Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap
78
Dalam konteks pengujian undang-undang, kepentingan yang digugat adalah kepentingan yang luas yang menyangkut kepentingan semua orang
dalam kehidupan bersama. Oleh karena itu, perkara yang diajukan tidak dalam bentuk gugatan, tetapi permohonan dan subjek yang mengajukannya disebut
pemohon. Lebih lanjut agar suatu perkara yang diajukan dapat diperiksa dapat diperiksa dan diputus, pemohon yang mengajukan permohonan atas pengujian
undang-unadang haruslah yang mempunyai persyaratan kedudukan legal standing, sehingga masalah pemenuhan persyaratan legal standing pemohon
ini merupakan masalah pokok dalam setiap pengajuan permohon perngujian undang-udang.
15
Untuk dapat dinyatakan memiliki legal standing, dalam mengajukan permohonan merupakan hal yang sulit. Hal ini karena seseorang tidak dapat
dengan seta merta dapat dinyatakan memiliki legal standing sebelum pemeriksaan pokok perkara, bahkan legal standing seseorang baru diketahui
setelah proses pembuktian atau bahkan kadang-kadang keputusan tentang penentuan seseorang miliki legal standing baru dapat ditentukan dengan
keputusan final atas pokok perkara.
16
Maka dari itu, pertimbangan selanjutnya adalah pemohon yang dapat mengajukan permohonon pengujian Undang-
Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak danatau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh oleh UUD 1945 harus
15
Jazim Hamidi, Mohammad Sinal dkk, Teori Hukum Tata Negara, Jakarta: Selemba Humanika, 2012, h,158.
16
Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Jakarta: Bahana Ilmu Populer,2007, h.65.
79
memenuhi ketentuan yang dicantumkan dalam Pasal 51 ayat 1 UU MK, yaitu sebagai berikut:
Pemohon yang merupakan pihak yang menganggap hak danatau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakukanya suatu undang-
undang yaitu: a Perorangan warga negara indonesia termasuk orang yang mempunyai kepentingan sama. B Kesatuan masyarakat suku adat sepanjang
masih hidup dan berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia yang diatur dalam
Undang-Undang. c Badan hukum publik atau privat; atau d Lembaga negara. Selain itu para pemohon harus menjelaskan dan membuktikan terlebih
dahulu terkait Kedudukan sebagai para pemohon sebagimana dimaksud Pasal 51 ayat 1 UU MK serta kerugian hak danatau kewenangan kostitusional
yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang- undang yang dimohonkan pengujian.
17
Selanjutnya mahkamah mempertimbangakan mengenai kedudukan hukum legal standing para pemohon dalam permohonan a qou. Dan di dalam
permasalahan ini para pemohon dalam mengajukan judicial review mendalilkan sebagai perorangan warga negara indonesia yang mempunyai hak
konstitusional yang di atur dalam UUD 1945 sebagaiman termaktub pasal 28B t 1 ng m n t k n, “setiap orang berhak membentuk keluarga dan
17
Pasal 51 ayat 1 Undang-Undang Mahkamh Konstitusi
80
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah ”
18
, Pasal 28B ayat 2 ng m n t k n, “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
”,
19
n P s l 28D t 1 ng m n t k n, “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum ”
20
. Para pemohon menganggap bahwa Hak konstitusional tersebut telah dirugikan akibat
berlakunya ketentuan Pasal 2 ayat 2 dan Pasal 43 ayat 1 UU 11974. Berdasarkan uraian di atas mahkamah berpendapat para pemohon
memenuhi syarat kedudukan hukum legal standing untuk mengajukan permohonan a quo karena terdapat hubungan sebab akibat causal verban
antara kerugian yang dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Sehingga berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah
disebutkan di atas para pemohon memenuhi syarat dan mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a qou.
21
Pertimbangan Mahkamah dalam permasalahan yang diajukan oleh Aisyah Mochtar adalah pokok permohonan para pemohon,adalah pengujian Pasal 2
t 2 I1974 ng m n t k n, “t p-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
un ng n ng b rl ku”, n P s l 43 t 1
18
pasal 28B ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945
19
Pasal 28B ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945
20
Pasal 28D ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945
21
Putusan MK No 46PUU-VIII2010, h.30.
81
11974 ng m n t k n, “ n k ng l h r lu r p rk w n n h n mempunyai h
ubung n p r t ng n bun n k lu rg bun ”, khususn mengenai hak untuk mendapatkan status hukum anak;
Menurut mahkamah, pokok permasalahan hukum mengenai pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang-undangan adalah mengenai makna
hukum legal meaning pencatatan perkawinan. Mengenai permasalahan tersebut, penjelasan umum angka 4 huruf b UU 11974 tentang asas-asas atau
prinsip-prinsip perkawinan menyatakan, “bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Perncatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, mislanya
kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan
”. Berdasarkan penjelasan umum angka 4 huruf b UU 11974 tentang asas-
asas atau prinsip-prinsip perkawinan di atas maka menurut mahkamah nyatalah bahwa i pencatata perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan
sahnya perkawinan; dan ii pencatatan merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan perundang-undangan. Adapun yang menentukan
sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai. Diwajibkannya pencatatan
perkawinan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan merupakan kewajiban administratif.
22
22
Putusan MK No 46PUU-VIII2010, h.33.
82
Untuk mewujudkan ketertiban dan perlindungan yang otentik serta pelayanan yang nyaman maka menurut mahkamah pencatatan berupa
administratif merupakan suatu yang sangat penting bahkan wajib diikuti oleh masyarakat. adapun pentingnya administratif berupa pencatatan perkawinan
tersebut, menurut Mahkamah, dapat dilihat dari dua prespektif. Pertama, dari perspektif negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam fungsi negara
memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan
harus dilakukan sesuai dengan prisip negara hukum yang demokratis yang diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan vide Pasal 281
ayat 4 dan ayat 5 UUD 1945. Sekiranya pencatatan dimaksud dianggap sebagai pembatasan, pencatatan demikian menurut Mahkamah tidak
bertentangan dengan ketentuan konstitusional karena pembatasan ditetapkan dengan Undang-Undang dan dilakukan dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis vide Pasal 28J ayat 2 UUD 1945.
23
Kedua, pencatatan secara adiministratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan sebagai perbuatan hukum penting dalam
kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan
23
Putusan MK No 46PUU-VIII2010.h. 33-34.
83
dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu
perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara secara efektif dan efisien. Artinya, dengan dimiliknya bukti otentik perkawinan, hak-hak yang timbul
sebagai akibat perkawinan yang dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang,
tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam Pasal 55 UU 11974 mengatur bahwa asal-usul anak tidak dapat
dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak
lebih efektif dan efisien bila dibandingkan dengan adanya akta otentik sebagai buktinya.
24
Pokok permasalahan yang menjadi perhatian Mahkamah adalah mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan yaitu tentang makna hukum legal
m n ng fr s “yang dilahirkan diluar nikah”. ntuk m mp rol h j w b n dalam prespektif yang lebih luas perlu dijawab pula permasalahan terkait, yaitu
permasalahan tentang sahnya anak. Karena seorang perempuan tidaklah mungkin hamil secara alamiah tanpa terjadinya pertemuan ovum dan
spermatozoa baik melalui hubungan seksual coitus maupun melalui cara lain berdasrkan
perkembangan teknologi
yang menyebabkan
terjadinya pembuahan.
24
Putusan MK No 46PUU-VIII2010, h.34.
84
Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai
ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki- laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya
kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggu jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap
laki-laki tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa
seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu.
25
Sehingga menurut mahkamah peristiwa kelahiran karena kehamilan di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara timbal balik, yang subyek
hukumnya meliputi anak, ibu, dan bapak karena itu terjadi akibat hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, berdasarkan
penjelasan di atas menurut makamah hubungan anak dengan laki-laki sebagai bapaknya bukan hanya diakibatkan oleh hubungan perkawinan saja, akan tetapi
bisa mendasarkan dengan alat bukti lain yang menunjukan bahwa anak tersebut mempunyai hubungan darah dengan laki-laki sebagai bapaknya.
Akibat dari peristiwa hukum tersebut, anak yang lahir di luar nikah dirugikan padalah kelahiran tersebut adalah di luar kehendak si anak, dan dia
tidak berhak atas akibat perbuatan dosa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Bahkan anak tersebut sering kali mendapat perlakuan yang tidak adil
dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Maka dari itu Hukum harus memberi
25
Putusan MK No 46PUU-VIII2010, h.35.
85
perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seseorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang
dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan. Berdasarkan pertimbangan majelis hakim yang telah diuraikan di atas,
maka Pasal 43 ayat 1 UU 11974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
” harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi danatau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan kelurga
ayahnya ”.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
di atas,
majelis hakim
berpandangan bahwa dalil para pemohon sepanjangan menyangkut Pasal 2 ayat 2 UU 11974 tidak beralasan menurut hukum. Adapun Pasal 43 ayat 1 UU
11974 ng m n t k n, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
” l h bertentangan
dengan UUD
1945 secara
bersyarat conditionally
unconstitutional yakni inkonstitusional sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan
86
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi danatau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
26