Urgensi Maqâ id Syarîˊah dalam istinb Hukum
38
pengetahuan tentang tujuan hukum, maka pengembangan hukum dapat dilakukan.
Imam al-Syatîbî, menegaskan adanya batasan antara wilayah agama ini; wilayah ibadat dan wilayah ketika hendak memahami teks-teks suci
berdasarkan Maqâ s id. B l u m nul s: “K t t n h rf h l h m to s r
pada wilayah peribdatan, sedangkan pertimbangan maksud dan tujuan adalah wilayah dasar pada wilayah muamalat.
62
Dengan demikian, secara umum, menurut al-Raisuni sebagaimana dikutip oleh Jazar Audah bahwa wilayah
peribadatan harus ditetapkan sebagai area yang konstan tidak berubah, dimana seorang muslim kembali kepada contoh harfiah dari Nabi SAW. Akan
tetapi, contoh nyata yang diberikan oleh nabi dan para sehabatnya untuk tidak menyalin aksi mereka dalam wilayah muamalat, melainkan menerapkan
prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam aksi mereka; alias al-Maqâ
s id.
63
Al-Bukhari meriwayatkan; bahwa Umar RA pernah ditanya Umat islam
mempunyai kewajiban mengikuti segala sabda Nabi s.a.w. yang disabdakan s b g s r ’ t. T k w j bk n k t m ng kut s b -sabda Nabi atau
anjuran-anjurannya yang berhubungan dengan ke duniaan yang berdasarkan ijtihad.
64
Tugas nabi adalah petunjuk manusia ke jalan keselamatan dan kelurusan, mendirikan keadilan diantara mereka serta mendidik mereka
62
Al-Syatibi, al-Muwafaqat, juz II, hal.6.
63
Jazar Audah. Maqashid asy- r ’ D -Mubt ’, h.29.
64
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, tt, h.89.
39
berbudi mulia. Dan kita telah mengetahui bahwa hukum Islam mendahulukan apa yang
t t pk n k l t s h h r s r ’ p b l t rj p rt nt nng n.
65
Pendekatan maq s id
Syar ah
dalam berijtihad guna menemukan kandungan hukum sebetulnya telah dituntunjukan oleh Nabi saw, diantaranya,
larangan Nabi saw. Supaya tidak menyimpan daging kurban kecuali dalam batas tertentu, yaitu bekal untuk tiga hari. Namun, dalam beberapa tahun
setelahnya larangan ini tidak di patuhi oleh para sehabat Nabi saw. Kemudian peristiwa ini dilaporkan kepada Nabi saw., dan Nabi saw membenarkan
tindakan sehabat, lalu Nabi saw menjelaskan bahwa larangan menyimpan daging qurban didasarkan atas kepentingan al-daffah tamu yang terdiri atas
orang-orang miskin yang datang dari perkampungan sekitar Madinah. Setelah tu N b s w b rs b : “Sekarang simpanlah daging-daging korban itu, karena
tidak ada lagi tamu yang membutuhkannnya ”.
66
Berkaitan dengan gagasan yang dilakukan oleh para sehabat itu menarik
kesimpulan mengenai tujuan, atau maksud, yang melatar belakangi sebuah teks al-
ur’ n t u p r nt h N b W; tu su tu riwayat yang sudah populer, yang diriwayatkan oleh beberapa silsilah mengenai salat Asar di Bani
Qurayzah. Dalam kejadian tersebut, Nabi SAW mengiri beberapa sehabat ke Bani Qurayzah, dan memeritahkan agar tidak melaksanakn shalat Asar kecuali
di Bani Qarayzah. Waktu yang ditentukan untuk shalat Asar saat itu hampir
65
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, h.89-90.
66
Jazar Audah. Maqashid asy- r ’ h.30.
40
habis, padahal mereka belum sampai pada tempat yang diperintahkan untuk shalat Asar. Oleh karananya, para sahabat ketika itu terbagi menjadi dua
kelompok; ada yang merasa berkewajiban melaksanakan shalat Asar karena waktunya hampir habis, sedangkan yang lain merasa berkometmen untuk
melaksanakan perintah Nabi, walapun waktu sudah habis,
67
alias tidak melaksanakan shalat kecuali di tempat yang ditentukan nabi.
Perbedaan pendapat di antara para sehabat itu dilatar belakangi oleh alasan yang sama-sama masuk akal. Menurut sehabat yang melaksanakan shalat
dalam perjalanan beralasan bahwa yang dimaksud nabi bukanlah makna harifah, tetapi yang dimaksud adalah agar para sehabat lebih semangat untuk
segera tiba di Bani Quraizah bukan berarti menunda shalat wajib. Adapun sehabat yang lain beralasan bahwa perintah Nabi yang menyeru mereka shalat
asar di tempat itu. Ketika, mereka para sehabat menghadap Nabi SAW, dan mengadukan tentang kejadian itu, maka Nabi SAW merestui kedua pendapat
sehabat itu. Secara tidak langsung dengan direstuinya kudua pendapat para sehabat itu menunjukan kebolehan dan kebenaran dari kedua pendapat itu,
semua ulama menyepakati pendapat sehabat tersebut, kecuali imam Ibnu Hazm al-Zahiri
. s b g m n kut p ol h z r ‘ u h; b hw Ibnu hazm al-Zahiri
67
Muhammad al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kairo: Dar al- ’ b, 1987 , uz V,
h.143 adapun Hadisnya adalah sebagai berikut : َيِي َصُي
َ ا ِفاَزْح
َ ْ ْا ٌَِْ َعَجَر اٍَ اَ
َن ًَيَسَو ِّْيَيَع ُها ى َص ِِنا َلاَك َلاَك َرٍَُ َِْبا ََْ َكَرْد
َ رَف َة َ ْيَرُك َُِب َِ اِح َ ْ َع
ْ ىا لدَح
َ ث
طىا َِ ُ ْ َع ْ
ىا ًُْٓ َضْعَب َرِنُذَف َمِ َذ اٌِِ ْدَرُي ًَْ ِِ َصُُ ْوَب ًُْٓ ُضْعَب َلاَكَو آََيِ
ْ رَُ ََح ِِ َصُُ
َ ا ًُْٓ ُضْعَب َلاَلَ ِقيِر
ًَْيَف ًَي َسَو ِّْي َيَع ُها ى َص ِ
ِِِيِ ًٌُِِْْٓ اًدِحاَو ْفَِِعُ
.
41
berpendapat, seharusnya para sahabat itu melaksanakan salat Asar setelah tiba di Bani Qurayzah, sebagaimana perintah Nabi, sekalipun pada tengah malam.
68
Contoh dikalangan para sehabat juga sering terjadi ijtihad untuk meproduksi hukum berdasarkan
-M q s d, seperti yang dilakukan oleh ‘ m r R , l h mor tor um ng b l u t r pk n t s hukum n p ncur n
saat terjadinya kekurangan pangan di Madinah. Beliau beranggapan bahwa penerapan hukuman yang dimaksud dalam al-
ur’ n ng j l s n t ntu p saat orang-orang sedang menderita kekurangan persediaan pangan dasar,
menentang prinsip keadilan; yang beliau anggap lebih fundamental untuk diikuti.
69
Dari sedikit contoh ijtihad para sehabat yang penulis sebutkan di atas menunjukan pentingnya maq
s id
Syar ah
dalam memproduksi hukum yang Sesuai dengan kebutuhan zaman atau situasi dan kondisi masyarakat.
Untuk memahami al- ur’ n, s mp ng l h t r s g bahasanya, juga
dintuntuk untuk mengetahui asbabun nuzulnya sebab-sebab turunnya ayat. Begitu juga hadis Nabi asbab al-wur
d, disamping bahasa juga dilihat dari asbabul wur
d hadis. Yang tidak kalah penting lagi, disamping memahami bahasa dan asbabul wurud hadis, kita dituntut untuk mengetahui posisi Nabi
pada saat mengeluarkan hadis itu. Jazer Audah mengklasifikasikan Maqâ
s id hanya tertuju pada individu dari pada keluarga, masyarakat, maupun manusia secara umum. Subjek pokok
68
Jazar Audah. Maqâ s id al-Syarî’ . h.31.
69
Jazar Audah. Maqâ s id al-Syarî’ . h.31.
42
dalam persfektif Maqashid klasik adalah individu kehidupan, harg diri, dan harta individu, bukan masyarakat bermasyarakat, harga dari bangsa, ataupun
kekayaan dan ekonomi nasional. Maqâ s id klasik, pada dasar teori
keniscayaannya, tidak meliputi nilai-nilai paling dasar, yang diakui secara universal, seperti keadilan, kebebasan, dsb. Maqâ
s id klasik telah didekusi dari tradisi dan literature pemikirin mazhab hukum islami, bukan teks-teks suci al-
ur’ n n H s.
70
Tampaknya yang dimaksud Maqâ s id klasik oleh Jazer
Audah disini adalah masih mengikuti ulama madzhab-fiqih sebagai pijakan hukum. Maka dari itu, untuk melengkapi kekurangan-keurangan pada teori
Maqâ s id klasik itu, maka ulama kontemporer telah menginduksi konsep-
konsep dan klasifikasi-klasifikasi Maqâ s id dari perspektif–perspektif teori baru
sebagai berikut:
71
a. Maqâs id Umum: yang dapat diperhatikan secara keseluruhan, seperti
keniscayaan dan kebutuhan yang tersebut di atas. Ulama pun menambah maqashid baru seperti keadilan, universalitas, dan kemudahan.
b. Maqâs id spesifik: yang dapat diperhatikan pada salah satu pembahasan
tertentu dalam hukum islam, seperti kesejahteraan anak dalam hukum keluarga, mencegah kejahatan pada bab hukum pidana, dan mencegah
monopli pada masalah muamalat. c.
Maqâs id Persial: meliputi apa yang dianggap sebagai maksud ilahi dibalik suatu teks atau hukum tertentu pada kasus-kasus hukum tertentu,
70
Jazar Audah. Maqâ s id al-Syarî’ . h.22.
71
Jazar Audah. Maqâ s id al-Syarî’ . h 22-23.
43
seperti terungkapnya kebenaran pada penetapan jumlah saksi tertentu pada kasus-kasus hukum tertentu. Maksud menghilangkan kesukaran
dalam membolehkan orang sakit tidak puasa, dan maksud menjamin makanan para fakir miskin dalam melarang kaum muslimin untuk
menyimpan daging pada hari-hari lebaran haji, dsb. Kedua, untuk memperbaiki kekurangan pada orientsi individualistic. Dari
klasifikasi Maqâ s id, para ulama kontemporer telah memperluas konsep al-
Maqashid meliputi jangkauan yang lebih luas seperti Maqâ s id meliputi
jangkauan yang lebih luas seperti masyarakat, bangsa bahkan umat manusia secara umum. Ibnu Asyur, secara singkat, telah mendudukan Maqâ
s id dengan bangsa umat pada tingkat yang lebih tinggi dari pada Maqâ
s id yang b rhubug n ng n n v u. Ros R h m m suk n “r form s ” n ‘h k-
h k p r mpu n’ l m t or n t nt ng l-Maqashid. Yusuf Qardhawi, sebagai contoh k t g , m m suk n ‘h rg r m nus n h k s s m nus ’ l m
teorinya Maqâ s id.
72
Dalam permasalahan hukum dalam al- ur’ n ng s butk n s c r
terperinci dan ada pula yang hanya disebutkan secara universal. Contohnya dalam masalah kenegaraan, menurut Teunku Muhammad Hasbi Ash-
Shiddiqie
73
hanya menetapkan asas-asasnya saja. Yaitu; pertama, prinsip
72
Jazar Audah. Maqâ s id al-Syarî’ , h. 23.
73
Teunku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqie, Memahami Syariat Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2000, h.30.
44
musyawarah, dasar ini ditetapkan dalam ayat 38; surat asy-Syura.
74
Kedua, keadilan, dasar ini ditetapkan dalam ayat 58; Surat an-
N s ’.
75
Ketiga, prsamaan. Dasar ini ditetapkan dalam ayat 10 surat al-Hujurat.
76
Perluasan dari jangkauan Maqâ s id tersebut memberi kesempatan bagi para
ulama kontemporer untuk merespons tantangan-tantangan global, dan membantu merealisasikan Maqâ
s id menjadi rencana-rencana praktis untuk reformasi dan pembaharuan. Para ulama tersebut yang telah meletakkan
Maqâ s id dan sistem nilai yang terkandung di dalamnya, pada pusat perdebatan
publik mengenai kewarganegaraan, integrasi nasional, dan hak-hak sipil bagi masyarakat minoritas Muslim yang hidup di tengah-tengah masyarakat non-
muslim.
77
Ketiga, dalam rangka revisi Maqâ s id klasik oleh para ulama kontemporer,
mereka berhasil mengemukakan al-Maqashid universal baru, yang didekusi lansung dari teks-teks suci, bukan dari dalam literature warisan Mazhab fikih
Islami. Pendekatan ini memdedukasi Maqâ s id langsung dari al- ur’ n n
Hadis, memungkinkan pemikiran Maqâ s id untuk melangkahi problem historis
doktrin-doktrin fikih lama. Disamping itu, untuk mededuksi tujuan-tujuan pokok Syariah memberikan kesempatan bagi representrasi nilai dan prinsip
tertinggi yang terkandung di dalam kitab suci, dimana hukum praktis tunduk
7
ََيَِاَو أُباَجَتْسا
ًِِْٓبَرِ أُ اَك
َ ثَو
َق ََص ا ًُُْْرْ
َ ثَو
ىَرُٔش ًَُِْْٓيَب
اٍِ َو ًُْْاَِْ َزَر
َنُٔلِفُِْ
7
نِح َها
ًُْ ُرُ ْ
رَي ْن
َ ث
اودَؤُت ِكاَُاٌَ
َ ْ ْا
َ ىِح
آَِيْْ َ
ث اَذِإَو
ًُْتٍَْهَح َ ْيَب
ِسانا ْن
َ ث
أٍُُهْ َ
ح ِلْدَع
ْ ىاِب
نِح َها
اٍِعُِ ًُْ ُ ِعَي
ِِّب نِح
َها َن ََ
اًعيٍَِس ًر ِصَب
7
اٍَ ِح َنٌُِِْٔؤٍُ
ْ ا لقَْٔخِح
أُحِي ْص َ
رَف َ ْيَب
ًُْ ْئََخ َ
ث أُل اَو
َها ًُْ يَعَى
َنُٔ ََْرُت
77
Jazar Audah. Maqâ s id al-Syarî’ , h .24.
45
kepada nilai dan prinsip tersebut, bukan tunduk kepada pendapat atau penafsiran yang diwarisi semata. Berikut ini beberapa contoh mengenai
Maqâ s id universal baru berhasil dideduksi langsung dari teks-teks suci oleh
para ulama kontemporer:
78
1. Rasyid Ridha w. 1354 H1935 M, Menkaji al- ur’ n untuk
m ng nt f k s k n q s r ‘ h. nurut b l u m l put , “ reformasi pilar-pilar keimanan, menyosialisai Islam sebagai agama fitrah
alami, menegakkan peran akal, pengetahuan, hikmah dan logika yang sehat, kebebasan, indepensi, reformasi sosial, politik dan ekonomi, serta
hak-hak perempuan. 2.
Al-Lahir ibn Asyur w.1325 H1907 M, menyarankan bahwa hukum islam memiliki sejumlah Maqâ
s id yang universal, yaitu ketertiban, kesetaraan, kebebasan, kemudaha pelestarian fitrah manusia.
3. Muhammad al-G z l w.1416 H1996 , m ng j k g r “m ng mb l
p l j r n r s j r h sl m mg b rus 14 b ”, s h ngg m m suk n “k l n n k b b s n” k l m l-Maqashid pada tingkat
keniscayaannya. 4.
Yusuf al-Qardawi 1345 H1926 M, melakukan penelitian terhadap al- ur’ h n m n r k k s mpul n n tuju n-tujuan untama syariat
s b g b r kut: “m lurusk n k h ng b n r, m l st r k n h rg r manusia dan hak-haknya, mengajak manusia untuk menyembah Allah
SWT, menjernihkan jiwa manusia, meperbaiki akhlak dan nilai luhur,
78
Jazar Audah. Maqâ s id al-Syarî’ . h. 25-27.
46
membangun keluarga yang baik, memperlakukan perempuan secara adil, membangun bangsa Muslim yang kuat, mengajak manusia untuk kerja
sama. 5.
Taha Jabir al-‘ lw n 1354 H1935 m ng m t l- ur’ n n berkesimpulan bahwa maksud-maksud atau tujuan-tujuan yang paling
om n n l h “k s n ll h WT al-Tauhîd, kesucian jiwa manusia Tazkîyah, dan mengembangakan peradaban manusia tazkîyah, dan
mengembangkan peradaban manusia di muka bumi Imrân.
47