mengasuh anak. Orangtua tidak banyak menuntut anak, memanjakan ketika pulang untuk menutup rasa bersalahnya karena tidak dapat selalu
mendampingi anak. Agen sosialisasi pengganti baik itu kakek, nenek, paman, ataupun kakak juga longgar dalam mengasuh karena notabene mereka hanya
menggantikan mengasuh saja, tidak bertanggung jawab penuh atas pengasuhan anak. Keluarga pemilik warteg pada saat tertentu dapat
demokratis, tergantung situasi dan kondisi yang ada.
E. Dampak Pengasuhan yang Dilakukan pada Anak Pemilik warteg
Pola pengasuhan yang diberikan pada anak akan membawa dampak pada perkembangan kepribadian anak. Anak pemilik warteg cenderung
kurang mendapatkan perhatian dari orangtuanya. Hal ini dikarenakan intensitas pertemuan dan komunikasi yang terbatas. Orang tua tidak dapat
memantau kegiatan anak sehari-hari secara langsung. Komunikasipun hanya melalui telpon. Penanaman nilai dan norma akan lebih efektif ketika orangtua
mencontohkan langsung pada anak, tidak sekedar memberikan perintah ataupun nasihat. Perhatian yang diberikan oleh agen sosialisai pengganti pun
tidak cukup, apalagi bagi agen sosialisasi yang memiliki keluarga dan kesibukan sendiri. Dampak yang muncul dari pengasuhan pada anak pemilik
warteg adalah sebagai berikut :
1. Dampak terhadap pemahaman nilai
a. Nilai Kedisiplinan
Dalam hal kedisiplinan, anak pemilik warteg cenderung kurang disiplin. Hal ini karena agen sosialisasi pengganti terkadang kurang tegas
dan kurang telaten dalam mengasuh anak. Memang, agen sosialisasi pengganti membiasakan anak untuk disiplin misalnya dengan bangun
pagi tapi ketika sudah terlalu sering dibangunkan tapi anak tidak segera timbul kesadaran untuk bangun sendiri, agen sosialisasi pengganti pun
akan membiarkan saja. Kedisiplinan anak di sekolah juga kurang, hal ini terlihat dari seringnya anak pemilik warteg terlambat berangkat ke
sekolah, terkadang tidak mengerjakan PR, dan sebagainya. Anak cenderung acuh tak acuh karena anak merasa orangtuanya tidak ada di
rumah, wajar saja ketika dia tidak dapat mengerjakan PR dengan alasan di rumah tidak ada yang mengajari dan menemani belajar.
b. Nilai Kemandirian
Kemandirian anak harus dilatih sejak dini. Seseorang dapat dikatakan mandiri jika mampu menyelesaikan dan memecahkan suatu
masalah sendiri dengan penuh kedewasaan. Mengajarkan mandiri pada anak sangat penting.
Kemandirian anak pemilik warteg muncul ketika orangtuanya tidak di rumah, yakni ketika bekerja di luar kota. Dalam diri anak sudah ada
kesadaran bahwa ia harus bisa melakukan apa-apa sendiri dan sejak SD harus membiasakan diri ditinggal oleh orangtuanya. Namun ketika
orangtua kembali, kemandirian anak pemilik warteg seolah-olah hilang, anak akan manja ketika orangtuanya pulang seperti yang dikatakan oleh
Ibu Tusliha sebagai berikut : “ Bocah seringe aleman oh angger Bapak Ibune balik, njaluke
macem-macem. Angger karo mbahe ora njaluk-njaluk si “
“ Anak seringnya manja kalau Bapak Ibunya pulang, minta macam- macam. Kalau dengan mbahnya tidak bisa minta-minta sih
“wawancara pada tanggal 24 Maret 2013 Kemandirian anak yang seolah-olah hilang ketika orangtua pulang
terjadi karena para pemilik warteg merasa bersalah tidak dapat mengurus anak maksimal dan tidak dapat selalu mendampingi anak, sehingga
sebisa mungkin permintaan anak dipenuhi, dengan ataupun tanpa syarat. Anak pemilik warteg yang menjadi manja ketika orangtuanya pulang
sesuai dampak pola asuh permisif yang dekemukakan oleh Hurlock 1978:204 bahwa pola asuh permisif akan menghasilkan anak-anak yang
manja, agresif, tidak patuh, mau menang sendiri, dan kurang matang secara sosial.
c. Nilai Kesopanan
Nilai kesopanan perlu ditanamkan pada anak sejak dini, tujuannya adalah agar anak memiliki etika yang baik. Sikap sopan santun
ditunjukkan dengan perilaku seseorang yang menjunjung tinggi nilai-nilai menghormati, menghargai, tidak sombong dan berakhlak mulia.
Nilai kesopanan ditanamkan pada anak pemilik warteg dalam berbagai hal diantaranya dalam hal berkomunikasi, yakni ketika anak
pemilik warteg berbicara dengan anggota keluarga yang lebih tua atau dengan tetangga yang lebih tua. Hanya beberapa orangtua pemilik warteg
yang mengajarkan anaknya untuk menggunakan bahasa krama alus ketika berbicara dengan orang yang lebih tua karena umumnya orang Tegal
kesulitan dalam menggunakan bahasa krama alus. Bahasa yang digunakan
adalah bahasa Jawa Tegalan dan alternatifnya adalah bahasa Indonesia. Ketika anak berbicara dengan orang yang tidak dikenal atau orang yang
lebih tua lebih baik menggunakan bahasa Indonesia jika memang tidak dapat menggunakan bahasa krama alus. Tapi ketika anak menggunakan
bahasa Jawa Tegalan pun, umumnya orang akan memaklumi dan tidak mempermasalahkan.
Selain dalam hal berkomunikasi, anak pemilik warteg juga diajarkan sopan santun dalam kehidupan sehari-harinya. Contohnya :
tidak membantah ketika orangtua ataupun agen sosialisasi penggantinya memberi nasihat, membiasakan diri untuk pamit ketika hendak pergi ke
sekolah atau ke tempat lain, dan sebagainya. Penanaman nilai kesopanan pada anak pemilik warteg tidak hanya
dilakukan oleh orangtua dan agen sosialisasi pengganti saja, namun dilakukan juga oleh sekolah. Sekolah mengajarkan pada anak untuk
menghargai teman-temannya dan sopan terhadap Bapak dan Ibu Gurunya. Mampu atau tidaknya anak pemilik warteg menerima dan menerapkan
nilai kesopanan yang diajarkan kepadanya sangat bergantung dari cara penanaman nilai tersebut dan kesadaran dari anak sendiri untuk menerima
atau menolaknya. Umumnya anak pemilik warteg mampu berperilaku sopan dalam kehidupan sehari-harinya.
2. Dampak terhadap sikap