihat masuk ranah hukum pidana, yang penegakannya dijalankan oleh aparat penegak hukum dan prosesnya untuk
mewujudkan tujuan-tujuan hukum, ide-ide hukum menjadi kenyataan dan menegakkan norma hukum pidana beserta segala nilai yang ada di belakang
norma tersebut total enforcement, yang dibatasi oleh area of no enforcement melalui hukum acara pidana atau ketentuan khusus lain, untuk menjaga
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
keseimbangan antara kepentingan negara, kepentingan umum dan kepentingan individu full enforcement.
Bahwa sebenarnya Dalam hal permohonan pembatalan putusan arbitrase, pada dasarnya para pihak yang bersengketa mempunyai waktu sekitar 60 enam
puluh hari sejak putusan arbitrase dibacakan untuk mengajukan pembatalan berdasar adanya dokumen palsu atau tipu muslihat, yaitu 30 tiga puluh hari untuk
pendaftaran putusan dan 30 tiga puluh hari untuk pendaftaran permohonan pembatalan. Pembuktian pemalsuan dokumen atau tipu muslihat seharusnya
dapat dilakukan secara sederhana dan tidak seharusnya memakan waktu lama. Banyak contoh tentang peradilan cepat itu; antara lain dalam perkara-perkara di
Pengadilan Niaga, di mana dengan pembuktian sederhana Hakim di Pengadilan Niaga sudah harus menjatuhkan putusan selama kurang dari 30 hari.
Bahwa dibatasinya waktu untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan ada kaitan erat dengan kesepakatan bersama para pihak bahwa putusan arbitrase
merupakan putusan akhir dan mengikat para pihak dalam rangka memberikan manfaat, keadilan, dan kepastian hukum kepada para pihak, termasuk pihak yang
telah memenangkan perkara arbitrase .
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hal-hal diatas, Pemerintah dalam keterangannya dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1. Pengajuan pembatalan putusan arbitrase sering tidak dilandasi pada itikad baik yang merupakan asas pokok dalam suatu perjanjian karena arbitrase
merupakan kesepakatan para pihak dalam cara menyelesaikan sengketa yang didasari atas asas kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum,
maka para pihak yang berkontrak diminta untuk mau menerima putusan yang dibuat oleh para arbiter yang telah ditunjuknya sendiri. Peran
pengadilan hanya untuk penegakan hukum agar putusan arbitrase ditaati para pihak.
2. Adanya praktik peradilan yang bertentangan dengan prinsip peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya ringan tersebut sering di latarbelakangi oleh
berbagai faktor, antara lain para pengacara yang tidak selalu secara professional bertindak demi klien yang mempercayakan perkara kepadanya
dan para pencari keadilan sendiri yang tidak melihat proses Pengadilan itu sebagai cara untuk mencari keadilan menurut hukum, melainkan hanya
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
sebagai sarana untuk memenangkan perkaranya dengan cara apapun. Hal ini mencerminkan perilaku yang tidak beritikad baik, yang dalam hal
pembatalan putusan arbitrase adalah pihak yang tidak mau mengakui kekalahan dengan mengingkari kesepakatan, bahwa putusan arbitrase
adalah final dan mengikat. Dengan demikian, perilaku yang menunda-nunda eksekusi putusan arbitrase akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang
akan menghilangkan hak konstitusional pihak lawannya untuk mendapatkan manfaat, keadilan dan kepastian hukum dari suatu putusan arbitrase yang
telah disepakati para pihak yang bersengketa sebagai putusan final dan mengikat.
3. Bahwa dengan demikian, gugatan Pemohon bahwa terdapat perbedaan norma atau adanya norma baru atau perubahan terselubung dalam
Penjelasan Pasal 70 tidak terbukti dan patut ditolak. Berdasarkan kesimpulan diatas, Pemerintah berpendapat jika Penjelasan
Pasal 70 UU AAPS dianggap tidak mempunyai hukum mengikat, maka Pasal 70 UU a quo akan kehilangan tafsir resmi terhadap normanya dan akan menimbulkan
ketidakpastian hukum kepada pihak-pihak yang berhak mendapatkan keadilan dan manfaat dari putusan arbitrase berdasarkan hak-hak konstitusionalnya, sehingga
Pemerintah berpendapat dari hasil kesimpulan tersebut Pemohon dalam permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan
hukum legal standing dan adalah tepat jika Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima niet
ontvankelijk verklaard.
V. PETITUM
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan
memutus permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Terhadap Undang-Undang Dasar
1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut: 1.
Menyatakan Pemohon tidak memiliki Kedudukan hukum legal standing; 2.
Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan. Para Pemohon tidak dapat diterima niet
onvankelijk verklaard; 3.
Menyatakan ketentuan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak bertentangan dengan Pasal 280 ayat 1 Undang-Undang Oasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, Presiden mengajukan dua orang ahli yang didengarkan
keterangannya di Persidangan Mahkamah pada tanggal 26 Agustus 2014, pada pokoknya sebagai berikut:
1. Prof. Dr. Huala Adolf, S.H., LL.M
1. Keterangan ahli affidavit ini saya buat atas permintaan Pemerintah Republik Indonesia cq. Kementerian Kehakiman melalui Badan Arbitrase
Nasional Indonesia BANI yang menjadi salah satu pihak atau minimal yang ikut terkait dengan adanya permohonan pengujian Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
2. Keterangan ahli ini saya buat dalam kapasitas saya sebagai sarjana yang telah cukup lama mempelajari arbitrase. Minat lama saya kepada arbitrase
antara lain tegambar ketika pertama kali menerbitkan buku berjudul Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta: Rajawali Pers pada tahun
1991 dan juga menerbitkan buku berjudul: Dasar-dasar, Prinsip dan Filosofi Arbitrase Bandung: Keni Media pada tahun 2014.
3. Permasalahan hukum yang dimintakan kepada saya terkait dengan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa UU Penjelasan Pasal 70 UU berbunyi:
Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan
permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa
alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim
untuk mengabulkan atau menolak permohonan.
4. Keterangan berupa Pendapat hukum yang saya buat di bawah ini lebih menitik-beratkan pada prinsip arbitrase.
I. Prinsip Arbitrase: Non Intervensi Pengadilan
5. Salah satu prinsip universal arbitrase yang penting adalah prinsip non- intervensi pengadilan. Prinsip ini menyatakan bahwa pengadilan harus
sedapat mungkin tidak menyampuri sengketa yang para pihak telah terikat
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
pada suatu perjanjian arbitrase. Prinsip ini bersifat universal. Prinsip ini dalam hukum nasional tampak dalam Pasal 3 dan Pasal 11 UU Arbitrase.
6. Pasal 3 UU Arbitrase menyatakan: Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian
arbitrase. Pasal 11 UU Arbitrase berbunyi:
1 Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang
termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri. 2 Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di
dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-
undang ini.
7. Dalam hukum arbitrase internasional, prinsip ini termuat dalam Article II ayat 3 Konvensi New York 1958. Article II 3 Convention berbunyi:
The court of a Contracting State, when seized of an action in a matter in respect of which the parties have made an agreement within the meaning
of this article, shall, at the request of one of the parties, refer the parties to arbitration, unless it finds that the said agreement is null and void,
inoperative or incapable of being performed.
8. Terjemahan Pasal 11 ayat 3 Konvensi berbunyi: Pengadilan dari suatu negara peserta Konvensi ini, ketika dimintakan
menyelesaikan sengketa yang para pihaknya telah terikat dalam suatu perjanjian arbitrase, wajib merujuk para pihak untuk menyelesaikan
sengketanya ke arbitrase, kecuali Pengadilan memutuskan bahwa perjanjian arbitrase yang mengikat para pihak tersebut adalah batal demi
hukum, tak bisa dijalankan atau tidak dapat dilaksanakan.
9. Prinsip non-intervensi pengadilan menurut pendapat saya, harus juga diterapkan pada aspek pembatalan putusan arbitrase. Pengadilan harus
sedapat-dapatnya menjaga jarak untuk tidak menyampuri sengketa para pihak yang telah terikat pada arbitrase termasuk mengeluarkan putusan
yang membatalkan putusan arbitrase. 10. Dewasa ini masih terdengar pandangan dari pengusaha luar negeri baliwa
negeri Indonesia dipandang sebagai unfriendly country” untuk arbitrase. Istilah unfriendly country” di sini mengacu kepada pemahaman mereka
bahwa negeri Indonesia tidak ramah unfriendly terhadap arbitrase. Alasan sejatinya, putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat,
temyata dibatalkan. Pembatalan suatu putusan arbitrase melukai perasaan suatu pihak yang telah beritikad baik di dalam menyelesaikan sengketanya
di arbitrase.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
11. Menurut Yang Mulia Hakim Agung Bismar Siregar, putusan arbitrase adalah mahkota seorang arbiter. Karena itu, pembatalan suatu putusan
arbitrase sejatinya melukai pula perasaan seorang arbiter yang memutus sengketa arbitrase.
12. Dari perspektif arbitrase, pembatalan suatu putusan arbitrase, apalagi putusan arbitrase asing, sangat mengundang perhatian dan mengundang
keingintahuan mendalam terhadap alasan-alasan pembatalan atau mengapa suatu putusan arbitrase dibatalkan.
II. Prinsip Final dan Mengikat Putusan Arbitrase
13. Putusan arbitrase adalah putusan yang dikeluarkan oleh majelis arbitrase atau seorang arbiter. Prinsip universal yang berlaku terhadapnya adalah
putusan yang bersifat final dan mengikat. Final artinya paling akhir. Mengikat artinya para pihak yang bersengketa terikat secara hukum untuk
melaksanakan putusan arbitrase. 14. Sifat final dan mengikat putusan arbitrase secara hukum tidaklah dapat
diajukan perlawanan. Tetapi prinsip universal memberi kelonggaran terhadap prinsip final dan mengikat ini. Putusan arbitrase berdasarkan
Konvensi New York 1958 dan Model Arbitration Law UNCITRAL 1985 dapat dimintakan penolakan pelaksanaannya. Penolakan pelaksanaan
putusan ini karena adanya aturan dasar yang dilanggar, misalnya kepentingan umum public policy.
15. Dalam UU, suatu putusan arbitrase dimungkinkan pembatalan. Meskipun ketentuan UU berbeda dengan Konvensi New York 1958 dan Model
Arbitration Law UNCITRAL, menurut hemat saya, berdasarkan dua prinsip di atas, yaitu prinsip non-intervensi pengadilan dan prinsip final dan
mengikat putusan arbitrase, pembatalan ini haruslah sangat hati-hati dilakukan.
16. Alasannya, pertama, pembatalan hanya dapat dilakukan apabila ada hal- hal yang sifatnya sangat teramat fundamental telah dilanggar oleh suatu
arbitrase. Kedua, pembatalan menimbulkan atau melahirkan dampak negatif yang sangat teramat fiindamental pula. Pembatalan putusan
arbitrase hanya akan melahirkan kesangsian bahkan keraguan masyarakat di dalam dan luar negeri terhadap arbitrase di Indonesia.
17. Berdasarkan prinsip-prinsip arbitrase di atas, ketentuan dalam UU
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Arbitrase khususnya Pasal 70 beserta penjelasannya haruslah dipandang sebagai suatu ketentuan yang harus membatasi dengan tegas agar
putusan arbitrase tidak dengan mudah dibatalkan.
2. Prof. Dr. Mieke Komar, S.H., M.CL
1. Keterangan ahli ini, saya buat atas permintaan Pemerintah cq Kementerian Kehakiman melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia
BANI yang ikut terkait dengan adanya permohonan pengujian Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Altematif
Penyelesaian Sengketa, khususnya terhadap Penjelasan Pasal 70 . 2. Keterangan ahli ini, saya buat dalam kapasitas saya sebagai akademisi
yaitu dosenGuru Besar emeritus Universitas Padjadjaran, yang di samping mengajar dalam Hukum Internasional, Hukum Kontrak
Internasional, dll. sejak 1967-2011 sebagai dosenGB tetap, sebagai GB em 2011-sekarang, juga sebagai Mantan Hakim Agung Rl 2003-2012,
anggota kamar Perdata Khusus, serta sebagai pemerhati tentang perkembangan hukum Arbitrage nasional dan internasional.
3. Adapun petitum pihak Pemohon, pada pokoknya memohon Majelis Mahkamah Konstitusi untuk:
- Menyatakan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Altematif Penyelesaian Sengketa
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. - Menyatakan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Altematif Penyelesaian Sengketa tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi mempunyai pendapat lain atas perkara a quo mohon diberikan putusan yang seadil -adilnya ex aequo et
bono 4. Pertimbangan Mahkamah Agung. dalam berbagai putusan dapat
menunjukkan arah penyelesaian Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 beserta Penjelasannya. Terlebih putusan-putusan Mahkamah Agung
sebagai badan Peradilan yang tertinggi merupakan yurisprudensi tentang penerapan hukum dalam keadaan riil, yang menjadi pegangan atau
pedoman bagi badan-badan peradilan di bawahnya.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Bahwa pembatalan putusan BANI harus memenuhi syarat syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Altematif Penyelesaian Sengketa, yang telah dirinci secara limitatif sebagai berikut:
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu,
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Dengan memperhatikan Penjelasan atas Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 berbunyi:
Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan
yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau
tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.
- Putusan Nomor 01Arb.Btl2006, MA menguatkan putusan Pengadilan
Negeri yang menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase a quo dengan pertimbangan bahwa alasan alasan pembatalan adalah
bertentangan dengan isi Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 dan Penjelasannya; alasan alasan Pasal 70 telah ditentukan secara limitatif.
- Putusan MA Nomor 855KlPdt.Sus2008 yang menguatkan putusan
Pengadilan Negeri, bahwa permohonan pembatalan putusan arbitrase a quo adalah prematur sebab harus dibuktikan lewat putusan pengadilan
terlebih dahulu tipu muslihatkebohongan bukan hanya tafsir dari salah satu pihak, lihat Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999, dan Penjelasannya.
- Putusan MA Nomor 729KPDT.SUS2008, menegaskan, bahwa alasan-
alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 tersebut harus dibuktikan dengan putusan pengadilan dalam
perkara pidana dan seterusnya permohonan pembatalan harus dinyatakan tidak dapat diterima N-O.
- Putusan MA Nomor 109 KPDT.SUS2010, yang pada pokoknya menolak
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
permohonan pembatalan putusan arbitrase sebab adanya tipu muslihat yang dilakukan oleh Termohon Banding dalam perkara a quo tidak dapat
dibuktikan adanya unsur tipu muslihat dan tidak disertai dengan bukti berupa putusan pidana yang menyatakan telah terjadi tipu muslihat yang
dilakukan oleh Termohon Banding, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999.
5. Beberapa cuplikan putusan dari sekian banyak putusan MA Rl di atas mempertegas, bahwa isi dari Pasal 70 UU 30 Tahun 1999 harus dibaca dan
diterapkan bersamaan dengan Penjelasannya. Alasan- alasan pembatalan dalam Pasal 70 mengandung unsur Pidana, dan Penjelasannya memuat
uraian atau penjabaran lebih lanjut dari norma dalam Pasal 70, yaitu bahwa alasan alasan permohonan pembatalan harus dibuktikan dengan putusan
pengadilan pidana. Adalah tidak tepat untuk berpendapat bahwa Penjelasan Pasal 70 di atas
mengandung norma baru seperti didalilkan Pemohon. Perjanjian arbitrase dan putusan arbitrase berada dalam ranah Hukum
Perdata, tetapi unsur unsur Pasal 70 tersebut harus diperiksa oleh peradilan pidana, sebab peradilan perdata tidak berwenang untuk memeriksa dan
memutuskan perkara yang diduga berisi unsur-unsur pidana. 6. Menurut hemat kami kedudukan Penjelasan pada UU Nomor 30 Tahun
1999 tidak bertentangan dengan pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005PUU-III2005, UU Nomor 10 Tahun 2004 dalam
Lampiran butir nomor 148-155, UU ini telah disempumakan oleh UU Nomor 12 Tahun 2011.
7. Lain dari pada itu, apabila Penjelasan dicabut dan dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 dan Pasal 70 akan berdiri sendiri,
tetap akan menghasilkan kerancuan dalam penyelesaiannya di peradilan perdata, yang akan bertentangan dengan Hukum Acara Indonesia
8. Suatu kenyataan bahwa ketentuan pembatasan waktu seperti yang diatur dalam Pasal 71 UU Nomor 30 Tahun 1999, yaitu, Permohonan pembatalan
putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 tiga puluh hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan
arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri, menghambat bagi penerapan isi Pasal 70 beserta Penjelasan sebagaimana mestinya.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
9. Apakah menghapusmencabut baik Pasal 70 beserta Penjelasannya merupakan jawabannya, di samping merupakan tuntutan ultra petitum, juga
perlu dipertanyakan apakah absennya upaya permohonan pembatalan dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 tidak bertentangan dengan perintah,
maksud dan tujuan dari Pasal 28D UUD 1945? Mengacu pada hukum Internasional yang mengikat Rl, yaitu Konvensi
Internasional tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, yang telah diratifikasi oleh Rl pada tahun 1985, mengatur tentang Pembatalan
putusan arbitrase asing dalam Pasal V l e pengertian set aside sama dengan to annul atau membatalkan, yaitu berkaitan dengan hak suatu negara
anggota untuk menolak pengakuan dan pelaksanaan putusan asing, Butir e: putusan belum mengikat para pihak atau telah dibatalkan set aside atau
ditangguhkan oleh badan yang berwenang dari negara di mana, atau berdasarkan hukum mana, putusan tersebut dibuat; e the award has not yet
become binding on the parties, or has been set aside or suspended by a competent authority of the country in which, or under the law of which, that
award was made Contoh, putusan arbitrase Indonesia yang diputuskan di Indonesia dapat dibatalkan di Indonesia atau menurut hukum Indonesia.
Konvensi Internasional ini tidak menetapkan syarat syarat pembatalan suatu putusan arbitrase asing. Dengan demikian, kewenangan menentukan
syarat-syarat pembatalan suatu putusan arbitrase, baik putusan arbitrase asing maupun domestik adalah wewenang penuh negara anggota yang bersangkutan.
Menggaris bawahi isi Keterangan Badan Arbitrase Nasional Indonesia BANI tertanggal 30 April 2014, butir 4 Pasal 34 UNCITRAL Model Law, yang
berisi alasan alasan pembatalan putusan arbitrase set aside yaitu apabila: a. Satu atau para pihak tidak cakap incapacity
b. Pemberitahuan yang kurang wajar mengenai pengangkatan arbiter atau proses arbitrase atau tidak dapat mempresentasikan perkaranya
c. Putusan dijatuhkan atas perkara yang tidak dalam lingkup arbitrase atau berisi putusan-putusan di luar kewenangan arbitrase
d. Penunjukan majelis arbitrase- atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan kesepakatan para pihak, kecuali perjanjian tersebut bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang atau e. Pengadilan menemukan bahwa pokok perkara dalam sengketa tidak dapat
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
diselesaikan melalui arbitrase menurut peraturan perundang-undangan di Negara tersebut atau putusan bertentangan dengan ketentuan umum
public policy dari negara tersebut. f. Diketahui secara luas, bahwa isi UNCITRAL Model Law telah diadopsi oleh
banyak negara, termasuk negara negara tetangga kita. Sekalipun Rl belum mengadopsi aturan UNCITRAL Model Law tersebut, namun demikian butir-
butir diatas dapat menjadi acuan bagi aturan tentang pembatalan putusan domestik maupun asing.
Kesimpulan
1. Penjelasan Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 tidak dapat dipisahkan dari Pasal 70 UU Nomor 30, 1994; Penjelasan tidak memuat norma baru tetapi
memuat penjabaran lebih lanjut dari norma dalam Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999.
2. Penjelasan Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 mempertegas bahwa syarat- syarat pembatalan dalam Pasal 70 masuk ke ranah pidana pengadilan
pidana, dan harus dibuktikan terlebih dahulu dengan putusan pengadilan pidana, seperti dipertimbangkan Mahkamah Agung dalam berpuluh-puluh
putusannya. 3. Dibatalkan Penjelasan Pasal 70 memberikan ketidak pastian, terutama dapat
dianggap bahwa pengadilan perdata memiliki wewenang untuk memeriksa unsur unsur pidana yang terkait dengan permohonan pembatalan tersebut. Hal
mana sangat bertentangan dengan hukum acara Indonesia. 4. Pasal 70 beserta Penjelasan tidak bertentangan dengan UU Dasar 1945,
namun demikian terkait dengan persyaratan dalam Pasal 71 UU Nomor 30 Tahun 1999 menimbulkan suatu ketidakpastian.
5. Mekanisme pembatalan putusan Arbitrase harus diatur dalam suatu Undang Undang tentang Arbitrase, untuk menguatkan hak warganegara sesuai dengan
Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 dan disusun sedemikian rupa sehingga dapat diterapkan secara efektif.
[2 .4 ] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Dewan
Perwakilan Rakyat menyampaikan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 8 September 2014, yang pada pokoknya
menerangkan sebagai berikut:
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
A. KETENTUAN UU ARBITRASE YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UUD 1945
Para Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian atas Penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase, yang berbunyi sebagai berikut:
“Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan
yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau
tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan”
Para Pemohon beranggapan Penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase
bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945.
B. POKOK PERMOHONAN