Metode al-Taghlib atau - - î

29 maupun di akhirat. Yang pada intinya suatu konsep m s lahât merupakan titik sentral maqâ s s r ’ . 33 K m s l h atan dan kamafsadatan di dunia bisa dipahami dengan cara melihat mana yang lebih unggul 34 , maksudnya jika ada dua kemashlahatan atau dua kemafsadatan maka yang digunakan adalah kemashlahat atau kemafsadatan yang lebih banyak dari yang satunya. 35 Yang dimaksud dari uraian di atas, bahwa jika ada kontradiksi atau benturan di antara tingkatan tersebut maka r r at didahulukan atas âjîyât atau t sînîyât, sedangkan t didahulukan atas t s t. B k t rj l m h l m s l h t t u m fs t. s ln , p rk w n n k r n ng n perkawinan memelihara nasab bisa terealisasi. Sedangkan memelihara nasab merupakan salah satu point dharuriyat yang mana kehidupan dan syariat bisa berjalan dengan baik bila r r t diterapkan. 36 p b l k m s l h t n ng b rb ntur n l m s tu k sus, yang diharuskan untuk memilih salah satunya dikarenakan keduanya tidak bisa 33 Ar-Raysuni, Nazariyat al-Maqashid, h.47. 34 Dalam suatu kasus adakalanya disana terdapat dua kemashlahatan atau kemafsadatan yang bersamaan, yang mana satu dari dua kemashlatan atau kemafsadatan itu diharuskan dipilih salah satunya mengingat keduanya tidak bisa berjalan beriringan disebabkan suatu hal tertentu. Maka yang harus dipilih adalah yang lebih bisa menimbulkan kemashlatan akan tetapi untuk mafsadat yang diambil adalah yang lebih ringan. 35 As-Syatibi, al-Muafaqat, juz II, h.20. 36 Ar-Raysuni, Nazariyat al-Maqashid, h. 343. 30 berjalan secara bersamaan, maka harus dipilih sesuai dengan ketiga urutan skala prioritas di atas. Dimulai dari yang pertama sampai dan selanjutnya. 37 Bila kita melihat sisi yang p rt m , tu p p rb n n l k m s l h t n r s g z tn . B hw s n s t p k m s l h t n ng ungk pk n l m s rîˊ t t rsusun k l m sk l pr or t s ng l m . Y tu, memelihara agama z -dîn, m m l h r j w h ifz al-nasf, memelihara akal z -‘ q , memelihara nasab z -nasab, dan memelihara harta z -mâl. Dari susunan skala prioritas tersebut, maka memelihara agama z -dîn lebih diprioritaskan dari pada memelihara jiwa z -nasf, memelihara jiwa z -nasf lebih diprioritaskan daripada memelihara akal z -‘ q , memelihara akal z -‘ q lebih diprioritaskan daripada memelihara nasab z -nasab, dan memelihara nasab z -nasab lebih diprioritaskan dari pada memelihara memelihara harta z -mâl. 38 K mu n untuk m m l h r l m k m s l h t n t rs but. k disesuaikan dengan susunan tiga skala prioritas yaitu; r r t, t, dan t s t. Adapun ḏ r r t adalah memelihara kebutuhan-kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia. 39 p rt m l ks n k n s l t l m waktu atau berjihad untuk memelihara agama, makan pagi atau siang untuk 37 uh mm ˊ R m n l-But I, D w b t -M s - r -Islamiah, Bairut: Muassasah al-Risalah, t.t, h. 249. 38 uh mm ˊ R m n l-But I, D w b t -M s , h.249-250. 39 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997, h.126. 31 memelihara jiwa, diharamkannya khamr untuk memelihara akal 40 , perintah untuk menikah dan larangan berzina untuk memelihara nasab. 41 Diperbolehkan melakukan transaksi uang untuk mejaga harta. 42 H t, tidak termasuk kebutuhan esensial, melainkan kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan dalam hidupnya. Keringanan dalam hal ini tidak mengancam eksistensi kelima pokok di atas. Seperti ru s untuk me q s r s t dalam keadaan masyaqqah untuk menjaga agama, kebilehan berburu untuk memelihara jiwa, kebutuhan terhadapa ilmu pengetahuan untuk memelihara akal, memilih pasangan yang sepadan u u’ untuk memelihara nasab, dan khiyar dalam aktivitas jual beli untuk memelihara harta, 43 atau jual beli dengan cara salam. Karena apabila ini tidak dipakai tidak akan mengancam eksistensi harta, melainkan akan mempersulit memperoleh modal. 44 s t, adalah kebiasaan yang dianggap baik dalam tradisi masyarakat 45 atau kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat atau menjauhi sesuatu perbuatan yang dianggap rendah menurut akal sehat. Seperti menutup aurat, ber-taqarrub dengan mengamalkan 40 uh mm ˊ R m n l-But I, D w b t -M s , h.250. 41 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum, h.130. 42 uh mm ˊ R m n l-But I, D w b t -M s . h.250. 43 uh mm ˊ R m n l-But I, D w b t -M s , h.250. 44 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum, h.130. 45 al-Syâtîbî, al-Muwâfaqât, juz II, hal.9. Lihat juga uh mm ˊ R m n l-But I, D w b t -M s , h.250. 32 amalan-amalan yang sunnah dalam rangka memelihara agama, mengamalkan tata cara makan dan minum yang benar untuk memelihara jiwa, menjauhi makanan-makanan yang kotor untuk memelihara akal, 46 disyariatkannya khitbah dan walimah dalam perkawinan untuk memelihara keturunan z - nasl, karena hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika tidak diabaikan, maka tidak mengancam eksistensi keturunan, dan tdak pula mempersulit orang yang melakukan perkawinan. Menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan dalam dalam rangka memelihara harta z -nasl, h l n r t k t nn ng n t k b rmu’ m l h t u t k b sn s. 47 Adapun yang berhubungan dengan perkawinan adalah mahar. Mahar termasuk ke dalam ranah kebutuhan perkawinan hâjîyât al-ziwâj. Mahar merupakan sebuah bukti rasa sungguh-sungguh dan cinta untuk mengawini calon isteri serta menguatkan hubungan dengan penuh cinta kasih sayang. Akan tetapi, apabila ada pertentangan antara mahar dan perkawinannya, maka yang didahulukan adalah suatu yang primer dhururiyat daripada skunder hajiyat, tidak boleh membatalkan perkawinan disebabkan masalah mahar. 48 Akan tetapi diwajibkan melanjutkan perkawinan walaupun dengan mahar yang sedikit b hk n ng n m h r s mbol k s j t u m h r m ’n w ng t k 46 uh mm ˊ R m n l-But i, D w b t -M s , h.250. 47 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum, h.130. 48 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum. h. 343. 33 unsur hartanya. karena suatu yang primer tidak bisa digugur oleh suatu yang skendur akan tetapi, skunder bisa digugurkan oleh suatu yang primer. 49 Contoh lain yang berhubungan dengan perkawinan adalah resepsi pernikahan yang termasuk ke dalam ranah t sînîyât tersier karena acara itu sifatnya hanya untuk mengumumkan ke masyarakat tentang suatu perkawinan yang di dalamnya meliputi sambutan atau perhormatan, memeriahkan acara perkawinan, silaturrahmi antara teman, tetangga, kerabat dan lain, memberi ucapan selamat, doa serta acara makan-makan dan lain sebagainya. Namun, acara dalam resepsi adakalanya sangat meriah adakalanya biasa-biasa saja. Semua itu merupakan sebuah t sînîyât tersier untuk menyempurnakan acara perkawinan saja. Maka apabila ada pertentangan antara resepsi t sînîyât dengan perkawinan dhurury yang sekiranya dapat merusak perkawinan disebabkan tidak mempunyai biaya untuk mengadakan resepsi. Maka, acara resepsi tersebut harus dibatalkan atau mengadakan resepsi yang sederhana yang sekiranya tidak mengacaukan acara perkawinan. 50 Begitu apabila ada benturan antara resepsi dan mahar maka yang didahulukan adalah mahar. Atau jika tidak mampu mengadakan keduanya secara bersamaan maka mahar yang lebih didahulukan karena mahar termasuk jîyât skunder sedangkan resepsi atau walimah termasuk ke dalam ranah t sînîyât. 49 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum. h. 344. 50 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum. h. 344. 34 Namun, tidak semuanya suatu yang benturan itu harus diambil salah satunya yaitu yang lebih m s t. Akan t t p , m nurut ˊIzzu n b n ˊ b l- l m, p b l u k m s l h t n t u l b h ng b rl n t u b ntur n namun hal tersebut memungkinkan untuk dijalankan secara bersamaan maka itu harus dijalankan secara bersamaan. Apabila tidak bisa, maka diambil ng l b h m s l h t. 51 H l n t kl h m ngur ng t rh p k m s l h t n ng l n, k n t t p m rup k n p n mpurn n, k r n s r ˊ t tu t k k n w j bk n k cu l untuk m ngh s lk n k m s l h t n n m n mpurn k nn ng n m ngg bungk n k m slahatan yang lain. 52 B hk n m nurutn p b l m ngumpulk n u k m s l h t n tu m mungk nk n m k tu m rup k n su tu k w j b n untuk t r pk n. D r ur n t rs but, m r l h memberikan rincian terhadap kemaslahatan-kemaslahatan yang bisa dikumpulaka n m nurut ˊIzzu n b n ˊ b l- l m m nj t g b g n tu m ngumpulk n k m s l h t n ng r dengan kemaslahatan lain yang m r , m ngumpulk n k m s l h t n ng s m t ngk t nn , n mengumpulkan kemaslahatan yang berbeda dalam jenis dengan kemaslahatan yang sama jenisnya. 53 51 ˊIzzu n b n ˊ b l-Salâm, Q w A m -M s -Anâm, Bairut: Dâr al- Kutub al- ˊIlm h, 2010, juz I, h.45. 52 ˊ m r s l h , M q s r , I -Imam al- Iz b b -Salâm, h.238. 53 ˊ m r s l h , M q s r , I -Imam al- Iz b b -Salâm. 238. 35

D. Urgensi Maqâ id Syarîˊah dalam istinb Hukum

Maqâ s îd Syarî’ merupakan salah satu cara intelektual dan metodologis paling penting saat ini untuk melakukan reformasi dan pembaharuan hukum islami. 54 Dikarenakan masyarakat senantiasa mengalami peurbahan. Perubahan masyarakat itu dapat berupa perubahan tatanan social, budaya, dan social ekonomi dan lain-lainnya. Menurut para ahli linguistic dan semantic, bahasa akan mengalami perubahan setiap Sembilan puluh tahun. Perubahan dalam bahasa, secara langsung atau tidak langsung, mengandung arti perubahan dalam masyarakat itu. 55 Pernyataan itu menarik untuk diperhatikan, sebab Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan; ها لٔسر َع ها ىص ًيسو ّييع ، لاك ةٌْا هذه ثعبي ها نح ٌَ ةِس ةئاٌ ل سثر ى ِّيد اه ددج . 56 Artinya: Diceritakan dari Rasul SAW,beliau berkata, sesungguhnya Allah mengutus seseorang dalam setiap abad ini, untuk memperbaharui pemahaman agamanya HR. Abu Daud Kalau kita menggunakan teori di atas, maka berarti sejak Nabi Muhammad SAW wafat, umat Islam telah mengalami perubahan sebanyak lima belas kali. 57 Ibnu Qayyim menyatakan: 54 Jazar Audah. Maqashid al- r ’ D -Mubt ’, Libanon: Maktab al-T uz ’ fi al- ‘ l m l-Arabi, 2011 , h. 53. 55 Harun Nasution, Dasar Pemikiran Pembaharuan Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985., h.19. 56 Abu Daud, Sunan Abi Daud, bairut: Dar al-Kutub al-Arabi, tt, juz.IV, h.178. 57 Abu Daud, Sunan Abi Daud, h. 19. 36 دئأعىاو لأحْاو ةِه ْاو ناٌزْا رغتب ىٔتفىا رغت Perubahan fatwa adalah karena perubahan zaman, tempat, keadaan dan kebiasaan. 58 Tentu yang dimaksud olehnya adalah bahwa kondisi suatu masyarakat akan berpengaruh terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh seorang mufti, begitu juga perubahan terhadap undang-undang. Namun, hal ini bukan berarti bahwa hukum akan berubah begitu saja, tanpa memperhatikan norma yang terdapat dalam sumber utama islam al- ur’ n n H s. 59 Sejarah mencatat, bahwa ijtihad telah dilaksanakan dari masa ke masa. Pada awal masa Islam, ijtihad dilakukan dengan baik dan kreatif. Pada masa berikutnya muncul sederetan mujtahid kenamaan. Keadaan ini berlangsung sampai masa keemasan islam. Pada masa inilah telah dihasilkan pemikiran dan karya yang cukup berharga bagi umat islam berikutnya. Ilmu fikih dan usul fikih termasuk yang dihasilkan pada masa ini. Setelah diselingi oleh masa “b ku”, k mu n b rmuncul n pul p r p mb h ru n p r mujt h didambakan keberadaannya oleh semua umat Islam, masa sekarang keberadaannya sangat diharapkan. Tentu mujtahid sekarang harus dapat menyelesaikan masalah-masalah kontemporer, terutama setelah adanya perubahan masyarakat, sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan 58 Ibn Qayyim, I’ -muw q ’ ‘ r b -alamin, Juz III, hal.14. Al-Izzu Ibn Abd Salam, Al-Qarafi, Ibn Al-Qayyim, dan ulama-ulama lainnya mengatakan bahwa permasalahan yang sama dalam suatu fatwa dan hukum itu dapat berubah sesuai dengan perubahan masyakat, k b s n, w ktu, n l n s b g n . ‘I b n N m l-Salimi, Ushul al-Fiqh Al-Lazdi La s ’u q J u u, Matktabah Syamila: 3,35. Juz I, h.332. 59 Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, juz II, h.285. 37 teknologi. 60 Kita harus menghargai hasil jerih payah mujtahid sebelum kita, mereka telah memberikan banyak sumbangsih melalui karya-karya bukunya. Namun, kita harus menyadari bahwa keadaan kita sekarang sudah jauh dengan keadaan mereka dulu.tidak semua persoalan yang kita temukan sekarang ini bisa ditemukan di masa lalu. Sehingga berkaitan dengan ini Yusuf Qordawi menyatakan: Adalah suatu yang berlebihan dan juga merupakan sikap pura-pura tidak mengenal realita, apabila seorang mengatakan bahwa buku-buku lama telah memuat jawaban-jawaban atas setiap persoalan baru yang muncul. Sebab setiap zaman itu memiliki problematika dan kebutuhan yang senantiasa muncul, bumi berbutar, cakrawala bergerak, bumi berjalan dan jarum jam pun tidak pernah berhenti. 61 Untuk menjawab berbagai permasalahan baru yang muncul masa sekarang, maq s id Syar ah dalam memproduksi hukum lebih difokuskan diri pada nilai-nilai yang terkandung dalam teks-teks suci. Nilai-nilai tersebut berupa kemashlahatan manusia dalam setiap taklif yang diturunkan oleh Allah. Pendekatan seperti ini perlu dilakukan karena ayat-ayat hukum dalam al- ur’ n t rb t s juml hn s m nt r k n m s r k t t mb h b rk mb ng semakin kompleks.berbagai permasalahan baru pun muncul. melalui ilmu 60 Fathurrahman Djamil, Fisafat Hukum Islam, h.164-165. 61 Yusuf Qardhawi, al-Ijtihad fi al-Sy r ’ -Is m t m ’ z r t t al-Ijtihad al- Mu’ s r, Kuwait: Dar al-al-Qalam, 1985, h.101. 38 pengetahuan tentang tujuan hukum, maka pengembangan hukum dapat dilakukan. Imam al-Syatîbî, menegaskan adanya batasan antara wilayah agama ini; wilayah ibadat dan wilayah ketika hendak memahami teks-teks suci berdasarkan Maqâ s id. B l u m nul s: “K t t n h rf h l h m to s r pada wilayah peribdatan, sedangkan pertimbangan maksud dan tujuan adalah wilayah dasar pada wilayah muamalat. 62 Dengan demikian, secara umum, menurut al-Raisuni sebagaimana dikutip oleh Jazar Audah bahwa wilayah peribadatan harus ditetapkan sebagai area yang konstan tidak berubah, dimana seorang muslim kembali kepada contoh harfiah dari Nabi SAW. Akan tetapi, contoh nyata yang diberikan oleh nabi dan para sehabatnya untuk tidak menyalin aksi mereka dalam wilayah muamalat, melainkan menerapkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam aksi mereka; alias al-Maqâ s id. 63 Al-Bukhari meriwayatkan; bahwa Umar RA pernah ditanya Umat islam mempunyai kewajiban mengikuti segala sabda Nabi s.a.w. yang disabdakan s b g s r ’ t. T k w j bk n k t m ng kut s b -sabda Nabi atau anjuran-anjurannya yang berhubungan dengan ke duniaan yang berdasarkan ijtihad. 64 Tugas nabi adalah petunjuk manusia ke jalan keselamatan dan kelurusan, mendirikan keadilan diantara mereka serta mendidik mereka 62 Al-Syatibi, al-Muwafaqat, juz II, hal.6. 63 Jazar Audah. Maqashid asy- r ’ D -Mubt ’, h.29. 64 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, tt, h.89.