adalah bahasa Jawa Tegalan dan alternatifnya adalah bahasa Indonesia. Ketika anak berbicara dengan orang yang tidak dikenal atau orang yang
lebih tua lebih baik menggunakan bahasa Indonesia jika memang tidak dapat menggunakan bahasa krama alus. Tapi ketika anak menggunakan
bahasa Jawa Tegalan pun, umumnya orang akan memaklumi dan tidak mempermasalahkan.
Selain dalam hal berkomunikasi, anak pemilik warteg juga diajarkan sopan santun dalam kehidupan sehari-harinya. Contohnya :
tidak membantah ketika orangtua ataupun agen sosialisasi penggantinya memberi nasihat, membiasakan diri untuk pamit ketika hendak pergi ke
sekolah atau ke tempat lain, dan sebagainya. Penanaman nilai kesopanan pada anak pemilik warteg tidak hanya
dilakukan oleh orangtua dan agen sosialisasi pengganti saja, namun dilakukan juga oleh sekolah. Sekolah mengajarkan pada anak untuk
menghargai teman-temannya dan sopan terhadap Bapak dan Ibu Gurunya. Mampu atau tidaknya anak pemilik warteg menerima dan menerapkan
nilai kesopanan yang diajarkan kepadanya sangat bergantung dari cara penanaman nilai tersebut dan kesadaran dari anak sendiri untuk menerima
atau menolaknya. Umumnya anak pemilik warteg mampu berperilaku sopan dalam kehidupan sehari-harinya.
2. Dampak terhadap sikap
Sikap merupakan perasaan seseorang tentang obyek, aktivitas, peristiwa, dan orang lain. Perasaan ini menjadikan konsep yang
mempresentasikan suka atau tidak sukanya positif, negatif, atau netral seseorang pada sesuatu. Anak pemilik warteg cenderung acuh tak acuh
dalam menyikapi sesuatu, seperti yang disampaikan oleh Ibu Susi Purwanti sebagai berikut :
“ Anak pemilik warteg itu cenderung acuh tak acuh mba, mungkin karena orangtuanya jauh dan nggak keurusan. Pernah ada anak
yang seragam sekolahnya kucel dan kancingnya ada yang lepas. Ketika saya tanya kenapa bajunya seperti itu anak santai saja
menjawab itu semua karena orangtuanya tidak ada di rumah
“wawancara pada tanggal 18 Maret 2013 Dari wawancara diatas terlihat bahwa secara tidak langsung anak
pemilik warteg meminta gurunya untuk memaklumi mengapa ia berpenampilan seperti itu, yakni karena orangtuanya tidak di rumah dan
tia kurang terurus. Selain acuh tak acuh, anak pemilik warteg cenderung manja ketika orangtuanya pulang, anak akan minta dibelikan ini itu dan
minta jalan-jalan.
3. Dampak terhadap perilaku
Dalam beperilaku sehari-harinya anak pemilik warteg terbilang dapat menyesuaikan diri dengan nilai dan norma yang ada di masyarakat.
Hanya saja terkadang mereka cenderung nakal dan mencari perhatian. Di sekolah misalnya, anak mencari perhatian dari gurunya misalnya dengan
berisik di dalam kelas. Seperti yang diutarakan oleh Ibu Muhayah sebagai berikut :
“ Anak pemilik warteg kalau di sekolah kadang itu suka cari-cari perhatian sama gurunya mba. Misalkan gurunya lagi ngajar nanti
dya berisik atau ngganggu temannya. Udah gitu nakal lagi
“wawancara pada tanggal 14 Maret 2013
Dari wawancara diatas terlihat bahwa anak pemilik warteg
cenderung berperilaku nakal di sekolah untuk mendapatkan perhatian dari guru dan teman-temannya. Ini terjadi karena anak pemilik warteg
kurang mendapatkan perhatian di rumah. Selain nakal, anak pemilik warteg juga cenderung malas dan
kurang peduli dengan kewajibannya. Contohnya : malas bangun pagi, mengerjakan PR, dan sebagainya. Ini terjadi karena mereka tidak pernah
mendapat pengasuhan yang tegas yang mengharuskan mereka mematuhi aturan ataupun mengerjakan sesuatu. Para agen sosialisasi pengganti
hanya memerintahkan satu atau dua kali, jika anak tidak mau ya dibiarkan saja.
4. Dampak Terhadap Prestasi Sekolah