Ketiga, dha’if al-hali lemah karena keadaan sosial ekonomi yang
dihadapinya. Adapun yang dimaksud dengan kelemahan yang ketiga ini adalah sebagai berikut: 1 kelemahan itu tidak berkenaan dengan fisik,
keterampilan hidup dan kecerdasan, tetapi berkenaan dengan kemampuan untuk mendapat informasi dan peluang pengembangan diri. 2
kelemahan itu berkenaan dengan kemiskinan dan masalah-masalah sosial. Anak-anak yatim dari lingkungan masyarakat fakir miskin yang cerdas
dan memiliki keinginan untuk maju termasuk salah satu contoh kelemahan bemtuk ketiga. Seorang muslim selain diperintahkan agar
senantiasa meningkatkan ketakwaannya kepada Allah, juga sangat ditekankan agar tidak membiarkan generasi yang lemah dilingkungan
terdekatnya, terutama kaum dhu’afa seperti anak yatim, fakir miskin, anak jalanan, dan anak-anak terlantar, serta orang-orang dari keluarga yang
termasuk penyandang masalah kesejahteraan sosial. Dapat disimpulkan menurut al-
ashfahani, pengertian dhu’afa yang berakar dari kata
dha’afa membentuk kata dhu’afa dengan segala perubahannya di dalam Al-
Qur’an mengandung pengertian lemah: lemah secara fisik, lemah kedudukan, lemah ekonomi, lemah akal dan
ilmukurang pendidikan, lemah imankeyakinan, dan lemah jiwa. Istilah
dhu’afa ini antara lain ditemukan pada ayat Al-Qur’an, yang mengandung pengertian lemah fisik, baik karena belum cukup umur,
lanjut usia maupun karena faktor kwalitas kesehatan.
23
23
Asep Usman Ismail, dkk, Pengamalan Al- Qur’an Tentang Pemberdayaan Dhua’afa,
Jakarta: Dakwah Press, 2008, Cet. Ke-1, h.18-19.
Tiada dosa lantaran tidak pergi berjihad atas orang-orang yang lemah,
orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah
dan Rasul-Nya. tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang- orang yang berbuat baik. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang,
2. Pengertian Fakir dan Miskin
Berkenaan dengan fenomena kemiskinan, Al- Qur’an menyebut
istilah miskin dalam bentuk tunggal sebanyak 11 kali dan menyebutnya dalam bentuk jamak, masakin sebanyak 12 kali. Jadi secara keseluruhan
Al- Qur’an menyebut istilah miskin sebanyak 23 kali. Dilihat dari segi
kebahasaannya istilah miskin berasal dari kata kerja sakana, yang akar hurufnya terdiri atas s-k-n. perkataan sakana mengandung arti diam,
tetap, jumud, dan statis. Al-ashfahani mendefinisikan miskin adalah seorang yang tidak memiliki apapun.
Istilah miskin menggambarkan akibat dari keadaan diri seseorang atau sekelompok orang yang lemah. Ketika seseorang itu tidak berhasil
mengembangkan potensi dirinya secara optimal, yakni potensi kecerdasan, mental dan keterampilan, maka keadaan itu akan berakibat
langsung pada kemiskinan, yakni ketidakmampuan mendapatkan, memiliki dan mengakses sumber-sumber rizki sehingga ia tidak memiliki
sesuatu apapununtuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Orang miskin memiliki tenaga untuk bekerja, tetapi ia tidak melatih dan membiasakan
dirinya untuk menjadi pekerja yang terampil. Orang miskin juga memiliki
potensi untuk mengembangkan dirtinya tetapi tidak berhasil menjadi pekerja yang ulet. Mereka memilih pola hidup sakana yang berarti diam,
jumud dan statis tidak mengembangkan skill atau keterampilan dan keahlian dalam hidupnya karena malas. Akibatnya miskin.
24
Namun menurut Gunawan Sumodiningrat dalam bukunya kemiskinan teori, fakta dan kebijakan, penyebab kemiskinan tidak hanya
disebabkan karena
seseorang diam,
apatis, malas
dan tidak
mengembangkan skillnya yang di istilahkan dengan kemiskinan culturalculture of poverty, akan tetapi juga seseorang menjadi miskin
karena lebih bersifat hambatan kelembagaan atau strukturnya memang bisa menghambat seseorang untuk meraih kesempatan-kesempatannya
sehingga masyarakat tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka.
25
Menurut Tadjuddin Noer Effendi kemiskinan ini meliputi kekurangan fasilitas pemukiman
yang sehat, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikasi dengan dunai sekitarnya, kekurangan perlindungan dari hukum dan pemerintah.
26
Selanjutnya Sajogyo dalam Mustofa 2010 menggunakan satuan kilogram beras ekuivalen untuk menetukan criteria batas garis kemiskinan
penduduk. a.
Sangat Miskin Penduduk yang termasuk dalam kelompok ini adalah mereka
yang mempunyai penghasilan di bawah setara dengan 240 kg beras
24
Ibid, h. 20.
25
Gunawan Sumodiningrat, Kemiskinan: Teori, Fakta dan Kebijakan, Jakarta: IMPAC, 1999, h. 16.
26
Tadjuddin Noer Effendi, Sumber Daya Manusia, Peluang Kerja, dan Kemiskinan, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993, h. 203.
ekuivalen setiap orang dalam setahun untuk penduduk yang hidup di perdesaan, dan mereka yang berpenghasilan setara dengan 360 kg
beras untuk penduduk yang tinggal di perkotaan. b.
Miskin. Penduduk yang termasuk dalam kelompok ini adalah mereka
yang mempunyai penghasilan setara dengan 240 kg beras sampai 320 kg beras per tahun untuk penduduk yang tinggal di desa, dan mereka
yang berpenghasilan setara dengan 360 kg beras sampai 480 kg beras pertahun untuk penduduk yang tinggal di kota.
c. Hampir Cukup.
Penduduk yang termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang mempunyai penghasilan setara 320 kg beras sampai 480 kg
beras pertahun untuk penduduk yang tinggal di desa, dan mereka yng mempunyai penghasilan setara 480 kg beras sampai 720 kg beras
pertahun untuk penduduk yang tinggal di kota. d.
Cukup. Penduduk yang termasuk dalam kelompok ini adalah mereka
yang mempunyai penghasilan setara dengan lebih dari 480 kg beras setiap orang selama setahun di daerah perdesaan, dan mereka yang
mempunyai penghasilan setara 720 kg beras setiap orang selama setahun untuk daerah perkotaan.
27
Sementara itu, istilah di dalam bahasa Indonesia berasal dari kosa kata bahasa arab faqir dalam bentuk tunggal dan
fuqara’ dalam bentuk jamak yang secara kebahasaan, menurut Al-Raghib Al-Ashfahani,
27
Mustofa, Pemberdayaan Kaum Dhuafa Melalui Program Laboratorium Skill Lab Skill Di Yayasan Bina Insan Mandiri Depok, Skripsi S1 Dakwah dan Komunikasi, Universitas
Islam Negeri Jakarta, 2010, h. 30.