Karateristik Konflik dan Mekanisme Penyelesaiannya

barangkali hanya berpengaruh terhadap petani kemenyan yang menetap bagaimana dengan mereka yang selama ini tinggal di hutan dan melakukan pertanian dengan tumpang gilir, telah banyak penelitian mengatakan bahwa sejak awal dilakukan inisiatif pengelolaan hutan dengan melibatkan pihak swasta, terjadi penggusuran besar-besaran terhadap hak kepemilikan tenurial rights terhadap hutan yang disandang oleh masyarakat lokal. Konflik pengelolaan Sumber Daya Hutan SDH ini antara lain diakibatkan oleh adanya perbedaan kepentingan antara para pelaku pembangunan pemerintah, pengusaha,dan rakyat serta keterbatasan sumberdaya karena kebutuhan yang selalu meningkat akan keberadaan, fungsi dan manfaat Sumber daya Alam SDA. Konflik dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu konflik horizontal dan vertikal. Konflik horisontal merupakan konflik antar berbagai unsur masyarakat, yaitu antara masyarakat dengan masyarakat lainnya. Konflik vertical yaitu konflik antara masyarakat lokal dengan pemerintah. Dalam hal ini sebagai contoh, yaitu konflik dibidang agraria dan dapat mewakili konflik pengelolaan Sumber Daya Alam SDA di Indonesia pada umumnya.

2.5. Karateristik Konflik dan Mekanisme Penyelesaiannya

Pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam membutuhkan kemampuan untuk menghadapi konflik Mitchell et al. 2000. Sementara itu, faktor utama penyebab konflik dikawasan konservasi seperti hutan lindung dan taman nasional adalah perambahan hutan dan pencurian kayu. Hal ini terjadi karena penetapan suatu kawasan konservasi biasanya dilakukan secara sepihak oleh pemerintah tanpa melibatkan masyarakat. Akibatnya timbul berbagai kesalahpahaman dari Universitas Sumatera Utara masyarakat dan pihak-pihak terkait itu. Dalam beberapa kasus, penetapan hutan lindung sering memaksa masyarakat untuk berpindah ke tempat lain. Perambahan menjadi isu utama karena masyarakat masih menganggap bahwa lahan yang mereka buka untuk ladang adalah hak mereka walaupun telah ditetapkan menjadi kawasan lindung Wulan et al. 2004. Dalam penyelesaian konflik pada umumnya digunakan beberapa titik tolak karena sifat konflik yang selalu identik dalam kehidupan manusia Fuad dan Maskanah 2000 bahwa: a. Konflik selalu ada, manusia hidup selalu berkonflik, sebab konflik terdapat di alam dan hadir dikehidupan manusia, konflik selalu berubah dan sulit untuk diramalkan kapan datangnya seperti cuaca. b. Konflik menciptakan perubahan, konflik dapat merubah pemahaman pada sesama. Konflik mendorong adanya klarifikasi pilihan-pilihan dan kekuatan untuk mencari penyelesaian. c. Konflik selalu memiliki dua sisi, konflik membawa resiko dan potensi secara inheren. d. Konflik menciptakan energi baik bersifat dekstruktif atau kreatif atau keduanya dan mempunyai sifat mengikat. e. Konflik dapat produktif dan non produktif, konflik yang produktif lebih mengacu pada permasalahannya, kepentinganminat, prosedur dan nilai-nilai pemahaman yang mampu menghasilkan jalan keluar. Konflik yang non produktif cenderung mengacu pada strereoptip, komunikasi yang payah, serat emosi, kurang informasi, dan salah informasi yang menciptakan konflik. Universitas Sumatera Utara f. Konflik dipengaruhi pola-pola biologi, kepribadian dan budaya, reaksi-reaksi pisikologis memegang peranan emosional yang sangat kuat dalam mempengaruhi proses konflik, dengan mengikuti gaya kepribadian dan pisiologi seseorang.budaya juga ikut membentuk aturan-aturan dan ritual yang membawa kita pada konflik. g. Konflik mengandung makna “kaleindoskop”, konflik laksana drama yang dapat dianalisa dengan memahami siapa, dimana, kapan, dan mengapa. Konflik tidak menunjukkan adanya kebenaran utuh yang berdiri sendiri, melainkan berbagai kontruksi dan realita. h. Konflik memiliki “daur hidup” dan “sifa-sifat bawaan”, konflik dapat bertrasformasi,bertambah cepat, perlahan menghilangkan atau berubah. i. Konflik mengubah manusia, konflik menjadi inspirasi bagi penulis, pemikir, seniman, politisi, pisikolog dan ahli filsafat. Menurut level permasalahanya, terdapat dua jenis konflik yakni: konflik vertikal dan konflik horisontal. Konflik vertikal terjadi apabila pihak yang di lawan oleh pihak lainnya berada pada level yang berbeda, sehingga kaitan makro- mikronya lebih cepat dapat diketahui. Sedangkan konflik horizontal, terjadi antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya. Dalam hal ini, kaitan makro agak sulit digambarkan dengan jelas, bahkan seringkali sulit untuk menentukan siapakah lawan yang sebenarnya Fuad dan Maskanah, 2000. Bila diamati lebih jauh, terdapat beberapa karakteristik dari konflik seperti yang dijelaskan Hendricks 1996, yakni: 1 Dengan meningkatnya konflik, perhatian pada konflik itu akan meningkat; 2 Keinginan untuk menang meningkat seiring dengan meningkatnya keinginan pribadi; 3 Orang yang Universitas Sumatera Utara menyenangkan dapat menjadi berbahaya bagi yang lain, seiring dengan meningkatnya konflik; 4 Strategi manajemen konflik yang berhasil pada tingkat konflik tertentu, sering tidak efektif pada tingkat konflik yang lebih tinggi; 5 Konflik dapat melampaui tahapan yang lazim; 6 Seseorang dapat menjadi individu yang berbeda selama berada dalam konflik. Beberapa perilaku yang mungkin muncul dalam konflik Hae, et al., 2000, antara lain: 1. Persepsi pengotak-ngotakan. Ketika konflik mulai mencuat, setiap kelompok cenderung membatasi diri pada kelompoknya. Satu wilayah yang sebelumnya tak terpisah akhirnya dibelah sesuai dengan identitas warganya. Akibat pertikaian yang berlangsung 20 tahun lebih di Belfast, pemisahan kelompok Nasionalis yang kebanyakan Protestan dan kelompok prokemerdekaan yang kebanyakan Katolik sudah sampai pembuatan tembok setinggi 5 meter. Demikian pula di Ambon, walaupun belum ada tembok pemisah, segregasi wilayah kelompok Muslim dan Kristen sudah terjadi. Senada dengan hal itu Soekanto 1990 menyebutnya dengan timbulnya solidaritas in-group. Ikatan yang semakin erat antar anggota kelompok, dan bahkan bersedia berkorban demi keutuhan kelompok. Atau sebaliknya, goyah dan retaknya persatuan kelompok. Hal ini terjadi apabila pertentangan antar golongan dalam satu kelompok tertentu. 2. Stereotip. Memberi label terhadap orang dari kelompok lain dihadirkan dalam tuturan turun temurun. Tujuannya biasanya negatif, untuk merendahkan pihak lawan. Universitas Sumatera Utara 3. Demonisasi penjelek-jelekan. Setelah muncul stereotip, muncul pula aksi demonisasi pada lawan. Aksi yang lazimnya sangat sistematik ini menghasilkan citra negatif yang sangat seram. Pernyataan yang muncul, misalnya: Si A itu dari suku X, hati-hati...., orang yang bersuku X itu pembunuh berdarah dingin... Dia itu bangsa pemenggal kepala dan peminum darah manusia. 4. Ancaman. Akan muncul berbagai ancaman, fisik maupun lisan, pada kelompok lawan. Medium yang digunakan bisa secara lisan dari mulut ke mulut sampai penggunaan selebaran bahkan lewat media massa koran, radio, dan televisi. 5. Pemaksaan koersi. Selalu ada pemaksaan terhadap anggota kelompok sendiri atau kelompok lain. 6. Mobilitas sumberdaya manusia. Selalu ada penggalangan massa yang cepat dan solid. 7. Citra cermin. Setiap pihak yang berkonflik selalu melihat dirinya sendiri. Ia akan selalu berkaca pada dirinya tanpa melihat sisi pandang orang lain atau lawannya. 8. Pengakuan citra diri, yang berhubungan dengan misalnya menyetujui bahwa saya adalah musuh orangkelompok lain. Pernyataan yang biasa muncul ya, saya memang musuhnya. Saya akan siap meladeni,....” dan seterusnya. Selanjutnya Soekanto 1990 menambahkan akibat-akibat tersebut dengan: 9. Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia. Bentuk pertentangan terdahsyat yaitu peperangan yang telah menyebabkan penderitaan yang berat, baik bagi pemenang maupun bagi pihak yang kalah, dalam bidang kebendaan maupun bagi jiwa-raga manusia. Universitas Sumatera Utara 10. Akomodasi. Dominasi dan takluknya salah satu pihak apabila kekuatan pihak- pihak yang bertentangan seimbang, maka mungkin akan timbul akomodasi.

2.6. Pengelolaan Konflik