Kondisi Hutan Konflik TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Kondisi Hutan

Kabupaten Humbang Hasundutan memiliki kawasan hutan negara dengan luasan 95.512,84 ha 37,9 dari luas total kabupaten. Masing-masing kecamatan memiliki sebaran luas serta fungsi hutan yang tidak sama. Sebaran luas kawasan hutan berdasarkan kecamatan di Kabupaten Humbang Hasundutan seperti yang ditampilkan sebagai berikut. Tabel 1. Sebaran luas kawasan hutan di Kabupaten Humbang Hasundutan No Nama Kecamatan Luas Kawasan Hutan ha Persentase 1 Pakat 17.100,00 17,90 2 Onan Ganjang 3.100,00 3,25 3 Sijamapolang 2.850,00 2,98 4 Lintong Nihuta 7.700,60 8,06 5 Paranginan 2.250,00 2,36 6 Doloksanggul 6.000,04 6,28 7 Pollung 6.062,20 6,35 8 Parlilitan 39.950,00 41,83 9 Tarabintang 8.400,00 8,79 10 Bakti Raja 2.100,00 2,20 Total 95.512,84 100,00 Sumber: BPS Kab. Humbang Hasundutan Tahun 2009 Bila ditinjau dari keberadaan luasan hutan di atas maka kabupaten ini masih masuk dalam kategori kabupaten yang memiliki luasan hutan yang proporsional yaitu di atas 30 dari luas wilayahnya. Sebaran luas kawasan hutan berdasarkan fungsinya didominasi oleh hutan produksi yang mencapai 64, diikuti hutan lindung 33 dan hutan produksi terbatas HPT sebanyak 3 dari luas kawasan hutan total. Pengelolaan hutan produksi yang ada di wilayah administrasi Kabupaten Humbang Hasundutan sebagian besar telah melibatkan pihak swasta dengan membangun hutan tanaman sebagai bahan baku bubur kertas pulp. Universitas Sumatera Utara

2.3. Konflik

Konflik adalah perjuangan yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan, otoritas, dan lain sebagainya, dimana tujuan dari mereka bertikai itu tidak hanya untuk memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk menundukkan saingannya dengan kekerasan atau ancaman Ibrahim, 2002. Konflik merupakan salah satu proses sosial yang bersifat disosiatif, selain persaingan competition dan pertentangan. Sebenarnya proses sosial disosiatif tidaklah selalu bersifat negatif, ada kalanya jika diatur sedemikian rupa dapat menghasilkan hal-hal yang positif. Menurut Fisher et al. 2000 konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih individu atau kelompok yang memiliki, atau yang merasa memiliki,sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan sosial, seperti kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang yang kemudian menimbulkan masalah-masalah diskriminasi. Menurut Mitchell, et al. 2000 dan Hendricks 2004 konflik merupakan sesuatu yang tak terelakkan, yang dapat bersifat positif dan negatif. Aspek positif muncul ketika konflik membantu mengidentifikasi proses pengelolaan sumberdaya dan lingkungan yang tidak berjalan secara efektif, mempertajam gagasan atau informasi yang tidak jelas, dan menjelaskan kesalapahaman. Konflik juga bermanfaat, yaitu ketika mempertanyakan status quo. Sedangkan menurut Fuad dan Maskanah 2000 konflik adalah benturan yang Universitas Sumatera Utara terjadi antara dua pihak atau lebih yang disebabkan karena adanya perbedaan kondisi social budaya, nilai, status, dan kekuasaan, dimana masing-masing pihak memiliki kepentingan terhadap sumberdaya alam. Menurut penyebabnya, konflik dalam pengelolaan sumberdaya alam dapat disebabkan oleh keterbatasan sumberdaya alam dan kebutuhan yang selalu meningkat akan keberadaan, fungsi dan manfaat sumberdaya alam. Bertambahnya jumlah penduduk memunculkan berbagai kepentingan yang berbeda atas sumberdaya yang sama, yang berakibat pada munculnya konflik-konflik antar berbagai unsur masyarakat Fuad dan Maskanah, 2000; Mitchell, et al., 2000. Selain itu, diungkapkan juga bahwa sumberdaya alam yang terbatas sangat rentan terhadap datangnya perubahan, sehingga inisiatif-inisiatif industrialisasi telah menimbulkan ancaman bagi keberlanjutan sumberdaya alam itu sendiri. Perubahan kondisi sosial, budaya, lingkungan hidup, ekonomi, hukum dan politik menciptakan kepentingan- kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan baru terhadap sumberdaya hutan. Pada akhirnya, apabila faktor-faktor tersebut mengalami ketidaksesuaian, maka akan ada suatu potensi konflik. Koentjaraningrat dan Ajamiseba 1994 menyatakan bahwa konflik dapat terjadi karena perubahan sosial budaya yang begitu cepat terhadap pegangan dan pola kehidupan tradisional, menyebabkan masyarakat kehilangan jati dirinya dan merasa tercabut dari akar budayanya, yang selanjutnya menjadikan mereka apatis dan agresif. Dampak sosial budaya yang negatif tersebut dapat menciptakan suatu gerakan destruktif. Anau, et al. 2002 menyebutkan pula bahwa benturan kepentingan antara perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain juga dapat menimbulkan persengketaan, yang kadang-kadang sampai berlarut-larut dan tidak Universitas Sumatera Utara terselesaikan dalam jangka waktu yang lama. Benturan-benturan kepentingan juga terjadi antara masyarakat atau kelompok masyarakat karena masalah batas desa atau wilayah adat yang tidak jelas atau karena perebutan sumberdaya tertentu. Menurut Fuad dan Maskanah 2000, konflik dapat berwujud tertutup laten, mencuat emerging, dan terbuka manifest. Konflik tertutup latent dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang, dan belum terangkat ke puncak kutub-kutub konflik. Seringkali salah satu atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik, bahkan yang paling potensial sekalipun. Konflik mencuat emerging adalah perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses penyelesaian masalahnya sendiri belum berkembang. Konflik terbuka manifest merupakan konflik dimana pihak- pihak yang berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah memulai untuk bernegosiasi, mungkin pula telah mencapai jalan buntu. Ditambahkan oleh Hae, et al. 2001, bahwa konflik bisa berwujud meningkat eskalasi. Konflik eskalasi merupakan konflik yang mengalami peningkatan dari segi kuantitas maupun kualitas. Pada daerah konflik Ambon misalnya, eskalasi ditandai dengan penggunaan senjata rakitan maupun organik. Padahal, awalnya dua pihak yang bertikai hanya menggunakan senjata tumpul dan senjata tajam. Seperti yang telah disebutkan oleh beberapa penulis di atas, bahwa sebagian besar konflik atas sumberdaya alam mempunyai sebab-sebab ganda, biasanya kombinasi dari masalah-masalah dalam hubungan antara pihak yang bertikai yang mengarah pada konflik terbuka. Karena sering kali menjadi rumit, Universitas Sumatera Utara sangat penting untuk mendefinisikan permasalahan pokok atau penyebab pertikaian dengan mengamati dan memahami pihak-pihak yang bertikai. Menurut level permasalahanya, terdapat dua jenis konflik yakni: konflik vertikal dan konflik horisontal. Konflik vertikal terjadi apabila pihak yang di lawan oleh pihak lainnya berada pada level yang berbeda, sehingga kaitan makro-mikronya lebih cepat dapat diketahui. Sedangkan konflik horisontal, terjadi antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya. Dalam hal ini, kaitan makro agak sulit digambarkan dengan jelas, bahkan seringkali sulit untuk menentukan siapakah lawan yang sebenarnya Fuad dan Maskanah, 2000.

2.4. Masyarakat Desa Hutan