Penanaman nilai dan norma dalam pembentukan sikap dan perilaku

khawatir, lebih sering menelpon anak yakni hampir setiap hari untuk menanyakan apa kegiatan anak hari ini, mendengarkan cerita dan keluh kesah anak, dan sebagainya. Berbeda halnya dengan Bapak Syamsuri yang menelpon anaknya setiap lima hari bahkan seminggu sekali saja, Bapak Syamsuri menganggap anaknya sudah besar dan mampu diberikan kepercayaan tanpa perlu terlalu menunjukkan kekhawatiran.

2. Penanaman nilai dan norma dalam pembentukan sikap dan perilaku

Sesuai dengan fungsi keluarga yakni fungsi sosialisasi, seorang anak pertama kali berinteraksi dengan keluarganya. Melalui keluarga, anak akan menerima dan mempelajari sistem nilai, aturan, kaidah, kebiasaan, norma dan kebudayaan di tempat mereka tinggal. Anak akan mengamati, meniru, memperhatikan, apa yang dikatakan, dilakukan, dan diperbuat oleh orangtuanya. Anak akan menerima, menyerap, dan menampilkan dalam perilakunya sehari-hari di lingkungan sosial dimana anak berada. Pada anak pemilik warteg, proses internalisasi nilai dan norma lebih banyak dilakukan oleh agen sosialisasi pengganti, karena agen sosialisasi pengganti adalah sosok yang selalu ada dan tinggal bersama anak. Anak dapat secara langsung meniru apa yang dikatakan dan dilakukan oleh agen sosialisasi penggantinya. Sepeti yang dituturkan oleh salah satu agen sosialisasi pengganti yakni mbah Warmen sebagai berikut : “ Putune mbah si Dinda kabeh-kabeh mbah sing ngajari, awit cilike wis tak ajari tangi esuk, angger pan mangkat sekolah ya adhus dewek, nganggo klambi dewek, tak biasakna gelem nyekel pegawean umah kaya nyapu, ngumbai piring. Ya arane bocah wadon kudu bisa nyekel gawean umah, mbesuk angger wis nikah kan ora kaget. Bapak Ibune ya pernah ngandani, tapi mung lewat telpon tok “ “ Cucu mbah si Dinda semuanya mbah yang ngajarin, dari kecil sudah saya ajari bangun pagi, kalau mau berangkat sekolah ya mandi sendiri, pakai baju sendiri, saya biasakan mau megang pekerjaan rumah seperti nyapu, nyuci piring. Ya namanya anak perempuan harus bisa megang pekerjaan rumah, besok kalau sudah nikah kan tidak kaget. Bapak Ibunya juga pernah menasehati, tapi hanya lewat telepon “ wawancara pada tanggal 23 Maret 2013 Berdasarkan wawancara diatas terlihat mbah Warmen menanamkan nilai kedisiplinan dan kemandirian pada cucunya yakni dengan mengajarkan bangun pagi setiap hari dan melakukan apa-apa sendiri seperti mandi sendiri, memakai baju sendiri, dan sebagainya. Seperti pada masyarakat umumnya, anak pemilik warteg juga menerima perbedaan cara mengasuh antara anak laki-laki dan perempuan. Hal ini erat kaitannya dengan gender. Selain mengajarkan nilai kedisiplinan dan kemandirian, anak pemilik warteg juga diajari agar bisa bergaul dengan baik di masyarakat, tidak melakukan perbuatan menyimpang, menjaga kerukunan, tidak berkelahi dengan temannya, bersikap sopan, menghormati orang lain, dan mematuhi peraturan yang berlaku dalam masyarakat. Upaya penanaman nilai dan norma ini dilakukan oleh orangtua maupun agen sosialisasi pengganti. Namun lebih nyata dilakukan oleh agen sosialisasi pengganti yang tinggal satu rumah dengan anak. Efektif atau tidaknya pengajaran nilai dan norma yang nantinya akan diserap anak sangat tergantung dari siapa yang menyampaikannya. Orangtua menyampaikan dan mengajarkan tentang mana yang baik dan buruk, mana yang harus dilakukan atau tidak pada anak hanya sebatas melalui telepon, orangtua tidak dapat mencontohkan langsung pada anak karena jarang bertemu. Sedangkan agen sosialisasi pengganti yang notabene hanya menggantikan mengasuh anak yang bukan anaknya sendiri terkadang tidak terlalu detail dan telaten dalam mengajarkan segala sesuatunya pada anak. Hal ini bisa dikarenakan faktor usia, misal anak diasuh oleh nenek atau kakeknya yang sudah tua dan sudah capek mengurus anak atau karena agen sosialisasi pengganti anak sudah berkeluarga dan memiliki kesibukan sehingga kesulitan membagi waktunya untuk mengurus keluarganya sendiri, pekerjaannya, dan anak pemilik warteg yang dititipkan kepadanya. Keseluruhan proses penanaman nilai dan norma pada anak pemilik warteg tersebut merupakan bagian dari sosialisasi primer. Sesuai dengan yang diungkapkan oleh Peter L. Berger 1990:188 bahwa sosialisasi primer merupakan sosialisasi pertama dan utama yang dialami oleh individu pada masa kanak-kanak. Sosialisasi primer sangatlah penting bagi individu termasuk bagi anak pemilik warteg, dan merupakan struktur dasar dari sosialisasi sekunder. Sosialisasi primer anak pemilik warteg pada usia di bawah 0-5 tahun dipegang oleh orangtua, karena pada usia tersebut anak masih tinggal dengan orangtua. Setelah anak masuk kelas 1 SD, sosialisasi sekunder anak pemilik warteg lebih dominan dipegang oleh agen sosialisasi penggantinya.

3. Penanaman nilai keagamaan