Duduk Perkara Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Status Anak di

70 sah ”. 5 n t 2 D 1945 ng m n t k n, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi ”. 6 serta Pasal 28D ayat 1 UUD 1945, yakni hak untuk mendapatkan pengesahan terhadap status pemohon Sehingga Machica mengajukan Judicial Review terhadap Pasal 2 2 dan Pasal 43 ayat 1 UU perkawinan tersebut. Penjelasan di atas jelas menujukan bahwa para pemohon memiliki legal standing untuk mengajukan judicial review terhadap undang-undang yang dianggap merugikan hak konstitusionalnya. Adapun alasan-alasan pengajuan judicial review adalah sebagai berikut: Pertama; pemohon merupakan pihak yang secara langsung mengalami dan merasakan hak konstitusionalnya dirugikan dengan diundangkannya UU Perkawinan terutama berkaitan dengan Pasal 2 ayat 2 dan Pasal 43 ayat 1. Pasal ini justru menimbulkan ketidak pastian hukum yang mengakibatkan kerugian bagi pemohon berkaitan dengan statusperkawinan dan status anaknya yang dihasilkan dari perkawinan; 7 Kedua; sebagaimana hak yang dijamin oleh Pasal 28B ayat 1 UUD 1945 dan Pasal 28B ayat 2 UUD 1945 dicederai oleh norma hukum dalam UU Perkawinan. Hal tersebut jelas tidak adil karena pemohon melakukan perkawinan sesuai dengan rukun nikah dalam islam. merujuk ke norma 5 Pasal 28B ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 6 Pasal 28B ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 7 Putusan MK No 46PUU-VIII2010, h.6. 71 kosntitusional yang termaktub dalam Pasal 28B ayat 1 UUD 1945 maka perkawinan yang dilangsungkan dengan rukun nikah adalah sah tetapi terhalang oleh pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan. Dengan berlakunya Pasal 2 ayat 2 yang mengharuskan perkawinan dicatat mengakibat perkawinan yang sah dan sesuai dengan rukun nikah adama islam menjadi tidak sah menurut norma hukum yang mengakibat anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah menurut ajaran islam menjadi tidak menurut menurut norma hukum dalam UU Perkawinan. Jadi dari penjelasan di atas jelas ada pelanggaran norma hukum dalam perkawinan pemohon terhadap perkawinan pemohon norma agama. Pemohon mengutip pendapat Van Kan yang mengatakan: Kalau pelaksanaan norma-norma hukum tersebut tidak mungkin dilakukan, maka tata hukum akan melaksanakan hal lain, yang sependapat mungkin mendekati apa yang dituju norma-norma hukum yang bersangkutan atau menghapus akibat-akibat dari pelanggaran norma hukum itu. 8 Ketiga; menurut pemohon, konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B ayat 2 serta 28D ayat 1 UUD 1945 tersebut adalah setiap orang memiliki kedudukan dan hak yang sama termasuk haknya untuk mendapatkan pengesahan atas pernikahan dan status anaknya. Norma konstitusi Konstitusi yang timbul dari Pasal 28B ayat 1 dan ayat 2 serta Pasal 28D ayat 1 adalah adanya persamaan dan kesetaraan di hadapan hukum. Tidak ada diskrimanasi dalam pemaparan norma hukum terhadap setiap orang dikarenakan cara pernikahan cara yang ditempuhnya berbeda dan anak yang dilahirkan dari pernikahan 8 Putusan MK No 46PUU-VIII2010, h.7. 72 tersebut adalah sah dihadapan hukum serta tidak diperlukan berbeda. Namun, pada kenyataannya dalam praktiknya justru norma agama telah diabaikan telah diabaikan oleh kepentingan pemaksa yaitu norma hukum. 9 Perkawinan pemohon yang telah memenuhi rukun nikah dan norma agama Islam menurut norma hukum tidak sah karena tidak tercatat sebagaima di atur dalam Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan yang berakibat status hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan pemohon menjadi anak di luar nikah berdasarkan ketentuan Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan. Di samping itu, status seorang anak di muka hukum menjadi tidak jelas dan sah yang mana ini barang tentu merupakan perlakuan diskriminatif. Padahal, bagi anak yang terlantar yang status orang tidak jelas saja dijamin oleh UUD 1945 untuk dipelihara oleh Negara. Hal ini berbeda dengan apa yang diperlakukan terhadap anak pemohon yang dihasilkan dari perkawinan yang sah, sesuai rukun nikah dan norma agama justru dianggap tidak sah oleh UU Perkawinan. Bahkan Konstitusi Repunlik Indonesia tidak menghendaki suatu yang sudah sesuai dengan norma agama justru dianggap melanggar hukum berdasarkan norma hukum. Bukankah hal ini merupakan pelanggaran oleh norma hukum terhadap norma agama. Di dalam pengajuan Uji Materiil Undang-Undang, Menurut Jazim Hamidi, Muhammad sinal dkk, pemohon diharuskan untuk membuktikan bahwa pemohon benar-benar memiliki kedudukan hukum, sehingga permohonan 9 Putusan MK No 46PUU-VIII2010. h.7-8. 73 pengujian yang diujikan dapat diperiksa, diadili, dan diputus oleh hakim Mahkamah Konstitusi. 10 Maka dari itu, alasan pemohon yang keempat dalam masalah kedudukannya sebagaimana dijelaskan terdahulu, maka telah terbukti pemohon memiliki hubungan sebab-akibat causal verband antara kerugian konstitusional dengan berlakunya UU Perkawinan, khususnya Pasal 2 ayat 2 yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan dan Pasal 43 ayat 1 yang berkaitan dengan hubungan hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan. Menurut pemohon Pasal 2 ayat 2 dan Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan tersebut bertentangan dengan Pasal 28B ayat 1 dan ayat 2 serta Pasal 28D ayat 1 UUD 1945, sehingga disitu terjadi pelanggaran hak konstitusional pemohon sebagai warga negara Republik Indonesia. Hal ini mengakibatka pernikahan pemohon yang dilakukan secara sesuai denga agama yang dianut Pemoho tiak mendapatkan kepastian hukum sehinggap menyebabkan pula anak hasil perkawinan pemohon juga tidak mendapatkan kepestian hukum. Padahal hak konstitusional dari anak telah atur dan diakui dalam pasal 28B ayat 2 UUD 1945. 11 Perlakukan diskriminatif tersebut telah melanggat hak kosntitusional anak untuk mengetahui asal-usulnya. Juga menyebabkan beban psikis terhadap anak dikarekan tidak adanya pegakuan dari bapaknya atas kehadirannya di dunia. Tentu saja hal tersebut akan menyebabkan kecemasan, ketakutan dan ketidaknyamanan anak dalam pergaulannya di masyarakat. 10 Jazim Hamidi, Muhammad sinal dkk, Teori Hukum Tata Negara A Turning Point of The State, Jakarta: Selemba Humanika, 2012, h.158 11 Pasal 28B ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 74 Kelima, alasan pemohon secara objektif mengalami kerugian materi atau finansial, yaitu pemohon harus menanggu biaya untuk kehidupan pemohon serta untuk membiayai dalam rangka pengasuhan dan pemeliharan anak. Hal ini akibat tidak adanya hak bagi pemohon untuk menuntut hak atas kewajiban suami memberikan nafkah lahir dan batin serta biaya untuk mengasuh dan memelihara anaknya. Hal tersebut dikarenakan berlakunya UU Perkawinan yang meyebabkan tidak adanya kepastian hukum atas pernikahan Pemohon dan anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut. 12 Disamping alasan-alasan yang telah diuraikan di atas, Pemohon juga mengutip beberapa pendapat para ahli hukum, Hukum mengehendaki kedamaian di antara manusia untuk melindungi kepentingan-kepentingan manusia tertentu yaitu kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda dan sebagainya terhadap yang merugikannya. Tujuan hukum dapat ditinjau dari teori etis etische theori yang menyatakan hukum hanya semata-mata bertujuan mewujudkan keadilan. Di sisi lain, menurut teori utilitis utilities theori, hukum bertujuan mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah saja. Hukum bertujuan menjamin adanya kebahagiaan sebanyak-banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya. Berdasarkan alasan-alasan serta pendapat-pendapat para ahli hukum yang dikutip oleh Pemohon di atas, maka MK berwenang untuk mengadili dan memutuskan perkara Permohonan Uji Materil Pasal 2 ayat 2 dan Pasal 43 12 Putusan MK No 46PUU-VIII2010, h.9-10. 75 ayat 1 terhadap Pasal 28B ayat 1 dan ayat 2 serta Pasal 28D ayat 1 UUD 1945.

B. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap

Status Anak di Luar Nikah Dalam pengujian undang-undang ini Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian yaitu pasal 43 ayat 1 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Lembaran Negara Republik In on s Nomor 3019 ng m n t k n. “ Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ”, m nurut m hk m h b rt nt ng n ng n n ng-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1045 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungkan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi danatau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019 menurut mahkamah tidak memilik kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi danatau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Sehingga ayat t rs but H rus b c , “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga serta dengan laki- laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan 76 dan teknologi danatau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Mahkamah menolak permohonan pemohon untuk untuk selain dan selebihnya. Kemudian memerintahkan untuk memeuat putusan ini dalam berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi mengemukakan pertimbangan hukum sebelum memberikan putusan Nomor 46PUU-VIII2010 atas judicial review terhadap Pasal 2 ayat 2 dan Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor Tahun 1974 tentang perkawinan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019 yang di ajukan oleh pemohon yaitu Aisyah Mochtar dan Muhammad Iqbal Ramadhan. Adapun pertimbangan hukum yang dikemukakan oleh Majelis Hakim adalah sebagai berikut; Pertama, majelis hakim menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo adalah untuk menguji pasal 2 ayat 2 dan pasal 43 ayat 1 undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019, selanjutnya disebut UU 11974 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disebut UUD 1945; 13 Kedua, Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi selanjutnya disebut Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan: 13 Putusan MK No 46PUU-VIII2010, h.29. 77 a. Kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo; b. Kedudukan hukum legal standing para pemohon untuk mengajukan permohonan a qou; Ketiga, Majelis hakim menimbang bahwa Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat 1 UUD 1945 dan Pasal 10 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tantang Mahkamah Konstitusi Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK, serta pasal 29 ayat 1 huruf a Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 482009, salah satu kewenangan Konstitusinal Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang- Undang terhadap Undang-Undang Dasar; 14 Keempat, yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji Konstitusionalitas Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar termasuk menguji norma Pasal 2 ayat 2 dan Pasal 43 ayat 1 terhadap UUD 1945 yang diajukan oleh a quo, 14 Pasal 24C ayat 1 UUD 1945 dan Pasal 10 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 78 Dalam konteks pengujian undang-undang, kepentingan yang digugat adalah kepentingan yang luas yang menyangkut kepentingan semua orang dalam kehidupan bersama. Oleh karena itu, perkara yang diajukan tidak dalam bentuk gugatan, tetapi permohonan dan subjek yang mengajukannya disebut pemohon. Lebih lanjut agar suatu perkara yang diajukan dapat diperiksa dapat diperiksa dan diputus, pemohon yang mengajukan permohonan atas pengujian undang-unadang haruslah yang mempunyai persyaratan kedudukan legal standing, sehingga masalah pemenuhan persyaratan legal standing pemohon ini merupakan masalah pokok dalam setiap pengajuan permohon perngujian undang-udang. 15 Untuk dapat dinyatakan memiliki legal standing, dalam mengajukan permohonan merupakan hal yang sulit. Hal ini karena seseorang tidak dapat dengan seta merta dapat dinyatakan memiliki legal standing sebelum pemeriksaan pokok perkara, bahkan legal standing seseorang baru diketahui setelah proses pembuktian atau bahkan kadang-kadang keputusan tentang penentuan seseorang miliki legal standing baru dapat ditentukan dengan keputusan final atas pokok perkara. 16 Maka dari itu, pertimbangan selanjutnya adalah pemohon yang dapat mengajukan permohonon pengujian Undang- Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak danatau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh oleh UUD 1945 harus 15 Jazim Hamidi, Mohammad Sinal dkk, Teori Hukum Tata Negara, Jakarta: Selemba Humanika, 2012, h,158. 16 Jimly Asshidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Jakarta: Bahana Ilmu Populer,2007, h.65.