sangat penting untuk mendefinisikan permasalahan pokok atau penyebab pertikaian dengan mengamati dan memahami pihak-pihak yang bertikai. Menurut
level permasalahanya, terdapat dua jenis konflik yakni: konflik vertikal dan konflik horisontal. Konflik vertikal terjadi apabila pihak yang di lawan oleh pihak
lainnya berada pada level yang berbeda, sehingga kaitan makro-mikronya lebih cepat dapat diketahui. Sedangkan konflik horisontal, terjadi antara masyarakat
dengan anggota masyarakat lainnya. Dalam hal ini, kaitan makro agak sulit digambarkan dengan jelas, bahkan seringkali sulit untuk menentukan siapakah
lawan yang sebenarnya Fuad dan Maskanah, 2000.
2.4. Masyarakat Desa Hutan
Hutan berperan penting dalam kehidupan masyarakat sekitar hutan. Hal ini dikarenakan hampir seluruh kehidupan masyarat sangat tergantung pada hutan.
Bahkan menurut Tokede et al. 2005 hutan sebagai ibu kandung yang memberi makan anak-anaknya sebagai pengikat hubungan social antar suku dan antar
marga dan suku memiliki nilai budaya dan norma adat yang dipercayai. Masyarakat desa hutan adalah masyarakat yang menguntungkan segala
kehidupannya pada hutan baik masyarakat yang tinggal dikawasan hutan maupun yang dimanfaatkan hutan dalam mencakup kehidupannya. Redfied 1982 dalam
bukunya berjudul “Masyarakat Petani dan Kebudayaan” mengatakan bahwa masyarakat desa mungkin telah memelihara kebudayaan rakyatnya dengan sedikit
sekali mendapat pengaruh dari kelas atas. Kawasan hutan yang luas, menuntut pengelolaan yang intensif, ditengah
tuntutan kehidupan tidak jarang membangkitkan permasalahan hidup yang pada
Universitas Sumatera Utara
akhirnya dapat memicu konflik sosial. Konflik merupakan hal yang tidak terhindarkan dalam pengelolaan sumberdaya hutan Indonesia. Alasannya
sederhana karena banyak pihak yang berkepentingan terhadap hutan, sementara masing-masing berbeda kebutuhan dan tujuannya Fuad dan Maskanah 2000.
Kebutuhan akan sumberdaya hutan mengalami peningkatan bersamaan dengan berbagai perkembangan yang terjadi seperti peningkatan standar hidup, turunnya
angka kematiaan dan perkembangan infrastruktur yang pesat sehingga menimbulkan kesenjangan sosial dalam masyarakat.
Hutan dikaruniakan Tuhan untuk dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat, sehingga dalam upaya pelestariannya juga harus melibatkan
masyarakat khususnya di sekitar hutan alam. Kehidupan masyarakat yang majemuk, nampaknya menyimpan potensi konflik horizontal. Karena itu,
pemerintah, masyarakat, kelompok-kelompok sosial, maupun individu harus tetap waspada terhadap terjadinya yang mungkin terjadi, sehingga diperlukan kesadaran
yang tinggi dalam memahami rasa kebangsaan yang utuh, konsesus yang dapat bertahan dan senantiasa dihormati sebagai pengendali
konflik Muntakin dan Pasya, 2003.
Fuad dan Maskanah 2000 juga mengatakan bahwa konflik sumberdaya hutan yang sering terlihat meskipun masih banyak pula yang tak terlihat ada
konflik yang terjadi antara masyarakat didalam dan tepian hutan, dengan berbagai pihak diluar yang dianggap memiliki otoritas dalam pengelolaan sumberdaya
hutan. Wulan et al. 2004 mengatakan bahwa berdasarkan hasil analisis artikel di media massa, sekurang-kurangnya terdapat lima penyebab utama konflik yang
terjadi di areal HPH, HTI dan kawasan konservasi, yaitu penambahan hutan,
Universitas Sumatera Utara
pencurian kayu, perusakan lingkungan, tatabatas kawasan atau akses dan alih fungsi kawasan. Faktor penyebab konflik yang paling sering terjadi diberbagai
kawasan 36 adalah ketidakjelasan tata batas hutan bagi masyarakat di sekitarya.
Konflik dapat dilihat dari berbagai presfektif, dalam konteks makro maupun mikro Hadimulyo dalam Fuad Maskanah 2000. Perpektif mitologis-
historis merujuk bahwa konflik atas sumberdaya untuk pemenuhan kebutuhan manusia dapat ditelusuri dari sejarah umat manusia. Perspektif ekonomi dan
politik memandang bahwa konflik merupakan bagian dari pola hubungan antara manusia, kelompok, golongan, masyarakat dan negara yang seharusnya dipahami
sebagai kenyataan. Penyebab utama konflik dapat ditelusuri dari akar ekonomi dan politik, dan oleh karena itu upaya-upaya penyelesaian harus
mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi politik scott, 1993 Fuad dan Maskanah 2000 faktor lainnya yang sering memicu konflik berkaitan dengan
akses, hak dan tata guna lahan terutama yang berhubungan dengan kawasan konservasi seperti taman nasional Wulan et al. 2004.
Di Indonesia, masalah pengusahaan sumber daya alam, termasuk hutan sebagai asset ekonomi dan sosial masyarakat pedesaan telah cukup lama menjadi
keprihatinan banyak pihak. Persoalan distribusi penguasaan tanah atau lahan di Indonesia telah menimbulkan pemiskinan struktural masyarakat, dan mengurangi
kemampuan pengembangan ekonomi yang berbasis pengamatan lahan. Tekanan akan hutan akan semakin meningkat. Ini menyebabkan masyarakat yang miskin
dan yang tidak mempunyai lahan mencoba mempertahankan hidupnya dengan menggarap lahan hutan.
Universitas Sumatera Utara
Akhir-akhir ini, ditengah kehidupan masyarakat kita tengah terjadi serangkaian konflik, baik yang berasal dari pertentangan politik, ketidak adilan
hukum, kesenjangan ekonomi, bentrokan antar suku, kekerasaan militer, dan sebagainya. Salah satu yang paling sering terdengar dalam konflik antara
masyarakat dengan pihak lain, adalah konflik pengelolaan Sumber daya Hutan SDH. Sudah selayaknya kita mencurahkan perhatian kepada masalah ini,
mengingat konflik dalam pengelolaan Sumber daya Hutan SDH mencakup spectrum yang sangat luas. Jika kita tidak secara dini serta hati-hati mencarikan
jalan keluarnya, akibat yang paling ringan yang akan muncul adalah hilangnya potensi hutan kita, yang nilai pentingnya sudah tidak diragukan lagi, dan
sebetulnya merupakan warisan bagi generasi yang akan datang. Sudah sangat umum dijumpai bahwa berbagai kejadian konflik
pengelolaan Sumber Daya Hutan SDH melibatkan berbagai pihak yang sama- sama memiliki kepentingan terhadap hutan. Pada ahirnya konflik itu di
ekspresikan dalam bentuk perusakan komponen hutan itu sendiri, baik yang berupa pembakaran tegakan hutan, pencabutan anakan pohon yang baru ditanam,
penebangan secara membabi buta dan liar, pendudukan dan penyemprotan lahan hutan maupun bentuk-bentuk lainnya. Penyebab konflik itu sendiri sangat
beragam, tidak masalah hilangnya lahan masyarakat akibat penebangan hutan bukan juga acapkali terkait erat dengan permasalahan kebijakan pembangunan
dan fenomena kapitalisme global. Ada beberapa kemungkinan yang terjadi sebab sebuah kebijakan atau
keputusan ditolak dalam proses implementasinya Wibawa, 1994;40 pertama, kelompok sasaran tidak membutuhkan dan juga tidak memperoleh manfaat dari
Universitas Sumatera Utara
kebijakan atau keputusan tersebut. Bisa ditebak bahwa keputusan yang ditolak tersebut dulunya dirumuskan dalam suatu proses konversi yang etis.
Kemungkinan kedua dari ditolaknya keputusan atau kebijakan oleh target group adalah karena kelompok sasaran yang tidak menyadari manfaat dari keputusan
tersebut, dan oleh karena itu mereka tidak merasa membutuhkannya. Untuk kasus semacam ini sudah barang tentu pelaksana keputusan atau kebijakan perlu
mengubah kondisi kelompok sasaran dengan cara pendidikan dengan gerakan penyadaran pada umumnya. Upaya ini dapat ditempuh melalui penyuluhan
langsung oleh para birokarat lapangan, dapat pula dengan memanfaatkan tokoh masyarakat informal maupun pemimin-pemimpin resmi seperti Bupati, Camat,
Kepala Kepolisian. Media yang digunakan cukup beragam mulai dari tatap muka hingga poster dan televisi.
Laju perkembangan penduduk yang signifikan menambah pemanfaatan lahan yang pada ahirnya mengurangi luasan hutan, sementara pihak pengelola
mempunyai kewajiban dalam menjaga kawasan hutan baik dari segi kelestariaanya maupun dari luasannya wilayahnya yang berimbas pada konflik
antara pihak pengelola hutan dan masyarakat. Salah satu yang paling sering terdengar antara masyarakat dengan pihak lain, maupun antar anggota masyarakat
itu sendiri,
adalah konflik
pengelolaan sumberdaya
hutan Fuad dan Maskanah 2000.
Ketidakseimbangan kepemilikan lahan itu memang menjadi masalah semua Negara. Penguasaan lahan yang tidak seimbang seperti itu menyebabkan
adanya tekanan yang meningkat terhadap hutan, terutama jika masyarakat petani kemenyan masih banyak jumlahnya dan sistem penguasaan lahan tidak merata
Universitas Sumatera Utara
barangkali hanya berpengaruh terhadap petani kemenyan yang menetap bagaimana dengan mereka yang selama ini tinggal di hutan dan melakukan
pertanian dengan tumpang gilir, telah banyak penelitian mengatakan bahwa sejak awal dilakukan inisiatif pengelolaan hutan dengan melibatkan pihak swasta,
terjadi penggusuran besar-besaran terhadap hak kepemilikan tenurial rights terhadap hutan yang disandang oleh masyarakat lokal.
Konflik pengelolaan Sumber Daya Hutan SDH ini antara lain diakibatkan oleh adanya perbedaan kepentingan antara para pelaku pembangunan
pemerintah, pengusaha,dan rakyat serta keterbatasan sumberdaya karena kebutuhan yang selalu meningkat akan keberadaan, fungsi dan manfaat Sumber
daya Alam SDA. Konflik dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu konflik horizontal dan vertikal. Konflik horisontal merupakan konflik antar berbagai
unsur masyarakat, yaitu antara masyarakat dengan masyarakat lainnya. Konflik vertical yaitu konflik antara masyarakat lokal dengan pemerintah. Dalam hal ini
sebagai contoh, yaitu konflik dibidang agraria dan dapat mewakili konflik pengelolaan Sumber Daya Alam SDA di Indonesia pada umumnya.
2.5. Karateristik Konflik dan Mekanisme Penyelesaiannya