Pengertian Jual Beli Tanah dan Bangunan

BAB II BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA PIHAK

DALAM PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DANATAU BANGUNAN DIKAITKAN DENGAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN BPHTB DAN PPh

A. Pengertian Jual Beli Tanah dan Bangunan

Jual beli tanah adalah perbuatan hukum yang berupa penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya hak atas tanah itu berpindah kepada yang menerima penyerahan. 44 UUPA tidak memberi penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan jual beli tanah, tetapi biarpun demikian mengingat bahwa hukum agraria kita sekarang ini memakai sistem dan azas-azas hukum adat, maka pengertian jual beli tanah sekarang harus pula diartikan sebagai perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak milik penyerahan tanah untuk selama-lamanya oleh penjual kepada pembeli, yang pada saat itu juga menyerahkan harganya kepada penjual, yaitu menurut pengertian hukum adat. 45 Di dalam Pasal 1457 KUHPerdata dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan dan juga dalam Pasal 1458 KUHPerdata disebutkan “Jual Beli dianggap 44 Effendi Perangin-angin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Pandang Praktisi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1986, hal. 1. 45 Ibid, hal. 13. Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008. telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar. 46 Buku III KUHPerdata berjudul perihal perikatan Verbintenis, ialah suatu hubungan hukum mengenai kekayaan harta benda antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Perjanjian atau perikatan secara hukum masuk ke wilayah hukum keperdataan karena mengatur kepentingan-kepentingan perorangan, dan mendapat pengaturannya dalam Buku III KUHPerdata. 47 Sebenarnya istilah perikatan dalam KUHPerdata sendiri mempunyai arti lebih luas dari sekedar perjanjian, karena dalam Buku III KUHPerdata, selain diatur mengenai perikatan- perikatan yang timbul karena adanya persetujuanperjanjian, juga diatur mengenai perikatan-perikatan yang timbul karena Undang-Undang. Perikatan yang timbul karena Undang-Undang, misalnya perikatan yang timbul karena adanya perbuatan yang melanggar hukum Onrechtmatige daad dan perikatan yang timbul karena perbuatan pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan Zaakwaarneming. Sebagian besar Buku III KUHPerdata ditujukan untuk perikatan- perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian, jadi berisi hukum perjanjian. 48 46 R. Subekti, AnekaPerjanjian, Alumni, Bandung, 1977, hal. 1-2. 47 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. XXXI, Jakarta Intermasa, 2003, hal. 122. 48 Ibid. Subekti memberikan penjelasan bahwa perikatan merupakan suatu pengertian abstrak, sedangkan suatu perjanjian adalah suatu peristiwa hukum yang konkrit. Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008. Mengenai Perjanjian yang diatur dalam Buku III KUHPerdata, ada dikenal dengan Perjanjian Bernama. Perjanjian Bernama yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata. Yang termasuk ke dalam perjanjian ini misalnya: jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, dan lain-lain. Selain dikenal dengan adanya perjanjian bernama ada juga perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata, Jadi dalam hal ini para pihak yang menentukan sendiri perjanjian itu, dan ketentuan yang ditetapkan oleh para pihak, berlaku sebagai Undang-Undang bagi masing-masing pihak. 49 Lebih dari itu, tidak saja orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum yang diatur dalam bagian khusus Buku III KUHPerdata, tetapi pada umumnya juga dibolehkan menyampingkan peraturan- peraturan yang termuat dalam Buku III KUHPerdata itu. Dengan kata lain peraturan- peraturan yang ditetapkan dalam Buku III KUHPerdata itu hanya disediakan dalam hal para pihak yang berkontrak itu tidak membuat peraturan sendiri. 50 Dengan adanya sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, maka hal itu telah menimbulkan hak dan kewajiban sesuai dengan apa yang telah disepakati. Jadi Undang-Undang tidak mensyaratkan adanya bukti tertulis untuk sahnya suatu perikatan. Dengan tercapainya kata sepakat diantara para pihak saja, telah cukup bagi Jadi Buku III KUHPerdata merupakan hukum pelengkap Aanvullend recht, bukan hukum yang memaksa Dwingend recht. 49 R.M. Suryodiningrat, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung, 1978, hal. 10. 50 Op.Cit, hal. 127-128. Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008. perjanjian tersebut untuk mengikat dan menimbulkan hak serta kewajiban bagi para pihak yang membuatnya. Namun demikian perjanjian ini akan sangat lemah sifatnya, karena akan sangat tergantung dari itikad baik masing-masing pihak. Apabila salah satu pihak yang berkewajiban untuk melakukan suatu prestasi tidak memenuhi kewajibannya prestasinya kepada pihak lainnya dan menyangkal telah membuat perjanjian itu, atau menyatakan mengakui membuat perjanjian tetapi tidak sesuai seperti yang dituntut oleh lawannya, maka pihak yang menuntut pemenuhan prestasilah yang berkewajiban untuk membuktikkan tentang adanya janji tersebut. Pengaturan pembuktian tentang adanya janji dalam pemenuhan prestasi diatur dalam Buku IV KUHPerdata ini kurang disetujui oleh Prof. Subekti, karena seharusnya pembuktian masuk dalam wilayah hukum acara, sedangkan KUHPerdata pada umumnya mengatur mengenai hukum materiil. Memang ada pendapat yang menyatakan bahwa hukum acara sendiri dapat dibagi menjadi hukum acara formil dan hukum acara materiil, sedangkan peraturan mengenai alat-alat pembuktian termasuk dalam hukum acara materiil. Rupanya pembentuk Undang-Undang pada waktu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek dilahirkan menganut pendapat ini. Sedangkan di Indonesia peraturan mengenai pembuktian telah dimasukkan dalam H.I.R. yang memuat hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri. 51 51 Ibid, hal. 176. Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008. Karena Undang-Undang menentukan pihak yang menuntutlah yang berkewajiban untuk membuktikkan haknya, sehingga karena itu untuk menjamin kepastian dipenuhinya prestasi dari masing-masing pihak yang membuat perjanjian diperlukanlah adanya suatu alat bukti dalam setiap perjanjian. Alat bukti tersebut menurut ketentuan Pasal 1866 bisa berupa: bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Alat bukti tulisan surat dapat dibedakan menjadi surat-surat akta dan surat-surat lain. Surat akta ialah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akta harus selalu ditandatangani. Sedangkan surat yang berbentuk akta masih dapat dibedakan lagi menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan. Akta otentik akta resmi ialah suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang menurut Undang-Undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akta tersebut, sedangkan akta dibawah tangan onderhand ialah tiap akta yang tidak dibuat oleh atau dengan perantaraan seorang pejabat umum. 52 52 Ibid, hal. 179. Jika pihak yang menandatangani surat perjanjian itu mengakui atau tidak menyangkal tandatangannya, yang berarti ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis dalam surat perjanjian itu, maka akta di bawah tangan tersebut memperoleh suatu kekuatan pembuktian yang sama dengan akta resmi. Tetapi apabila tandatangan tersebut disangkal, maka sesuai ketentuan Pasal 1865 KUHPerdata, pihak yang mengajukan surat perjanjian tersebut diwajibkan untuk membuktikan kebenaran penandatanganan atau isi akta tersebut. Sebaliknya dalam akta otentik, pihak yang Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008. menyangkal tandatangannya pada suatu akta resmi diwajibkan untuk membuktikan bahwa tandatangan itu palsu, dengan kata lain pejabat umum yang membuat akta tersebut telah melakukan pemalsuan surat. Kesaksian haruslah mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata kepala sendiri atau yang dialami sendiri oleh seorang saksi, dan tidak diperbolehkan seorang saksi memberikan keterangan dengan cara menarik kesimpulan dari peristiwa yang dilihat atau dialaminya, karena yang berhak menarik kesimpulan adalah hakim. Pembuktian yang berupa kesaksian tidaklah sekuat pembuktian yang berupa tulisan, hal ini dapat kita simpulkan dengan adanya ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam praktek, seperti misalnya: 1. Seorang hakim tidaklah terikat untuk menerima dan mengambil sebagai bahan pertimbangan atas keterangan saksi dalam memutuskan suatu perkara, jadi hakim berhak untuk menerima atau tidak atas keterangan seorang saksi. 2. Pihak lawan berhak menolak seorang saksi yang diketahuinya mempunyai hubungan kekeluargaan yang sangat erat dengan pihak yang berperkara. 3. Seseorang berhak untuk menolak menjadi saksi. 4. Selanjutnya Undang-Undang menetapkan bahwa keterangan satu orang saksi tidaklah cukup. Persangkaan ialah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata. Dari peristiwa yang nyata ini dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu peristiwa lain yang harus dibuktikan juga sudah terjadi. Dalam hukum Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008. pembuktian terdapat dua persangkaan, yaitu persangkaan yang ditetapkan oleh Undang-Undang dan persangkaan oleh hakim. Sedangkan mengenai pengakuan, menyatakan suatu pengakuan yang dilakukan di depan hakim merupakan suatu pembuktian yang sempurna tentang kebenaran hal atau peristiwa yang diakui, sehingga harus diterima oleh seorang hakim sesuai seperti apa yang ternyata dalam pengakuan ini. Menurut penilaian Prof. Subekti, pendapat Undang-Undang ini tidaklah sesuai dengan uraian mengenai pembuktian yang berupa kesaksian. Dalam pembuktian yang berupa pengakuan di depan hakim, seorang hakim haruslah menerima, atau dengan kata lain terpaksa untuk menerima dan menganggap suatu peristiwa yang telah diakui memang benar- benar telah terjadi, meskipun sebetulnya ia sendiri tidak percaya bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh telah terjadi. Sedangkan dalam kesaksian hakim bebas untuk menerima atau tidak menerima atas keterangan seorang saksi. Alat pembuktian yang terakhir menurut Undang-Undang adalah sumpah, dimana sumpah ini dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sumpah yang menentukan Decissoire eed dan sumpah tambahan Supletoir eed. Istilah tersebut juga dikenal dengan sumpah Promissoir yaitu sumpah untuk berjanji menentukan sesuatu dan sumpah Assertoir yaitu sumpah untuk memberi keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu benar demikian atau tidak. 53 53 Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2002, hal. 179. Sumpah yang menentukan adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008. pihak lawannya dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh hakim. Apabila pihak yang diperintahkan bersedia mengangkat sumpah dengan perumusan sumpah yang disusun oleh pihak lawannya, maka ia akan dimenangkan oleh hakim. Tetapi bila ia menolak untuk mengangkat sumpah yang diperintahkan oleh lawannya dan mengembalikan kepada pihak lawannya untuk melakukan sumpah, ia dikalahkan oleh hakim. Sumpah tambahan adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah satu pihak yang berperkara, apabila hakim itu berpendapat bahwa di dalam suatu perkara sudah terdapat permulaan pembuktian, yang perlu ditambah dengan penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti yang terdapat itu. Jadi perbedaan prinsip antara sumpah yang menentukan Decissoire eed dan sumpah tambahan Supletoir eed adalah sumpah yang menentukan Decissoire eed diperintahkan oleh pihak lawan dan yang diperintahkan mempunyai hak untuk mengembalikan sumpah tersebut kepada pihak lawan, sedangkan sumpah tambahan Supletoir eed diperintahkan oleh hakim dan yang diperintahkan tidak mempunyai hak mengembalikan sumpah 54 Dari ke lima macam alat pembuktian yang telah diuraikan tersebut, pembuktian dengan suatu akta memang suatu cara pembuktian yang paling utama, maka dapatlah dimengerti mengapa pembuktian dengan tulisan ini oleh Undang- Undang disebutkan sebagai cara pembuktian nomor satu dan demikian itu Undang- Undang untuk beberapa perbuatan atau perjanjian yang dianggap sangat penting, . 54 Ibid, hal. 184-185. Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008. mengharuskan pembuktian suatu akta. 55 Suatu akta otentik merupakan alat pembuktian berupa suatu surat berbentuk akta yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang menurut Undang- Undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akta tersebut, sedangkan akta di bawah tangan onderhand ialah tiap akta yang tidak dibuat oleh atau dengan perantaraan seorang pejabat umum. Menurut Pasal 1868 KUHPerdata, bahwa suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang- Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya. Pegawai umum yang dimaksud dapat berupa: PPAT, hakim, jurusita, pegawai catatan sipil dan lain sebagainya. Ketentuan Pasal 617 KUHPerdata, yang mengharuskan penjualan, penghibahan, pembagian, pembebanan atau pemindahtanganan benda tidak bergerak dibuat dalam bentuk akta otentik atas ancaman kebatalan. Sedemikian pentingnya pembuktian berupa akta otentik pada terjadinya pengalihan benda tidak bergerak tersebut, hingga oleh Undang-Undang diberikan ancaman batal bagi pihak-pihak yang tidak mengindahkannya. Apabila suatu perbuatan dilaksanakan dengan pembuatan akta otentik, maka menurut Pasal 1870 KUHPerdata telah memberikan diantara para pihak beserta ahli waris-ahli waris atau orang-orang yang mendapat hak dari pada mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya. 55 Ibid, hal. 178-179. Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008. Undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya. Jadi unsur-unsur yang terkandung dalam suatu akta otentik adalah: 56 1. Dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu. 2. Dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang. 3. Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat harus mempunyai kewenangan untuk membuat akta itu ditempat di mana akta itu dibuatnya. Suatu akta otentik haruslah mempunyai bentuk yang ditentukan oleh Undang- Undang. Namun apabila syarat ini tidak terpenuhi, akta yang bersangkutan tidaklah menjadi batal, akan tetapi akan kehilangan sifat otentiknya, karenanya akan berlaku sebagai akta di bawah tangan. Apabila hal itu sampai terjadi pada jual beli atas benda tidak bergerak Pasal 617 KUHPerdata memberikan ancaman kebatalan. Pejabat umum yang membuat suatu akta otentik haruslah mempunyai kewenangan untuk itu, yaitu: 57 1. Kewenangan sepanjang menyangkut jenis akta yang dibuatnya. Tidak setiap pejabat umum dapat membuat semua akta, akan tetapi seorang pejabat umum hanya dapat membuat akta-akta tertentu yang ditugaskan atau dikecualikan kepadanya berdasarkan Undang-Undang. 2. Kewenangan sepanjang menyangkut orang-orangnya, untuk siapa akta tersebut dibuat. Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, memberikan larangan bagi Notaris untuk membuat akta- akta yang memberikan suatu hak dan atau keuntungan bagi: a. Notaris, isteri atau suami Notaris. b. Saksi, isteri atau suami Notaris. c. Orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris atau saksi baik hubungan darah dalam garis lurus keatas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat maupun hubungan perkawinan sampai dengan derajat ketiga. 56 Lumban, Tobing, G.H.S, S.H, Peraturan Jabatan Notaris, cet. Ke 3, Erlangga, Jakarta, 1983, hal. 48. 57 Ibid, hal. 49. Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008. 3. Kewenangan sepanjang menyangkut tempat dimana akta tersebut dibuat. Notaris hanya berwenang untuk membuat akta di dalam wilayah jabatannya. 4. Kewenangan sepanjang mengenai waktu pembuatannya. Notaris hanya berwenang membuat akta selama memangku jabatannya, selama diangkat, selama cuti dan setelah pensiun atau dipecat dari jabatannya tidak berwenang lagi membuat akta. Dalam hal pelaksanaan untuk melakukan jual beli, maka para pihak seperti penjual dan pembeli harus memenuhi syarat-syarat untuk terjadinya suatu perjanjian jual beli. Adapun syarat-syarat tersebut diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:

a. Kesepakatan para pihak

Pengertian sepakat diartikan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui oleh para pihak overeenstemende Wilsverklaring, dan persetujuan kehendak itu sendiri adalah kesepakatan. Sepakat berarti telah terjadinya kesepakatan antara para pihak terlebih dahulu terhadap hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan antara para pihak tersebut. Kesepakatan tersebut terjadi secara timbal balik di mana pihak yang satu menyetujui dan mengetahui isi dari maksud perjanjian tersebut begitu sebaliknya.

b. Kecakapan untuk berbuat sesuatu

Hal-hal yang berhubungan dengan kecakapan dan kewenangan diatur dalam Pasal 1329 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1331 KUHPerdata. Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008. Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa: “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh Undang-Undang dinyatakan tidak cakap”. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, hal ini mempunyai arti bahwa orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Namun tidak semuanya cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Sistem Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia menghendaki kepada para Notaris untuk memperhatikan bahwa ada beberapa subjek-subjek hukum yang karena Undang-Undang dibatasi penggunaan haknya dalam lalu lintas hukum. Oleh karena itu tidak semua subjek hukum yang datang menghadap ke kantor Notaris adalah cakap dan dapat dilayani untuk pembuatan akta-akta Notaris. Orang-orang yang menurut Undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah: 58 1. Orang-orang yang belum dewasa, yaitu anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. 2. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan yaitu orang-orang dewasa tapi dalam keadaan dungu, gila, mata gelap, dan pemboros. 3. Orang-orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu. 58 Lihat Pasal 1330 KUHPerdata jo Pasal 433 KUHPerdata jo Pasal 47 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang dewasa, dan sehat akal pikirannya serta tidak dilarang oleh suatu Undang-Undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu.

c. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, berupa prestasi yang perlu dipenuhi dalam suatu perjanjian, dan merupakan objek perjanjian. Sebagai syarat yang ketiga ini untuk sahnya suatu perjanjian adalah perjanjian itu harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan sebagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban kedua belah pihak jika timbul perselisihan. Syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul perselisihan dalam perjanjian. Jika prestasi itu kabur, sehingga perselisihan itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada objek perjanjian. Akibat tidak dipenuhinya syarat ini, perjanjian batal demi hukum. 59 59 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1986, hal. 94. Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.

d. Suatu sebab yang halal

Suatu sebab yang halal sebagai syarat keempat untuk sahnya perjanjian sering juga disebut dengan oorzaak bahasa belanda dan cause bahasa latin. Sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, yang mendorong orang membuat perjanjian. Tapi yang dimaksud dengan causa yang halal dalam Pasal 1320 KUHPerdata itu bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak. 60 Dua syarat yang pertama disebut syarat-syarat subjektif karena mengenai pihak-pihak atau subjek yang terdapat dalam suatu perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir disebut syarat objektif karena mengenai perjanjian itu sendiri atau objek hukum yang dilakukan. 61 Perlu untuk dijelaskan bahwa yang dimaksud sebab yang halal disini adalah isi dari perjanjian itu sendiri. Sebab tersebut merupakan sebab yang halal mempunyai arti bahwa yang menjadi isi dari perjanjian tersebut tidak menyimpang dari ketentuan perundang-undangan yang berlaku di samping tidak menyimpang dari norma-norma ketertiban dan kesusilaan sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1337 KUHPerdata. Dalam jual beli pada umumnya, yang menjadi sebab perjanjian adalah 60 Ibid. 61 R. Subekti, Op.Cit, hal. 17. Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008. di satu pihak pembeli ingin mendapatkan barangnya dan di pihak lain penjual berkeinginan untuk mendapatkan uangnya. Dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Jadi dalam pasal ini terkandung 3 tiga macam asas utama dalam perjanjian, yaitu: asas kebebasan berkontrak, asas konsesualisme, dan asas pacta sun servanda. Di samping asas-asas itu, masih terdapat asas itikad baik dan asas kepribadian.

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas ini megandung pengertian bahwa semua orang bebas untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian dengan siapapun juga, bebas menentukan isi dan syarat-syarat dari perjanjian tersebut, bebas menentukan bentuk perjanjian, dan bebas juga menentukan pada hukum mana perjanjian yang dibuat itu akan ditundukkan

b. Asas Konsensualisme

Asas ini merupakan suatu persetujuan yang dibuat secara sah dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata. Pasal ini erat hubungannya dengan Pasal 1370 KUHPerdata tentang syarat sahnya perjanjian yang pertama yaitu sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya.

c. Asas Pacta Sun Servanda

Asas ini berlaku dengan adanya akibat dari perjanjian yang dibuat dan berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008.

d. Asas Itikad Baik

Asas itikad baik ini terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang hendak dilakukan harus dilaksanakan dengan rasa itikad baik. Menurut Subekti, pengertian Itikad Baik dapat ditemui dalam hukum benda pengertian subjektif maupun dalam hukum perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata pengertian objektif. 62

e. Asas Kepribadian

Dalam Hukum Benda, itikad Baik artinya kejujuran atau bersih, sedangkan dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata pengertian Itikad Baik adalah bahwa dalam pelaksanaan perjanjian harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Ketentuan Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata juga memberikan kekuasaan pada hakim untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan. Asas ini terkandung dalam Pasal 1315 KUHPerdata dan Pasal 1340 KUHPerdata. Dalam Pasal 1315 KUHPerdata disebutkan bahwa pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya. Selanjutnya dalam Pasal 1340 KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. 62 Subekti, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hal. 42. Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008. Jadi pada dasarnya suatu kunci untuk melakukan kesepakatan adalah dengan telah dipenuhinya kelima unsur di atas, bagaimana pula seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa perjanjian berdasarkan kesepakatan itu akan lemah sifatnya apabila masing-masing pihak dalam melakukan kesepakatan jual beli tersebut tidak beritikad baik, seperti yang dipaparkan oleh Seorang NotarisPPAT Kota Medan Mengatakan bahwa terhadap judul penelitian tesis penulis tentang Perlindungan Hukum terhadap Para Pihak dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah dan Bangunan Dikaitkan dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB dan PPh. Di mana dalam judul penulis tertulis Perlindungan Hukum terhadap Para Pihak, itu berarti mencakup Perlindungan Hukum terhadap Penjual, Pembeli dan PPAT.Beliau mengatakan ada sebuah contoh yang dapat penulis kutip yang pernah beliau hadapi dalam melaksanakan jual beli, masing-masing pihak telah menandatangani Akta Jual Beli tersebut dan mereka telah sepakat terhadap segala isi yang tercantum di dalam akta tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 1 dan Pasal 5 Akta Jual Beli yang dibuat dihadapan PPAT, tetapi dalam kasus ini yang terjadi bahwa setelah 3 tiga tahun kemudian, pembeli melakukan permasalahan luas tanah yang tidak sesuai, dimana di dalam sertifikat luas tanah adalah 105 m2, dan PBB 95 m2. Sementara berdasarkan pemeriksaan pembeli dengan melakukan pengukuran sendiri mengatakan luas tanah sebenarnya adalah hanya 100 m2. Pembeli menuntut penjual membayar ganti rugi sebanyak Rp.50.000.000 Lima Puluh Juta Rupiah. Di sini dipertanyakan dimanakah perlindungan hukum terhadap penjual yang bertikad baik yang kemudian dirugikan karena luas tanah Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008. tersebut. Bukannya pengukuran luas tanah adalah merupakan hak dari Kepala Kantor Badan Pertanahan, jadi apabila hendak melakukan penuntutan seharusnya aparat penegak hukum kita harus memproses sesuai jalur yang ada dengan mengembalikannya ke Kantor Badan Pertanahan untuk melakukan pengecekan kembali. Dengan adanya hal ini telah menimbulkan kerugian bagi penjual, sehingga tidak adanya perlindungan hukum bagi penjual. Sedangkan perlindungan hukum terhadap pembeli dapat kebalikan dari peristiwa di atas dimana penjual yang tidak beritikad baik sehingga merugikan pembeli. 63 63 Edy, SH, NotarisPPAT, Kota Medan, Wawancara tanggal 03 Mei 2008. Berdasarkan uraian di atas, apabila luas tanah ex sertifikat dengan NJOP ex SPPT PBB tidak sama, maka harus dilakukan penyesuaian dengan mengikuti nilai riil yang tertinggi karena sesuai dengan amanah dari Pasal 6 UU BPHTB, dan ini merupakan tugas PPAT untuk melakukan penyesuaian terhadap luas tanah tersebut. B. Pengertian Hukum Pajak dalam Peraturan Perpajakan yang Berlaku dalam Pembuatan Akta Jual Beli Tanah dan Bangunan Dengan adanya peraturan perpajakan yang berlaku dalam hal pembuatan akta jual beli, di mana setiap pengalihan hak atas tanah melalui jual beli harus terlebih dahulu melakukan pembayaran pajak, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui arti dari pajak. Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008. Menurut Rochmat Soemitro, pajak adalah: peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment. 64 Unsur-unsur dari pajak tersebut, dapat disimpulkan sebagai berikut: 65 1. Iuran dari rakyat kepada negara Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang bukan barang. 2. Berdasarkan Undang-Undang Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan Undang-Undang serta aturan pelaksanaannya. 3. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. 4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran- pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Hukum pajak sering disebut hukum fiskal, sebenarnya pengertian istilah fiskal dengan pajak ada perbedaannya. 66 64 Rochmat Soemitro, Pajak dan Pembangunan, Eresco, Bandung-Jakarta, 1974, hal. 8. 65 Mardiasmo, Perpajakan edisi revisi, Andi Offset, Yogyakarta, 2006, hal. 1. 66 Bohari, Pengantar Hukum Pajak, Cetakan Ketiga, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 1999, hal. 24. Hukum pajak mengandung dua pengertian yang disatukan satu sama lain, yang pertama, pengertian hukum adalah kumpulan aturan- aturannorma-norma dan yang kedua adalah pengertian pajak. Hukum Pajak adalah kumpulan aturan-aturannorma-norma yang mengatur hubungan antara kewenangan PemerintahNegara sebagai pemungut pajak Fiskus dengan masyarakat sebagai pembayar pajak wajib pajak. Dengan perkataan lain hukum pajak mengatur: Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008. 1. Subjek Pajak 2. Objek Pajak 3. Kewajiban Wajib Pajak terhadap Pemerintah 4. Timbulnya dan Hapusnya Hutang Pajak 5. Penagihan Pajak 6. Pengajuan keberatan dan banding pada peradilan pajak Menurut Rochmat Soemitro, ada 2 macam hukum pajak, yaitu: 67 1. Hukum Pajak Materiil, memuat norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak objek pajak, siapa yang dikenakan pajak subjek, berapa besar pajak yang dikenakan tarif, segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak Contoh: Undang-Undang Pajak Penghasilan 2. Hukum Pajak Formil, memuat bentuktata cara untuk mewujudkan hukum materiil menjadi kenyataan cara melaksanakan hukum pajak materiil. Hukum ini memuat antara lain: a. Tata cara penyelenggaraan prosedur penetapan suatu utang pajak. b. Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para wajib pajak mengenai keadaan, perbuatan dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak. c. Kewajiban wajib pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan pencatatan dan hak-hak wajib pajak misalnya mengajukan keberatan dan banding. Contoh: Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Selain dua macam hukum pajak yang disebutkan di atas, pajak juga dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian, yaitu: 1. Menurut Golongannya 67 Mardiasmo, Op.Cit. hal. 5. Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008. Menurut Golongannya pajak dapat dilihat dari pajak langsung maupun pajak tidak langsung. 68 2. Menurut Sifatnya Yang dimaksud dengan pajak langsung adalah pajak yang dikenakan langsung atau dipikulkan kepada pribadi wajib pajak dan tidak dapat dibebankan kepada pihak lain, biasanya pengenaan pajak ini bersifat periodik dan berulang-ulang. Sedangkan pajak tidak langsung adalah pajak di mana wajib pajak dapat melimpahkan kewajiban pajaknya kepada pihak lain atau pihak ketiga. Dari segi sifatnya pajak dibagi atas pajak subjektif adalah pajak yang didasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak, contohnya PPh sedangkan pajak objektif adalah pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak, contohya Pajak Pertambahan Nilai PPN dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. 3. Menurut Lembaga Pemungutannya Berdasarkan dari lembaga pemungutannya pajak dibagi atas dua 2 hal pokok, yaitu Pajak Pusat Negara dan Pajak Daerah. Pajak Pusat yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat Negara yang dipergunakan untuk membiayai pembiayaan rumah tangga negara. Pajak ini terbagi atas beberapa jenis pajak, yaitu: a. PPh adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh wajib pajak dalam tahun pajak. 68 Ibid, hal. 5. Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008. b. Pajak Pertambahan Nilai PPN dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. PPN adalah pajak yang dipungut atas penyerahan barang-barang kena pajak dan atas jasa kena pajak di dalam negeri. 69 Sedangkan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah pajak yang dikenakan atas penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pabrik kepada siapapun atau pada waktu impor barang kena pajak yang tergolong mewah atas importir. 70 c. Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat dengan PBB adalah pajak yang dikenakan atas bumi dan bangunan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang PBB. 71 d. BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah danatau bangunan. 72 e. Bea Materai adalah pajak yang dikenakan atas suatu dokumen berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai. Hal ini sesuai dengan ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang BPHTB. 73 f. Sedangkan Pajak Daerah adalah Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah yang dipergunakan untuk membiayai rumah tangga daerah, misalnya pajak 69 Untung Sukadji, Pajak Pertambahan Nilai, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 21. 70 Achmad Tjahyono dan Triyono Wahyudi, Perpajakan Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 3. 71 Waluyo, Perpajakan Indonesia Buku 2, Penerbit Salemba Empat, 2002, hal. 41. 72 Marihot Pahala Siahaan, Op.Cit. hal. 42. 73 Ibid, hal. 97. Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008. hotel, pajak restoran, dan lain sebagainya Pasal 1 Angka 6 UU Nomor 34 Tahun 2000. Dalam bidang perpajakan, menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 1994, tanggal 27 Desember 1994, yang mulai berlaku pada 1 Januari 1995 tersebut menyatakan bahwa: Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah danatau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat 2 huruf a, wajib membayar sendiri PPh yang terutang ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang. Dan PPAT, Camat, Pejabat Lelang, atau pejabat lain yang diberi wewenang sesuai dengan perundang- undangan yang berlaku hanya boleh menandatangani akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan apabila kepadanya oleh orang atau badan dimaksud diserahkan fotocopi dengan menunjukkan aslinya bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Pajak yang selanjutnya disingkat dengan SSP. Besarnya PPh yang harus dibayar oleh orang pribadi atau badan yang memperoleh penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan menurut Pasal 4 PP Nomor 48 Tahun 1994 tersebut adalah 5 lima persen dari jumlah bruto nilai tertinggi diantara nilai pengalihan berdasarkan akta pengalihan hak dan NJOP atas tanah danatau bangunan. Sedangkan NJOP atas tanah danatau bangunan ditentukan menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang yang selanjutnya disingkat dengan Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008. SPPT yang diterbitkan oleh Kantor PBB setempat, yang berlaku pada tahun dimana pengalihan hak tersebut dilaksanakan. Atau bila SPPT yang dimaksud belum diterbitkan karena tanah dan bangunan yang dimaksud belum terdaftar, berdasarkan Surat Ketetapan yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor PBB yang wilayah wewenangnya meliputi tempat dimana tanah dan bangunan tersebut berada. Ketentuan mengenai pembayaran PPh ini kemudian mengalami perubahan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tertanggal 16 April 1996, Nomor 27 Tahun 1996, tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran PPh dari Pengalihan Hak atas Tanah danatau Bangunan, yang telah diumumkan pada lembaran Negara tahun 1996, Nomor 44, dan berlaku sejak saat ditetapkan yaitu tanggal 16 April 1996. Dalam Peraturan Pemerintah PP Nomor 27 Tahun 1996, beberapa ketentuan sebelumnya mengalami perubahan antara lain ketentuan mengenai besarnya PPh yang sebelumnya sebesar 5 lima persen, diubah menjadi: 74 a. Bagi orang Pribadi atau badan yang memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan bangunan adalah 5 lima persen, kecuali bagi Wajib Pajak Badan yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah danatau bangunan developer yang menjual rumah sederhana dan rumah sangat sederhana dan rumah susun sederhana adalah sebesar 2 dua persen. b. Bagi wajib pajak orang pribadi, yayasan atau organisasi sejenis dan wajib pajak badan developer, yang memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah danatau bangunan pembayaran PPh bersifat final. c. Bagi wajib pajak badan lainnya dan wajib pajak badan developer yang memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah danatau bangunan di luar dari usaha pokoknya, pembayaran pajak penghasilannya merupakan pembayaran PPh Pasal 25 yang dapat diperhitungkan dengan pajak penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan. 74 PP No. 27 Tahun 1996 Op.Cit, Pasal 4 dan 8. Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008. d. Bagi wajib pajak orang pribadi yang penghasilannya melebihi penghasilan tidak kena pajak PTKP yang memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah danatau bangunan kurang dari Rp. 60.000.000,- Enam Puluh Juta Rupiah wajib membayar PPh sebesar 5 lima persen dari jumlah bruto penghasilan dan harus dibayar sendiri oleh wajib pajak dengan SSP Final sebelum akhir tahun pajak yang bersangkutan. Wajib pajak atau kuasanya wajib membayar pajak yang terutang dengan menggunakan SSB ke tempat pembayaran BPHTB yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran atas nama Menteri Keuangan di wilayah Kabupatenkota yang meliputi letak tanah danatau bangunan. 75 1. Pajak yang dibayar lebih besar daripada yang seharusnya terutang. Dalam jangka waktu lima tahun terhitung sejak terutangnya pajak, Direktorat Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah danatau Bangunan kurang bayar yang selanjutnya disingkat dengan SKBKB apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak terutang kurang bayar. Jumlah kekurangan pajak terutang dalam SKBKB kurang bayar ditambah dengan sanksi sebesar 2 dua persen perbulan untuk jangka waktu paling lama 24 dua puluh empat bulan terhitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKBKB. Penjelasan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997, disebutkan bahwa wajib pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak. Kelebihan pembayaran BPHTB menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30 Tahun 2005 dapat terjadi dalam hal: 75 Departemen Keuangan, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 5172000. Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008. 2. Pajak yang terutang yang dibayarkan oleh wajib pajak sebelum akta ditandatangani, namun perolehan hak atas tanah dan bangunan tersebut batal. Usaha memperoleh pengembalian kelebihan bayar BPHTB, wajib pajak harus mengajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia yang jelas kepada Direktur Jenderal Pajak, up. Kepala Kantor PBBKepala Kantor Pelayanan Pratama yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah dan atau bangunan. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan kantor dan pemeriksaan lapangan, dalam jangka waktu paling lama 12 dua belas bulan sejak diterimanya permohonan harus telah memberikan keputusan. Apabila jangka waktu pemberian keputusan tersebut terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, permohonan pembayaran kelebihan pembayaran pajak tersebut dianggap telah dikabulkan dan surat ketetapan bea perolehan hak atas tanah danatau bangunan lebih bayar harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 satu bulan. 76 Keputusan Direktur Jenderal Pajak dapat berupa: 77 1. Kurang bayar, dengan menerbitkan SKBKB, yaitu bila jumlah pembayaran pajak ternyata lebih kecil dari pajak yang terutang. 2. Lebih bayar, dengan menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan lebih bayar, yaitu bila jumlah pembayaran pajak ternyata lebih besar dari pajak yang terutang, atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya. 3. Tetap, dengan menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan nihil, yaitu bila jumlah pembayaran pajak ternyata sama dengan pajak yang terutang. 76 UU Nomor 20 Tahun 2000, Op.Cit. 77 Muhammad Rusjdi, Op.Cit, hal. 171-172. Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008. Kelebihan pembayaran BPHTB diperhitungkan terlebih dahulu dengan utang pajak, baik di pusat maupun cabang-cabangnya. Utang pajak yaitu pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat keputusan lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 78 1. 12 bulan : Terhitung sejak permohonan pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB diajukan, Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan kantor dan lapangan, serta memberikan keputusan. Pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB atas utang pajak dilakukan dalam jangka waktu 2 dua bulan sejak diterbitkannya surat ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah danatau Bangunan lebih bayar dengan tahap-tahap dan perincian waktu paling lama sebagai berikut: 2. 1 bulan : terhitung sejak jangka waktu tersebut butir 1 terlampaui dalam hal direktur jenderal pajak tidak memberikan keputusan dalam jangka waktu 12 dua belas bulan, permohonan dianggap dikabulkan dan direktur jenderal pajak harus memberikan keputusannya; keputusan direktur jenderal pajak, berupa : kurang bayar, lebih bayar, nihil. 3. 2 bulan : Direktur Jenderal Pajak mengembalikan kelebihan bayar dengan cara terlebih dahulu: 78 Departemen Keuangan, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30 Tahun 2005. Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008. a. menerbitkan surat keputusan pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB. b. menerbitkan surat perintah membayar kelebihan BPHTB. Jadi waktu yang diperlukan untuk mengurus pengembalian pembayaran BPHTB lebih bayar paling lama adalah 13 tiga belas bulan, terhitung sejak surat permohonan pengembalian pembayaran BPHTB lebih bayar diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 memberikan ketentuan dengan tegas waktu yang menjadi saat yang menentukan pajak terutang. Secara umum ada 5 saatwaktu yang ditentukan menjadi saat pajak terutang, yaitu: 1. Tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta 2. Tanggal penunjukan pemenang lelang. 3. Tanggal didaftarkannya perolehan hak ke kantor pertanahan. 4. Tanggal putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan 5. Tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak. Saat yang paling banyak digunakan sebagai saat pajak terutang adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta. Hal ini dapat dimengerti karena sebagian besar perolehan hak yang terjadi berkaitan atau dibuktikan dengan adanya akta otentik. Yang dimaksud dengan sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta Linda : Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dikaitkan Dengan Kewajiban Pembayaran BPHTB Dan PPh, 2008. adalah tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta pemindahan hak dihadapan PPAT. Hal yang sangat penting dari suatu akta otentik sebagai alat pembuktian adalah kapan akta otentik dibuat. Saat atau tanggal akta otentik dibuat berarti tanggal diresmikannya akta otentik tersebut. Pajak yang terutang dibayar ke kas negara melalui kantor pos dan atau bank persepsi yang telah ditunjuk dengan menggunakan SSB.

C. Hak dan Kewajiban Penjual dan Pembeli atas Jual Beli Tanah dan Bangunan