Tahapan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Masyarakat

mengidentifikasikan suatu masalah atau projek pemberdayaan. Keempat, mengidentifikasikan basis daya yang bermakna bagi pemberdayaan. Kelima, mengembangkan rencana-rencana aksi pemberdayaan dan mengimplementasikannya. 17

3. Tujuan dan Proses Pemberdayaan.

Tujuan pemberdayaan masyarakat adalah mendirikan masyarakat atau membangun masyarakat untuk memajukan diri kearah yang lebih baik secara berkesinambungan. Oleh karenanya pemberdayaan masyarakat adalah upaya memperluas pilihan bagi masyarakat yang berarti masyarakat diberdayakan untuk melihat dan memilih sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya. 18 Tujuan utama pemberdayaan adalah memperkuat kekuasaan masyarakat khususnya kelompok lemah yang memiliki ketidakberdayaan, baik karena internal misalnya persepsi mereka sendiri, maupun karena eksternal misalnya ditindas oleh struktur sosial yang tidak adil. 19 Proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan kepada masyarakat agar individu yang bersangkutan menjadi lebih berdaya survival of the fittes. Proses ini dapat dilengkapi dengan upaya membangun asset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi. Kecenderungan atau proses yang pertama tersebut dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari makna 17 Asep Usman Ismail, dkk, Pengamalan Al- Qur’an Tentang Pemberdayaan Dhua’afa, Jakarta: Dakwah Press, 2008, Cet. Ke-1, h.10. 18 Agus Ahmad Syafe’i, Manajemen Pengembangan Masyarakat Islam, Bandung: Gerbang Masyarakat Baru, 2001, h. 39. 19 Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat,kajian strategis pembangunan kesejahteraan sosial dan pekerjaan sosialBandung: Rafika Aditama, 2005, h. 60. pemberdayaan. Kedua, atau kecenderungan sekunder, menekankan pada proses menstimulasi, mendorong, atau memotivasi agar individu mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Diantara kedua proses tersebut saling terkait. Agar kecenderungan primer dapat terwujud, seringkali harus melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu. 20

C. Pengertian Dhuafa, Fakir dan Miskin

1. Pengertian Dhuafa.

Perkataan dhu’afa dalam kosa kata Al-Qur’an merupakan bentuk jamak dari kata dha’if. Kata ini berasal dari kata dhu’afa, yadh’ufu, dhu’fan atau dha’fan yang secara umum mengandung dua pengertian, lemah dan berlipat ganda. Tentu saja yang dimaksudkan dalam konteks pembahasa n ini dhu’afa secara literal berarti orang-orang yang lemah. Menurut Al-Ashfahani perkataan dhu’fu merupakan lawan dari quwwah yang berarti kuat. Kemudian menurut imam khalil, pakar ilmu nahwu, istilah dhu’fu biasanya dimaksudkan untuk menunjukkan lemah fisik, sedangkan dha’fu biasanya digunakan untuk menunjukkan lemah akal. Sejalan dengan penjelasan di atas, Al-Raghib Al-Ashfahani didalam kitab Mufradat Alfadah Al- Qur’an ketika menjelaskan makna dan maksud istilah dhi’af-an pada surat annisa ayat 9 sebagai berikut:                 20 Harry Hikmat, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Bandung: Humaniora Utama Press, 2010, Cet. Ke-5 h. 43. Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka.oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. Dari ayat di atas bahwa istilah dhi’af-an memiliki beberapa pengertian: Pertama, dha’if al-jism yakni lemah secara fisik. Maksudnya, bahwa orang-orang beriman tidak boleh membiarkan anak-anak mereka memiliki fisik, tubuh, atau badan yang lemah. Bagi orang Islam, makanan yang bergizi itu selain memenuhi gizi yang seimbang sebagaimana dirumuskan dalam prinsip empat sehat lima sempurna, tetapi juga harus memperhatikan syarat halalan thayibba, yakni halal secara ilmu fikih dan berkualitas bagi kesehatan tubuh. 21 Sejalan dengan ini Sajogyo menjelaskan seseorang belum dikatakan sejahtera jika belum mencukupi standar protein dan kalori tertentu, sedang menurut BPS kebutuhan minimum untuk hidup di ukur dengan pengeluaran untuk makanan setara 2.100 kalori perkapita perhari. 22 Kedua, dha’if fi al-aqly yakni lemah secara intelektual. Sebenarnya setiap anak memiliki potensi kecerdasan yang hampir sama. Misalnya kelemahan intelektual anak-anak pada umumnya tidak terletak pada potensi anak itu sendiri, tetapi terletak pada kemampuan orang tua, guru, dan orang dewasa disekitar kehidupan anak-anak dalam mengembangkan potensi kecerdasan mereka. 21 Asep Usman Ismail, dkk, Pengamalan Al- Qur’an Tentang Pemberdayaan Dhua’afa, Jakarta: Dakwah Press, 2008, Cet. Ke-1, h.19. 22 Gunawan Sumodiningrat, Kemiskinan: Teori, Fakta dan Kebijakan, Jakarta: IMPAC, 1999, h. 10