Mba Wahyuningsih tidak sepenuhnya mengasuh Bayinatul sendiri melainkan bergantian dengan orangtuanya, karena Mba Wahyuningsih juga
berprofesi sebagai pemilik warteg. Mba Wahyuningsih aplusan dengan orangtuanya. Ketika orangtua pulang, maka orangtualah yang mengasuh
Bayinatul. Namun ketika Mba Wahyuningsih pulang, Mba Wahyuningsihlah yang mengasuh Bayinatul. Begitu berlangsung terus menerus. Mba
Wahyuningsih aplusan dengan orangtua mereka setiap 3 bulan sekali.
4. Paman
Paman dari anak pemilik warteg juga berperan dalam mengasuh anak pemilik warteg, salah satunya adalah bapak Kasirin yang berusia 39 tahun.
Bapak Kasirin sudah berkeluarga dan tinggal satu rumah dengan orangtuanya kakek anak pemilik warteg yakni mbah Sariman. Jadi bapak Kasirin tidak
sendiri dalam mengasuh anak pemilik warteg yang merupakan keponakannya , melainkan dibantu oleh Mbah Sariman. Sebagai paman, bapak Kasirin tidak
bisa memberikan perhatian sepenuhnya pada keponakannya. Hal ini karena ia harus bekerja setiap hari di bengkel dan ketika pulang pun kondisi badan
sudah capek. Untuk kebutuhan makan anak pemilik warteg diambil alih oleh istri dari bapak Kasirin. Seperti yang disampaikannya sebagai berikut :
“ Nyong ngurus ponakan ora dewekan, karo mbahe bocah. Istrine aku ya melu mbantu ngurus juga. Aku karo istri durung nduwe anak mba,
dadi ponakan wis tak anggep kaya anake dewek. Nggo rame-rame neng umah. Tapi ya kuwe, aku ngurus bocahe sebisane. Kesel sih
angger balik k
erja seka bengkel “ “ Saya mengurus keponakan tidak sendiri, dengan mbahnya anak-
anak. Istri saya ya ikut membantu mengurus juga. Saya dan istri belum punya anak mba, jadi keponakan sudah saya anggap seperti
anak sendiri. Untuk ramai-ramai di rumah. Tapi ya itu, saya kalau ngurus anak sebisa saya. Capek sih kalau pulang kerja dari bengkel
“wawancara pada tanggal 21 Maret 2013 Tidak hanya bapak Kasirin, agen sosialisasi pengganti yang sudah
berkeluarga dan memiliki pekerjaan sulit untuk memberi perhatian penuh pada anak pemilik warteg, mereka harus membagi waktunya untuk
keluarganya sendiri ataupun untuk pekerjaannya. Dari wawancara peneliti dengan para orangtua yang berprofesi
sebagai pemilik warteg dan dengan para agen sosialisasi pengganti, dapat disimpulkan bahwa ada aspek yang tidak dapat digantikan oleh agen
sosialisasi pengganti dalam mengasuh anak, aspek yang tidak dapat digantikan ini berkaitan dengan fumgsi afeksi. Orangtua berkewajiban
memberikan kasih sayang, menumbuhkan keakraban dan ikatan batin yang kuat dengan anak.
Memang agen sosialisasi pengganti juga dapat memberikan kasih sayang pada anak pemilik warteg. Namun kasih sayang yang diberikan oleh
agen sosialisasi pengganti ini akan diterima dan dirasakan berbeda oleh anak. Anak akan membandingkan dengan teman-temannya yang orangtuanya tidak
berprofesi sebagai pemilik warteg, teman-temannya tersebut dapat bertemu, bersenda gurau, dan mendapat curahan kasih sayang dari orangtuanya secara
langsung setiap hari. Anak pemilik warteg pasti menginginkan hal yang sama dengan teman-temannya itu. Anak pemilik warteg akan lebih merasa bahagia
ketika kasih sayang tersebut datang dari orangtua.
Aspek lain yang sulit digantikan berkaitan dengan fungsi ekonomi. Dalam memenuhi kebutuhan papan, pangan, dan sandang untuk anak pemilik
warteg, para agen sosialisasi pengganti mengandalkan kiriman uang dari para pemilik warteg. Khususnya bagi kakeknenek anak pemilik warteg yang
sudah tidak bekerja dan tidak berpenghasilan. Bagi budhe, pakdhe, paman, bulik, ataupun kakak dari anak pemilik warteg meskipun sudah
berpenghasilan tetapi memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sendiri
Aspek yang dapat digantikan oleh agen sosialisasi pengganti dalam mengasuh anak berkaitan dengan fungsi sosialisasi. Fungsi sosialisasi ini
lebih dipegang oleh agen sosialisasi pengganti karena mereka tinggal satu rumah dengan anak pemilik warteg. Agen sosialisasi pengganti mengajarkan
pada anak tentang budaya, nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat sekitar tempat tinggalnya. Mencontohkan secara langsung mana yang harus
dilakukan atau tidak, mana yang baik atau buruk. Dari sini anak akan belajar mengidentifikasaikan siapa dirinya dan bagaimana ia nantinya menjalankan
peranannya dalam masyaarakat. Anak pemilik warteg sebenarnya lebih senang diasuh oleh
orangtuanya, karena fungsi afeksi orangtua yang sulit tergantikan oleh agen sosialisasi pengganti. Selain itu, dengan orangtuanya anak pemilik warteg
bisa manja dan minta dibelikan ini itu. Berbeda ketika diasuh kakek, nenek, kakak, ataupun pamannya yang membatasi permintaan anak. Baik orangtua
maupun agen sosialisasi pengganti cenderung permisif atau longgar dalam
mengasuh anak. Orangtua tidak banyak menuntut anak, memanjakan ketika pulang untuk menutup rasa bersalahnya karena tidak dapat selalu
mendampingi anak. Agen sosialisasi pengganti baik itu kakek, nenek, paman, ataupun kakak juga longgar dalam mengasuh karena notabene mereka hanya
menggantikan mengasuh saja, tidak bertanggung jawab penuh atas pengasuhan anak. Keluarga pemilik warteg pada saat tertentu dapat
demokratis, tergantung situasi dan kondisi yang ada.
E. Dampak Pengasuhan yang Dilakukan pada Anak Pemilik warteg